Ayam goreng mentega, sapo tahu, dan ikan bakar gurame pedas manis sudah tersedia di atas meja makan, lengkap dengan nasi putih yang tampak masih sangat mengepul. Satu teko air putih, dan satu teko berisi jus jeruk yang dingin dan segar untuk menemani makan malam di apartemen Meira. Semua itu hasil dari kerja keras Karel, karena setelah pembicaraan terakhirnya dengan Meira, wanita itu tidak lagi memiliki mood untuk berdekatan dengan Karel.
Wanita itu memilih duduk di ruang makan sampai Karel menyelesaikan semua masakannya. Meira butuh waktu untuk kembali mengeraskan hatinya untuk memberikan seluruh hidupnya kepada Raja, seseorang yang sudah ia pilih untuk menjadi masa depannya.
"Waah, enak sekali. Bibi jadi tidak sabar menyantapnya," seru Emma dengan riang. Malam ini ia cukup puas melihat Karel, dan Meira berciuman, dan Rajendra yang setuju mengikuti keegoisannya dengan menyuruh Raja pergi dari apartemen Meira.
Karena ia berpikir, sepasang anak muda itu akan berakhir bersama.
Meira memaksakan senyumnya. "Duduklah Bi. Kita makan bersama," ucapnya. Kemudian ia melirik Karel yang tengah membuka apron di dapur. "Kau juga Karel, segeralah kemari," imbuhnya.
Karel mengangguk pelan, lantas segera mencuci tangannya. Meira, sudah duduk berseberangan dengan Emma yang mulai mengisi nasi ke piringnya, bersama dengan Meira.
Acara makan malam itu berjalan dengan khidmat, dengan Karel dan Meira yang masih belum terlibat percakapan apa pun.
"Mei, jadi besok kau akan pergi ke bandung?" tanya Emma.
"Iya bi,"
"Lalu pekerjaanmu bagaimana? Bukankah kau menjadi dokter di Trisakti, bersama dengan Rossaline?"
Meira mengangguk, tersenyum getir. Ia merutuki dirinya sendiri yang dulu begitu bodohnya memilih bekerja di jakarta hanya untuk bisa bersama Karel, tapi pada akhirnya ia kembali lagi ke bandung. "Hm, Papa yang meminta Mei pulang Bi. Selain karena aku pewaris Hadikusuma Hospital, aku juga tetap putri mereka. Mereka tidak mau terjadi apa-apa kepada Mei, saat berjauhan seperti ini,"
Bohong.
Karel tahu jika ucapan Meira adalah kebohongan belaka. Ia ingat betapa gigihnya Meira ingin pindah ke Jakarta, dan bekerja di Trisakti Hospital, bahkan Arkana, dan Ilana yang merupakan kedua orang tuanya saja tidak bisa melarangnya.
'Semua karena dirimu Karel,' batinnya.
Kepindahan Meira jelas sepenuhnya karena dirinya yang sudah menghancurkan rencana hidup Meira.
"Apa Bibi boleh ikut mengantarmu besok? Siapa tahu jika besok Raja tidak bisa mengantarmu,"
Meira ingin menolak, tapi tidak bisa. Sejak dulu, ia menghormati Emma seperti ibunya sendiri. Emma sudah pasti akan datang bersama dengan Karel, tidak mungkin bersama Rajendra yang sibuk mengurus perusahaan, dan mengurus pernikahannya yang hanya tinggal satu bulan lagi.
Meira haya tidak ingin terus berlarut-larut terjebak dengan Karel lebih lama lagi.
"Maaf Bi. Tapi besok Papa akan datang menjemput," akhirnya setelah memikirkan tawaran Emma, Meira memutuskan untuk menolak tawaran itu, dengan penuh penyesalan.
Emma mendesah pelan, sedikit kecewa dengan penolakan dari Meira.
"Bibi bisa datang ke bandung saat pertunanganku, dan Raja berlangsung,"
Ting!
Emma tanpa sadar menjatuhkan sendok makannya ke atas piring, hingga terdengar bunyi nyaring.
"Ma," tegur Karel halus.
Emma shock!
Ia pikir adegan tadi sudah menunjukkan bahwa kedua anak muda itu memutuskan untuk bersama. Tapi apa ini? Kenapa Meira masih ingin bertunangan dengan Raja?
Apa sebenarnya yang telah di lakukan putranya, sampai tidak bisa menggoyahkan hati Meira untuk tidak bertunangan dengan Raja?
Bukankah keduanya baru saja melewati ciuman yang panas saat di dapur?
Emma berdecak pelan, tidak habis pikir mengapa Karel menyia-nyiakan hal ini?
"Pelan-pelan Ma," suara Karel kembali memgalun, menyapa Emma yang baru saja sadar dari lamunannya.
Emma tersenyum kikuk kepada Meira, "Maaf ya Mei. Bibi sedang tidak fokus," toh memang benar, ia tidak fokus karena memikirkan hubungan macam apa yang terjadi di antara Meira dan putranya.
"Tidak apa-apa Bi. Makanlah pelan-pelan,"
Emma tersenyum tipis, melanjutkan makan malamnya meski kepalanya masih menyimpan ribuan pertanyaan. Ia tidak ingin menghancurkan acara makan malam ini, dengan sesekali berbincang dan bercanda.
Selagi Emma mulai berbincang bersama dengan Meira, semua ekspresi yang di tunjukan Meira tidak pernah luput dari pandangannya.
"Apa kau mencintaiku?"
Pertanyaan Meira terakhir kali kembali terngiang di pikirannya. Seraya menatap wajah cantik Meira yang tengah tertawa bersama ibunya, ia mencoba menelaah hatinya yang tampak sangat kacau karena kejadian malam ini.
Di mulai dari ia yang tidak suka melihat interaksi antara Raja, dan Meira. Sampai akhirnya ia kehilangan kendali dan menyerang bibir Meira.
Ia berkali-kali mengatakan jika Meira sudah sering membuatnya tidak waras. Ia bahkan tidak bisa membayangkan jika Meira, dan Raja benar-benar akan menikah dan hidup bahagia.
Cinta?
Karel menggelengkan kepalanya dengan cepat, menyangkal rasa itu. Karel sendiri tidak tahu apakah perasaan gusar, gundah, dan segala hal yang ia rasakan itu bisa di sebut cinta atau bukan.
****
Acara makan malam itu telah berakhir, kali ini Emma turut membantu membereskan meja makan bersama Meira, dan membawa cucian piring ke dapur.
"Bibi tidak apa, biar aku saja yang melakukannya," ucap Meira, saat Emma mulai menyalakan keran wastafel.
Emma tersenyum, "Tidak apa-apa. Bibi yang akan mencuci piringnya, kau bantu Bibi mengelap piring yang selesai di cuci saja ya,"
Maira hendak menolak, tapi Emma memberikan tatapan tegasnya. "Baiklah," pasrahnya.
Emma tersenyum lebar, mulai mencuci satu persatu piringnya, sedangkan Meira mengambil kursi stool bar, dan duduk di samping Emma menunggu wanita dua anak itu selesai membilas piring, dan ia akan mengelap piring itu sebelum di masukkan ke dalam rak piring.
"Mei,"
"Ya," Meira menyahut.
Emma terlihat menghela napas pelan, "Kau sudah yakin dengan Raja?"
Dahi Meira terlihat mengerut mendengar pertanyaan Emma barusan. "Maksudnya Bi?" tanyanya. Ia merasa tidak mengerti mengapa Emma tiba-tiba menanyakan hal itu.
"Apa kau sungguh serius akan melanjutkan ke tahap yang lebih serius dengan Raja?" tanya Emma lagi.
"Tentu saja," balasnya. Meira benar-benar merasa aneh dengan Emma, bukankah sudah jelas jika ia dan Raja akan benar-benar serius makanya mereka akan bertunangan dalam waktu dekat.
Emma mulai membilas piring yang selesai ia cuci, Meira juga tampak segera berdiri dan menjalankan tugasnya.
"Apa kau sama sekali tidak tertarik kepada Karel?"
Prang!
Piring yang berada di tangan Meira terjatuh ke lantai, dan pecah menjadi beberapa bagian.
"Mei. Astaga!" seru Emma. Ia segera mematikan keran wastafelnya, dan menghampiri Meira.
Ia panik apalagi melihat kaki Meira berdarah terkena serpihan kaca. "Sayang, biarkan Bibi yang membereskannya," cegahnya. Seraya meminta Meira untuk kembali duduk selagi ia menyapu pecahan piring itu, dan membuangnya ke dalam tempat sampah.
Tiba-tiba saja Meira meloloskan air matanya begitu saja. Ia tidak menangis karena kakinya yang berdarah, itu hanya luka goresan saja. Tapi ia menangis karena dadanya yang sudah sangat terlalu sesak karena terluka mencintai Karel sendirian.
"Sayang, kenapa menangis?" Emma langsung bergerak menghapus air mata Meira, dan kemudian menarik wanita itu ke dalam pelukannya.
"Rasanya sakit sekali Bi. Sakit .... " rintihnya.
Emma yang tidak mengerti rasa 'sakit' macam apa yang Meira rasakan hanya bisa mengusap punggung Meira dan membiarkan gadis muda itu menangis.
"Sakit sekali. Kenapa hanya aku yang tidak baik-baik saja, sementara ia dengan seenaknya mengacaukam semuanya. Meruntuhkan tembok pertahanan yang selama ini ku buat," isaknya.
Tanpa mereka berdua sadari, Karel melihat itu semua. Tangannya terkepal, ia tidak bisa melihat Meira menangis seperti itu, apalagi itu karena dirinya.
"Sakit sekali rasanya Bi .... "
TBC