Bagian dari bencana itu ketika engkau mencintai, sementara orang yang kau cintai tidak mencintaimu
Imam Asy Syafii
..
.
.
.
.
Sudah beberapa hari berlalu semenjak insiden di ruang rapat hari itu. Dan sejak saat itu pula aku sama sekali belum pernah bertemu dengannya. Lebih tepatnya, aku sedikit menghindarinya dan dia pun tak pernah lagi menyempatkan diri untuk bertemu denganku.
Aku memaklumi kesibukannya. Dibanding semua anggota BEM, Arfan-lah yang akan sibuk menjelang pelantikan Presiden dan anggota-anggota BEM yang baru. Mulai dari laporan pertanggungjawaban hingga sidang yang akan dilaksanakan lusa di depan para rektor dan dekan kampus. Ku pastikan dia pasti jarang pulang ke rumah dan lebih memilih banyak menghabiskan waktu untuk menginap di kampus atau kost-an milik temannya yang jaraknya tidak begitu jauh dari kampus. Dibandingkan harus pulang ke rumahnya yang jaraknya bisa sampai satu setengah jam.
Malam insiden itu, sebenarnya Arfan sempat mengirimkan ku pesan. Bukan untuk minta maaf. Sekali lagi ku ulangi, bukan untuk minta maaf. Tapi, hanya untuk sekedar menanyakan apakah aku masih marah dengannya atau tidak. Benar-benar luar biasa.
Allah menciptakan akal dan kekuatan lelaki lebih daripada perempuan, nyatanya perempuan lebih berpihak pada perasaan. Tetapi lelaki sebaliknya apapun yang dia rasakan berpihak pada akalnya, maka dari itu lelaki sulit untuk merasa peka terhadap apapun. Termasuk untuk mengakui atau sekedar merasakan mereka bersalah atau tidak.
Karena mendapati bahwa cowok itu sama sekali tidak meminta maaf denganku, aku mengabaikan pesannya. Hari juga sudah larut saat itu sehingga aku hanya sempat membaca pesannya dari notifikasi yang muncul di layar ponselku. Ku pikir, lelaki itu akan kembali menghubungiku tiga hari setelahnya dalam keadaan sadar atas kesalahannya mengingat kebiasaannya yang tak pernah mendiamkan siapapun lebih dari tiga hari.
Namun, aku salah. Aku juga baru mengingat jika Arfan pasti tak punya banyak waktu luang untuk sekedar mengirim pesan kepadaku. Dalam beberapa pertemuan terakhir saja rapat BEM sementara digantikan oleh Tama. Mungkin kerongkonganku akan kehabisan napas jika aku yang berada di posisinya. Sebagai staf saja aku masih suka mengeluh. Apalagi berada di posisi tinggi seperti itu.
Aku mengetikkan sesuatu untuk ku kirimkan padanya.
Besok ikut jemput Ayah, nggak?
Terlalu lama berteman dengan Arfan membuatku tertular penyakit gengsi yang sama dengannya. Bedanya, aku baru terjangkit sedangkan Arfan sudah mendarah daging. Butuh ikhtiar dan do'a yang tak pernah putus untuk dapat mengubahnya.
Aku teringat perkataan Ummi semalam bahwa besok Ayah-nya Arfan sudah bisa pulang kembali ke rumah. Terhitung sepertinya sudah hampir sebulan beliau terbaring di bangsal rumah sakit. Aku lega sekali begitu mendengar perkataan Ummi. Meskipun tak sembuh sepenuhnya, tetap saja aku lega karena tidak lagi melihat beliau harus tergolek lemah di atas bangsal. Aku harap ada sedikit keajaiban dari Allaah untuk menyembuhkan beliau. Tak ada yang tak mungkin dengan kuasa-Nya, bukan? Semoga menjadi penggugur dosa untuk beliau dan keluarga.
"Proker kita yang terakhir kok belum ada di blog ya, Ra?" Tanya Tama yang secara kebetulan menghampiriku yang tengah menyender di pilar masjid. Rasanya panas sekali jika harus segera kembali ke kelas.
Aku menepuk jidatku sambil meringis antara takut dan sakit.
"Astaghfirullah. Aku lupa. Udah aku buat, Ma. Tapi lupa dikirim ke Alma. Dia juga kayaknya lupa, deh. Soalnya gak ditagih sama dia." Aku merutuki keteledoranku dalam hati. Rasanya seperti kurang bertanggung jawab terhadap amanah yang diberikan kepadaku.
Meskipun aku melakoninya dengan terpaksa, namun itu bukan alasan untuk tidak bertanggungjawab, kan? Ah, ada apa denganku ini?
"Iya, Alma nggak nagih karena sebenarnya itu gak begitu penting, sih, Ra. Tapi, karena itu proker terakhir kita, jadi menurutku harus dimasukin ke blog kampus. Siapa tau bisa menginspirasi struktur baru yang bertugas nanti." Jelas Tama. Dia ini semakin lama pintarnya jadi seperti Arfan saja. Jadi menular apa gimana? Kalau menular, kenapa a ku yang jauh lebih lama dekat dengan Arfan justru tidak kebagian sama sekali? Arfan memang pelit denganku.
Aku berdiri dari posisi dudukku lalu berpamitan dengan Tama sepertinya juga ingin meninggalkan Masjid.
Sebelum membawa langkahku semakin jauh, aku mendadak teringat dengan teh herbal titipan Ummi tadi pagi sebelum berangkat. Aku segera mengeluarkan tumblr berwarna peach berisi teh herbal dari tasku lalu segera berbalik menghadap Tama yang hampir sejajar dengan langkahku. Aku mengulurkan tumblr itu ke arahnya hingga membuat kedua alisnya nyaris menyatu. Pertanda ia kebingungan.
"Tolong kasiin ke Arfan," Ucapku berniat menjawab kebingungannya.
"Kok nyuruh aku? Kenapa gak kasih sendiri?" Selain kecerdasannya yang menular, sepertinya sifat Arfan juga banyak yang menular ke Tama. Menyebalkan!
"Aku kan minta tolong. Kalau ketemunya gampang juga ngapain aku minta tolong." Berhadapan dengan orang-orang seperti mereka, kita hanya perlu satu keahlian. Menyahut. Hingga mereka bungkam dan diam.
Tama meraih tumblr yang ku ulurkan tadi sambil berdecak kesal.
"Harus ikhlas, dong. Pahala, lho. Masa dianggurin. Kayak udah ngerasa punya kunci surga aja." Aku terkekeh melihat Tama yang memutar bola matanya ketika mendengar ucapanku.
"Nggak gratis, ya. Jatahku setengahnya." Tanpa menunggu jawabanku, lelaki bertubuh imut itu berlalu dari hadapanku.
"Kayak sanggup habisin aja," Gumamku teringat rasa dari teh herbal tersebut. Hampir seperti jamu menurutku.
***
Kukira Arfan tak akan datang hari ini karena sibuk dengan persiapan sidang besok. Namun ternyata aku salah. Meskipun kedatangannya begitu terlambat. Tepat saat semua orang lagi siap berkemas.
"Sibuk amat, bro," Aku yang membantu memasukkan perlengkapan Ayah Arfan ke dalam tas bersuara begitu mendapati pintu kamar telah di buka oleh sosok berwajah kurang tidur yang berdiri di sana. Lingkar mata yang hitam membuatnya menjadi sangat mirip dengan panda di mataku.
"Sibuk beneran tau. Jadi ketua BEM nanti, tau rasa kamu." Dia melemparku dengan kulit jeruk yang sudah dikupasnya.
"Buang di tempat sampah, Fan." Tegur Bunda melihat kelakuan anak bungsunya.
Arfan terkekeh tanpa alasan di tempatnya. Mungkin saja dia kerasukan arwan salah satu penghuni di sini.
"Nanti sekalian Kaira aja, Bun. Arfan capek."
Dia itu benar-benar, ya. Berlagak seperti bos seolah aku adalah pembantunya. Ingin sekali rasanya ku jepit kepadanya itu di bawah penyangga sofa.
Astaghfirullah! Istighfar, Kaira. Kan, tadi Arfan lagi kerasukan. Bisa jadi itu ulah salah satu makhluk yang sekarang bersemedi di dalam dirinya.
Aku memungut kulit jeruk di dekat kakiku lalu membuangnya di tempat sampah. Mataku mendelik rasanya bahkan ingin copot melihat Arfan yang dengan santainya sedang memejamkan mata di samping Ummi.
"Berangkat sekarang ya, Bun." Suara Bang Wildan membuat kami semua bersiap. Terkecuali Arfan. Dia sibuk protes karena menurutnya dia baru saja sampai dan penghuni ruang rawat ini malah langsung pergi.
"Lagian kelamaan, sih. Sibuk pacaran ya kamu."
Arfan otomatis menggeleng begitu mendengar ucapanku.
"Enak aja. Aku gak pacaran, ya. Itu mah kamu. Maksiat kok terang-terangan." Protes Arfan dengan menyeret-nyeret namaku dalam ucapannya. Tipikal orang yang tidak mau tergelincir sendiri.
Mendengar ucapan Arfan. Semua mata dalam ruangan serentak memandang ke arahku. Aneh. Kenapa saat aku yang berbicara tadi mereka tidak melakukan hal yang sama. Bahkan terkesan seolah pangeran mahkota yang tercinta itu tidak akan melakukan hal tersebut. Berbeda saat Arfan yang mengatakannya barusan. Tatapan mereka membuatku seolah akan dihakimi di tempat. Terutama tatapan Ummi. Syukur saja hari ini hanya aku dan Ummi yang pergi ke rumah sakit. Akan panjang urusannya juka tadi Ayah dan Bang Aidan juga ikut berada di sini.
"Ye...sembarangan kalau ngomong. Aku aja gak kenal orangnya dibilang pacaran. Awas ya Arfan," ucapku dengan nada kesal sekesal-kesalnya. Namun, mendengar pembelaanku, Ummi sama sekali tidak merubah ekspresi di wajahnya sehingga mau tak mau aku harus menjelaskannya dari awal.
"Tetap aja, Ra, lain kali kamu harus lebih jaga jarak berarti. Dia laki-laki asing. Kita sama sekali nggak ada yang kenal. Jangan sampai setan mengambil peluang." Ummi menasehati membuatku hanya bisa menunduk dab mengangguk.
Sedangkan Arfan? Jangan lagi ditanya. Lihat saja ekspresinya sudah seperti menang lotre. Eh, astaghfirullah. Judi kan haram.
Setelah mengantar Ayah Arfan hingga ke lobi rumah sakit, aku dan Ummi langsung pulang ke rumah. Tidak ada lagi yang harus ku urus di luar rumah sehingga sisa waktu hanya ku habiskan di dalam kamar membaca beberapa jurnal untuk referensi skripsiku di semester mendatang. Kata Bang Aidan, aku harus mulai menyusunnya dari sekarang. Bahkan, kalau tahun ini aku tak terdaftar sebagai anggota BEM akan lebih baik untuk memulainya di awal tahun agar cepat selesai katanya.
Aku sempat memeriksa ponselku begitu mendengar notifikasi masuk.
Kamu harus tau masalah ini, Ra.
Satu kalimat dari Salma berderet derngan segala kemisteriusannya. Apa maksudnya? Apa yang harus kekutehui.
.
.
.
.
Jangan lupa vote dan comment yaaah;)
Thank's for reading my absurd story 😂.
Assalamu'alaikum gaiss.. MaasyaaAllaah. Terimakasih sudah mampir di cerita Arfan dan Kaira, yah.
Jujur aja, ini tulisan pertama yang pengen banget aku selesaiin. Jadi, jika terdapat banyak typo atau lainnya, tolong dibenarkan, ya.. Aku sangat menginginkan masukan dan saran dari pembaca sekalian.
Jazaakumullaahu khairan Katsiiran.
Salam hangat buat VIERS,
Dari Fie.