Dering di telingaku akhirnya meledak hingga seluruh tubuhku bergetar bersamaan dengan suara tanah yang bergetar. Apa ini gempa bumi? Mual dan pusing menjadi lebih buruk sesaat, aku tidak bisa melihat.
"Apa anda melihatnya? Apa yang dilakukan orang itu baru saja? Sial, apa dia terbang jauh-jauh kesana atau apa?"
"Karena istrinya duduk di sana! Dia pasti ingin terlihat baik, dasar pria itu, hahaha!"
Obrolan para penonton yang tak terkendali membuatku menggelengkan kepalaku dengan bingung. Apa itu bukan gempa bumi? Apa tidak ada orang yang merasakannya? Apa aku menjadi gila?
Kepalaku berputar dan aku melihat bintik-bintik hitam. Perutku yang bergejolak tidak tertahankan dan mengedipkan mata tidak membantu sama sekali, jadi aku menutup mataku, berharap rasa sakitnya berkurang.
Rasa sakit fisik sudah mereda, namun perasaan yang tidak menyenangkan di dadaku tidak mereda. Aku tidak ingin membuka mataku lagi. Aku ingin menutupnya untuk waktu yang lama, namun aku tak yakin mengapa.
Aku tidak ingin melihat apa yang terjadi di medan perang.
"Ruby, apa kamu baik-baik saja?" Tanya Cesare, ada kekhawatiran pada suaranya. Kamu pasti kaget, apa kamu ingin istirahat?"
Dia mungkin mengira hantu itu membuatku takut, tapi aku merasa sangat mual dari semua permen dan rum yang telah kumasukkan ke dalam mulutku. Tenggorokanku menjadi kering dengan semua omong kosongnya.
"Ya, kamu benar. Aku akan pergi ke kamar mandi."
Tanpa memberinya kesempatan untuk mengatakan apapun, aku berdiri dan berjalan pergi. Aku tidak ingin tahu apakah dia masih mengikutiku dengan matanya, atau apakah seseorang di sekitarnya menjagaku agar tetap di bawah pengawasannya. Perasaan diawasi membuat kulitku merinding dan bergegas memasuki aula kosong.
Tapi mengapa aku tidak ingin melihat ke belakang, bahkan sekalipun?
*******
Ketika aku sampai di kamar mandi, membasuh mulutku, duduk di tangga menuju ke ruang ganti para pemain selama satu atau dua menit, pergi keluar untuk menghirup udara dingin, dan kembali ke tempat dudukku, hanya ada dua pemain yang tersisa di medan perang.
Kali ini, draugr yang muncul, berpakaian seperti ksatria mirip dengan durahan yang pernah kutemui. Kulitnya bahkan tampak lebih buruk dibandingkan hantu, dengan tulang yang mencuat dari dagingnya, begitu aneh dan membusuk sehingga seperti mayat hidup dan mumi pada saat yang sama.
(Cat : Draugr adalah (Mitologi Nordik) sebuah makhluk mayat hidup dari mitologi Nordik dan sering menjaga harta karun.)
Dua pemain yang tersisa di panggung berdiri berdampingan satu sama lain, satu ksatria berambut putih yang keperakan dengan pedang terhunus, dan ksatria lainnya mengenakan baju besi berlambang bunga mawar dari keluarga Vishelier Rembrandt. Dia menepuk pundak ksatria berambut putih dan berlari duluan.
Kerumunan tersebut tampaknya menikmati inisiatif yang diambil, mengingat betapa suaranya menjadi keras lagi.
"Apa kamu merasa lebih baik?" suara Cesare memenuhi telingaku.
"Ya, tentu saja." Aku merasa menyedihkan untuk suatu alasan. "Aku penasaran apa yang akan keluar selanjutnya. Ternyata sangat membosankan dari yang kuharapkan."
"Tidak terduga. Semua orang berada di ujung kursi mereka, bertaruh pada siapa yang akan menang dan siapa yang akan mati."
"Tidak terduga katamu? Tidak ada orang di sini yang peduli siapa yang akan mati. Begitu juga aku."
Sama bagiku jika aku mati, kan? Tidak ada yang akan peduli.
Bagaimanapun pertandingan itu membosankan untukku, karena aku sudah tahu bagaimana akhirnya.
Cesare menatapku dengan curiga. "Kamu tidak serius, kan?"
Pertanyaan yang sopan. Bertanya-tanya apa adiknya tidak ingin suaminya menang. Aku harap para kardinal yang duduk agak sedikit ke bawah telah mendengarnya, demi dia.
Pertandingannya masih membosankan dan menjengkelkan mendengar dia berbicara, jadi kupikir akan lebih baik untuk hanya berbaring dan menutup semuanya pada saat ini.
"Oh yah, aku mengantuk, jadi aku akan menutup mataku sebentar. Meskipun sangat berisik."
"....Kamu mengantuk?"
Haruskah aku tertawa di wajahnya yang bodoh? "Karena aku tidak bisa tidur semalam. Kamu mungkin tahu alasannya."
Aku ingin tahu apa aku menjawabnya terlalu kasar - dia mungkin menghukumku setelah pertandingan ini - namun aku tidak peduli dan melipat tanganku, bersandar dan menutup mataku.
Kupikir aku mendengarnya menggumamkan sesuatu, namun teriakan penonton menenggelamkan suaranya.
Tentu saja, tidak mungkin untuk tidur di sini. Tidur saat pertempuran sedang membabi buta di bawah? Itu mustahil. Aku hanya berusaha melindungi mataku yang malang dari siksaan terus menerus dari kilatan cahaya. Dan juga untuk menghalangi Cesare agar tidak berbicara denganku. Kuharap dia berhenti untuk mengobrol denganku.
Setidaknya, itu yang kupikirkan.
Aku benar-benar berhasil tertidur meskipun kerumunan yang bising dan pertempuran yang sedang berlangsung. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku tidak memimpikan apapun.
Sebuah tangisan keras membangunkanku.
Jeritan melengking itu bergema di seluruh stadion. Aku bingung dan aku tidak bisa mengenali di mana aku atau apa yang kulakukan ketika mataku terbuka. Aku mengangkat kepalaku, berusaha mencari sumbernya. Berkedip cepat,
perasaan telah kehilangan waktu perlahan mengalir kembali.
Sesuatu yang membuatku menoleh dan melihat ke samping.
Cesare terpaku di medan perang, memandang kaku pada sesuatu hal, bibirnya melengkung menjadi seringai samar.
Melihat para kardinal lain yang melewatinya melakukan hal yang sama, tentunya aku mengikuti mata mereka yang tertuju ke bawah, ke tanah.
Awalnya, kupikir seorang kardinal entah bagaimana jatuh dari tribun dan masuk ke arena. Aku segera menyadarinya ternyata bukan itu.
Tanah telah terbelah dua seolah-olah gempa bumi telah merobek bumi menjadi terbuka, dan potongan-potongan puing naik ke langit. Tumpukan tulang raksasa muncul dari tanah, berputar dan melingkar dan mulai tersusun.
Seorang pria berdiri di tengah-tengah itu semua. Seringai lebar yang dikenakannya di wajah iblisnya membentang dari telinga ke telinga dan tampak seperti luka baret daripada mulut. Dia dibalut kain, jubah busuk dan sobek, dan memancarkan cahaya hijau yang tidak wajar dari tubuhnya.
Itu bukan sembarang kardinal. Itu adalah Kardinal Richie.
Aku tidak mempercayai mataku. Aku menjadi pucat ketika aku mencoba untuk memahami situasi ini. Bagaimana mungkin?
Richie keluar? Kardinal Richie yang sudah mati keluar di pertandingan ini? Apa aku melewatkan memo itu?
Kardinal Richie adalah salah satu dari orang yang terdekat dengan Ayah, namun setelah mengetahui bahwa ia telah berkonspirasi dengan Republik Venesia yang paling tenang melawan Paus, dia telah dipenjara dan dieksekusi karena pengkhianatan tingkat tinggi. Namun Kardinal Richie memutuskan untuk tidak hanya duduk diam dengan pemeriksaan dan penyiksaan Cesare. Dia melakukan apa yang biasanya tidak berani dilakukan oleh manusia. Dia telah melakukan dosa yang tak termaafkan dengan bunuh diri.
Maka, Kardinal RIchie telah menjadi jiwa yang berkeliaran, dikutuk dengan keabadian. DIa menjadi hantu.
Namun, untuk membawanya ke sini, harus ada persetujuan khusus dari Vatikan. Dengan kata lain, Paus telah menyetujui mengirim yang dulunya adalah bawahan terdekatnya, yang sekarang telah dikutuk dan berwujud iblis, untuk bertarung sampai mati di Britannia hanya untuk hiburan. Itu berarti tidak hanya semua kardinal, termasuk Cesare, tapi juga semua orang yang terlibat dalam pertandingan Gladiator mengetahuinya.
Ya Tuhan, mereka menyetujui ini? Sungguh?
Sayap hitam raksasa melintas di depan mataku yang melebar.
Butuh beberapa saat untukku menyadari bahwa itu Wyvern. Apa mereka selalu sebesar ini? Binatang itu berputar-putar di udara, dan tumpukan tulang bergoyang di depan Kardinal Richie. Mereka memutar ke dalam kerangka ukuran yang sangat besar, mengambil bentuk yang tampak seperti naga. Keilahian Richie yang tidak suci memungkinkan tulang-tulangnya yang terlihat menumbuhkan daging dan bersatu, tapi anehnya, di tempat di mana matanya seharusnya berada, permata hijau yang bersinar di antara sisik-sisik ungu terlihat menonjol.
(Cat : Wyvern adalah makhluk seperti ular bersayap legendaris yang memiliki dua kaki. Wyvern dalam berbagai bentuknya penting dalam lambang, sering muncul sebagai maskot sekolah dan tim atletik. Ini adalah makhluk yang populer dalam sastra Eropa, mitologi dan cerita rakyat.)
Dan kemudian, naga yang baru terbentuk itu membanting kakinya ke bawah pada sesuatu di tanah.
Tidak... Bukan sesuatu, tapi seseorang.
Bahkan dari atas sini, aku bisa melihat rambut putih perak itu bersinar dengan jelas.
Aneh sekali. Apa yang kamu lakukan di bawah sana? Dimana pedangmu? Kamu tidak kewalahan, kan? Tidak bisakah kamu kabur dari bawahnya? Apa kamu terluka? Apa Kardinal zombie itu menangkapmu? TIdak mungkin, kamu adalah tokoh utama. Atau apa kamu sedang merencanakan sesuatu?
Teriakan yang memekakkan telinga dan mengerikan meledak sekali lagi ketika naga itu membuka rahangnya yang besar dan mengeluarkan raungan yang memekakkan telinga, suaranya menetap di tulang-tulangku. Seperti sedang bersiap-siap untuk serangan terakhir.
Mata Izek bertemu dengan mataku.
Ketika dia sedang dihancurkan di bawah kaki naga, dia bergeser sedikit dan berbalik ke sini.
Aku tidak tahu ekspresi seperti apa yang kubuat.
Aku mati rasa dan tercengang serta tak berdaya.
Saat mata kami saling bertautan, ribuan pertanyaan mengalir di kepalaku.
Kenapa... Kenapa kamu melihat ke arah ini?
Kenapa kamu melihatku dengan wajah sedih?
Kamu salah satu orang yang terluka.
Mimpi kami akan hancur dalam waktu kurang dari satu jam.
Terkadang...kadang-kadang, kupikir bahwa itu bukan kematian terburuk jika aku mati ditanganmu. Karena kamu...
"Tidak!"
Apa peduliku pada Richie atau naga itu? Bukan urusanku apakah monster yang disiapkan untuk bertarung itu telah diubah menjadi monster yang kutahu atau tidak tahu.
Namun, aku masih melompat dan berteriak keras. Jubah yang menutupi lututku tenggelam ke lantai batu balkon. Semua jeritan dan pekikan berhenti dan keheningan jatuh di seluruh stadion.
Naga itu dengan rahangnya yang menakutkan terbuka, mengangkat moncong ungu ke arahku.
"Izek!"
Aku merasa seseorang meraih bahuku, mencoba menahanku.
Suara wyvern yang melayang di udara dan menjerit pekik datang dengan deras ke telingaku.
Aku tidak tahu apa yang kulakukan. Mungkin aku berteriak.
JIka bukan karena tangan yang memegangku dan mengguncangku, mungkin aku akan melompati balkon dan masuk ke medan perang.
"Ruby, bangun!"
"Nyonya Rudbeckia, semuanya baik-baik saja! Benar-benar baik-baik saja! Lihat!"
Apa? Apa dia baik-baik saja? Apa semuanya baik-baik saja? Apa semua orang mengerjaiku?
Para kardinal yang duduk di sekelilingku telah melompat ketika aku melakukannya dan dengan cemas berusaha menenangkanku, wajahku yang terguncang adalah sesuatu yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.
Jantungku menjadi tenang ketika aku mencoba mendapatkan kembali ketenanganku. Kakiku yang lemah telah menyerah dan kembali ke tempat dudukku, menelan benjolan di tenggorokan sepanjang waktu. Para kardinal menghela napas lega dan kembali melakukan apapun yang mereka lakukan.
Ini tidak benar. Mengapa aku satu-satunya yang terlihat gila? Tidakkah mereka melihat itu barusan? Mengapa mereka tidak bingung? Mereka yang aneh, bukan aku.
Dan mengapa ada tawa yang bergema di udara dalam situasi seperti ini?
"Ha-ha! Apa yang si bodoh itu lakukan?"
"Mengapa Richie tua yang cakap itu bertingkah aneh? Hei, tidak bisakah anda bergerak dengan benar?"
"Apa ini? Kalian semua tidak asyik!"
Ejekan para kardinal yang kembali menjadi tak tertahankan setelah duduk menjauh, membuatku bingung, jadi aku mengalihkan mataku yang gemetar ke arah arena.
Untuk suatu alasan, Kardinal Richie mengayunkan tangannya yang tampak konyol dan bingung, sama sekali berbeda dari ketika dia terkekeh jahat tadi. Belum lagi naga dan wyvern yang bersatu di tanah, menggapai-gapai dan menjentikkan rahang mereka satu sama lain.
Aku tidak bisa menemukan Izek dimanapun.
"Berhentilah berakting lemah! Tidak pantas untuk anda! Cepat kalahkan mereka!"
"Jangan menodai nama Ksatria Longinus, dasar bodoh!"
"Komandan mengawasimu! Kendalikan dirimu!"
Rekan ksatria Izek bergabung untuk mengejek rekan mereka seperti yang dilakukan para kardinal. Aku merasa tidak enak badan di antara semua sarkasme dan cemoohan, tapi aku hanya mengepalkan tangan dan menggigit lidahku.
Aku menahan napas, mencoba menekan perasaan mual di perutku, dan menyaksikan kardinal zombie yang masih mengayunkan tangannya seperti orang gila, memusnahkan semua monster mayat hidup yang masih tersisa di arena dan mulai menyentuh tanah.
Tanah yang retak dan puing-puing dari serangan sebelumnya melayang ke udara dan asap ungu naik melalui celah-celah tersebut. Kemudian, secepat ia naik, puing-puing mengalir turun lagi.
Richie pasti bermaksud mengubur Izek hidup-hidup. Aku tersentak kaget dan hampir berdiri lagi, namun cahaya biru yang terang menyala sebelum bebatuan menghantam tanah.
Partikel-partikel emas yang terfragmentasi berkelap-kelip dan bersinar dengan jelas melalui dinding perisai suci tepati di depanku.
Apa ini yang terjadi ketika bentrokan keilahian yang suci dan tidak suci? Seluruh stadion berguncang karena tabrakan hebat dan cahaya yang menyilaukan mata sampai aku merasa mual.
Aku sangat pusing, aku penasaran apa yang akan terjadi pada orang-orang biasa sepertiku jika mereka benar-benar terjebak di dalamnya.
Akhirnya, ketika semua cahaya yang menyilaukan memudar dan aku bisa mengangkat kelopak mataku yang berat, lantai tanah stadion baik-baik saja dan mulus sama seperti sebelumnya, tidak ada jejak-jejak naga atau wyvern yang bisa ditemukan di mana saja.
Hal yang sama berlaku untuk Kardinal Richie yang malang.
"Kukira dia memang bisa menggunakan pemurnian dalam situasi ini. Seperti yang diharapkan dari Lord Omerta Muda," kata salah seorang Kardinal kepada Cesare.
Dan kemudian, seluruh stadion meledak menjadi sorakan.