Kalau baru banget jadian, Ian memang suka lupa denganku. Hari-harinya pasti akan dipenuhi oleh pacar barunya itu. Terbukti sudah beberapa hari ini Ian tidak mengunjungiku. Chat juga seadanya.
Memang bukan hal yang baru lagi bagiku melihat Ian sibuk menjadi best boyfriend untuk kekasihnya di awal-awal hubungannya. Dan untuk yang satu itu, aku sudah terbiasa. Kadang masih suka sakit hati, sih, tapi rasa sakitnya masih bisa ditoleransi.
Karena Ian tidak akan muncul di hari mingguku kali ini, maka aku memutuskan untuk menghabiskan hari mingguku dengan menonton drama Korea yang sudah berada dalam watching list-ku sejak beberapa bulan yang lalu.
Ah! Hari minggu memang waktu yang paling tepat untuk bersantai.
Sofa bed yang berada di ruang santai di apartemenku kubentangkan dengan lebar. Selimut yang kubawa dari kamar kulempar di atasnya begitu saja. Beberapa bantal sofa juga kukumpulkan menjadi satu di sana.
Selesai menata sofa bed yang akan kujadikan sebagai tempatku berbaring, aku bergegas menuju dapur untuk mengambil beberapa camilan dan minuman dingin untuk menjadi teman nontonku.
Sekarang masih jam sebelas siang. Aku mungkin akan menghabiskan setengah episode drama Korea sampai malam nanti.
Aku membuka salah satu bungkus camilan gurih bersamaan dengan berbaringnya diriku di atas sofa. Aku setengah berbaring, sih, sebab punggungku masih bisa kusandarkan pada kepala sofa.
Remot sudah berada di tanganku, baru saja menghidupkan televisi dan bersiap untuk berpindah saluran saat ponselku berdering keras.
Kuurungkan niatku sejenak. Remot yang semula berada dalam genggamanku sudah tergantikan oleh ponselku. Nama Ian pun tertera di layar datar tersebut, menjadi sosok penelepon.
“Halo?” Aku langsung mengangkat panggilannya.
“Lo di mana, Nya?”
Aku mengerutkan keningku saat suara Ian di seberang sama terdengar terburu-buru. “Di apartemen. Kenapa?”
“Oke gue ke sana sekarang.”
Dan selesai.
Panggilan kami terputus begitu saja karena Ian langsung mengakhirinya tanpa basa-basi.
Kujauhkan ponselku dari telinga, menatap layar yang sudah menunjukkan halaman depan ponselku dengan bingung. Kemudian aku hanya bisa geleng-geleng kepala.
Huh! Padahal, aku kira Ian akan menghabiskan hari minggunya dengan pacar barunya itu, tetapi rupanya dia malah ingin bertandang ke sini.
Kalau ada Ian, sepertinya niatku untuk nonton drama Korea sepanjang hari akan gagal. Dia pasti akan merecokiku terus-terusan. Tetapi sebenarnya aku juga tidak masalah, sih, dengan kehadirannya di sini.
•••
Tak lebih dari lima belas menit kemudian, Ian sudah muncul di apartemenku. Tangannya tak kosong, ada sekantong plastik putih dengan brand makanan cepat saji ternama di sana. Dan dari bentuknya, aku tahu dia membawa pizza.
“Wih! Tumben banget bawa makanan.” Adalah kalimat pertama yang kuucapkan pada Ian.
“Spesial untuk sahabatku tercinta.” Dengan senyum sok manisnya, Ian mengangkat barang bawaannya sebatas dada, seakan-akan sedang memamerkannya padaku.
Aku hanya berdecih dan menggeser sedikit posisiku lantas duduk bersila agar Ian bisa mengambil tempat di sebelahku. Selimut yang tadi kugunakan untuk menutup tubuhku pun sudah kupindahkan ke single sofa.
Sama sepertiku, Ian juga duduk bersila dan meletakkan pizza yang dibawanya ke atas sofa bed tepat di ujung kaki kami. Lalu, dibukanya dua kotak pizza tersebut hingga memunculkan aroma yang cukup pekat di hidung.
Perutku jadi keroncongan. Padahal, sebelum Ian datang, aku baru selesai brunch dan bahkan sudah menyantap camilanku.
“Kok lo malah ke sini, sih?” tanyaku seraya mencomot satu slice pizza dengan topping keju kesukaanku. “Kan seharusnya lo tuh lagi bucin-bucinnya sama pacar baru lo itu.” Dan aku pun menggigit ujung lancip dari pizza tersebut. Hmm ... makanan favoritku ini memang tidak pernah membuat lidahku kecewa.
Ian juga mengambil satu slice pizza dan langsung menggigit setengahnya. “Pacar gue siapa emangnya?” tanyanya sembari mengunyah.
Mendengar pertanyaannya, sontak kepalaku langsung berputar ke arah Ian, menatap pria itu dengan kerutan di dahi. “Lah, yang waktu itu lo tunjukin ke gue, kan, udah jadi pacar lo.”
Aku sengaja mengerem mulutku supaya tak membeberkan bukti lainnya, yaitu saat Ian tertangkap oleh mata kepalaku sendiri tengah berciuman dengan perempuan tersebut. Ian tidak tahu pada saat itu aku juga berada di kelab malam yang sama dengannya, dan aku juga tak berniat untuk memberitahunya.
“Kapan gue bilang kalo dia udah jadi pacar gue?”
Dahiku berlipat-lipat karena kerutannya yang semakin dalam. Sorot kebingunganku pun masih bertaut pada Ian yang dengan santai mencomot satu slice pizza lagi. Sementara pizzaku yang tersisa satu gigitan lagi malah kubiarkan begitu saja. Pengakuan Ian lebih menarik.
“Terus lo nggak pacaran sama dia?” Aku kepo setengah mampus.
Suapan terakhir dari potongan pizza keduanya sudah masuk ke mulut Ian. Dia lantas mengunyahnya terlebih dahulu sambil mengelap tangannya dengan tisu. Perlahan, pandangannya pun berpaling padaku yang tampak seperti orang bodoh.
“Enggak, Anyaku sayang,” jawabnya kemudian setelah menelah kunyahan pizzanya. Dia juga turut mengacak-acak rambutku sebelum turun dari sofa bed.
Aku masih diam dengan berbagai macam pertanyaan yang bergelut dalam benakku dan hanya tatapanku saja yang mengikuti gerak-gerik Ian yang berjalan lurus menuju dapur. Sementara mulutku masih terkunci rapat.
Aku yakin saat di kelab malam bersama Meta, aku melihat Ian tengah berciuman dengan perempuan itu. Bahkan, Meta juga meyakini jika sosok itu adalah Ian. Jadi, aku memang tak salah lihat.
“Beneran nggak, sih, Yan?” Mulutku kembali menelurkan pertanyaan dengan penuh rasa penasaran saat Ian kembali dengan sebotol minuman dingin yang kemungkinan diambilnya dari kulkasku.
“Apanya?” Ian menaikkan sebelah alisnya padaku seraya membuka tutup botol minuman tersebut untuk kemudian diteguknya.
“Lo nggak pacaran sama cewek itu.”
Ian berdecak. “Beneran, Anya, astaga.”
“Tapi malem kamis kemaren gue ngelihat lo lagi ciuman sama itu cewek di club.”
Oh, sial! Sepertinya mulutku sudah tidak bisa menahan kalimat tersebut untuk tidak keluar.
Ian hampir menyemburkan minuman yang baru masuk ke dalam mulutnya. Kepalanya juga langsung ditelengkan padaku dengan mata yang melotot tajam.
“Lo ke club?!” Setelah berhasil menelan minumannya, Ian melontarkan pertanyaan penuh keterkejutan padaku dengan nada yang sedikit meninggi.
Aku hanya mengangguk.
“Sama siapa?”
“Meta.”
“Beneran?” Ian tampak tak percaya.
Aku memutar kedua bola mataku dan kembali memberinya sebuah anggukan.
Ian memang sering mewanti-wantiku untuk tidak menerima ajakan siapa pun ke kelab malam kalau tidak ditemani olehnya, termasuk ajakan Meta yang sering keluar-masuk kelab malam.
Bagi Ian, aku seperti Lana dan Lara yang harus dilindunginya dari gemerlapnya dunia malam. Katanya, sih, aku ini salah satu aset perempuan baik-baik yang keberadaannya sekarang sudah sulit ditemukan. Jadi, nggak heran kenapa Ian jadi sedikit posesif padaku.
Entah posesif atau cuma berlebihan.
“Kenapa nggak bilang ke gue, sih.” Ian berdecak, terlihat kesal.
Aku mendengkus panjang. “Back to topic, Yan. Gue belum selesai bahas soal hubungan lo sama cewek yang lo cium itu.” Sengaja kutekankan intonasiku saat mengucap kata-kata terakhir dalam kalimatku.
Gantian Ian yang mengembuskan napas panjang. Sepertinya sedang menekan rasa kesalnya agar tidak semakin menjadi.
“Pokoknya gue nggak pacaran sama dia,” tampik Ian.
“Tapi kok sampe cium-ciuman segala?” Aku masih belum puas. Dan ... ya ampun, kok kesannya aku malah terdengar seperti kekasih yang sedang marah, ya.
“Bagi gue, cium-ciuman nggak harus nunggu sampe pacaran dulu, Nya. Lo kayak baru kenal gue aja,” terang Ian dengan sedikit nada jengkel dalam suaranya. Sepertinya gemas denganku yang masih mencurigainya.
Aku mengerucutkan bibirku padanya dan berhenti menginterogasinya sampai di situ.
Okay, cukup, Anya.
Ian masih bertahan dengan status jomlonya.
•••
Jangan heran sama Ian ya, guys. Dia emang agak-agak nganu🥲
Jangan lupa ramein kolom komennya kayak bab sebelumnya yaaw😘
Luv luv❤💋
13 Oktober, 2022
Follow aku di
Instagram: rorapo
Dreame/Innovel: rorapo_
Karyakarsa: rorapo_