"Kamu pulang! Liat sendiri keadaan anak-anak kamu disini gimana! Jangan malah nyalah-nyalahin anak padahal kamu gak tau apa-apa!"
"Aku gak nyalahin mereka Mah, aku cuma heran, kok sampe segitunya ke Mas Budi? Tami juga malah jadi ikut-ikutan Tara."
"Ngikut-ngikut Tara gimana sih Rahmi?! Kamu nih bilang gak nyalahin mereka tapi kamu nyomong kayak tadi tuh kamu udah nyalahin mereka! Nyalahin Tara gara-gara Tami gak suka sama Budi. Tara tuh ditampar sama bapaknya sendiri kamu nih mikir gak?! Gimana Tami mau suka sama Budi, kalo dia malah nyakitin Tara? Tara nih perjuangannya buat Tami lebih banyak dari kamu! Kamu kok bisa-bisanya ngomong gak pake dipikir dulu?"
Rahmi diam di sebrang.
"Anak sampe ngomong gak mau lahir dari kalian, berarti kan kalian udah nyakitin anak. Gak usah nyalahin Budi yang emang udah salah. Kamu nih mikir, anak-anak kamu disini gimana. Pulang kamu! Mau sampe kapan disana? Hah? Mau sampe ibu kamu ini mati dulu baru kamu sadar inget pulang?! Iya?!"
"Aku kan belum bisa pulang Mah, gak ada yang jagain-"
"Itu terus alasan kamu ya?! Orangtua sendiri kamu tinggalin buat ngurusin orangtua lain. Gak usah pulang aja sekalian. Gak usah telpon-telpon Tara sama Tami lagi. Capek aku denger alasan kamu. Ninggalin anak bertahun-tahun bisa, pulang sebentar cuma buat liat kondisi anak-anak sendiri gak bisa."
"Mah-"
"Udah lah. Pokoknya jangan hubungin Tara sama Tami. Kamu tuh mikir, kamu masih punya tanggung jawab disini, anak-anak nih masih butuh orangtua. Kok tega ninggalin anak? Gak paham lagi aku."
Telponnya benar dimatikan, menyimpan kesal handphonenya di meja. Untung Murni hanya sendiri di rumah karena anak-anak sedang magang dan sekolah.
Mendengar cerita kejadian semalam tentang kedatamgan Budianto sampai kekerasan yang diterima Tara buat Murni kehilangan kesabaran. Ingin rasanya ia melaporkan kekerasan tersebut, kalau tidak ditahan Henri, sudah Murni lancarkan niatnya. Semua demi melindungi Utara dan Utami.
Tadi telpon dengan Rahmi, ia malah emosi karena Rahmi malah seperti menyalahi anak-anak yang menolak Budianto. Padahal gimana anak-anak mau menerima Budianto, kalau Budianto sendiri sudah menelantarkan mereka bertahun-tahun, mengambil semua hak Utara dan Utami, memilih dengan selingkuhan dan rumah tangga yang sekarang. Apalagi, karena Budianto pula Rahmi jadi TKW dan tidak pernah pulang.
Kok bisa Rahmi malah menyalahi Utara dan Utami, padahal ia sendiri tidak pernah tau apa yang terjadi di rumahnya ini.
Untuk Utara sendiri, ia benar-benar tidak mau membahas apapun tentang orangtuanya. Bahkan waktu Kafka tanya saja, Utara malah marah. Akhirnya diam, tidak melanjutkan. Kafka bisa tanya ke Henri. Entah ini kecewanya Utara sudah separah apa? Yang Kafka takutkan cuma Utara juga jadi membenci dirinya sendiri karena Utami juga sekarang segitu tidak maunya dengan Budianto dan Rahmi.
Utara antara sadar memang orangtuanya keterlaluan sampai buat Utami kecewa, tapi ada juga rasa bersalah karena Utara yang menjauhkan Utami dari Budianto, karena Utami juga melihat Utara sebenci itu dengan Budianto, pun Rahmi.
Tapi memang Utami tidak suka dengan perlakuan Budianto yang kasar pada Utara. Utami juga tidak suka respon Rahmi saat tau kejadian tempo hari. Lagi-lagi Utara disalahkan karena itu. Padahal bukan salah Utara. Ibunya yang tidak tau apa-apa dan malah menyalahi Utara, Utami kecewa dengan Rahmi.
"Terus, abis nenek kamu ngomong gitu, ibu kamu pulang?"
"Ya nggak lah Kak. Alesannya masih sama, belum bisa pulang. Coba bayangin, dari aku SD sampe aku sekarang SMA, alesannya masih sama."
Kelman diam sejenak, ia perhatikan Utami masih emosi. Kelman juga enggan menimpali yang nantinya malah bikin amarah Utami menjadi-jadi.
"Ibu malah bilang aku nih ketularan Kak Tara yang gak suka sama Bapak, terus jadi protes ke Ibu. Lah? Dikiranya aku masih sepuluh tahun yang gak bisa mikir kayak sekarang? Aku juga mikir kali."
"Iya."
"Kesel banget aku." Utami buang pandangannya ke luar, menumpukan tangan dan dagunya di jendela kamar. "Padahal Kak Tara dulu suka kerja tuh biar Ibu bisa pulang, terus mikir kayak, ya Ibu gak usah kerja jauh-jauh kesana kalo cuma buat uang, Kak Tara bisa kerja, tapi tetep aja gak mikir."
"Ibu kamu tau soal Kak Tara kerja itu?"
"Tau kok."
"Terus responnya?"
"Ya gitu, ya gitu lah. Males aku."
"Hmm.." Kelman mengangguk, pandangannya dipalingkan pada pintu kamar yang memang dibuka. Dari kasurnya, ia bisa langsung melihat ke arah tangga. Ada kakaknya baru pulang, entah habis kemana. Kalau menjemput Utara tidak mungkin, masih jam dua. "Mi, aku keluar dulu, Kak Jo pulang."
"Sama Kak Tara?"
"Sendiri." Kelman bangkit, langsung keluar kamar tanpa menunggu sahutan Utami lagi. Kakinya melangkah cepat, "Kak!" makin cepat karena Kafka hampir menutup pintu. "Ih jelek banget muka lo."
"Apa sih? Kalo kesini cuma buat cari ribut, mending lo turun, ribut sama Pa."
"Ngeri amat sama Pa." tadinya mau ketawa, cuma lihat wajah Kafka yang tidak enak ya diurungkan juga. "Kenapa sih? Soal kuliah? Ribut lagi lo sama Pa?"
"Nggak. Tapi iya. Tapi yang kali ini nggak."
"Terus?" jadi lo kesel kenapa buset, labil amat? "Lo kenapa?"
"Tau ah. Pusing. Lo kenapa ke kamar gue?"
Lagi, Kelman diam dulu. Benar juga ia refleks menghampiri Kafka.
"Joan!"
"Sensi amat sih lu." malah bikin makin kesal anak orang. "Ada Tami, lagi kesel juga kayak lo gini, kesel ke ibunya, terus gue gak tau harus gimana."
"Joan? Lo 18 tahun masih nanya begituan? Tami cewek lo!"
"Belum resmi."
"Bodo amat. Yang jelas ya, lo lebih kenal Tami dibanding gue. Jadi harusnya lo lebih paham lo harus apa."
"Iya, cuma gue takut gue salah ngomong gitu Kak."
"Intinya lo jangan malah bahas soal Ma, terus adu nasib. Lo dengerin aja Tami ngomong apa. Selama dia gak minta saran ya lo gak usah sok ngasih saran. Kadang orang cuma mau didenger aja."
"Oooh."
"Paham?"
"Paham. Terus-"
"Euugh! Apaan lagi si Joaan?! Lo nih bisa liat kan gue lagi emosi, bisa-bisa gue meledak!"
"Ya sorry. Mau tanya doang."
"Apa?!"
"Lo abis dari mana?"
"Abis dari kantor Pa, ribut sama kakaknya calon cewek lo!"
Mata Kelman sampai menutup kaget dan melotot karena Kafka menutup pintu semi membanting di depan Kelman. Kagetnya jadi double. Ya karena pintu, karena kata-kata Kafka juga. Soal yang ia ribut dengan Utara.
Kok tumben ribut? Kirain bucin gak bisa ribut.
"Joan? Joan..?"
Kakinya langsung berlari kecil mendekati railing tangga, melongok, melihat ibunya di bawah. "Iya Ma?"
"Utami mana?"
"Di kamar."
"Ayo makan puding."
"Oke. Aku panggil dulu."
"Jo?"
"Kak Jo tidur Ma." terpaksa harus bohong daripada kakanya makin kacau dan ibunya lihat Kafka yang kacau dan semua kacau, jadi ya... bohong saja deh.
Tapi benar, Kafka sendiri mengakui ia akan sulit mengontrol emosinya yang kali ini. Biasanya ribut dengan Utara berakhir saling diam, tapi tadi malah saling teriak. Dan Kafka tidak suka dengan kata-kata Utara yang seakan-akan kehidupan Kafka amat sempurna dan jauh lebih baik dari Utara. Meski Kafka tau Utara bisa bicara seperti itu iuga karena sedang kacau. Tidak benar-benar dari hati. Cuma ya Kafka tetap sakit hati.
Padahal ini kesempatan Kafka selagi belum kembali ke Jerman, ia mau puas-puasin berdua dengan Utara sebelum nanti dirundung rindu dan stress kuliah. Tapi malah dirundung masalah, yang datangnya justru dari orangtua Utara. Sebal. Maunya mengumpat, lagian kok ada orangtua macam itu?
Ya ada lah! Orangtua Utara itu buktinya!
Harusnya jangan orangtua Utara, orangtua siapa kek gitu, biar Kafka tidak perlu lihat Utara menderita begini. Utami juga, bahkan neneknya Utara yang sudah amat baik pada keluarga Böckler.
Semakin dipikirkan semakin bikin sakit kepala, makin tidak bisa lepas bayangan ribut-ribut di besmen tadi. Padahal habis makan siang bersama, ributnya juga tidak lama. Cuma kesalnya ini masih tidak reda juga. Pokoknya, yang paling Kafka ingat dari teriakan Utara tadi adalah:
"Ya lo enak, nyokap-bokap lo masih disini, lengkap, gak kurang perhatian segala macem. Lah gue? Keluarga gue ancur Kaf!"
Ya iya Kafka paham, gak perlu Utara teriak begitu juga Kafka sudah bisa melihat sendiri. Memang Utara ini sedang meluapkan emosi yang dipendamnya, seperti melampiaskan semua pada Kafka. Cuma ya tau sendiri Kafka sumbu pendek, mudah tersulut.
Handphonenya diambil dari tas selempang kecil. Membuka chat Utara yang padahal tidak ada chat apa-apa. Chat terakhir saja masih yang jam setengah 12 tadi saat mereka janjian makan.
Utara♡
RESEK
RESEK
RESEK BANGET
POKOKNYA LO RESEK
BALIK LO SONO SENDIRI
MALES
RESEK
???
GABUT LO BISA BALES CHAT GUE?!
HAH?????
MAMPUS!
MAKAN TUH GAJI BUTA
apalagi?
GOSAH SOK UDAH BAIKAN
GUE MASIH KESEL
GARA GARA LO TERIAKIN GUE
TAI LO
ok
gue balik naik ojol aja
OKE
Utara tidak balas lagi. Jusru tidak balas itu yang bikin Kafka makin tidak karuan. Sebenarnya Kafka juga ingin melampiaskan rasa kesalnya, tapi tidak punya wadah, rumahnya juga sedang marah, malah akhirnya ikut marah-marah, di chat pula. Tidak jelas.
Iya Kafka mengakui ia tidak jelas malah chat tantrum seperti anak balita. Habis kesal. Kesal sama Utara. Yang marahnya ke siapa tapi malah banding-bandingin hidup mereka. Iya! Iya! Kafka paham kenapa Utara begitu, cuma ya tetep aja sakit hatiiii~!
Sakit hati banget pokoknya!
Tapi tetap kalah sama tingkat kebucinan Kafka. Oh, bukan bucin, mungkin lebih ke tanggungjawab. Ia sudah janji akan jemput Utara tiap pulang kerja. Jadi hari ini pun Kafka tetap datang menjemput. Memang kemakan omongan sendiri.
Kesal sih kesal, tapi ngebucin tetap jalan.
Utara masuk, Kafka sama sekali tidak menyapa, mobil langsung melaju tanpa ada lirikan sedikitpun untuk Utara dari Kafka. Di jalan cuma diam-diam, menikmati macetnya Ibu Kota di jam pulang kerja. Padahal tidak ada nikmat-nikmatnya, mana mulai hujan. Makin saja lama di jalan.
"Mau makan dulu gak?"
"Terserah."
"Ya lo udah makan belom?"
"Belom."
"Mau makan apa?"
"Terserah."
Cuma bisa tarik napas, buang perlahan daripada naik pitam karena jawaban ketus Kafka dan makin memperburuk keadaan? Repot nanti. Utara cari aman saja, lagi pula ia lelah ribut terus, lelah juga terus-terusan terbawa amarah. Apalagi sampai melampiaskan semuanya pada Kafka. Kan salah.
"Pengen sate gue. Lo mau?"
"Hm." akhirnya ada jawaban selain terserah meski cuma HM semata.
"Btw Kaf, bantuin gue bikin laporan PKL lah. Sebenernya gue udah bikin, ya belum 100% jadi, kan masih ada bimbingan juga. Nah gue rasa masih kurang berbobot gitu loh. Lo bantuin-" kalimat Utara terhenti. Ia tau itu basa-basih paling buruk karena dengan minta bantuan Kafka artinya Utara lupa denga tugas Kafka sendiri. Ya walaupun Kafka tidak berpikir demikian. "Gak jadi, gue nunggu revisian dosen aja."
Sama sekali tidak menoleh meski jalanan sedang macet, Kafka juga tidak dengar Utara mengatakan hal lain. Tangannya refleks mematikan radio yang auto menyala sejak ia menghidupkan mobil tadi. Matanya baru melirik, melihat mobil di barisan sebelah kanannya mulai maju.
"Awal bulan nanti gue balik ke Jerman."
Utara yang refleks menoleh, hanya diam.
"Pulangnya gak tau kapan. "
Tentu bisa paham, soal Kafka yang kembali ke Jerman ini pun Utara bisa paham, karena kan pacarnya memang masih berstatus sebagai mahasiswa di sana. "Udah diurus semuanya?"
"Udah. Gue gak bisa online terus, gue nyerah."
"Ooh. Oke. Disana sampe lo lulus berarti?"
"Iya. Semoga aja lancar, capek gue. Pusing. Gue gak pengen balik kesana, maksudnya ya gue pengen disini aja, sama lo, biar gak perlu LDRan lagi. Cuma ya tadi, gue ternyata gak kuat kalo online, ributnya gue sama bokap makin gak karuan juga. Gue gak tahan."
Utara menarik senyum tipis, mengalihkan pandangan kembali ke luar. "Oke."
"Tar."
"Ya?"
Kafka diam, baru ini ia menoleh, menautkan pandangannya pada Utara. Bayangan pertengkaran tadi masih ada, masih jelas di kepala Kafka, ia yakin, Utara juga sama. Karena baru tadi mereka benar-benar meledak selama hampir tiga tahun bersama.
"Kenapa sih?"
"Tar, besok-besok, lo kalo ada sesuatu yang ganggu pikirian lo, gak enak di hati lo, mending langsung lo omongin ke gue. Mau chat kek, voice note, mau telpon, terserah. Yang penting dikit-dikit lo omongin Tar, jangan malah lo pendem. Daripada ujung-ujungnya kayak tadi? Yang sakit hati bukan gue doang. Lo juga kan? Kepikiran kan lo?"
"Hm."
"Jangan hm hm aja! Ah lo mah kebiasaan!"
"Ya gue harus jawab apa dong? Gue juga tadi mikir kayak lo Kaf, yang abis kita ribut tadi ya gue mikir lah."
"Percuma kalo cuma dipikirin tapi gak lo lakuin."
"Kan gak bilang langsung, gue gak bisa tiba-tiba ngerubah kebiasaan gue."
"Makanya tadi gue bilang dikit-dikit."
"Iya Kaaf~!" Utara sudah terperangkap di sesi omelan Kafka. "Sorry."
"Udah telat."
"Terus gak mau maafin?"
"Males.
Utara tarik senyumnya lucu, kalau sudah dengar begitu artinya ya hubungan mereka sudah biasa lagi. "Jadi makan sate?"
"Ya ayo. Katanya lo mau sate. Mau di tempat biasa aja?"
"Yuk deh." tangannya refleks mengcubit pipi Kafka. "Thanks Kaf."
"Iyaaa~" nada jawaban dari Kafka ini malah terdengar malas, malah buat Utara akhirnya tertawa.
Habis memang kalau ada masalah tuh enaknya dibicarakan. Ya susah sih. Ngomong doang mah gampang ya. Dasar aku.
• • •
Ke bandaranya, Utara tetap tidak boleh ikut oleh Kafka. Alasannya karena, Kafka tidak mau merasakan perpisahan. Yang kali ini pun Kafka tetap tidak tau kepastian kapan ia akan kembali lagi ke Indonesia. Entah kenapa Kafka yakin kelulusannya ini tidak akan selancar yang orang-orang bayangkan.
Soal Utara, hubungan dengan ibunya semakin dingin. Ia sudah hilang kepercayaan pada ibunya sendiri. Setidaknya, sampai ibunya pulang dan bicara empat mata saling berhadapan, bukan lewat telpon. Utara ingin fokus dengan dirinya dan Utami saja, soal kuliah ini, dan sekolah Utami. Bagi Utara itu lebih masuk akal dibanding pusing-pusing memikirkan soal ibunya.
Kembali magang, sambil menyusun laporan dan revisi sesekali. Masa magang Utara hampir habis, tidak terasa ternyata sudah mau genap tiga bulan dan Utara juga akan naik ke semester enam.
"Kaak."
"Iya Mi? Di kamar sini." matanya masih fokus ke layar laptop, menyusum kata-kata sampai menjadi kalimat, sampai jadi paragraf. Utara bisa dengar pintu kamarnya di buka, tidak pakai ketuk karena tadi memang Utara yang mengajak Utami masuk.
"Kak. Aku beli tas boleh?"
"Tas apa Mi?"
"Tas makeup. Tas buat kosmetik gitu."
"Berapa emang?"
"Pake uang aku kok. Cuma nanya boleh apa nggak."
Utara baru menghentikan kegiatannya, menoleh sambil senyum-sebyum. "Ya aku juga cuma nanya harga aja."
"O-oh." sesaat tadi Utami sempat berpikir Utara akan melarang. "Macem-macem harganya, tergantung ukurannya. Kayak gini."
Di layar handphone Utami, ada berbagai macam tas dan memang harganya juga bervariasi. "Hmm." Utara cuma bisa mengangguk karena ia tidak paham harga tas makeup biasanya berapa. "Ya udah beli aja. Reviewnya bagus gak?"
"Bagus kok. Aku rencananya mau beli ukuran yang sedeng aja, kalo besar takutnya kebesaran."
"Tapi kira-kira makeup kamu nanti nambah gak?"
Utami diam dulu. "Iya ya?"
"Ya udah langsung yang besar aja. Besarnya juga gak bayak, kalo uangnya kurang nanti aku yang tambahin."
"Aku ada kok-"
"Ya aku cuma mau nambahin aja."
"Ah Kak Tara.."
"Kamu gimana sih?" Utara malah terkekeh-kekeh lucu, "Orang mah senang Mi, kamu malah kayak kecewa gitu."
"Abis Kak Tara sering banget beliin aku."
"Ya kalo aku lagi ada, kalo aku bisa, ya aku beliin lah Mi. Lagian upah aku magang di kantor Pa lumayan loh. Oh iya, aku jadi inget. Kamu mau lanjut les mapel gak?"
"Nanti aja deh kelas sebelas, pas udah penjurusan. Aku mau ikut beauty class aja boleh gak?"
Utara mengernyit, "Beauty class tuh ngapain?"
"Eh! Bukan! Maksud aku makeup class! Jadi kayak belajar makeup gitu, kayak privat sih, satu atau dua orang, nanti bisa sekalian dapet sertifikat MUA."
"Perlu sekarang emangnya?"
"Nggak juga, cuma aku pengen deh."
"Hmm.." Utara mengangguk lagi. "Kalo nanti aja ikut begituannya gak papa kan?"
"Ya gak papa. Aku masih bisa belajar sendiri kok."
"Ya udah, sekarang mah belajar sendiri dulu aja ya? Nanti lagi aja ikut makeup classnya. Ya?"
"Oke, oke. Tapi beli tas boleh?"
"Boleh. Dah order sana, nanti kirim virtual account-nya ke aku."
Utami merengut, "Kan Kak Tara cuma nambahin bukan beliin?!"
"Ya udah ah. Sana order."
"Ya udah aku beli yang sedeng aja."
"Ya ampun Tamiii. Udah ih, buruan order yang besar aja, kirim ke aku. Gak papa, kamu mah ke aku suka gitu."
Utami mendumal keluar kamar Utara, bukan kesal juga sih sebenarnya, ia justru berterima kasih, cuma tentu ada perasaan tidak enak, karena harus pakai uang Utara padahal Utami bisa.
Kenapa tidak langsung beli dan malah bilang Utara dulu, ya karena Utami mau Utara tau apa-apa saja yang Utami beli, tidak main asal jajan, meski itu uang Utami. Lagian ia sudah terbiasa seperti itu, entah itu pakai uang Utami atau Utara, kalau mau beli sesuatu yang harganya lumayan ya bilang Utara dulu. Kecuali beli seblak. Itu sih tinggal jajan saja.
Soal uang, uang hasil kerja ibunya itu semua diserahkan pada neneknya, biar Murni saja yang mengatur. Untuk uang kuliah dan sekolah. Kalau jajan dan lain-lain, Utara tidak pernah menyentuh uang dari ibunya, selalu pakai uangnya sendiri, menjajani Utami juga pakai uang Utara sendiri, bukan yang dari Rahmi.
Lagipula Utara merasa mampu untuk dirinya dan Utami kok.
"Halo?"
"Tar! Gue ada kabar bagus banget anjing! Lo harus ikut program ini pokoknya!"
"Hah?!" Utara lirik handphonenya, nama Kafka terteja jelas. "Program apa anjir? Lo berisik banget sumpah. Bukannya tadi lo bilang lagi mau ke perpus?"
"Iya ini gue di perpus. Gue keluar lagi buat nelpon lo. Tapi serius Tar, lo harus ikut!"
"Ya apaan dulu anjir? Ikat, ikut, ikat, ikut, apaan??"
"Lo dengerin, jadi kan tadi gue liat mading depan perpus dulu, nah gue liat poster gitu kan, nah jadi kampus gue lagi ngadain program student exchange. Gue kira cuma buat mahasiswa kampus gue doang ke kampus luar. Tapi ternyata nggak Tar. Gue tanya ke petugas perpusnya itu tuh ternyata program mahasiswa kampus gue keluar, sama mahasiswa kampus luar ke kampus gue. Duh! Paham gak sih lo?"
"Kurang lebih. Lo excited banget sampe ceritanya berantakan."
"Ya jelas lah! Lo harus ikut Tar. Kuliah di kampus gue. Satu semester aja. Nanti gue kirim flyer sama macem-macemnya ke lo, lo tunjukin ke dosen lo. Oke?! Gue udah mintain kok, lagi nunggu dikirim ke e-mail gue."
"Hmm.." jawaban Utara agak lemas.
"Tar!"
"Iyaa, nanti gue pikirin dulu Kaf."
"Ah lo mah gitu. Kapan lagi? Mumpung ada kesempatan nih. Biar makin kepake tuh bahasa Jerman lo."
"Iya, gue paham. Cuma, enam bulan tuh gak bentar Kaf. Tami gimana?"
Kafka seketika diam.
"Gue mau aja, mau banget. Lagian dulu gue ngambil bahasa Jerman juga karena pengen nyusul lo kesana. Cuma ya, dulu gue pikir nyokap bakal pulang segala macem jadi Tami bisa gue tinggal. Ini gak ada kabar, gue gak mau bikin Tami ngerasa dia makin ditinggal gitu loh. Paham kan?"
"Hm." sahut Kafka. "Tapi lumayan."
"Bukan lumayan lagi Kaf. Bagus banget, gue pengen. Cuma ya tadi itu."
"Tapi lo bisa omongin sama Tami dulu mungkin Tar. Ya bener sih, enam bulan gak sebentar. Gimana ya..? Sumpah gue langsung kepikiran lo pas liat program ini."
"Iya, makasih Kaf." Utara diam setelahnya, ia juga tidak dengar Kafka menjawab apa-apa. "Nanti gue coba omongin sama Tami dulu, baru gue ngasih tau kampus. Lagian yang harus gue pikirin kan gak cuma itu, biaya lain-lainnya juga Kaf."
"Hmm, iya sih. Mana jauh banget."
"Iya kan?"
"Tapi please lo harus cobaaaa! Yaa? Lo omongin ke Tami, ke kampus lo. Serius Taar, gue pengen banget lo kesini."
"Karena kuliahnya atau karena bisa berduaan?"
"Ya dua-duanya lah. Gak mau munafik gue."
Utara tertawa geli, "Bucin lo."
"Gak papa lah bucinnya ke lo ini. Sini ah!"
"Iyaa gue pikirin dulu Kaf. Tapi thanks loh udah ngasih tau gue soal itu."
"Oke.. gue gak maksa, tapi sebenernya gue mau maksa. Ya lo paham lah. Kangen gue, kangen bangeet."
Utara hanya balas cekikikan, habis kalau sudah bahas kangen, topik pembicaraan awalnya suka dilupakan. Jadi memang tidak membahas program pertukaran pelajar lagi, malah jadi halu, berandai-andai Kafka mau mengajak Utara kemana saja selama tinggal di Jerman.
Bahkan Kafka juga bilang, kalau selama di Jerman, Utara bisa tinggal di rumah neneknya. Sudah pasti diterima kok. Utara tidak perlu memusingkan soal biaya makan dan tempat tinggal. Ya kata Kafka memang begitu, cuma ya namanya Utara, banyak pikirannya.
Utara senang dikabari tentang pertukaran pelajar ini, tapi memang banyak yang dipertimbangkan. Soal biaya, soal Utami. Banyak, tidak serta-merta tinggal berangkat gitu saja. Ke luar kota saja pertimbangannya banyak, gimana ke luar negri, sudah gitu lama juga enam bulan.
"Keren dong?! Kak Tara bakal kuliah di Jerman? Kayak Kak Jo gitu?"
"Gak kayak Kafka yang kuliah sampe lulus disana. Pertukaran Pelajar ini cuma satu semester aja Mi, cuma enam bulan. Abis itu ya aku balik kuliah disini lagi."
"Wah.."
Utara hanya diam memperhatikan eskpresi Utami.
"Kalo buat anak sekolah gitu, pertukaran pelajar ini ada gak ya..?"
"Ya ada lah Mi, malah itu suka ada program dari pemerintah gitu. Kamu mau?"
"MAU! KAPAN?"
Sampai-sampai Utara kaget dengan antusiasme adiknya ini. "Ngg, aku gak tau kapan Mi, aku gak pernah cek kabarnya. Tapi kamu bisa cari-cari informasi soal itu kalo kamu emang pengen. Sekalian kamu cari juga apa aja yang harus dibutuhin biar lolos student exchange. Kalo soal dukung, aku pasti dukung. Kalo soal pendidikan, aku pasti dukung!"
"Oke nanti aku cari! Terus Kak Tara? Kak Tara jadi ke Jerman? Kapan?"
"Aku cuma baru ngasih tau ada program ini aja, aku belum ngasih tau Mamah, belum ngasih tau kampus. Aku kan juga harus mikirin yang lain."
"Ke Jerman aja Kak! Lumayan! Kapan lagi? Mana tau nanti Kak Tara betah disana, lulus kuliah dapet kerja disana, terus bawa aku juga, bawa Mamah, kita tinggal di Jermaaan!"
Sungguh, Utami ini senangnya minta ampun. Utara bahkan tidak mengira kalau Utami segini senangnya dengan kabar dari Utara, sudah gitu, ia juga jadi termotivasi untuk ikut program pertukaran pelajar. Utara turut senang dengan yang satu itu. Bahkan dengan mimpi Utami, tinggal di Jerman bertiga.
Mendengarnya, antara senang dan sakit.
Ya. Tentu.
Utami hanya menyebut mereka dan neneknya, seperti Utami benar-benar lupa dengan sosok ibunya.
Sungguh Utara tidak mau Utami membenci ibunya sendiri, Utara tidak mau Utami jadi sepertinya. Tapi gimana? Mungkin Utami juga lelah, atau lebih tepatnya, Utami yang semakin dewasa, semakin bisa berpikir tentang keadaan sekitar, terutama soal orangtuanya.
Utara tidak menyukai orangtuanya tapi takut kalau Utami juga tidak menyukai mereka. Utara pikir, cukup dirinya saja yang durhaka, Utami jangan.
Tapi kembali lagi, Utami semakin dewasa, dan Utara harus paham dengan yang satu itu.
•
•
•
•
•
tanggal publish : 28 September 2022