23

767 90 25
By Skynightna98

Masih di galeri?

Pesan itu masuk beberapa menit yang lalu kala Pandega sibuk dengan dunia desainnya.

Iya, sebentar lagi Saya akan pulang.

Ketik Pandega lalu ia kirim kepada pihak yang sudah bertalu-talu menanti balasan.

Kalo kutelpon ganggu, gak?

Pandega segera mengetuk ikon telepon dan terhubung dengan si penanti.

"Kamu belum istirahat?" kata pembuka Pandega begitu panggilan disaut oleh si penanti di seberang sana.

"Masih ngitungin rupiah buat belanja besok pagi." balas si penanti yang sok menyibukkan diri padahal bolak-balik mengecek gawai.

"Sama siapa Kamu akan belanja?"

"Adikmu." terselip fantasi di mana sosok Pandega menemani ia berbelanja.

"Dia sering melakukannya?"

Arane di seberang sana hanya bisa mendengus tipis serta membuang jauh fantasi tingginya.

"Kadang-kadang, alibi aja, sih, biar bisa ketemu gebetannya."

"Kamu lebih tahu tentang adik Saya, ya." goda si pria.

"Kamu kan pejabat, ketemu pas sarapan pagi aja Renjana udah bersyukur." bukan Arane tanpa kalimat bernada sindiran.

"Sindiran ini murni dari Renjana atau Kamu selubungi?" tebak Pandega mencium sesuatu.

"Giliran kek gini sensor kepekaanmu luar biasa, ya."

Pandega tak kuasa menahan tawa.

"Weekend ini Kamu bisa luangin waktu, gak? Ada pameran kontemporer di museum, baru aja buka rabu kemarin dan minggu pertama tiketnya digratiskan." Arane menyampaikan maksud utama dari sesi bincang jauh ini.

"Mungkin hari minggu Saya bisa, jam berapa pamerannya dimulai?" jawaban yang Arane harapkan penuh terlontar.

"Dari jam 9 pagi sampek jam 9 malam."

"Kamu ingin pergi jam berapa?"

"Tergantung sepadet apa acaramu hari sabtu."

"Maksudnya?" kening Pandega mengeriput tak paham.

"Weekend Kamu pasti sibuk banget sama klien di luar galeri. Kalo sabtu ini jadwalmu padet, mending kita perginya pagi. Jadi tengah hari kita pulang dan Kamu bisa istirahat." penjelasan dari seberang sana yang mampu menyentuh organ kecil di atas kanan rongga perut Pandega.

"Kamu perhatian sekali dengan Saya." balasan atas rasa haru si pria.

"Aku gak bisa mengabaikan orang, apalagi orang itu dekat." terdengar penurunan nada dari si puan yang mengesankan kepolosan dan ketulusan.

"Terima kasih untuk hati baikmu, Arane." perdana nama si puan disebut.

Tanpa diketahui oleh si pria bahwa si puan di atas kasur kamarnya sana sedang guling-guling.

"Lekas pulang, Aku tutup." arane tidak tahan menutupi kesaltingannya.

Pandega menatap bingung gawainya, apa dia terdengar sedang menggombal?

Menggeleng, dia lekas mencabut sambungan listrik ke berbagai perangkat elektronik. Memakai jaket dan perlengkapan berkendara, lalu beranjak keluar. Baru menunggangi motor, gawai di tas berdering. Ia mengira Arane ingin mengatakan sesuatu lagi, ternyata bukan.

"Halo, Meg?"

"Om Dega!"

"Oh, Jovan. Ada apa, Boy?"

Pandega menunda pulang, meluangkan waktu bicara untuk si bocah.

...

Baru saja Arane terjun dari kasur usai berguling-guling saking melelehnya dipuji oleh si mantan pria menyebalkan. Omong-omong, Arane telah bebas dari gipsnya senin lalu dan tetap dianjurkan hati-hati dalam beraktivitas.

Berhenti mengaduh, dia bangkit menuju lemari. Memilah pakaian mana yang cocok buat kencan pertama mereka. Setengah jam mengobrak-abrik isi lemari, hasilnya hanya kesemrawutan. Mungkin mendatangi butik andalan adalah jalan ninjanya.

Esok sore setelah warung tutup, Arane berkunjung ke butik milik teman SMA-nya.

"Aroma-aromanya lagi kasmaran, ya?" si pemilik butik sebut saja Nadia berceletuk.

"Emang kasmaran ada baunya?"

"Bener tebakanku." simpul Nadia sambil manggut-manggut.

"Cukup untuk jadi reporter gosip, pilihin yang pas buat Aku!" titah Arane karena sejak tadi Nadia sama sekali belum memberi rekomendasi.

"Kalo mau ke museum ... ini." Nadia mengambil satu potong vintage dress.

"Kesannya Aku kek anak old-soul, gak, ah." tolak Arane kurang sreg.

"Yaudah, bentar." Nadia menuju standing hanger atasan, lalu berpindah ke standing hanger lain hingga 3 potong kain terkumpul.

"Nih, pas buat badan ekstramu yang masih keliatan curvy. Tinggal dipaduin sama sneaker putih, cakep!" papar si pemilik butik mengulur kaos putih pas badan, midi skirt berwarna gelap yang minim motif, dan jaket denim putih.

Arane menerima 3 potong kain itu lalu masuk ke kamar pas. Beberapa saat kemudian ia keluar, padu padan yang Nadia rekomendasikan membuat Arane tampil stunning tanpa berlebihan dan tampak semiformal.

"Aku jamin si doi bakal terpana dengan penampilanmu ini." Nadia memastikan Arane yang masih mematutkan diri pada cermin.

"Yadeh, Aku ambil."

Nadia tersenyum bungah, pengaruhnya sukses meyakinkan sang teman.

"Harga normal aja, jangan harga temen." pesan Arane ketika Nadia akan membawanya ke kasir.

"Sip, siap!"

Sabtu yang cerah, Arane kian berdebar jelang kencan perdana dengan Pandega. Segala persiapan ia perhatikan sampai mendetail, serasa benar akan kencan dengan oknum pejabat tinggi.

Makin memikirkan kencan itu, perut Arane terasa kembung dan selera makannya jadi turun. Lebih baik mencari kesibukan lain kala warungnya tutup karena akhir pekan. Menjadi sukarelawan di Rehat Sejenak Café milik Endra jadi pilihannya.

Arane mengganti pakaian, menyemprot parfum, lalu menyambar tas selempang dan kunci mobil. Begitu tiba di pintu gawainya berdering, menampilkan panggilan dari Pandega.

"Iya?" Arane mengangkatnya.

"Saya minta maaf." lontar si pria ujug-ujug bikin firasat Arane tidak enak.

"Hah, maaf un-"

"Saya lupa pernah berjanji dengan anak kecil akan membawanya pergi ke taman air. Dan dia memintanya besok." terdengar desahan kasar dari seberang yang menunjukkan sebuah penyesalan terdalam.

Arane tercenung, butuh beberapa sekon memulai ulang sistem di otaknya.

Jangan tanya seberapa kecewanya Arane yang sudah siap bukan kepalang untuk kencan pertama mereka. Tapi mau bagaimana, Pandega lebih dulu berjanji ke anak itu. Dan lagi, janji itu pada seorang anak kecil.

Ah, anak kecil? Benak Arane otomatis tertuju pada anaknya Megantari.

"Kamu tidak keberatan jika diganti hari lain?" Pandega buka suara di tengah jeda yang penuh keheningan.

"Yeah, pamerannya sampek akhir bulan depan. Kamu gak boleh ngecewain anak kecil." sambar Arane cepat.

"Terima kasih, dan maaf ...."

"Kabarin Aku kalo Kamu gak sibuk."

Dengan cepat Arane menutup panggilan. Mendial nomor lain dan menyampaikan, "Aku gak jadi ke kafemu, Dra. Ada urusan mendadak."

Suasana batinnya HANCUR, TAK TERTOLONG.

...


Klien itu baru saja berlalu, menyisakan Pandega dengan uraian napas berat. Kepalanya terasa berat, pundaknya terkulai usai mengecewakan wanita yang sedang ia dekati. Kadung mengiyakan ajakan si puan malam lalu, menjelang esok ia gagalkan.

Tidak tahukah Pandega, bagaimana persiapan yang Arane lakukan?

Menyeruput terakhir minumannya, Pandega lalu beranjak dari sebuah kafe tempat temu dengan sang klien. Begitu keluar, dua obsidian netranya disuguhi sebuah pemandangan yang agak menyakitkan.

Arane, perempuan yang sedang ia dekati ada di seberang jalan sana. Berjalan bergandengan dengan seorang pria yang Pandega yakini lebih muda dari si puan. Mereka tampak mengobrol hangat memasuki sebuah department store persis di seberang kafe.

Siapa dia?

Tercium aroma hangus dan asap tipis-tipis dari dada kiri. Cemburu, sekata yang bisa mewakili penuh perasaannya saat ini.



Secepat itukah kekecewanmu menghilang, Arane?

Tebece

Continue Reading

You'll Also Like

6.2M 81.6K 47
GUYSSS VOTE DONGG 😭😭😭 cerita ini versi cool boy yang panjang ya guysss Be wise lapak 21+ Gavin Wijaya adalah seseorang yang sangat tertutup, ora...
927K 70.4K 31
Aku tak menyangka diusiaku yang ke dua puluh tujuh aku sudah memiliki dua orang anak remaja dan suami ya bersahaja. Aku disini akan menceritakan tit...
354K 18.3K 39
Pengkhianatan bukan sekedar melukai perasaan, melainkan juga akan meruntuhkan sebuah kepercayaan. Jika sebuah kepercayaan telah dihancurkan, jangan p...
Janji By Devira

General Fiction

492K 38.5K 32
Setelah lebih dari 15 tahun hidup berdua dengan bunda setelah ayah menceraikan dan mencampakkan mereka atas nama cinta dengan wanita itu. Kaya dipert...