Mention kalau ada typo.
Happy reading💐
🥀☕️
Kasena Hospital, adalah rumah sakit yang di buat oleh Arsitek bernama lengkap Marva Kennedy. Rumah sakit milik Caitlyn yang kedua.
Sesampainya di Jayapura, Fawnia langsung menelpon sang kakak untuk meminta penjelasan mengenai semua ini. Kenapa bisa ada Marva di sini? Dan bagaimana cara Caitlyn menghubungi Marva?
Ternyata Caitlyn sudah sejak lama berhubungan dengan perusahaan tempat Marva bekerja. Karena tidak terlalu memperdulikan siapa Arsitek yang akan memegang kendali rumah sakitnya, biasa di sebut dengan istilah terima bersih. Caitlyn pun terkejut saat mengetahui jika Kasena Hospital akan di pegang oleh Marva.
Di rekomendasikan langsung oleh perusahaan itu. Tanpa banyak bicara dan berpikir dua kali, saat Marva masih di rawat di Aneska. Di sanalah pria itu menemui Caitlyn ke ruangan untuk membicarakan bisnis mereka yang sempat tertunda karena Marva begitu banyak pekerjaan.
Ada beberapa gambar desain rumah sakit yang sempat Marva tunjukan pada Caitlyn. Desainnya sangat bagus dan sesuai selera Caitlyn.
Pada hari pertama di Jayapura, Fawnia bangun lebih pagi dari biasanya sebab tadi malam dia tidur lumayan cepat. Dengan handuk yang melingkar di leher dan rambut sedikit acak-acakan bertanda baru bangun tidur, berjalanlah dia menuju toilet.
Berniat untuk sikat gigi dan cuci muka. Matanya masih berat untuk di buka lebar, maka dari itu Fawnia menyikat gigi pelan-pelan sambil terkantuk-kantuk memandang dirinya sendiri di cermin. Tiba-tiba pintu toilet di belakang terbuka lebar menampakan Marva telanjang dan hanya di tutupi handuk di bagian pinggang sampai lutut.
Refleks Fawnia menjerit saat itu juga seakan baru saja melihat setan. Fawnia berbalik badan, cepat mendorong Marva kembali masuk ke dalam toilet.
Hampir saja pria itu terpelesat jika tidak berpegangan pada dinding. "Fawnia!" teriak Marva dari dalam.
"Gila lo ya!" Fawnia lepas sikat gigi dari mulutnya agar dapat berbicara jelas. Dia tahan pintu itu sekuat tenaga dari luar agar Marva tak bisa kemana-mana. "Ngapain lo ada di sini? Ini toilet cewek!"
Di dalam sana, Marva mengulas senyuman kecil dan geleng-geleng. Dia maju mendekat pada pintu. "Toilet cewek dan cowok di gabung."
Fawnia naikan satu alisnya bingung. "Jelas-jelas sebelum masuk gue ngeliat tulisan kalo toilet ini adalah toilet cewek."
"Memang, ini toilet cewek. Tapi untuk sementara, ini jadi toilet bersama sampai toilet cowok selesai di bangun." Lembut Marva menjelaskan. "Buka pintunya, Faw. Gue harus pake baju."
"Lo bakal keluar dari toilet dengan penampilan kayak gitu?" tanya Fawnia. Kedua matanya mendelik tidak percaya. Gila saja. Dengan penampilan telanjang dada seperti itu Marva akan keluar dan memamerkan perut sixpacknya kepada orang-orang.
"Kenapa? Nggak boleh?" Di dalam sana tanpa di lihat oleh Fawnia, sudut bibir pria itu terangkat tersenyum menggoda.
Terdiamlah Fawnia di sana. Masih tetap menahan pintu dari luar. Pertanyaan pria itu barusan berhasil membuat Fawnia tak tahu harus menjawab apa. Dia juga bingung pada dirinya sendiri.
Helahan nafas panjang meluncur dari bibir Fawnia guna menenangkan dirinya. "Jangan keluar dulu sebelum gue selesai sikat gigi dan cuci muka."
Di dalam sana Marva mengangguk sebelum menjawab, "Hm, gue tunggu."
Seperti pria yang dapat memegang ucapannya. Seperti itulah Marva. Dia tetap di sana, berdiri menunggu sang wanita selesai. Padahal kalau di pikir-pikir bisa saja Fawnia keluar terlebih dahulu lalu setelah itu di susul Marva. Namun, entah apa yang membuat Fawnia tetap mengurungnya di dalam kamar mandi hingga si wanita selesai menyikat gigi dan cuci muka.
Tanpa memanfaatkan kesempatan yang bisa saja Marva intip Fawnia lewat cela pintu di atas yang setara dengan puncuk kepalanya. Tapi, seorang Marva tidak melakukan itu. Dia justru menunduk memandang kakinya sendiri di bawah. Menunggu wanita di luar pintu kamar mandinya selesai dengan urusannya.
Merasakan ada kain yang mengenai kepalanya membuat Marva menengadah.
"Nih, handuk." Fawnia berikan handuk miliknya pada Marva dari cela atas pintu kamar mandi. Meski sekilas, dapat ia ingat jika handuk yang melingkar di pinggang Marva tak cukup besar untuk menutupi tubuh bagian atasnya. "Pake. Gausa tebar pesona lo di sini," tegas Fawnia menekan kalimatnya.
Marva menerima handuk pemberian Fawnia. Tersenyum dia di dalam. "Siap, Bu Dokter."
°~°~°~°~°~°
Rumah sakit Kasena memiliki delapan lantai, satu lantainya adalah basemant. Di belakang bangunannya terdapat taman yang sangat luas. Mengingat Caitlyn memang suka sekali dengan pemandangan rerumputan, di Kasena dia juga membangun taman yang cukup luas
Disanalah mereka mendirikan tenda-tenda. Seperti yang di perintahkan Direktur Utama untuk membuka pengobatan secara sukarela. Kata lainnya, mereka akan menjadi seorang relawanan selama pembangunan rumah sakit.
Di tenda itulah mereka menerima beberapa orang dengan penyakit ringan saja. Mengingat rumah sakit belum sepenuhnya selesai membuat mereka tak bisa menerima pasien dengan penyakit lebih dari sekedar demam, flu, diare, dan lain sebagainya.
Sementara Fawnia, dia juga ikut membantu. Namun, mengingat dirinya adalah seorang Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa, membuat ia tak bisa bergerak sendiri untuk mendiagnosa penyakit pasien.
Maka dari itu, Fawnia kadang lebih banyak berdiam di pojok hingga akhirnya bosan dan keluar dari tenda.
Untuk hari ini ada dua orang yang membutuhkannya sebagai pendengar. Dua orang itu terlihat kesulitan dalam menjalani hidup, dan stress berlebihan. Fawnia pun tak hanya diam mendengarkan, tapi ia juga memberikan nasihat serta motivasi untuk keduanya agar terus semangat menjalani hidup.
Ya, setidaknya untuk hari ini titelnya menjadi bermanfaat bagi dua orang tadi.
Fawnia melangkah masuk ke dalam bangunan rumah sakit. Dari ruangan satu, ke ruangan yang lain. Tak ada yang spesial, hanya ruangan kosong beraroma zat dari cat dinding dan aroma semen yang sudah kering. Begitu pekat namun tak begitu mengganggu.
Terus Fawnia berjalan hingga dia menemukan ruangan bermeja berbentuk leter U menghadap ke arah jendela luar. Meja yang di gunakan pun adalah meja sekolah, di atasnya terdapat beberapa laptop yang menyaka terbuka. Di sudut sana Fawnia menemukan Jigel, pria itu masih lengkap memakai helm putihnya, duduk di depan laptop sembari melahap wafer coklat.
Meskipun wanita itu masih berdiri di ambang pintu, tapi kehadirannya sudah di sadari oleh Jigel. "Faw?" Buru-buru dia menelan habis wafernya, takut jika Fawnia akan meminta. Jigel bangkit, menghormati kehadiran adik dari clientnya.
Fawnia melangkah menghampiri Jigel. "Ngapain?" sopan Jigel bertanya.
"Nggak ada. Cuma mau lihat pemandangannya aja." Fawnia memasukan kedua tangannya ke dalam kantung jas. Berdiri tepat di hadapan Jigel.
Pria gendut itupun terkekeh pelan. "Faw, belum ada pemandangan yang bisa di nikmatin di sini. Liat, semua kotor, penuh debu dan semen." Jigel menunjuk lantai-lantai yang kotor.
Wanita itu juga terkekeh pelan, dia sadar jika memang tak ada pemandangan yang bisa di nikmati di sini. Tapi entahlah, daripada berpura-pura sok sibuk di dalam tenda, lebih baik berjalan-jalan sebentar di dalam bangunan yang balum selesai.
"Buat liat-liat aja nggak apa-apa, kan?" kata Fawnia meminta izin.
Jigel mengangguk menatap Fawnia yang lebih pendek darinya. Dia mengizinkan.
Seorang pria berhelm putih persis sama seperti yang di kenakan Jigel keluar dari ruangan tanpa pintu di sebelah kiri. Derap langkahnya begitu kokoh, dan kuat. Suara hak sepatu boost hitamnya yang licin begitu elegan hingga membuat Jigel dan Fawnia menoleh serentak.
Kekar badannya di bungkus oleh kaus hitam. Otot lengannya terlihat menggoda hingga mengetat pula lengan bajunya. Belum lagi wajah tampannya sedikit kotor berantakan akibat pasir dan debu. Nafasnya terengah-engah seakan baru saja habis lari maraton.
Langkah Marva sempat terhenti begitu menemukan Fawnia di sana. Namun, dia langsung menggeleng cepat agar balik ke niat awal kenapa dia berada di ruangan itu.
"Jigel." Di depan meja laptopnya Marva berdiri. Fokus memandang layar. Sedikit membungkuk akibat mejanya terlalu rendah. Dia gerakan mousenya sesekali. "Corak bangunan di lantai atas. Mereka butuh gambarnya."
Di saat itu juga, Jigel buru-buru mengobrak-abrik tumpukan kertas di atas meja. Mencari gambar corak yang telah dia buat.
Tanpa sadar Fawnia menelan ludah. Mendengar nada suara Marva yang begitu serius meminta gambar pada Jigel, membuat hawa ruangan seketika barubah mengerikan.
Ketemu. Tanpa menunggu perintah dari Marva, Jigel sudah berjalan keluar dari ruangan tersebut. Bahkan pamit pada Fawnia saja dia lupa sanking harus bertanggung jawab pada pekerjaannya.
Kepergian Jigel meninggalkan kecanggungan bagi Fawnia dan Marva di dalam ruangan dengan banyak laptop di atas meja juga tumpukan kertas berserakan. Tengah kening Marva mengernyit seakan benar-benar fokus melihat gambar autocad di layar laptopnya.
Sementara Fawnia, sesekali menelengkan kepala agar dapat melihat apa yang sedang di kerjakan Marva sampai seserius itu.
"Di sini banyak debu," ucap Marva tiba-tiba. Lembut nada suaranya berkata.
"Tau." Fawnia kembali menegakan kepalanya. Canggung rasanya berada di ruangan yang sama dengan orang yang pernah di cintai.
Marva menegakan tubuhnya. Dia berbalik badan untuk melihat Fawnia yang berdiri tak jauh darinya. "Mau jalan-jalan?"
Terima kasih banyak sudah membaca.
rosekopi🥀☕️