Sore itu, Ocha tepaksa harus menjadi penanggung jawab Niko di hadapan Bu Rita. Walau usianya masih sangat muda, ia mampu memahami setiap perkataan wanita itu. Kesalahan Niko memang bisa di toleransi, namun karena ia sering masuk ke kantor jadi ia harus mendapat pertanggung jawaban dari pihak keluarganya.
Setelah Bu Rita selesai berbicara dengan Ocha, Ocha langsung melirik ke arah kakaknya yang tampak hanya diam mendengarkan percakapan mereka berdua. Tangan Ocha langsung menarik telinga Niko sampai memerah.
"Aduh.. aduh.. OCHA!!!"
"Kakak dengar kan, apa kata Bu Rita?"
"Dengar.."
Ocha menghela nafas, ia menepuk-nepuk pundak kakaknya. "Cepat minta maaf.."
"Hu.. aku minta m$%#@##$" Niko bergumam yang membuat perkataannya tidak jelas.
"DHEIMAN!!! Bicara yang jelas!!!"
Bu Rita tertawa kecil melihat kedua adik kakak ini. "Haha.. apa dia memang sering melakukan hal semacam itu? Ocha?"
"Bahkan lebih parah lagi.."
"Tidak juga!" bantah Niko.
Bu Rita pun melepaskan mereka berdua, ia juga mendengar jika Ocha juga ingin masuk ke SMA ini. Ia rasa SMA ini tidak cukup hanya di huni satu Dheiman saja, ia pun bersedia membantu Ocha untuk menghadapi ujian masuk tahun depan. Tentu saja Ocha sangat senang, namun tidak untuk Niko.
Jika Ocha benar-benar lulus, maka ia akan lebih terancam karena keberadaan adiknya. Bahkan mungkin Ocha bisa jadi populer dan membuatnya kerepotan di sekolah. mereka berdua pun keluar dari kantor. Ocha memegang tangan Niko dengan erat, perlahan wajah tenggang Ocha mulai tersenyum kembali.
"Hee.. kak, aku merasa menjadi ibumu.."
"Baik ibu Ocha.."
"Jaaahh.. menjijikan sekali, tolong hentikan!"
Jovian dan Olivia datang, Olivia tersenyum kecil melihat Ocha di sana. Ocha lantas bersembunyi di balik tubuh Niko saat melihat Jovian, kenangan buruk yang Jovian berikan membuatnya menjadi takut. Ocha merasa heran saat melihat Mira berjalan ke arah mereka berempat.
Orang yang belum pernah ia lihat sebelumnya, karena saat ini Ocha hanya mengetahui teman kakaknya hanya ada 3 orang saja. Mira tersenyum lebar ke arah Ocha yang bersembunyi di balik tubuh Niko. Ocha makin membenamkan tubuhnya di balik Niko.
"Ara.. tukang air.."
"Tukang air dengkulmu.. dia adikku!"
Ocha menarik-narik baju Niko. "Kak.. dia siapa?"
"Oh dia Mira, anu.. Mira ini Ocha, Ocha ini Mira. Ingat ini Ocha bukan tukang air!"
"Baik, mudah untuk di pahami.." Mira mengangguk kecil.
Tak lama bel pulang berbunyi, mereka berempat pun membubarkan diri dari sana. Niko menyuruh Ocha untuk menunggunya di koridor, sedangkan ia akan mengambil tasnya terlebih dahulu sebelum pulang ke rumah.
***
Saat perjalanan pulang, Ocha terus menggandeng tangan kakaknya. Ia juga mengayunkannya, hal itu membuat pergelangan bahu Niko merasa sakit. Saat sampai di persimpangan, Ocha hendak menyebrang jalan namun ia terhenti saat Niko tak ikut menyebrang bersamanya.
Niko terdiam kaku sambil menunduk ke bawah, Ocha pun heran melihat kondisi kakanya seperti itu. Niko mengangkat sedikit kepalanya, mengarahkannya ke wajah adiknya itu. seketika hal itu menjadi momen tegang antara mereka berdua.
"Ocha.. kau bisa pulang duluan"
"Heh? Kenapa?"
"Aku masih ada urusan.."
Ocha mengangguk, ia tahu kemana kakaknya akan pergi. "Kau mau ke makam kak Kouko kan? Kalau begitu jangan pulang telat, sebelum makanannya aku habiskan.."
"Kau iblis kecil yang nakal, kalau begitu sampai jumpa di rumah. Dah.."
"Dah.." mereka berdua berpisah di sana, Ocha ke rumah dan Niko ke pemakaman.
Niko berjalan menuju makam Kouko, sudah hampir sebulan lamanya setelah tragedi mengerikan itu terjadi. Udara sejuk membuat pohon-pohon menjatuhkan daun-daunnya yang membuat jalanan terselimuti oleh dedaunan. Angin dan kendaraan yang lalu lalang membuat beberapa daun-daun kembali berterbangan ke udara.
Ia berjalan di tengah-tengah para pekerja yang lelah setelah bekerja, ia sangat mudah di kenali dari mimik wajah masamnya di sana. Aroma roti melon membuat langkah kakinya terhenti, ia memandangi toko roti yang berada di seberang jalan. kenangan singkat iur kembali ia ingat di sana.
Mulut kecilnya yang sedang mengunyah roti melon, serta kaki kecilnya yang sering menendang-nendang dedaunan yang jatuh dari pohon. Suhu dingin di kota ini sangat terasa bagi Niko, ia tidak memiliki seseorang lagi untuk menghangatkannya.
***
Niko duduk di depan makam Kouko. "Hey Honey, sepertinya hari ini aku membuat Ocha repot.."
"..Tapi sepertinya dia juga senang main ke SMA kita, sebenarnya aku juga ingin ia masuk ke SMA itu. Cuma, mungkin akan repot jadinya.." Niko menggosok bahu dengan kedua tangannya. "Huu.. udaranya makin sejuk belakangan ini, benarkan Honey?"
Pohon-pohon di makan itu sudah tak memiliki daun sama sekali, cuaca dingin belakangan ini membuatnya berguguran. Makam Kouko tampak sangat bersih walau sekarang terlihat rerumputan yang mulai tumbuh di sana.
"Honey, aku bingung. Apa yang akan aku lakukan setelah berhasil kembali ke masa lalu?" Niko meneguk ludahnya. ".. aku takut jika saat kembali ke masa lalu, aku malah lupa ingatan tentangmu. Dan sialnya, aku malah membiarkanmu kembali tertimpa musibah itu.."
"Tapi.. aku sangat membutuhkanmu di sini.." Niko mencium nisan Kouko.
Niko bergegas kembali karena suhu makin sejuk saat menjelang petang, sebenarnya ia ingin tinggal lebih lama lagi di sini. Namun karena janjinya untuk tetap sehat, ia terpaksa meninggalkan makam Kouko. Makam yang terlihat paling cerah di antara makam-makam lain.
Niko berjalan menjauh dari makam Kouko, ia mendadak terhenti dan membalikkan tubuhnya ke arah makam Kouko. Ia marasa jika Kouko memanggilnya, namun ia pikir itu hanyalah perasaanya saja karena terlalu rindu kepada Kouko. Niko tersenyum sambil memejamkan matanya, ia pun melanjutkan perjalanan pulangnya.
***
"Aku pulang.."
"Selamat datang, Dheiman.."
"Jangan panggil aku Dheiman!.." Niko duduk dengan kesal sambil membuka sepatunya.
Ocha menyengir lebar. "Hihi.. kau juga tidak suka nama itu kan? Akui saja.. kalau kau dan aku sama-sama tidak suka nama belakang itu.."
"Bodoh.. aku bukan tidak suka, tapi karena terus-terusan kau memanggilku seperti itu. Aku menjadi sangat terganggu saat mendengarnya.."
"Hee.. itu sama saja, hehe.."
Niko mengacak-acak rambut adiknya. "Sama dari mananya! Ha?"
"Ampuun.."
Setelah perkelahian ringan itu, mereka berdua berdamai di meja makan. Kali ini Ocha memasak makanan yang berbeda, walau Niko tau jika makanan tersebut adalah makanan instan. Tapi apa boleh buat dari pada setiap hari harus menyantap kari.
Niko makan dengan lahap, begitu juga dengan Ocha yang terlihat sangat menikmati masakan itu. saat sedang makan, Niko mendadak kembali berfikir tentang rencana mereka untuk kembali ke masa lalu. Ia menoleh ke arah Ocha, di masa depan saat ini ia dan Ocha sangat akrab tidak seperti masa lalu.
Dulu Ocha tidak seakrab ini dengannya, namun setelah kedatangan Kouko saat itu. Ocha merasa tersaingi dan mulai memberi perhatiannya, hal itu membuat Niko tertawa di meja makannya yang membuat Ocha sedikit mengangkat sisi bibirnya.
"He.. kak, kau kembali tersenyum menjijikan. Tolong hentikan sebelum gelas ini melayang ke wajahmu.."
"Maaf.. maaf, tapi itu adalah hal yang wajar dari sebuah emosional. Jadi hal itu wajar.."
"Huuu.. mulai lagi" Ocha melemparkan cangkir kosong ke arah Niko.
***
Beberapa hari berlalu, mereka berlima dapat mencegah beberapa ramalan dengan kompak. Niko dan Ryan telah menjadi teman yang akrab, dan Ryan juga tak keberatan untuk kembali ke masa lalu bersama mereka dan merubah semua kesalahan di masa lalu.
Mereka berlima juga sering menghabiskan waktu bersama di ruang klub sastra, Niko pada akhirnya bergabung dengan klub itu. Walau sebenarnya klub itu hanya menjadi alasan mereka agar bisa membahas ramalan dengan lebih leluasa, sama seperti para pendahulunya.
"Oh ok.. jadi ada apa di 28 September.." Jovian membuka buku ramalannya.
"28 September, petir" kalimat di buku ramalan.
Mereka berlima melihat buku mereka masing-masing, Mira terlihat bingung bagaimana mereka bisa mencegah petir. Jika di ketahui, petir sangatlah berbahaya bagi manusia bahkan bisa membunuh manusia itu sendiri.
"Ok.. jadi di sini siapa yang pawang hujan?"
Perkataan Jovian membuat mereka berempat saling pandang, Ryan mengangkat tangan mencoba menjelaskan rencananya. "Jovi.. mungkin memang ini sangat berbahaya dan tidak bisa di cegah. Ada baiknya jika kita menyuruh semua murid masuk ke gedung sampai petirnya berlalu.."
"Yup, Ryan ada benarnya.." Niko meletakkan buku ramalannya di atas meja.
Olivia yang berada di sebelah Jovian merasa bingung, walau cuaca hari ini berawan tapi tidak ada tanda-tanda akan hujan. "Apa mungkin akan ada petir? Lagi pula belakangan ini tidak pernah terjadi hujan.."
"Cuaca tidak ada yang tahu.."
"Jovi! Semakin kau berbicara, semakin aku membencimu!!!"
"Haa? Aku salah apa?"
Olivia berjalan keluar dari ruang klub dan melihat keluar jendela, langit yang berawan itu sangat mustahil mengeluarkan petir menurutnya. Jovian mengikutinya keluar, agar Olivia tidak melakukan hal-hal aneh. Olivia kembali membuka buku ramalannya, ia kembali membaca isi kalimat di dalamnya.
"28 September, Petir. Petir apa yang akan terjadi di sini!!!"
"Oliv, jangan teriak-teriak!"
"Biar saja, aku pikir buku ini mulai aneh.."
"Aku rasa yang aneh itu kau"
Mereka berdua kembali ke ruang klub, Olivia duduk di kursinya dengan keadaan kesal. Untuk pertama kalinya ia tak mempercayai isi di buku tersebut, Niko menyadari jika Olivia mungkin punya alasan lain karena emosionalnya tampak berbeda hari ini.
"Hey.. Oliv, apa kau sedang datang bulan?"
Wajah Olivia memerah, ia sedikit gelapagapan. "I-itu.. itu.. itu.. ahhh menyebalkan!!!"
Olivia berdiri dan kembali membuka bukunya, ia benar-benar seperti orang gila saat datang bulan. Olivia berkali-kali membacakan kalimat ramalan di buku tersebut, ia sangat yakin jika tidak akan ada ramalan terjadi sekarang.
"Petir? Petir apanya? Jika memang bisa meramalkan maka 1.. 2.. 3.. petir itu akan menyambar.."
Sekilas petir menyambar tiang listrik sekolah yang membuat sekolah kehilangan listrik, cuaca berawan dan matinya listrik membuat sekolah itu sangat gelap. Apa lagi mereka yang berada di lantai 5, mereka berteriak histeris karena tak ada cahaya sama sekali di sana.
"Ahh.. Jovi.. jovi!"
Niko yang duduk di pojok merasa bingung. "Oliv? Jovi? Ryan? Mira? Di mana kalian.. aku tidak bisa lihat apapun.."
".. Aduh.. siapa yang ku trabrak ini.." Mira menabrak seseorang dalam kegelapan.
"Ah ini aku.. Niko.."
"Niko? Teruslah seperti ini, pegang tanganku.."
Ryan yang yang melihat teman-temannya panik merasa terganggu, ia hanya diam di mejanya tanpa bereaksi sama sekali. Olivia sangat histeris dan mencari seseorang yang bisa menenangkannya saat ini.
"Ahh.. siapa ini? Jovi? Niko?"
"Uhh.."
"Hee..? ini siapa? Aahh.. kenapa mulai mengeras!!!"
Tak lama lampu kembali menyala karena adanya listrik darurat di sekolah, lantai 5 kembali bercahaya untuk beberapa saat ini. Niko kaget karena yang ia peluk adalah Ryan bukan Mira, Mira pun heran karena yang ia peluk adalah Ryan bukan Niko. Mereka berdua benar-benar memeluk Ryan yang hanya diam di mejanya.
Pandangan mereka bertiga tertuju kepada Olivia dan Jovian, lebih tepatnya pada apa yang Olivia genggam. Olivia melihat tangannya, yang mendarat ke selangkangan Jovian. Jelas saja Jovian menikmati hal itu dengan wajah cabulnya.
"AAAAAHHHHH!!!" wajah Olivia memerah dan memberikan satu tamparan kepada Jovian.
"Kenapa jadi aku yang salah!" Jovian memegangi pipinya yang memerah.
"Jelas saja! lagi pula kenapa kau diam saja?"
Jovian memberikan wajah nakalnya kepada Olivia. "Saat listrik mati lagi, tolong daratkan tanganmu lagi ya?"
"Dengan senang hati, tapi kali ini aku rasa tinjuku yang akan mendarat di sana!"
Mereka berlima melihat keluar jendela, tiang listrik sekolah benar-benar tersambar petir. Api masih menyala di pucuk tiang listrik, terlihat juga beberapa petugas kebersihan beramai-ramai memadamkan api tersebut.
Di rasa tidak ada korban, mereka kembali masuk ke dalam ruang klub dan menikmati aliran listrik sebelum kembali mati. Kertas petunjuk itu memang benar, saat akan menyentuh halaman 60 maka ramalannya juga makin mengerikan dan mustahil untuk di cegah.
Buku itu menyisakan beberapa halaman lagi sebelum menuju halaman 60, mereka benar-benar harus bersiap dengan ramalan lain yang akan datang. Apalagi saat ini mereka sudah berlima, yang artinya akan lebih banyak tenaga untuk memecahkan setiap ramalan tersebut.
Bu Rita membuka pintu ruang klub. "Boleh aku masuk?"
"Tentu saja, apa ibu juga mau teh?"
"Tidak usah repot-repot Mira, aku hanya sebentar di sini"
Bu Rita duduk di salah satu kursi di sana, ia melihat 5 wajah tegang sedang mengarah ke arahnya. Kedatangan Bu Rita ke sana membuat mereka berlima bingung, apa lagi Niko yang berada di pojok meja.
"Jadi, ibu perlu apa?"
"Sebenarnya aku aku ingin meminta tolong kepada kalian.."
Olivia heran dengan alasan Bu Rita. "Minta tolong?"
"Iyup, minta tolong. Aku pikir cuma klub ini yang bisa aku mintai tolong.."
"Wow.. wow, aku harap bukan hal-hal yang mustahil untuk di lakukan.."
"Tenanglah Dheiman.. ini bukan hal yang sulit untuk di lakukan.."
***
Sorenya, mereka berlima membersihkan jalan kota yang mengarah ke sekolah. menjadi relawan kebersihan adalah ide buruk bagi Niko, apa lagi sejak awal ia sudah mencurigai jika Bu Rita pasti akan menipu mereka.
"Tak ku sangka, kalian berempat menyetujuinya.."
Ryan menghela nafas panjang. "Huu.. aku pikir kita akan membereskan gudang olahraga, tak kusangka wanita itu malah menjadikan kita relawan kebersihan.."
"Sudah aku bilang untuk tidak tertipu dengannya!"
"KALIAN BERDUA! SUDAH BERHENTI! Cepat kembali bertugas agar cepat selesai!" bentak Olivia kepada Niko dan Ryan.
Jovian yang lelah duduk di bawah pohon sambil melihat mereka berempat menyapu jalanan, hal itu di ketahui oleh Mira yang sedang menyapu di sebelah Jovian. Jovian menyadari hal itu, ia memberikan isyarat kepada Mira untuk tidak mengadukannya kepada Olivia.
"Sssttt"
"Ehm..OLIV JOVIAN DUDUK DI BAWAH POHON.."
"Sialan kau Mira!!!" batin Jovian.
Beberapa saat kemudian, jalanan yang menuju ke sekolah mereka sudah bersih. Dedaunan terlihat menggunung di sisi jalan tersebut, kelima buruh gratis itu menyelsaikan tugas mereka dengan sempura. Mereka berlima terlihat duduk di depan gerbang dengan keadaan lelah setelah membersihkan jalanan itu.
Suara klakson mobil membuat mereka berdiri dan menghindar dari gerbang, Bu Rita keluar dengan mobilnya sambil menyapa mereka berlima. Ia juga melihat Niko yang menatap tajam ke arahnya, seperti tidak senang dengan keberadaannya di sana.
"Bagus.. bagus.. kalian berlima bisa di andalkan.."
"Jika tau seperti ini, mungkin aku akan menolaknya"
"Jovian.. tak kusangka jika kau mulai seperti Niko, jangan-jangan Niko mulai menghasutmu ya?" Bu Rita tersenyum kecil di mobilnya.
Niko berjalan ke arah Bu Rita. "Sudah-sudah sana pergi, ngomong-ngomong apa kami sudah boleh pulang?"
"Sangat tidak ramah, baiklah kalian boleh pulang.." Bu Rita menutup kaca mobilnya dan bergegas pergi dari sana.
Mereka berlima berjalan pulang bersama, Olivia dan Mira terlihat sangat bahagia. Berbeda dengan Ryan, Niko dan Jovian yang mengikuti mereka dari belakang. Olivia mengajak mereka untuk mampir ke salah satu kafe, hal itu di setujui oleh mereka berempat. Untuk pertama kalinya mereka menghabiskan waktu bersama di luar sekolah.
_***_
"Hal kecil seperti pasir bisa menjadi sangat besar jika terus di tumpuk, sama halnya seperti kebohongan. Yang awalnya kecil bisa menjadi sebuah kebohongan besar"
-wis im-