"Saat itu aku marah... sangat marah pada ibu yang menjadi alasan ayahku terluka dan menangis."
“LIHATLAH APA YANG ANAKMU LAKUKAN PADA ANAKKU!”
Iwaizumi bungkam saat teriakan dari ayah Ishikawa mengudara. Pria itu memaki-maki Iwaizumi dan Mirai berulang kali, jari telunjuknya menunjuk ayah dan anak yang tengah duduk di depan mereka.
“DIA MEMUKUL PIPI ANAK LAKI-LAKIKU HINGGA BENGKAK!”
Ishikawa mendecakan lidah. Ia nampak jengah dengan sang ayah yang terus berteriak dan mengancam akan membawa masalah ini ke jalur hukum. Guru mereka sampai kewalahan menangani emosi kepala keluarga Ishikawa itu.
Sementara itu nyonya Ishikawa justru memperhatikan Iwaizumi lekat-lekat, ia berdehem berulang kali untuk menarik perhatian Iwaizumi. Dia terlihat sengaja memakai pakaian yang agak terbuka ketika tau bahwa Iwaizumi akan datang karena masalah ini.
“Inilah akibatnya anak yang tumbuh tanpa ibu! Lihatlah! Dia tumbuh jadi anak yang menyimpang!”
BRAK!
Gebrakan terdengar, sontak membuat seluruh orang dalam ruangan terdiam. Meja yang retak akibat pukulan dari Iwaizumi membuat mereka semua menelan ludah ngeri. Mirai sendiri pun begitu. Selama 17 tahun dia hidup, baru kali ini dirinya mendapati sang ayah semarah ini.
Tangan ayahnya memang besar, tidak heran jika sekali memukul bisa retak begitu.
“Jangan pernah sekalipun anda berani memaki anak atau istri saya.”
Iwaizumi tidak ingin menunjukan sosoknya yang menyeramkan ini pada Mirai. Tidak ingin membuat anak semata wayangnya ketakutan. Tapi mereka sudah di luar batas.
“Saya tidak ingin jika ada hal lain selain meja ini yang retak.”
Iwaizumi menarik nafas panjang, kemudian mengulas senyum pada sang anak. Sorot matanya melembut saat bersitatap dengan iris mata Mirai.
“Ayo, nak.”
Keduanya pergi meninggakan ruangan, dibarengi tatapan ngeri dari pasangan Ishikawa serta tatapan yang sulit ditebak dari anak semata wayang mereka.
~
“Mirai?”
Iwaizumi menutup pintu, kakinya berusaha menyamai langkah sang anak yang terburu-buru menuju kamar. Remaja berusia 16 tahun itu nampak emosi. Saat Iwaizumi datang ke ruang kepala sekolah, ia tau bahwa anaknya itu tengah menahan amarah. Iris matanya terus menerus menatap Tuan Ishikawa tajam, sorot matanya memancarkan benci pada tiap makian yang Tuan Ishikawa keluarkan untuk sang ayah.
“Nak?”
Langkah kaki Mirai terhenti.
Iwaizumi bisa melihat tangan Mirai yang mengepal kencang. Ia tau, anak semata wayangnya tengah menahan tangis.
“Ayah, kenapa ibu meninggalkan kita?”
Rasa nyeri kembali melingkupi dada. Iwaizumi menatap nanar sang anak. Dirinya tidak pernah sekalipun memberi tahu Mirai apa yang terjadi dengan [Name]. Tidak pernah memberi tau mengapa Mirai harus tumbuh tanpa kasih sayang seorang ibu.
Iwaizumi tidak sanggup jika harus mengatakan itu kepada Mirai, mengatakan alasan mengapa [Name] tiada.
Sungguh, Iwaizumi tidak sanggup.
“Ibu tidak—“
“Ibu tidak meninggalkan kita. Itu kan yang akan ayah katakan?”
Mirai sudah muak, muak dengan jawaban sang ayah yang selalu sama. Ia tumbuh dengan percaya akan harapan bahwa ibunya suatu saat akan kembali. Mirai percaya bahwa sosok yang di dalam foto itu akan datang memeluknya, mengucapkan kata maaf karena telah meninggalkan mereka berdua.
“Ayah selalu berkata bahwa ibu adalah orang yang paling menyayangiku, ayah berkata bahwa ibu adalah orang yang paling baik di dunia ini, ayah berkata bahwa ibu tidak pernah meninggakan kita.”
Iwaizumi tercekat ketika Mirai berbalik, menampakan sepasang iris mata yang penuh derai air mata. Kekecewaan yang besar tersimpan di iris mata itu.
“Tapi kenapa dia tidak pernah sekalipun berada di sini, ayah?!”
Sesak sekali. Tiap kali menarik nafas, Mirai merasa rasa sesak yang luar biasa. Ayahnya pasti akan merasakan hal yang demikian. Rasa sesak yang menjalari dada hingga keduanya kalut mencari cara untuk meredakannya.
“Kenapa, ayah?!”
Mirai benci, sungguh benci dengan sosok yang berada di dalam foto itu. Benci dengan ketidaktahuan mengapa sosok itu pergi. Benci dengan alasan sang ayah selalu sendu tiap kali menatap foto itu.
Benci dengan alasan utama ayahnya disalahkan karena tidak adanya sosok ibu.
“KENAPA HANYA FOTO-FOTO INI YANG DIA TINGGALKAN UNTUK KITA, AYAH?!”
PRANG!
Pecahan kaca bertebaran, selembar foto wanita yang tengah tersenyum lebar tergeletak di lantai. Membuat rasa sesak dalam dada kembali menjadi-jadi. Tidak ada satupun dari pecahan kaca itu mengenai Mirai walaupun anak semata wayangnya itu membantingnya keras-keras.
Brak!
Iwaizumi memungut pecahan kaca itu dalam diam. Memastikan semanya terambil agar nanti tidak melukai Mirai. Ia menatap foto sang istri lekat-lekat, kemudian dengan perlahan menghapus debu yang mengotorinya. Dengan lembut mengusapnya seakan-akan ia tengah mengelus sosoknya.
“Maaf.”
Iwaizumi tidak ingin menangis. Ia tidak ingin membasahi foto sang istri dengan air matanya sendiri. Tapi, rasa sesak itu mengalahkan bendungan air mata yang mati-matian ia pertahankan.
Ia merasa bersalah. Ia takut mengatakan hal yang sebenarnya pada Mirai. Ia takut menyaksikan ekspresi sang anak ketika tau kenyataan tentang ibunya.
Iwaizumi takut jika nanti Mirai akan menyalahkan dirinya sendiri atas kematian ibunya.
“Maafkan aku, [Name].”