"Makasih udah nemenin Tsumu, maaf lo pasti kaget banget Sun."
Mereka berdua sudah di depan halaman rumah. Suna hendak pulang, Atsumu sudah tertidur.
Suna sejujurnya khawatir dengan Osamu. Wajahnya kelihatan lelah dan stress.
"Sam, gua bakal dateng lagi kok. Tenang aja lo gak sendiri. Gua usahain biar bisa temenin Atsumu."
"Gapapa, jangan merasa bersalah begitu. Atsumu cuma lagi ngamuk. Tapi cuma gua yang bisa nolongin dia. Jadi lo gak perlu sering dateng. Tsumu lagian gak bakal bisa keluar juga."
Bagaimana tidak. Pintu rumah selalu dikunci oleh Osamu atau Atsumu selalu dalam keadaan tidur ketika Osamu pergi.
"Sam, cerita kalo ada apa apa jangan dipendem sendiri."
Osamu mengangguk.
Begitu Suna berpamitan, ada telepon masuk dari pihak penanggung jawab. Selama berapa menit Osamu berbincang dengan orang disambungan itu.
"Itu SOP berlaku, saya sudah beri pengajuan nggak bisa ditangguhkan begitu aja dong."
"Maaf sekali dik Osamu, karena memang kandidat harus berada di sana saat pemilihan. Dosen Handa juga sudah mentolerir Osamu, menunggu datang tetapi tidak ada tanggapan. Kami gak bisa berikan excuse perihal kandidat rekomendasi."
Mereka saling adu omongan sampai keputusan berakhir dengan hasil zero point. Osamu tidak mendapatkan peran sebagai asisten dosen.
Ponsel yang digenggam erat. Dia berjongkok, saat ponselnya lepas karena genggamannya merenggang. Rambutnya ditarik. Osamu mencengkram rambutnya sendiri dengan frustrasi.
"ARGH BRENGSEKK"
Kenapa? kenapa dia selalu tidak mendapatkan apa yang dia inginkan. Usahanya selama enam bulan sampai sakit-sakitan tidak membuahkan hasil. Ini tidak adil.
Lalu terdengar dari dalam suara Atsumu yang memanggilnya. Rautnya berubah datar dan lelah. Osamu menghampiri kakaknya.
Saat sampai di dalam, Atsumu menjatuhkan kepalanya di bahu Osamu. Tangannya tak sampai ketika ingin memeluk Osamu.
"Sam.. maaf."
Suara Atsumu habis dan serak. Dia hampir saja tadi merusak pita suaranya sendiri kalau Osamu tidak juga pulang.
"Iya"
"Sam.. gua keterlaluan lagi."
"Jangan dipikirin."
Kepala Atsumu masih bertengger di pundaknya, suaranya kedengaran hampa dan sendu.
"Sam.. gua bikin lo susah ya?"
"Engga"
"Maaf ya, Samu.."
"Engga! udah jangan lo pikirin. Katanya mau ke harvard. Gimana kalo kita main aja?"
"Hm"
"Oke, setuju ya! yang kalah mukanya cemong." seru Osamu mengelus lemah lembut rambut Atsumu.
Atsumu menggeleng di atas bahunya. Mengulas senyum semu yang terasa sedikit menyakitkan.
Mereka awalnya tak banyak bicara sampai Osamu mengeluarkan kitkat matcha dari dalam kulkas.
"Suka banget kitkat matcha napa dah lu Tsum?"
"Enyak."
"Biasa aja ngomongnya minta gua sleding anjrit. Jijik banget."
Atsumu tertawa. Matanya mengerjap lemah berulang kali, jari-jarinya berusaha menggenggam stick game padahal sudah tremor. Telinganya juga agak terganggu dan menimbulkan bunyi bising.
"Kalo makan kitkat matcha itu gua bawaannya hepi, Sam."
"Ah masya?"
"Masya en deber."
"Apaan anjir wkwkw"
"Serius. Coba aja makan, pasti lo bahagia dah. Enak lagian."
"Ini sama aja kayak gua suka mint choco tapi lu enggak."
Atsumu setuju. Kalau Osamu tidak suka Matcha maka Atsumu membenci mint choco.
Apanya yang enak rasa macem odol kodokmo aja bangga. Pikirnya.
"Cobain, aaa"
"Kaga ah."
"Sam!"
"Gua gak suka dipaksa!"
"Yaudah kalo lo kalah nanti harus makan!"
"Apa ap--"
Layar tv menunjukkan Osamu kalah sehabis Atsumu mengatakannya. Mereka sedang bermain mortal kombat. Sialan jadi Atsumu sedari tadi itu sengaja membuatnya kalah. Pantas saja pas Osamu beralih kakaknya itu sibuk menatap tv.
"Brengs--"
"Makan."
"Bent-- Tsum.."
Osamu ingin muntah saat itu juga. Rasanya tidak enak dan seperti makan rumput segar. Tapi tidak begitu setelah dia merasakan campuran cokelat dan wafer di dalamnya. Sepertinya Osamu mengerti apa yang Atsumu maksud.
Kalau makan jadi bahagia. Mungkin Atsumu senang saja dengan kombinasinya.
Tapi tetap Osamu muntahkan di kamar mandi.
"Yahaha cemen."
▪︎•▪︎
to be continue..