"Ini ruang radio. Yang bertugas sebagai penyiar itu Pak Surya sama Pak Wendi," jelas Ayu kala mereka berdua sampai di ruang radio. "Ruangan ini enggak begitu perlu dibersihin, soalnya Pak Surya sama Pak Wendi jarang ngemil pas siaran. Paling dilap aja mejanya dan disapu kayak biasa, biar enggak begitu berdebu."
"Wah, radio, ya? Bisa request lagu gitu, enggak?" ucap Sibad riang.
"Kurang tahu. Tapi yang seringnya masuk request gitu si Mpok Debita, penjaga kantin sini."
"Mpok Debita? Kok saya belum lihat dia dari tadi, ya?" tanya Sibad.
Nah, mulai lagi, batin Ayu. "Kadang dia buka kantin, kadang enggak. Sesukanya, sih."
Sibad pun ber-oh ria. Mereka lalu beralih ke ruangan lainnya: pantry. Kali ini tidak hanya Ayu seorang yang menemani Sibad. Ada Gilang yang juga ikut serta. Itu sebenarnya permintaan Wendi, karena pria berkepala plontos itu merasa Ayu akan lebih galak dengan Sibad saat mereka tiba di pantry.
Ayu berbalik menghadap Sibad lagi, memandang perempuan itu dengan tak enak—sesuatu yang ditakutkan Wendy pun terjadi, begitu pikir Gilang. Dari sekian banyak ruang, pantry adalah benteng pertahanannya. Sanctum sanctorum baginya. Kuil suci yang benar-benar dijaganya. Dan rasanya, menjelaskan soal pantry pada orang yang suatu saat akan merebutnya dari dirinya itu menyakitkan.
"Ini pantry. Enggak istimewa, sih. Biasa aja gini." Dan Ayu kemudian menjelaskan minuman dan makanan kesukaan tiap-tiap petugas yang harus diketahui Sibad, tentunya dengan nada ketus. Yang membuat Sibad bersedih adalah beberapa makanan dan minuman yang tidak bisa dibuat di pantry dibeli dengan uang sendiri. Yang itu artinya, beberapa kali makanan dan minuman yang diinginkan para pasukin dibeli dengan uang Ayu atau uang pribadi pasukin. Gilang sendiri menjelaskan secara pelan ke Sibad kalau memang Komandan Andre pelit sekali.
Tidak lama, Surya datang untuk membuat teh dan disambut dengan ramah oleh Sibad. Itu biasa saja sebenarnya, tetapi membuat Ayu memandang sinis pada keduanya. Dia merasa Sibad sengaja mencari perhatian dengan Surya. Masalahnya, perempuan itu sudah tahu juga kalau mereka ada kedekatan khusus (bahkan tadi di UKS sempat ditanya juga, kan?).
Gilang tahu itu, tetapi dia tidak dapat mencegahnya. Untung Ayu tidak melakukan perbuatan yang aneh-aneh selain mencibir pelan. Hanya saja, cibiran itu makin jelas terdengar saat Sibad tidak becus membuat teh. Airnya terlalu sedikit dan gulanya tidak diaduk.
Meski demikian, Surya memaafkan Sibad karena tahu dia baru saja magang. Dan itu karena dia juga baru saja diplonco oleh Andhika dan Wendi. Surya sendiri merasa cibiran Ayu itu tidak lebih baik dari perundungan yang dilakukan kedua seniornya itu jadi pria berambut hitam nan tebal itu menegur Ayu. Yang tidak diketahui Surya, Ayu bersikap demikian juga karena sikap pria itu pada Sibad.
Ini menjengkelkan, sungguh. Tidak cukup Sibad mengganggu sumur tempatnya menimba air untuk minum, kini dia juga membuat suhu di pantry kian memanas. Entah itu sungguhan panas karena Ayu tidak mengucir rambutnya, atau hatinya memang mulai terbakar melihat Surya yang malah memaklumi kesalahan Sibad. Bahkan dia juga ditegur Surya karena ketus dengan Sibad.
"Bu Ayu, jangan," saran Gilang saat Ayu masih ingin membalas teguran Surya. Pria bertubuh besar itu takut Ayu melakukan sesuatu di luar batas, tetapi dia sendiri tidak yakin jika Ayu mengerti maksud ucapannya. Untunglah, perempuan itu diam dan mengajak Sibad ke ruangan lain. Hanya saja, Surya masih merasa ada yang tidak beres.