.
.
.
"Rose." Aku segera menyembunyikan mangkuk pemberian Chanyeol yang isinya sudah kulahap habis ketika Eunha memanggil dan mendekat. Aku meneguk air yang diberikan oleh Chanyeol saat Eunha berjongkok didepanku. “Apakah saudaramu itu bagian dari kita atau musuh? Kenapa dia malah mendekat kesana?” Ucap Eunha dengan lirih.
Aku mengusap bibirku dengan punggung tangan, menghilangan bekas air disana. “Biar aku yang urus.”
“Pastikan saja secepatnya. Aku akan membiarkannya jika memang dia ada dipihak kita. Jika dia ada dipihak musuh maka jangan salahkan aku jika akan ada pertarungan tidak terduga antara aku dan dia.”
"Selama aku masih hidup dia tidak akan berani macam-macam."
"Aku tahu.” Eunha memicingkan mata kearah Joshua berada. “Tapi dia terlihat sangat mencurigakan. Dia seperti berdiri di dua sisi.” Aku menoleh ke belakang, melihat Joshua yang seperti tengah mencari-cari sesuatu di depan sana. Aku tidak menyalahkannya jika dia mengkhawatirkan sang pujaan hatinya itu. Cinta memang bisa membutakan siapapun dan apapun, aku pernah mengalaminya. “Kuharap kau hati-hati dengannya. Bilang saja kalau dia berniat berkhianat. Aku yang akan urus.”
Aku menatap Eunha tenang, "Ya, kau tenang saja." Aku mengerjap beberapa kali. “Pergilah ke posisimu. Mungkin penyerangan akan terjadi lebih cepat.” Eunha mengangguk dan pergi, kembali ke posisinya.
Sepeninggal Eunha aku mulai melacak keberadaan Joshua, dan melihatnya terdiam sembari menatap pasukan musuh. Mungkin benar, perang ini akan memiliki akhir yang menyakitkan untuk setiap orang dengan caranya sendiri. Dan ketika terjadi, akan seperti apa diriku nanti.
.
.
.
Kami sudah bersiap, rencana sudah disebar. Sudah cukup bagiku mengumpulkan energi dan menata kekuatan agar mampu mendukung setiap pergerakan dari bangsa Arven dan penyihir. Kondisi prima adalah yang paling penting, aku tidak mungkin memperlihatkan diriku yang lemah pada pasukanku, apalagi pada Taehyung nanti. Aku harus berdiri dengan kukuh, memberi motivasi dan semangat secara tidak langsung agar pasukanku tidak gentar menghadapi apapun yang ada didepan.
Aku berjalan menuju barisan paling depan, memimpin pergerakan dengan setenang mungkin. Aku mulai menyebarkan angin secara perlahan sembari membaca pergerakan lawan. Dalam mode Arven aku menggunakan mataku dan melihat keadaan dengan menembus setiap pohon di hutan ini.
Mereka menunggu.. pasukan musuh menunggu. Dengan gestur siap. Mesin-mesin perang siap. Sangat banyak. Terlalu banyak. Aku tahu, tanpa harus menghitung, bahwa kami kalah jumlah, banyak sekali. Hanya kekuatan magis satu-satunya harapan kami. Kuharap cukup, paling tidak seimbang.
Pasukan musuh memenuhi setiap inci daratan, mengambil semua keuntungan yang dapat ditemukan. Kalau mau, aku bisa menyudutkan mereka ke sisi hutan dengan pepohonan paling lebat. Tapi pastinya, mereka sudah memperhitungkannya. Mereka juga lebih berpengalaman. Pastinya, ada berbagai macam kejutan yang mereka siapkan untuk kami. Itulah gunanya aku, memprediksi apapun itu rencana kejutan mereka.
Mataku bergetar. Seseorang dengan baju tempur lengkap berjalan melewati baris depan pasukan. Tameng besi dengan lambang negara mengkilat-kilat. Senjata tembak berukuran cukup besar ia pegang dengan satu tangan, tidak lupa beberapa senjata lain yang tersimpan rapi didalam saku-saku baju tempurnya. Raut wajah tegas dan tanpa ampun ia perlihatkan. Dia berhenti di barisan paling depan. Menatap jauh dengan semangat membara.
Dia disini. Kim Taehyung benar-benar di sini.
"Rose, fokuslah." Bisik Yuqi yang menyadarkanku.
Bohong jika kubilang aku tidak senang melihatnya lagi. Tapi, kami sedang tidak berada di rumah sakit atau istanannya yang nyaman untuk sekadar bertegur sapa.
"Jangan teralihkan, Rose. Anggap dia salah satu musuhmu, dan kau tidak tahu tentang dia." Sambung Yuqi yang kusetujui dalam diam.
“Bagaimana?” Tanya Chanyeol disampingku.
“Terlalu banyak mesin tempur dan pasukan. Kalah jumlah telak.” Jawabku dengan nada rendah dan serius.
Chanyeol diam sesaat sebelum berkata, “Menurutmu, kita punya waktu berapa lama?”
Aku diam sesaat, memikirkan kata-kata paling meyakinkan. Bagaimanapun, aku yang bertanggung jawab disini. Aku mengedipkan mata sekali, dan menjawab, “Beberapa jam. Itupun kalau Joshua yang tahu alat tempur bisa merusaknya sampai benar-benar tidak dapat dipakai lagi.”
“Baiklah. Beri saja sinyalnya, kami akan bergerak.”
Aku mengambil napas dalam sebelum melangkah maju perlahan. Kuangkat sebelah tanganku dan menyalakan serentetan api di atas tanah dan memberikan sedikit air hingga membentuk kepulan asap. Kuperbesar kepulan itu dengan angin hingga menciptakan asap yang cukup untuk mengurangi jarak pandang dan mengganggu pernapasan musuh. Dan inilah waktunya Eunha dan penyihir lainnya mulai menata barisan untuk menyiapkan serangan.
Sebuah suara keras mulai terdengar dari sisi lain hutan.
BOOM!
Sebuah peluru meluncur dengan cepat dari meriam. Dengan sigap Chanyeol dan beberapa Arven membuat tembok tanah berlapis untuk menahan gempuran. Joshua membantu mengalihkan arah gerak ledakan dengan anginnya. Dia juga terus maju secara perlahan, bersiap untuk merusak senjata-senjata musuh.
Melihat serangan pertama mereka tidak sampai menyentuh kami, Taehyung pun mengeluarkan suara lantang, memerintah pasukannya. Beberapa tank di kerahkan untuk membelah barisan kami. Barisan prajurit bertubuh besar berbalut rompi tempur dilengkapi senjata mematikan bergerak dibelakangnya.
Chanyeol mengerang cukup keras sambil mengerahkan kekuatan tanah dan membuat beberapa tank terbalik. Memanfaatkan keadaan, Joshua mulai merusak beberapa mesin tempur dan senjata musuh dengan kekuatannya. Bersamaan dengan itu Eunha juga mulai menyerang barisan prajurit di belakang.
Suara peluru memberondong kami tanpa henti, disambut oleh amukan kekuatan alam yang bergantian dari pihak kami. Mampu kurasakan kekuatan yang berputar di sekitarku begitu besar. Keempat roh itu bekerja dengan keras dan secara tidak langsung itu mempengaruhi tubuhku.
Aku menghentikan penglihatan istimewaku dan membungkuk dengan satu kaki sebagai pijakan di atas tanah. Kucoba atur napasku kembali, dan mencoba menyadarkan diri bahwa ini bukan saatnya menjadi lemah. Namun, ketika aku sadar, sebuah moncong pistol sudah mengarah lurus di depan mataku.
Aku sedikit mendongak dan kudapati Kim Taehyung berdiri tegak dengan pandangan tajamnya. Kedua mata kami saling bertukar pandang cukup lama. Debaran jantungku yang cukup kencang membuat tubuhku sedikit gemetar. Dingin langsung menjalari bagian dalam tubuhku. Tatapan itu.. tatapan seperti itu tidak pernah ia perlihatkan padaku sebelumnya. Jadi begitu. Perang. Itulah yang ia tanamkan dalam pikirannya saat ini. Dan aku adalah musuh terbesarnya.
"Rose, menghindar!" Teriak Joshua bersamaan dengan Taehyung yang menarik pemicunya. Dengan cepat aku mengangkat satu tangan dan sebuah dinding tanah mengenai moncong pistolnya hingga tembakan Taehyung meleset keatas. Bertepatan dengan itu Joshua berhasil meraih tubuhku dan membawaku terbang menjauh.
"Bawa Rose menjauh!" Titah Chanyeol.
Aku mengerutkan keningku. "Jangan seenaknya!" Ucapku keras.
"Kau terlalu lemah. Pergilah dan pulihkan kekuatan mu, kami lebih membutuhkan itu."
"Aku tidak lemah!" Ucapku sambil terus memberontak agar Joshua menurunkanku.
DOR!
Chanyeol menampik sebuah peluru yang meluncur kearahnya. "Dia pemimpinnya. Akan kuhabisi agar semua cepat selesai."
"Aku yang akan mengurus Taehyung!"
"Jangan bilang kau mengatakan itu karena kau mencintainya dan dia adalah ayah dari anakmu?" Sindirnya tepat.
DOR!
"Tidak ada waktu untuk berdebat. Cepat pergi saja Rose!" Bentak Chanyeol.
Aku melompat begitu saja dari gendongan Joshua ketika melihat Chanyeol berlari menghampiri Taehyung. Satu-persatu peluru Taehyung terus menyerang Chanyeol, dan kembali terhalau. Aku melangkah sedikit tertatih di belakang Chanyeol, dan terkejut bukan main ketika tiba-tiba Taehyung berdiri di depanku.
Chanyeol yang bingung, berbalik badan dan melihat Taehyung di balik punggungnya. "Bagaimana mungkin?" Ucap Chanyeol persis seperti yang kupikirkan.
Taehyung meraih pergelangan tanganku, dan aku merasakan kekuatan asing mengalir di sana. Tanpa berkata apapun Taehyung menyeretku ke dalam pusaran kabut hitam.
Hal terakhir yang kudengar hanya teriakan Joshua memanggil namaku, sebelum kedua mataku terpejam karena kilauan cahaya yang menyilaukan. Ketika aku membuka kembali mataku, aku kebingungan setengah mati karena mendapati diriku sudah tidak lagi berada di medan pertempuran.
"Jadi, Apa kata-kata terakhirmu Rose?"
Sebuah suara berat terdengar bersamaan dengan suara tarikan pelatuk di belakang kepalaku. Aku menoleh ke belakang dan mengerutkan keningku melihat wajah Taehyung. "Kau bukan Taehyung." Gumamku lemah. Dia tertawa berat. "Dimana Taehyung?"
Satu tangannya menunjuk dada. "Disini, di dalam tubuhnya. Membisu kaku melihatmu yang akan segera mati di tanganku."
"Tidak kusangka kau akan jadi serendah ini hanya untuk membunuhku, Kim Soo Hyun."
"Ini adalah perang, Rose. Segala cara harus di kerahkan untuk meraih kemenangan. Dan satu-satunya cara untuk menang adalah membunuh pemimpin pasukan musuh. Dan disinilah kau, pemimpin pasukan musuh yang menyedihkan akan mati, ditanganku."
Mendengar dia menekankan kata ‘ditanganku’ aku menggeram kesal, "Itu bukan tanganmu, tapi tangan Taehyung!"
Aku berputar dan menjatuhkannya dengan kakiku. Aku segera berdiri, sembari berusaha mengeluarkan kekuatanku. Tidak terjadi apa-apa.
"Kau lihat? Tanpa bantuan roh-rohmu itu kau bukanlah siapa-siapa Rose." Tubuh Taehyung berdiri membelakangiku dan mulai mengokang pistolnya.
Dengan kondisi panik aku mencoba menghubungi Wendy, Yuqi, Vernon bahkan Johnny. Tapi nihil.
Ada apa ini? Apa aku tidak punya kekuatan apapun sekarang?
"Jadi, biar kuulang Rose. Apa kata-kata terakhirmu?" Ucap Taehyung lagi dengan pistol mengarah padaku.
Aku menatapnya serius. "Aku tidak perlu kata-kata terakhir." Alis Taehyung menukik. "Karena bukan aku yang akan mati di sini." Aku berlari menuju Taehyung dan mencoba meraih pistolnya.
DOR!
"Kau sudah gila Rose!" Geram Taehyung.
"Aku bahkan bisa lebih gila dari ini."
Kuraih pergelangan tangannya dan memelintirnya, memaksa Taehyung melepas pistolnya. Kupukul perutnya dengan siku kananku, membuatnya mundur beberapa langkah.
"Bertarung dengan seorang perempuan saja sudah memalukan untukmu. Apa kau juga mau bertarung menggunakan senjata padaku, Kim Soo Hyun?"
"Tidak masalah, karena dunia ini tidak butuh dua matahari. Satu dari kita harus segera hilang agar tidak menghalangi sinar yang lain."
Aku menyeringai. “Jangan pernah menganggap dirimu adalah sinar matahari yang hangat, bajingan!”
.
.
.
Hayolooh mbak rose.
faditari_13 & kwon_seorind