Rainy Rusadi
Semenjak aku tak melihat keberadaan Hyungsik. Aku benar-benar sangat terpukul. Aku kasihan melihat pria itu berjalan terseok-seok mencoba melawan monster itu. Hingga sekarang keberadaan Hyungsik tidak tertangkap oleh indera penglihatanku. Hyungsik sudah menjauh dari kantor polisi ini. Sepertinya dia mencari tempat yang aman untuk bersembunyi. Aku mengkhawatirkan dirinya. Perlahan bulir air mataku menetes.
Bukan berarti aku tak bisa bertahan di tempat ini sendirian, tetapi aku takut terjadi sesuatu pada dirinya. Tampaknya aku sudah mulai memperhatikannya. Perlahan kuusap air mataku, aku harus keluar dari tempat ini dan menyusul Hyungsik. Aku tak bisa membiarkan pria itu bertahan sendirian dengan keadaan stres karena tak mendengar berita tentang teman-teman sesama anggota SFoC.
Aku berdiri dan kembali mengecek handle pintu yang terkunci dengan sebuah alat yang sepertinya terhubung dengan sistem keamanan kantor polisi. Di layar kecil handle pintu itu tertulis Locked Automtically. Lalu aku mencoba menekan-nekan layar handle pintu secara asal dan di layar itu tertulislah.
Please check On security system.
"Sial!"
Aku mengumpat kesal dan menendang pintu. Artinya aku harus mengelilingi kantor ini untuk membuka pintu otomatis ini. Kurasa sistem keamanan pintu ini dibuat sedemikian rupa sehingga tidak sembarangan orang bisa masuk atau keluar dari tempat ini.
Akhirnya, aku mencoba untuk mengamati sekeliling ruangan lobi kantor polisi yang cukup luas. Ruangan ini didesain ala-ala Eropa dengan memuat ornamen dan patung sebagai hiasannya. Ornamen diletakakan di bagian atas dinding. Lalu, ada beberapa patung manusia estetik yang berdiri kokoh di dalam ruangan ini. Yang pertama patung yang berada di tengah-tengah ruangan ini berbentuk wanita dengan kain yang menutupi tubuhnya dengan pose membawa gentong tanah liat. Seperti sedang menuang air. Di balik patung ini ada meja komputer tempat staf polisi bekerja. Lalu patung lainnya hanya berbentuk kepala pria Yunani ada di sudut ruangan, di sebelah kanan dan kiri.
Kepalaku mendongak ke atas melihat balkon lantai dua. Di penjuru ruangan ini tidak ada tangga menuju lantai dua, mungkin melewati ruangan lain. Karena kulihat di sisi kiri dan kanan lobi masing-masing ada dua pintu, yang kuduga terkunci. Aku harus mencari akal untuk keluar dari ruangan yang diamankan ini. Nanti akan kucoba keluar melalui saluran air, saluran udara, atau mungkin aku akan keluar melewati jalan lainnya. Semua akan kulakukan jika aku tidak berhasil membuka pintu yang diamankam sistem.
Aku bergerak mendekati komputer yang berada di belakang patung. Beruntung komputer itu menyala padahal tidak ada orang atau Zombie di sekitar lobi kantor polisi ini. Mungkin seseorang sengaja membersihkan tempat ini untuk berlindung. Sebelum mencoba mengoperasikan komputer untuk mengecek keamanan pintu, kulihat beberapa peralatan penting di atas meja. Ada beberapa alat tulis, memo-memo untuk petugas, beberapa CD, dan pada akhirnya perhatianku jatuh pada kertas berukuran A4 di sebelah monitor komputer.
Sambil duduk, kertas yang diketik dengan tulisan arial berbahasa Inggris itu akhirnya berhasil kubaca. Kira-kira seperti ini isinya.
AO540
Sebuah senjata biologis yang diciptakan oleh Hell coorporation sebagai saingan pihak Haeven Coorporation. A0540 memiliki ciri khas bertubuh 2,5 meter, berperawakan besar, berkepala botak. Tangan kirinya memiliki tentakel untuk mengangkat lawan dan mengempaskan lawan dengan diam-diam. A0540 dikenal sebagai Inisible Man, karena wujudnya yang tak terlihat karena proses pemrograman yang membuatnya tidak terlihat.
Meski tidak terlihat, wujud dari Inviseble Man tetap ada. Dia tetap saja mengalami kesakitan layaknya user lainnya. Inviseble Man adalah kecerdasan AI yang diprogram diam-diam sebagai penyusup yang tujuannya adalah membunuh semua pasukan spesial, petugas keamanan, dan semua pengguna yang ada di virtual city. Tujuannya utamanya hanya satu, yaitu memusnahkan semuanya agar virtual city menjadi rusak dan penuh zombie. Pada akhirnya, virtual city akan rusak dan dipenuhi virus dan mimpi buruk pengguna. Langkah berikutnya, virtal city akan berganti image menjadi game mataverse survival horor.
Jenis AO540 tidak hanya Invicible Man, tetapi memiliki jenis lain yaitu A0540-1. Sebuah copy dari A0540 memiliki ciri yang sama, hanya saja jenis ini bisa dilihat dengan mata telanjang. A0540-1 diberi sebutan Big Guy yang disebar di lima titik distrik kota yang masing-masingnya menguasai lokasi keamanan seperti kantor polisi, pemadam kebakaran, dan pos kemanan lainnya.
Membaca kertas ini jantungku mendadak berdegup lebih cepat. Keringat mengucur dari pelipisku, wajahku pun basah. Sepertinya copy dari Invicible Man ada di kantor polisi ini. Pantas saja semua Sistem kemananan menjadi aktivf Tanganku beralih ke mouse komputer namun mendadak kepalaku seperti disentuh oleh benda keras.
Klik
Kudengar bunyi pelatuk senjata yang sepertinya siap menembus kepalaku. Tanpa berpikir panjang aku mengangkat tanganku. Sepertinya salah satu polisi melihat aksi ingin tahuku. Syukur saja manusia atau AI, bukan zombie.
"Kau siapa? Apa yang kau lakukan di tempat ini?" tanya sebuah suara yang kuyakini adalah wanita.
"Aku Rain, aku seorang Guest," ucapku tergagap.
"Perlihatkan wajahmu!" ucapnya tegas.
Aku berdiri membalikkan tubuhku untuk memperlihatkan wajahku padanya. Sesaat setelah membalikkan tubuh, aku melihat seorang wanita berpakaiam hitam, persis pakaian yang dikenakan Hyungsik lengkap dengan helm hitam di kepalanya. Sepertinya wanita ini adalah salah satu anggota SFoC sama seperti Hyungsik.
Masih dengan menodongkan senjata machine gun, wanita itu mulai mengintrogasiku. "Apa yang kau lakukan di tempat ini?" ucapnya ingin tahu.
"Aku, aku terkurung di sini. Aku hanya ingin keluar dari tempat ini. Tadi aku mencoba memeriksa komputer siapa tahu aku bisa membuka pintu. Sebab temanku berada di luar.
"Aku yang mengamankan tempat ini, di luar terlalu berbahaya. Aku sendiri heran, bagaimana bisa gadis tanpa senjata sepertimu bisa bertahan hidup hingga sampai di sini?"
"Aku, tadinya aku tidak sendiri. Aku bersama salah satu pasukan SFoC, hanya saja setelah ada Invicible Man. Kami terpisah," ceritaku.
"Siapa yang bersamamu? Apakah Hyungsik?" tebaknya.
Aku mengangguk pasti. Wanita ini sepertinya tahu posisi rekan-rekannya. Sepertinya pasukan SFoC juga terpisah-pisah. Entah bagaimana tebakannya benar.
"Bagaimana bisa tebakanmu benar, Nona?" tanyaku gugup.
"Tadi kami sempat terpisah. Hyungsik berada di distrik yang cukup ramai diduduki user," ucapnya serius.
"Oh begitu," jawabku.
Aku berkeinginan, meminjam helmnya atau memintanya menelepon Hyungsik dari helm itu. Setidaknya aku lega jika mengetahui keadaan Hyungsik. "Bolehkah aku meminjam helmmu sebentar, Nona? Atau setidaknya teleponlah Hyungsik sebentar. Sebab, aku mengkhawatirkan dirinya," ucapku gugup. Sebenarnya aku juga takut dengan wanita ini meski dia berada di kubu yang sama dengan Hyungsik.
"Ha ha ha ha, kenapa? Kau merindukannya? Kau menyukainya karena dia mirip Idol K-Pop idolamu?" tukasnya dengan nada jahil.
"Bukan begitu, Nona. Tadi dia sempat melawan Invicible Man. Lalu aku tak tahu lagi kondisinya," jawabku,
"Hei, gadis naif. Di tempat seperti ini kau tak perlu mengkhawatirkan orang lain. Untuk melindungi diri saja belum tentu bisa!" desisnya meremehkan.
"Selagi aku bisa membantu orang lain mengapa tidak? Aku manusia, aku punya sisi kemanusiaan. Mohon maaf, saya bukan seperti AI seperti dirimu yang hanya diprogram untuk tujuan tertentu," semprotku.
"Ha ha ha, kau katakan saja. Kau jatuh cinta padanya!"
Aku membalas dengan tertawa getir. "Bagaimana mungkin aku mencintai pria AI!"
"AI? Hei, kami pasukan SFoC bukan AI. Kami manusia seperti dirimu. Kami ini berada di level Worker. Kami kerja di sini, bukan main-main seperti dirimu!"
Mataku melotot, tenggorokanku tercekat. Dari pengakuan wanita berhelm ini aku baru tahu kalau Hyungsik adalah manusia. Dia adalah seorang pria. Pengakuannya justru membuatku ingin cepat-cepat bertemu Hyungsik. Aku tak ingin sesuatu terjadi padanya, atau lebih tepatnya memang benar aku merindukannya.
"Tolong, pinjami aku helmmu sebentar saja," mohonku.
Wanita itu tertawa meremehkan. "Kau bilang, tujuan utamamu adalah keluar dari tempat ini, menemui Kim Hyungsik. Kau kuzinkan keluar dari lobi. Setelahnya pikirkan sendiri kau akan keluar dari mana."
"Sebelum aku keluar, pinjami aku sebentar," ucapku memohon.
"Ck! Minggir" Wanita itu berdecak seraya berjalan mendekati komputer. Beberapa kali klik dia berhasil membuka pintu sisi kanan lobi dan beberapa pintu ruangan lainnya yang nantinya akan dilewati dari sisi kanan lobi.
"Aku sudah membuka pintu kanan. Kau masuk saja dari sana. Nanti kau akan bertemu dengan mayat Carter. Kau bisa ambil helmnya, lalu kau bisa menghubungi kekasihmu itu!" terangnya.
"Jika kau membuka pintu, tolong buka saja pintu utama. Aku akan keluar dan melindungi diriku dengan caraku sendiri," ucapku.
"Hei, pintu utama tak bisa dibuka. Sebab terkoneksi langsung dengan sistem utama yang ada di lantai tiga. Dari pada kau buang-buang waktu membuka pintu utama lebih baik kau ke sayap kanan. Lurus saja maka kamu akan melihat kafetaria, dari sana kau bisa keluar dengan melalui saluran pembuangan yang nantinya kau akan terhubung ke jalan. Tapi sebelumnya, sebaiknya kau hubungi dulu Kim dari helm Carter. Sebab, belum tentu kekasihmu itu selamat," terang wanita itu.
"Jaga ucapanmu, Nona!" protesku.
"Di sini siapa yang bisa bertahan? Kau saja yang membuang-buang waktu mencarinya," ucapnya.
Aku menyipitkan mataku menatapnya sinis. Aku meragukan dirinya. Dia tampak tidak bersahabat, bahkan tidak peduli dengan Hyungsik. Boleh jadi kita terhimpit keadaan dengan nyawa sebagai taruhan, tetapi masa sedikitpun dia tidak menkhawatirkan rekannya.
"Tunggu apa lagi! Cepat keluar!" bentaknya dengan mengarahkan ujung machine gun-nya ke arahku.
Aku melangkahkan kakiku menuju pintu yang dia buka dengan sistem komputer. Perlahan aku membuka handle pintu dan memasuki ruangan berwarna serba hijau. Kulihat di sana ada beberapa kursi tunggu. Ruangan ini sepertinya adalah ruang pelayanan publik. Dengan langkah pelan aku berhati-hati berjalan agar tidak mengundang kerumunan zombie.
Setelah menyusuri ruangan yang tidak terlalu luas, aku membuka pintu dan memasuki ruangan yang sepertinya adalah ruangan pertemuan. Di ruangan itu, meja disusun melingkar diiringi kursi yang susunannya mengikuti meja. Di tengah ruangan ada empat buah kursi dan meja utama yang menghadap ke kursi melingkar. Mataku menangkap tubuh yang tergeletak kaku. Tubuh yang berpakaian sama dengan Hyungsik. Sepertinya ini adalah Carter yang dimaksud wanita tadi.
Aku mendekat, dan mencoba pelan-pelan mencolek tubuh Carter. Aku takut pria itu berubah menjadi zombie. Setelah tidak ada respon kucolek berkali-kali, aku mencoba membuka helmnya. Akhirnya helm itu terbuka. Wajah Carter terlihat jelas, dia seperti pria Amerika kebanyakan, berkulit putih, berhidung mancung, dan berambut pirang. Dia sudah mati dengan misterius, tanpa ada gigitan zombie.
Masih dengan gerakan pelan, aku memakai helm itu dan mencoba menghubungi Hyungsik. Kulihat kaca helm berubah menjadi berwarna hitam dengan tulisan di pinggirnya berwarna merah. Terus berusaha menekan-nekan fitur di bagian kanan helm, aku mencari keberadaan Hyungsik dengan mengubah frekuensi. Namun tiba-tiba dengan di layar tertulis low battery, need recharge.
"Ah, sial!" umpatku.
Aku membuka helm dan mencari-cari lubang colokan untuk mengecas helm canggih itu. Baru-baru kulihat, ternyata hanya menggunakan colokan seperti ponsel biasa. Segera helm itu kutenteng kembali ke ruangan pelayanan publik yang kulewati tadi. Namun, sesaat aku akan keluar ruangan rapat, mendadak getaram kuat seperti ada menghentak-hentak tanah.
Dum! Dum! Dum!
Kurasakan getaran itu makin mendekat. Aku makin ketakutakan dan tidak jadi keluar. Aku berlari pelan bersembunyi di bawah meja tempat Carter terbaring. Kudengar langkah berat itu membuka pintu dan berhenti di depan pintu. Sepertinya dia melihat situasi. Tidak tahan, akhirnya aku mengintip dari sisi meja. Benar saja, pria yang diceritakan di kertas A4 yang ada di meja komputer tadi ternyata ada di sini. Pria berperawakan tinggi besar, yang tugasnya adalah membunuh semua yang dia lihat. Sudah pasti akan menghambat langkahku untuk keluar dari tempat ini.
Kupergunakan indera pendengaranku dengan sebaik-baiknya untuk mengira-ngira langkah Big Guy atau pria besar itu. Kembali dia menghentakkan kakiknya dan sepertinya dia mengarah ke ruangan pelayanan publikasi. Sial, padahal aku berniat mencari pengecas helm ini di sana.
Aku mencoba berlari tanpa mengeluarkan suara keluar dari ruangan rapat dan mengarah ke kiri. Mengarah ke kafetaria dan memasukinya. Kulihat banyak sekali mayat tergeletak di sini. Antara mayat dan zombie aku tak bisa membedakan. Aku memilih jalan aman, yaitu mengedap-ngedap memasuki dapur. Segera kuberlari mencari pisau untuk berjaga-jaga, dan aku mendapatkan beberapa buah, lalu kukantongi. Selanjutnya, aku mencari-cari merica di kitchen set. Siapa tahu berguna di saat aku terdesak. Bubuk merica berhasil kudapatkan dan kukantongi di celana denim yang kukenakan. Bubuk merica ini biasanya berguna untuk mengusir setan dalam sebuah game horor. Namun, aku tak tahu seberapa efektif jika digunakan untuk saat terdesak.
Aku menginat kembali ucapan wanita SfoC tadi, katanya di sini ada saluran pembuangan sampah dapur. Aku mencoba mencarinya di sisi-sisi kitchen set. Kubuka semua pintu kitchen set bagian bawah, tetapi aku tak menemukan apa-apa. Aku tidak terbiasa dengan dapur bergaya luar negeri seperti ini. Memang setahuku ada saluran pembuangan sampah rumah tangga yang langsung menuju sampah di luar rumah atau bangunan.
Setelah mencoba mengecek di bagian bawah kitchen set, aku mebali menngecek semua sisi dinding dapur. Setidaknya aku menemukan laci atau lubang yang menunjukkan pembuangan sampah besar yang memuatku nantinya.
Dum!
Indera pendengaranku kembali menangkap seseorang tengah membanting pintu. Sepertinya Big Guy mendengar pergerakanku di dapur ini. Terlambat, dia sudah mengetahui keberadaanku. Irama musik horor seperti telah mulai, seiring pergerakan makhluk itu saat mendekat ke dapur. Aku berdebar, aku mencoba mencari-cari saluran pembuangan sampah itu.
Brak! Brak! Brak!
Big Guy mengempaskan seluruh meja dan kursi kafetaria. Dia seperti bersemangat akan mengakhiri hidupku di tempat ini. Aku pasrah saja, aku tidak membawa senjata di sini. Namun perlahan mataku menangkap sebuah area di dinding dapur dengan warna yang agak berbeda dengan warna lainnya. Kurasa itu pembuangan sampahnya. Aku mencoba-coba memukul-mukul dinding di area itu, tetapi tak berhasil. Big Guy justru menarik tubuhku.
"Hiyaaaaa!" pekikku.
Aku meronta-ronta karena sesak napas, dia mengangkat tubuhku dengan memegang leherku hanya dengan satu tangannya. Monster berperawakan seperti manusia itu meninggikan tubuhku dan mengempaskan tubuhku hingga menghantam dinding.
Aku terhempas dan kembali merasakan sakit pinggang. Monster itu tidak kira-kira melempar tubuhku ke arah ruang makan. Rasanya sakit semua, aku tak bisa melanjutkan perjalanan ini, mungkin aku berakhir di sini, di tangannya, dengan leher yang tercekik seperti tadi.
Big Guy berjalan pelan langkah demi langkah untuk mengeksekusi nyawaku. Aku harus rela berakhir mati, mudah-mudahan aku terbangun di dunia nyata. Meski pasrah pada nasib, otakku tetap berpikir bagaimana melawannya dengan pisau? Tidak, dia terlalu kuat. Kembali aku teringat merica yang ada di kantong celanaku. Sembari dia berjalan mendekat hendak meraih leherku. Tanganku membuka tutup botol merica hanya dengan memutar sedikit. Botol merica ini memiliki lubang untuk menaburi, kubuka dan langsung kuarahkan ke matanya.
Sekuat tenaga aku menahan napas dalam butiran merica yang mengenai matanya. Hidungku terasa gatal dan ingin bersin. Big Guy sibuk memegangi matanya yang pedas karena merica. Kesempatan bagiku untuk kabur darinya. Aku berlari sekuat tenaga kembali ke dapur dan mencoba mendobrak area yang kuduga adalah lubang saluran pembuangan.
Aku menendang-nendang area itu. Saat aku menendang bagian bawah yang rata dengan lantai kulihat dinding itu terbuka bagian bawahnya dan menunjukkan ada ruangan di dalamnya. Tanpa berpikir panjang aku mengambil helm Carter yang tergeletak di lantai dapur dan bergegas memasuki lubang itu yang kebetulan tubuhku muat memasukinya. Aku berseluncur dalam gelap hingga aku terjun ke sebuah bak sampah. Bak sampah seukuran bak truk 120 PS.
Aku mendongak, aku berhasil keluar dari kantor polisi. Helm carter masih setia kutenteng. Tujuanku selanjutnya adalah mencari carger ponsel untuk mengecas helm Carter dan mencari keberadaan Hyungsik. Masih di atas bak sampah yang tak banyak sampah di dalamnya mataku mengintari area di samping kantor polisi. Aku berniat mencari permukiman atau sebuah mess polisi yang mungkin saja ada pengecas ponsel di dalamnya.
Aku hanya heran, meski di dunia metaverse tetap saja sama seperti kehidupan di dunia nyata. Bahkan semua peralatan juga ada masa aktifnya hingga harus mencari pengecas. Aku hanya menggeleng, sepertinya kita di sini bukan sekedar enak-enakan liburan dengan fasilitas serba ajaib.
Di seberang jalan kantor polisi, pandanganku menagkap sebuah hotel. Hotel ini sepertinya dikhususkan untuk pengguna yang ingin menginap. Di dunia metaverse ini, sekali lagi aku jelaskan, kita tidak bisa tidur sembarangan. Kita harus tidur di tempat yang disediakan, jika ingin nyaman silakan menginap di hotel, tentu harus mengeluarkan uang beberapa dollar.
Di situasi serba hancur seperti ini, kurasa hotel itu tidak terkunci dan memasang tarif. Bahkan mungkin di dalam hotel itu banyak zombie yang siap menghambat langkahku. Tetapi tetap aku harus mencari pengecas ponsel di sana.
Keterangan :
Untuk yang bahasa inggris mohon maaf saya belum sempat menerjemahkan. Bahasa Inggrisnya gak susah kok. Masih standar.
AI : Artificial Inteligence. AI ini artinya kecerdasan buatan. Contoh sederhananya dalam video game ada karakter yang dijalankan program komputer, nah itu AI. Nantinya teman-teman bakalan ketemu AI sepanjang cerita.