Malam semuaaaa🎉
Haju couple balik lagi!
Happy reading❤️
📷 📷 📷
Lupakan tentang mendapatkan pacar di bulan November ini. Sumpah, aku menyerah. Dorongan dari Ajeng tidak lagi menyemangatiku karena kenyataannya Adit tidak mungkin mengajakku berpacaran minggu depan.
Dia bahkan kelihatan tidak tertarik padaku. Tiga hari ini, setelah aku mendapatkan nomornya, yang lebih banyak memulai ya aku. Satu kali pun dia tidak pernah menghubungi duluan. Karena itu aku mengubah rencana. Tidak perlu bulan November, aku hanya harus punya gandengan begitu kembali ke Jakarta. Dan waktunya masih ada sebulan.
Malam ini, aku memberanikan diri mengajak Adit jalan. Sayangnya, satu jam berlalu namun balasan dari Adit belum masuk. Entah dia sudah melihatnya dan memilih mengabaikannya ataukah dia memang sedang sibuk.
Aku butuh es krim untuk mendinginkan kepalaku dan warung Amel adalah tujuanku. Tinggal beberapa langkah hingga aku sampai namun aku terpaksa berhenti begitu berpapasan dengan Mas Hady yang sepertinya baru saja mampir di warung Amel. Bukan asal tebak, ya. Dia nenteng kantong kresek tuh. Mana isinya kelihatan, mi instan.
“Mau ke mana?” tanya Mas Hady.
“Beli es krim. Dah!” pamitku sembari melompat-lompat melewatinya. Belum jauh dari Mas Hady, kerah belakang kausku tiba-tiba ditahan hingga aku tercekik. Aku memegang leherku lalu berbalik cepat.
“Mas, kalau mau ngebunuh enggak gini caranya dong!”
Mas Hady meringis. “Sori, aku bingung mau pegang yang mana.”
Aku mengangkat tanganku. “Ini bisa,” lalu memegang ujung kausku, “ini juga bisa.”
“Maaf, Ju. Serius aku enggak sengaja,” katanya menyesal.
Aku mengangguk bukan karena mukanya menunjukkan rasa penyesalan tapi lebih ke ekspresinya yang kusut. Mas Hady kayaknya lagi capek banget. Terakhir aku melihatnya saat ke studio, tiga hari lalu.
“Jadi, kenapa nahan aku?”
Mas Hady tersenyum dengan mata sayu. “Traktir dong!”
“Es krim?”
Mas Hady mengangguk.
“Beli sendiri, lah! Mas kan kerja, masa minta traktir sama mahasiswa kayak aku.”
“Yang paling murah aja, Ju.”
Aku mendengus. “Ya udah, ayo!”
Amel menyambutku saat aku sampai di warungnya. Tanpa berbasa-basi, aku melipir ke kulkas es krimnya bersama Mas Hady di sebelahku.
“Yang enak yang mana?” tanya Mas Hady.
“Mas tadi minta yang paling murah, nih,” kataku menyodorkan satu es krim cokelat.
“Ikhlas, kan?” Mas Hady menerimanya.
“Iya dong! Buat Mas apa sih yang enggak,” godaku lalu mencolek pipinya.
Mas Hady mengernyit. “Kamu mabok?”
“Astaghfirullah, sebejat itukah aku di matamu, Mas?” tanyaku sok dramatis.
Mas Hady geleng-geleng kemudian memasukkan es krim ke mulutnya.
“Ju, uang kamu pas enggak?” Suara Amel mengalihkan perhatianku.
“Iya, pas.”
“Oh, tinggal aja di meja. Aku mau masuk, nonton.” Amel menghilang tanpa mendengar jawabanku. Amel itu walau seusia denganku, jiwanya emak-emak parah. Gabung gosip sama genk-nya Bunda, ngerujak bareng, nonton sinetron juga iya.
Sesuai perintahnya aku meninggalkan uang di meja dan memilih es krim sementara Mas Hady sudah duduk di kursi depan warung. Selesai memilih es krim, aku tetap berdiri di tempatku. Memerhatikan punggung Mas Hady yang tampak kokoh, berbeda jauh dengan air mukanya malam ini.
Aku menarik kursi dan duduk persis di sebelah Mas Hady. “Kerjaan lagi banyak, ya, Mas?”
Dari sudut mataku, kulihat Mas Hady menoleh kemudian mengangguk. “Kenapa? Kangen?”
“Kangen, my ass.”
Mas Hady tertawa pelan. Tipe tawa kalem, bukan tawa terbahak bapak-bapak yang menggelegar sampai se-RT dengar. “Capekku berkurang loh Ju dengar lawakan kamu.”
“Capek mah istirahat, Mas,” ujarku menggigit es krim dalam potongan agak besar. Ah, ngilu!
“Suka aja denger kamu ngomong nyablak, lucu tau.”
Nah! Sekarang aku bingung, barusan pujian atau apa. Soalnya ritme jantungku kok jadi tidak beraturan. Aku memasukkan es krim yang tersisa ke dalam mulutku dan melempar stiknya ke tempat sampah.
Es krim, tolong bantu jantungku kembali normal.
“Ju.”
“Hm?” gumamku karena aku masih sibuk mengunyah es krim dalam mulutku.
“Kapan balik ke Jakarta?”
“Liburku masih sebulan lagi tapi kayaknya seminggu sebelum masuk, aku dah balik.”
Mas Hady manggut-manggut. Aku menunggu sepatah kata keluar dari mulutnya tapi tak kunjung datang. Biasanya kan ada alasannya tuh kenapa orang nanya. Ini kok enggak ada?
“Kenapa emangnya, Mas?” ujarku pada akhirnya. Gatal mulutku lihat dia malah diam.
“Nanya aja.”
Sepertinya kami harus memilih topik yang lebih menarik. Adit misalnya. Benar juga. Mas Hady kan lumayan dekat dengan Adit, hampir setiap hari mereka bertemu. Sedikit banyak aku bisa mengulik Adit dari pandangan Mas Hady.
“Mas, Adit itu orangnya gimana?”
Ada jeda sebelum Mas Hady menjawab, “Anaknya baik, sopan, rajin, kerjanya juga bagus.”
Keputusanku sudah bulat. Mas Hady saja bilang dia baik, apa lagi yang aku ragukan? Meski butuh banyak usaha mendapatkannya, tidak masalah.
“Kamu suka sama Adit?”
Pertanyaan tiba-tiba Mas Hady mengalihkan perhatianku dari langit malam. “Belum tapi lagi aku usahain.”
“Kalau enggak berhasil?”
Aku mengangkat bahu. “Berarti bukan jodoh. Kenapa? Mas enggak setuju?”
Mas Hady menggeleng pelan tanpa menoleh ke arahku. “Ini kesekian kalinya aku ngomong. Jangan dipaksa, kamu mesti sembuh dulu.”
Dan kesekian kalinya juga aku tidak ingin kalah dari Farraz. Menunggu hatiku sembuh sama saja membiarkannya menang.
“Kalau, Mas?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.
“Apanya?”
“Udah sembuh?”
“Tinggal bekasnya doang. Itu dua tahun lalu loh, Ju, udah lama banget,” jawabnya dengan senyum lebar. Dari rautnya saja aku tahu, Mas Hady jujur. Santai banget ditanyain soal mantan.
“Tetep aja. Mas pacaran sama Teh Rara lama. Pasti enggak gampang dilupain.”
Mas Hady menyerong duduknya. “Ju, denger baik-baik.”
Aku mengangguk. “Kamu memang enggak bisa sepenuhnya lupa. Kenangan sama mereka pasti akan terus tinggal di kepala kamu, gimana pun usaha kamu berusaha lupain. Santai aja, jangan dibawa beban. Ada waktunya kamu biasa-biasa aja kalau enggak sengaja papasan atau denger namanya disebut orang lain.”
Sejenak aku termenung, bukan karena kalimat panjangnya tapi Mas Hady-nya. Ini pertama kalinya aku meneliti tiap inci wajahnya pelan-pelan. Mata jernihnya. Bekas luka di alis kiri yang kutahu karena jatuh dari sepeda. Bekas cukuran di atas bibirnya, bahkan aku melihat tahi lalat kecil di rahang kanannya.
Ketika mataku semakin turun, aku malah mendapati es krim yang Mas Hady pegang meleleh. “Mas, es krimnya!”
Respons Mas Hady yang kelewat santai membuatku kesal. Aku buru-buru menggapai tangannya dan membawa es krim tadi ke dalam mulutku. Sayang banget kalau cuma meleleh. Dengan tangan Mas Hady yang masih kupegang, aku terdiam. Tangannya hangat.
“Mas sakit?” Aku mendaratkan punggung tanganku di keningnya dan benar, Mas Hady demam.
Mas Hady tidak menjawab, tanganku dijauhkan dari keningnya. Aku menunggunya menjawab pertanyaanku meski sebenarnya jawabannya sudah pasti. Namun yang terjadi, Mas Hady menjatuhkan kepalanya di pundakku.
Aku memegang lengannya, takut Mas Hady pingsan. “Mas?”
“Pusing, Ju.”
“Ya udah, ayo pulang.” Aku berusaha mendorongnya tapi Mas Hady menolak menjauh.
“Bentar.”
“Mas, jangan pingsan di sini.”
Mas Hady terkekeh di pundakku. “Iya,” ucapnya lembut.
Es krim, kamu tidak membantuku sama sekali.