Rasanya ini masih terlalu pagi jika untuk berangkat ke sekolah, namun Fano tak memperdulikannya terbukti dengan jam yang baru menunjukkan pukul 06.10 pagi ia sudah berjalan di koridor yang akan membawanya ke kelas.
Sebenarnya ia berangkat sepagi ini penyebabnya adalah kesal karena orang tuanya yang belum pulang sampai sekarang, berjanji hanya menginap tiga hari tapi sekarang sudah seminggu belum juga kembali. Jadi daripada mood paginya benar-benar buruk Fano memutuskan untuk tidak berlama-lama di rumah yang sepi itu. Ia juga sedikit merasa bingung karena tidak biasanya seperti ini, bahkan dirinya pun sempat ditinggalkan sebulan penuh karena urusan pekerjaan tapi tidak sampai sekesal seperti sekarang.
Langkahnya memelan ketika kelas yang hampir dua minggu ke belakang ditempatinya sudah dekat, sejenak menatap pintu yang masih tertutup lalu membukanya secara perlahan menampilkan kursi-kursi yang tersusun rapi. Dengan santai ia berjalan mendekati bangkunya, menyimpan tas dilanjutkan dengan duduk.
Mata Fano mulai menjelajahi ruangan kelas, ia mengangguk-anggukan kepalanya ketika baru menyadari ruangan ini cukup membuatnya berdecak kagum. Pikiran Fano tiba-tiba terlintas pada teman sebangkunya yang tak lain adalah Andra, ia menoleh pada kursi kosong di sebelahnya dan tanpa sadar tersenyum kecil.
Sudah hampir satu bulan setengah ia berusaha mendekati pemuda itu agar menjadi temannya namun terkadang masih penolakan yang ia dapat. Lalu tanpa permisi ingatan di kepalanya membawa ia pada hal-hal yang telah dilewati selama dua minggu ke belakang berawal dari ia dipindah kelas sampai akhirnya satu bangku dengan pemuda yang menurut Fano misterius itu.
Meski sudah sekelas dan duduk sebangku ternyata itu sama sekali tidak mempengaruhi pendirian Andra yang masih menganggap Fano seolah orang asing yang tak ada di sampingnya padahal sosok itu selalu mengikuti ke mana pun, bahkan membantu untuk melepaskan diri dari Aren yang tambah berani merecoki Andra.
Fano tersadar dari lamunan panjangnya saat kelas mulai bising karena sudah banyak murid yang berdatangan, ia menghela napas panjang tak habis pikir dengan apa yang ada di otaknya.
Detik berikutnya atensi Fano teralih pada pintu masuk yang menampilkan seorang pemuda yang memakai hoodie berwarna hitam mulai berjalan ke arahnya, kening Fano berkerut dengan mata yang menyipit pula. Ia berdiri ketika orang itu sudah berada tepat di dekatnya.
Tangan Fano terulur ke wajah pemuda itu yang langsung ditepis oleh sang empu.
Orang itu yang tak lain adalah Andra menatap Fano tajam, tak suka dengan perlakuan seenaknya itu.
"Pipi lo kenapa biru?" Fano bertanya tanpa peduli dengan ekspresi yang Andra tunjukkan.
"Ini musim panas dan bahkan seragam sekolah ini lengan panjang, kenapa lo pake jaket?"
Lagi-lagi Fano mengajukan pertanyaan yang membuat Andra semakin jengah karena menurutnya orang ini terlalu ikut campur.
"Andra, jawab gue!"
Andra yang memang sudah mendudukan tubuhnya pada kursi kini mendongak menatap Fano yang masih berdiri dengan mata yang tak lepas dari matanya. Ia mengedarkan pandangannya ke seisi kelas dan mendengkus kesal saat beberapa teman sekelasnya menatap ke arah mereka karena ucapan Fano yang cukup keras.
Kembali matanya bersitatap dengan Fano. "Bukan. Urusan. Lo!" ucap Andra seraya berdiri berniat meninggalkan tempat ini. Belum sempat ia melangkah tangannya sudah dicekal oleh Fano.
Andra sedikit meringis ketika yang Fano pegang adalah tangan yang ia sayat. Rasanya cukup perih padahal sudah diperban, ia berbalik menatap sosok itu. Merubah tatapan mata yang tadinya tajam menjadi sorot mata memohon minta dilepaskan.
Fano tertegun, ia tau sadar sudah terlalu melewati batas. "Sorry," ucapnya dan dengan pelan melepaskan lengan Andra membiarkan pemuda itu berjalan keluar kelas. Entah kemana sosoknya akan pergi namun Fano yakin salah satu tempat yang pasti dikunjunginya adalah rooftop.
Sepeninggalan Andra ia mengedarkan pandangannya ke setiap sudut kelas, membuat siswa-siswi yang sedari tadi menatapnya kini kembali sibuk dengan aktivitas masing-masing seolah tak terjadi apa-apa.
Fano terduduk di kursinya dengan tangan yang mengusap wajah kasar. Dia sudah gila, pikirnya.
Masih ada beberapa menit untuk bel masuk berbunyi tapi Andra belum juga kembali ke kelas membuat Fano sedikit khawatir namun ia juga tak ingin membuat pemuda itu semakin marah karena mengikutinya, entah karena apa ia sepeduli ini pada sosok itu. Fano hanya berpikir Andra bisa menerimanya sebagai teman setelah beberapa kali ia menolongnya tapi ternyata dugaannya meleset jauh.
"Shit!" gumam Fano kesal.
°°°°°°°
Bulan menghentikan langkahnya ketika sebuah motor berhenti di dekatnya, ia menatap bingung pada si pengendara karena tidak mengenali motor itu. Ini bukan motor Andra ataupun Adhit.
Sesaat orang itu membuka helm membuat Bulan tersenyum ketika mengetahui sosoknya.
"Kok jalan? Mau ke mana?"
Orang itu bertanya dengan mata yang memperhatikan Bulan dari kepala ke ujung kaki dan sebaliknya, membuat Bulan sedikit merasa aneh. Apa ada yang salah dengan penampilannya?
"Lo baru pulang sekolah?"
Bulan tersadar saat sosok itu kembali bersuara. Ia mengangguk kecil. "Iya, Kak Fano baru pulang juga?"
Si pengendara yang ternyata adalah Fano juga menganggukan kepalanya ketika mendapatkan pertanyaan yang sama.
"Kok jalan kaki? Mau gue anter?"
Mendengar itu Bulan menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Aaa gak papa kok, Kak, gue jalan aja."
Fano menatap gadis itu aneh. "Gimana kalau gue teraktir makan? Itung-itung perkenalan soalnya pas pertama kita ketemu gak terlalu banyak ngobrol."
Lagi-lagi Bulan dibuat bingung harus menjawab apa.
"Diam berarti iya," putus Fano seenaknya dan terdengar seperti tidak menerima penolakan.
Bulan melongo. "Ha?"
"Ayo." Dengan posisi tetap duduk di motor Fano menarik tangan Bulan untuk lebih mendekat ke motornya yang membuat Bulan mendengus kesal tak terima.
"Kok maksa?"
Fano yang sudah siap dengan motornya menoleh. "Cepet, gue laper."
Dengan bibir yang mengerucut akhirnya gadis itu naik ke boncengan membuat Fano tersenyum di balik helmnya.
"Pegangan."
Kembali Bulan menurut meski dengan perasaan dongkol, dan setelah dirasa aman Fano melajukan motor sportnya membelah jalanan kota.
Membutuhkan waktu sekitar sepuluh menit untuk mereka sampai di kafe khas anak muda ini.
Bulan turun dari boncengan dengan mata yang terus melihat ke sekitar.
"Gak papa, kan, makan di sini?"
Bulan menoleh saat suara Fano menyapa pendengarannya, ia tersenyum kikuk merasa tak enak. "Gue suka, ini tempatnya bagus."
Fano menyunggingkan senyumnya. "Syukur, deh, kalau lo suka. Yuk, masuk."
Tanpa menunggu ajakan dua kali Bulan mengikuti sosok jangkung itu. Kini keduanya sudah duduk di dekat jendela yang langsung menghadap ke parkiran.
Keadaan di kafe ini cukup ramai dengan anak-anak SMA yang baru pulang sekolah sama seperti mereka.
"Lo mau makan apa?" Fano bersuara ketika perempuan di depannya hanya terus melihat ke setiap sudut kafe.
"Mmm ... samain aja kayak lo."
Fano mengangguk lalu memanggil waiter dengan gerakan tangan.
"Kalau begitu mohon tunggu sebentar," ucap si waiter ketika Fano sudah menyebutkan pesanannya.
Fano mengangguk sebagai jawaban. Setelah waiter itu pergi ia beralih menatap Bulan yang kini tengah sibuk mengetuk-ngetuk meja.
"Kenapa waktu itu lo nangis?"
Bulan tersadar, tatapan keduanya bertemu. Ia cukup pintar untuk mengetahui arah pembicaraan Fano. "Hanya karena sesuatu yang kecil."
"Lo udah lama kenal sama Andra?"
Cukup lama gadis itu terdiam. "Kakak sendiri?"
Fano terkekeh dibuatnya, ternyata gadis ini tak ada bedanya dengan sosok Andra yang suka bertanya balik alih-alih menjawab pertanyaan.
"Mmm ... kalau gue bilang baru satu bulan ini, lo percaya?"
Bulan memiringkan kepalanya seolah berpikir. "Percaya aja, kenapa nggak?"
"Jadi, Lo udah lama kenal Andra?"
"Baru dua bulan ke belakang."
Kini Fano menatap seolah tak percaya pada orang di depannya, baru dua bulan dan Andra sudah sepeduli itu pada gadis ini.
"Lo gak bohong?"
"Kena-"
Ucapan Bulan terhenti ketika waiter yang sebelumnya kini kembali dengan membawa pesanan.
"Jadi?" tanya Fano setelahnya.
"Kak Fano tadi bilang laper, ayo makan."
Mendengar itu membuat Fano berdecak kesal namun ia pun tak bisa membohongi rasa keroncongan yang sedari tadi mengganggunya dan akhirnya ia memilih makan terlebih dahulu.
Sekitar tiga menit dilewati dengan keheningan, Bulan mulai bersuara melanjutkan pembahasan mereka yang terhenti.
"Gue baru kenal Andra dua bulan lalu dan kita ketemu secara gak sengaja."
"Maksud lo?"
"Mmm ... entahlah, saat itu gue nolongin dia yang lagi luka-luka di dekat gang sekolah gue."
Fano menghentikan suapannya namun tak mengucapkan apa-apa.
"Sebelumnya dia nolak kehadiran gue, bahkan gak segan-segan bicara kasar, mood Andra naik-turun." Bulan bercerita dengan tatapan mata yang lurus ke depan.
"Sampai akhirnya dia nemuin gue di danau yang waktu itu dengan keadaan nangis karena di rumah orang tua gue berantem hebat. Mulai saat itu dia ngerubah sikapnya ke gue."
Fano tetap diam dengan matanya tak lepas dari Bulan barang sedikit pun. "Lo tau dia suka luka-luka?" tanyanya hati-hati.
"Heum, selama dua bulan ini gue udah empat kali liat Andra luka, tapi gak tau alasannya kenapa karena dia selalu ngehindar saat gue tanya."
"Lo tau sesuatu tentang keluarganya?"
Bulan menggeleng pelan. "Dia gak pernah nyeritain apa-apa soal dirinya."
"Lo sayang sama Andra?"
Bulan yang sedari tadi menatap kosong kini memfokuskan perhatiannya. "Ya, dia segalanya buat gue."
"Kak Fano sendiri, kayaknya peduli banget sama Andra. Kenapa?"
Mendengar itu membuat Fano mendesah pelan. "Entahlah, gue hanya ngerasa dia butuh perlindungan."
°°°°°°°
Dengan langkah gontai Fano menjatuhkan tubuhnya di ranjang, berkali-kali ia mengehela napas panjang setelah obrolannya dengan Bulan di kafe tadi. Entah kenapa ia merasa harus mencari tahu sesuatu tentang kehidupan Andra.
Dengan gerakan pelan Fano merogoh saku celananya untuk mengambil handphone yang sedari tadi ia biarkan begitu saja.
Matanya menatap lamat ke arah layar yang menampilkan sebuah foto yang tadi sempat ia ambil pada jam pelajaran terakhir. Katakan dirinya lancang tapi sungguh, ia benar-benar tak sengaja melihat itu di buku Andra dan akhirnya ia berinisiatif untuk memotretnya.
Fano kembali menghembuskan napas berat ketika kepalanya mulai berdenyut.
"Aish, gue butuh mandi."
__________________