⋇⋆✦⋆⋇
️️ ️️
️️ ️️
️️ ️️
Aku tiba di hadapan pintu putar cafe tersebut, di dalam cukup ramai mengingat cafe ini memang populer diantara kawula muda. Belum sempat menginjakkan kaki, dering ponselku berbunyi cukup nyaring.
Tanpa sadar, tetes air mata mengalir turun. Segera aku berlari, menghentikan asal taksi yang lewat, dan meninggalkan pria kencanku sendirian tanpa memberi kabar.
"Tidak.." aku meracau. Tak ada lagi riasan di wajahku, semuanya tersapu oleh isak tangis. "Pak tolong lebih cepat, kumohon" pintaku dengan sangat. Panorama di luar jendela menjadi kabur, lantaran sang supir mempercepat laju.
Aku sampai di tujuan, sebuah tempat yang jauh dari keramaian dan kesibukan perkotaan. Kedua kaki kuperintahkan tuk berlari sekuat tenaga, menuju rumah sederhana di pinggir pantai.
Halaman rumah itu bersih terawat, meski usianya hampir 80 tahun. Kilas memori melewati kepalaku, liburan-liburan musim panas dan musim dingin yang banyak kuhabiskan disini.
Aku mengusap wajahku dengan kasar, menghapus bekas air mata dan sisa riasan yang tersisa, meski tidak sempurna. Seorang paruh baya menyambutku, ia memelukku dengan cukup erat selama beberapa menit.
Semua tamu berpakaian hitam, menyisihkan aku yang berbusana bak tengah liburan. Aku bisa merasakan sorot mata mereka mengelilingi kehadiranku.
"Nenek!" seruku ketika melihat wajahnya dalam pigura yang dikelilingi bunga anyelir putih. Aku terduduk, tak kuat lagi menahan beban tubuh.
Lantai kayu dan tembok kuning menjadi saksi kepedihanku hari ini. Setiap pasang mata yang ada mungkin telah menganggapku gila dalam benak mereka.
"Nak, malu dilihat orang banyak" ucap seorang kolega. Anehnya, bukannya merasa malu, aku justru marah.
"Apa?" aku meninggikan suaraku, "Disaat seperti ini, kau lebih mementingkan rasa malu?" tanpa sadar aku membuat kepalan di tangan.
Aku melangkah maju memprovokasi, "Nenek meninggal, haruskah kuulangi? Nenek me—" aku berhenti bicara, lantaran sebuah tamparan keras melayang ke pipi kiriku.
"Kendalikan dirimu, kau bukan anak kecil" kalimat itu membuatku terkekeh.
"Lantas, apa semua orang dewasa disini tak punya perasaan?" sindirku.
"Kami sedih, tapi tak semua berekspresi sepertimu nak" ucap Bibi sembari menarik halus lenganku keluar dari sana.
Aku menatap lembut wajah Bibi, kerutan-kerutan halus ada di hampir setiap sudut, rambut putihnya juga tak lagi repot-repot ia warnai. Kuraih tubuhnya dan memeluknya erat, sebagai tanda terima kasih karena sudah memperhatikanku.
"Kau mau jalan-jalan dulu? Yah, meski tidak banyak yang berubah" ujarnya lembut. Aku mengangguk sebagai jawaban, mungkin akan lebih baik seperti itu.
Aku berbalik, mengambil langkah keluar rumah. Pintu pagar sudah hilang dari tempatnya, aku melewatkannya saat masuk tadi.
Garis-garis tinggi badanku terukir jelas di tembok, semuanya sejajar dengan pahaku. Aku menarik nafas, mengenang kembali masa-masa indah itu.
Entah mengapa waktu berjalan begitu cepat, matahari sudah mulai bersembunyi, bertukar posisi dengan bulan.
"Oh?" mulutku ternganga begitu saja melihat sosok tak asing di depan rumah. Pria tinggi semampai, dengan bahu yang bidang, berdiri begitu saja seolah menunggu di sapa.
"Kau," aku menggantungkan kalimatku, masih berusaha mencerna situasi, "sudah gila?"
Pria itu hanya menggaruk tengkuknya, entah kalimat penjelasan seperti apa yang akan keluar dari mulutnya.
"Sedikit? Kau pergi begitu saja, jadi kupikir ada masalah serius" katanya berupaya menjelaskan.
"Kau juga tidak memberi kabar atau membalas pesanku" lanjutnya lagi. Kuakui, itu salahku. Kalau boleh jujur, pikiranku sudah cukup kacau sejak siang. Tetap saja, itu alasan yang payah.
'Snap', di momen itu aku tersadar, aku menangkup wajahku sendiri dan berbalik badan. Betapa memalukannya tampil lusuh seperti ini, di hadapan pria yang seharusnya menjadi teman kencanku hari ini.
"Kau bisa tunggu sepulu— tidak, lima menit?" ucapku dan langsung melenggang pergi tanpa menunggu jawabannya.
Aku mencari ruang kosong terdekat dan meraih pouch make up dari dalam tas. Aku merias wajahku seadanya, tidak ingin membuatnya menunggu lebih lama.
'Nenek, maafkan aku, disaat seperti ini aku malah berdandan' gumamku dalam hati. Kuhampiri lagi pria itu, yang masih setia berdiri dan menunggu.
"Lebih dari lima menit ya?" kataku basa-basi. Ia menggeleng, alih-alih menjawab, perhatiannya fokus kepada situasi di dalam rumah.
"Nenek meninggal, dan aku baru dapat kabarnya tadi siang, waktu di depan kedai." Aku merasa perlu menjelaskan, meski tidak dipinta.
Ia menoleh, menatap lembut manik mataku. "Aku turut bersedih" katanya bersimpati. Aku membalasnya dengan senyum, tidak dipaksakan, tapi tidak juga tulus.
"Kau mau jalan-jalan?" tanyanya. Teringat lagi akan tujuanku keluar dari sana, untuk mencari udara segar.
Kami berjalan beriringan, ditemani hembusan angin yang mulai dingin karena hari mulai gelap. Benar kata Bibi, tidak banyak yang berubah dari lingkungan ini.
Di penghujung terlihat para nelayan tengah bersiap untuk bekerja, semoga mereka mendapatkan banyak ikan, pikirku.
Sendiri. Kini aku benar-benar sendirian. Nenek akhirnya menyusul Ayah dan Ibu, menyisakan aku sendirian disini. Kenapa sih, mereka semua pergi begitu cepat. Pikiranku mulai kacau lagi.
Aku memandang ke arah hamparan laut luas tak berujung. Rasa penasaran menghantui, apakah airnya dingin, atau justru hangat, setinggi apa ombaknya di tengah sana.
Tanpa sadar, kakiku melangkah ke arah sana, berusaha menghampiri bulan yang ada di seberang. Rasanya seperti ada yang menarikku, mengajakku pergi dan meninggalkan kekacauan di bumi.
Air laut mulai merembes ke sepatuku. Dingin. Terjawab satu pertanyaanku. Baru ingin mengambil langkah berlari, seseorang menahan lenganku.
"Jangan berpikiran untuk mati disini" katanya tanpa melepaskan genggaman.
"Cicilanku masih banyak" ujarku sembari menjauh dari bibir pantai.
Kami duduk di antara pasir, menyaksikan ombak menghantam ombak lainnya ketika mereka seolah tengah berlomba satu sama lain.
"Sudah berapa tahun?" tanyaku.
"Mungkin enam atau tujuh, kau jauh lebih dewasa sekarang" aku tertawa mendengar jawabannya.
"Tentu saja, waktu itu aku hanya gadis SMA" jelasku sembari mengingat memori masa lalu.
"Kau tahu? Aku sangat menyukaimu dulu" kataku lagi, entah keberanian dari mana hingga aku mengatakan hal tersebut.
"Aku tahu" ia menoleh menatapku. Aku terkejut tak karuan, dan ia pasti tengah menikmati ekspresiku ini.
"Aku juga menyukaimu, hanya, waktunya tidak pas" lanjutnya lagi sebelum akhirnya berdiri dan mulai melangkah pergi.
Satu fakta mengejutkan yang baru kuketahui hari ini, dan bagaimana bisa ia dengan santai pergi setelah berucap seperti itu.
"Tidak pas? Maksudnya apa?" tanyaku sembari berusaha mengejar ia yang sudah setengah berlari.
"Maksudnya apa!" kataku lagi setengah berteriak. Ia berlari cukup jauh mengitari pinggir pantai.
"Sudah lama aku tidak ke pantai" balasnya.
"Apa?!" salahkan telingaku yang sepertinya tersumbat angin dan tidak mendengar perkataannya.
Ia berhenti berlari, aku pun sama. Ia berbalik badan dan mulai berlari ke arahku. Harusnya aku diam, tapi aku malah justru berlari menghindari.
"Kenapa kau lari?" katanya.
"Kenapa kau mengejarku?" aku berhenti, terengah-engah dari sesi olahraga dadakan di waktu malam begini.
Aku merebahkan diri di atas pasir, berusaha mengatur nafasku yang tak berirama. Ia pun melakukan hal yang sama di sebelahku, dan mulai tertawa.
Ia tertawa cukup keras, dan hal itu menular. Aku ikut tertawa, tanpa tahu pasti mentertawakan apa.
"Kau berhutang satu hal" katanya.
"Apa?" tanyaku.
"Kencan sungguhan" ucapnya sembari meraih jemariku untuk digenggam. Aku tersenyum menatap langit yang dihiasi gemerlap cahaya bintang dan bulan.
'Nenek, ayah, ibu, aku tak sendirian lagi' gumamku dalam hati.
️️ ️️
️️ ️️
️️ ️️
⋇⋆✦⋆⋇