Duduk di ujung kasur Talita sekarang. Memandangi wajah yang tengah tertidur itu. Wajah yang terlihat damai sekali, meskipun ia sedang tidur. Perasaan hangat itu menerobos masuk ke dalam hatinya. Dapatkah ia selalu berada di samping lelaki itu? Di dalam keadaan apapun itu, karna tak ada lagi orang lain yang menyayangi dan mencintainya dengan tulus hanya sosok lelaki di hadapannya ini. Bahkan orang tuanya sendiri sama sekali tidak terlihat seperti menyayanginya, atau mungkin cara orang tuanya dalam menunjukkan kasih sayangnya itu saja yang sedikit berbeda dengan cara sayang orang tua lain di luar sana? Entahlah, tapi ia sungguh tak dapat melihat barang sekalipun orang tuanya itu memperlakukan ia dengan manis, selama umur hidupnya tak ada.
"Kaa, kamu akan baik-baik aja kan?"
"Aku takut, Kaa. Kalau kamu pergi ninggalin aku, aku sama siapa?"
"Kalau kamu pergi, ke mana aja jangan tinggalin aku ya Kaa? Ajak aku juga pergi sama kamu, bawa aku ikut sama kamu."
Talita menatap sendu ke arah kekasihnya itu. Ia menghela nafasnya lembut. Ia meraih tangan sang kekasih, ia menggenggam tangan itu dengan dua tangannya. Dapat ia rasakan suhu panas dari tubuh kekasihnya itu.
Ia mengusap dengan lembut tangan yang di genggamnya itu, ia juga mencium lembut tangan kekasihnya itu.
"Kaa? Cepat sembuh ya, aku gak kuat Kaa kalau harus sendirian. Dunia ini untuk aku begitu mengerikan, dan aku adalah seorang yang sangat penakut, aku butuh kamu Kaa untuk membuat aku kuat dan berani dalam melewati semua ini," ucap Talita penuh lirih.
"Kesayangannya kamu ini gak sekuat itu Kaa. Aku lemah, aku begitu rapuh Kaa. Sehat selalu ya Kaa? Aku gak kuat liat kamu sakit kayak gini."
Tes
Tak dapat di tahannya lagi air matanya itu. Air mata itu mengalir deras membasahi pipinya.
"Aku gak tau kalau gak ada kamu, mungkin aku gak akan pernah bisa sampe sejauh ini bertahan Kaa," lirihnya. Ia menangis terisak-isak di sana.
***
Ceklek
Suara pintu di buka dari luar. Talita menoleh ke arah pintu kamar. Terlihat di sana berdiri Siyra. Senyuman manis terpatri di wajah wanita dewasa itu dan tentu balasan senyum manis pula di tunjukkan oleh Talita.
"Saka belum bangun, Ta?" tanya Siyra, sembari menutup pintu kamar. Setelah pintu berhasil di tutupnya, ia kemudian berjalan mendekat ke arah dua anak remaja yang sangat ia sayang dan cintainya itu.
"Belum, Ma," jawab Talita.
"Memang Tata gak capek nungguin Saka bangun? Kenapa gak di bangunin aja sayang?" tanya Siyra lagi.
Talita menggeleng."Gak Ma, biarin aja. Kasihan juga kalau Saka di bangunin. Dia kan baru aja tidur, biarin dia istirahat dulu."
"Hm... Iya Ta kamu benar. Kita biarin dulu Saka istirahat," angguk Siyra merasa sangat setuju dengan apa yang di katakan oleh Talita.
Hening beberapa saat. Keduanya sama-sama terdiam, sambil memandang ke arah yang sama ke arah Saka yang tengah tidur itu.
Ada tatapan yang sangat sulit di artikan dari tatapan Siyra. Tatapannya sangat dalam. Tatapan dari seorang ibu yang seperti sangat ketakutan. Entah ketakutan apa yang tengah melanda hati sosok ibu berhati baik itu. Tanpa di sadar oleh Siyra, bahwa dirinya tengah di tatap oleh sosok gadis cantik itu.
"Mama kenapa? Kenapa tatapan Mama begitu terlihat sangat ketakutan. Apa yang sebenarnya terjadi, Ma? Apa mungkin ada yang Tata gak ketahui tentang yang terjadi pada Saka?" pertanyaan-pertanyaan itu muncul di hatinya. Namun, ia sendiri memilih untuk tak menyuarakannya. Ia mencoba menepis saja pikiran yang tidak-tidaknya itu. Dan jujur saja, bahwa ia sangat tak sanggup jika memang benar adanya hal besar yang telah terjadi tanpa di ketahui olehnya, terlebih lagi jika itu menyangkut tentang kekasihnya itu.
"Ma?" panggil Talita di tengah keheningan yang terjadi.
Siyra menoleh ke arah gadis cantik itu."Iya sayang?" jawab Siyra penuh dengan kelembutan.
"Tata pulang ya Ma?" ucap Talita pelan.
Siyra mengerutkan keningnya."Kenapa sayang? Kenapa cepet banget pulangnya? Kenapa gak nginep aja hm?" Siyra menatap sedih ke arah gadis di hadapannya itu. Hanya sebentar saja? Padahal dirinya bahkan belum terasa terobati akan rasa rindunya itu.
"Nanti, Tata besok ke sini lagi Ma. Tata takut di cariin sama Ayah Bunda, Ma..." jawab Talita pelan. Talita menunduk, ia tak sanggup bahkan hanya sekadar menatap wajah wanita dewasa di hadapannya itu.
Deg
Jantung Siyra berdetak dua kali lebih cepat. Hatinya terasa sakit, dadanya terasa berdenyut, ia tau bahwa tak akan pernah orang tua gadis itu akan mencari sang putri. Karna Siyra sudah sangat tau semuanya tentang gadis cantik itu, semuanya.
Mungkin karna Siyra sudah menganggap Talita seperti anaknya sendiri yang membuat perasaannya menjadi seperti ini sekarang ini.
Orang lain saja bahkan begitu sangat sedih melihat seorang anak di perlakukan seperti itu. Bagaimana dengan orang tuanya sendiri? Sebagai orang tua kandungnya, ke mana mereka? Mereka ada tapi sama sekali tak pernah memberikan kasih sayang serta kenyamanan kepada putri mereka sendiri.
Yang orang tua itu berikan hanya perlakuan-perlakuan yang tak sepantasnya. Bentakkan, pukulan, caci-makian semuanya yang seharusnya tak pantas mereka berikan kepada sang anak yang tak bersalah.
"Mama anterin yaa sayangg," ucap Siyra lirih. Siyra memeluk tubuh yang lebih kecil itu dengan erat. Siyra tak dapat menahan air matanya lagi, tangisnya pecah. Talita pun yang di peluk itu juga menangis, sakit hatinya, ia sangat rapuh sekali dan untung saja di dunianya yang mengerikan ini, dirinya masih di berikan Tuhan... Dua orang baik ini. Hanya karna Saka dan Siyra inilah dia masih bisa kuat hingga sekarang. Entahlah, jika tak ada dua orang baik ini mungkin ia tidak akan pernah bisa merasakan mendapatkan kasih sayang yang setulus ini.
Dalam hatinya, Talita berdoa sungguh-sungguh, berdoa kepada Tuhan agar ia tak dipisahkan dari dua orang yang amat di sayangi dan di cintainya ini.
"Tuhan, aku telah menerima takdirmu ketika aku harus di perlakukan tidak baiknya oleh orang tuaku. Tapi, untuk kali ini hamba sangat memohon kepadamu, Tuhan... Jangan ambil dua malaikat baikku ini dariku. Aku mohon, Tuhan. Aku mohon, Tuhan. Aku mohon, Tuhan." Talita berdoa di dalam hatinya. Air matanya semakin mengalir deras keluar dari kelopak matanya.
***
Gadis cantik itu merebahkan dirinya di atas kasur empuk miliknya itu. Ia tidur tengkurap. Ia menyembunyikan wajahnya di atas bantal.
Ia tidak tidur, ia hanya memejamkan matanya saja dia masih di dalam alam sadarnya.
Ia sangat lelah. Hari ini sangat melelahkan sekali baginya. Di sekolahnya, yang seperti biasanya, ia yang selalu mendapat bullyan, banyak kata-kata yang menyakitkan yang menggoresnya hari ini. Sakit? Iya dia sakit. Muak? Iya dia muak. Lelah? Iya dia lelah. Menyerah? Sangat ingin. Tapi jika ia menyerah, tidak... Dia sudah berjalan sejauh ini. Alangkah sangat disayangkan. Dan dia juga masih percaya, bahwa semua suatu saat nanti akan membaik. Ia dia sangat percaya akan itu, dan semoga saja apa yang di pikirkannya itu benar akan terjadi.
Baru saja ia akan menutup matanya dan hendak tertidur. Tapi suara dari luar kamar yang memanggili namanya mengurungkan tidurnya.
Sebelum beranjak untuk membukakan pintu, ia menghela nafasnya panjang.
"Akan di marahi secara habis-habisan atau akan di tampar yaa," gumamnya pelan sambil berjalan menuju pintu kamar.
Lihatlah, gadis cantik itu bahkan sudah berpikir yang bukan-bukan padahal ia sendiri belum tau apa yang sebenarnya terjadi beberapa detik ke depan. Penyebabnya adalah kedua orang tuanya sendiri. Yang setiap hari ada saja perlakuan yang tidak sepantasnya itu mereka berikan kepada sang putri, sehingga sang putri tak bisa berprasangka baik lagi kepada mereka.
"Bibi? Ada apa Bik?" tanyanya ketika melihat sosok Bibi ada di depannya itu.
"Makan dulu yok Non. Non Tata belum makan loh, nanti sakit," ucap wanita yang lebih tua itu dengan tuturnya yang lembut.
"Ayah sama Bunda ke mana Bik?" tanya Talita pelan.
"Belum pulang, Non. Dan sepertinya besok lusa Tuan dan Nyonya pulangnya. Tadi pagi Nyonya bilang sama Bibi akan pergi ke luar kota bersama Tuan sampai dua hari ke depan," jawab Bibi seadanya. Sesuai dengan yang di sampaikan oleh majikannya tadi pagi.
Talita hanya mengangguk menanggapi itu. Di dalam hatinya, ia sedikit merasa lega. Entah kenapa perasaannya sedikit merasa senang kalau orang tuanya itu pergi ke luar kota. Setidaknya untuk beberapa hari ke depan, ia bisa mengistirahatkan dirinya dengan tenang, ia bisa merawat luka di hatinya itu meskipun ia tau bahwa tak akan sanggup untuk mengobati luka di dalam hatinya itu karna sebelum luka itu sembuh dan kering pasti luka baru akan kembali menggoresnya lagi.
Tapi untuk sekarang ia bisa sedikit bernafas lega. Entah bagaimana ke depannya nanti, dia tak ingin menjadi di buat lebih susah jika harus memikirkan itu. Ia mencoba untuk mengabaikan hal itu, dan sekarang ia mencoba untuk menikmati dahulu waktu-waktu ini, dia akan mencoba mencari ketenangan itu walaupun hanya sebentar saja.
"Ayo Bik! Bibi temenin Tata makan yaa, kita makan sama-sama yaa Bik!"
"Okey Non sip!"
"Tuhan, terima kasih Tuhan. Bibi adalah orang yang baik, terima kasih Tuhan telah membuat dirinya selalu berada di dekat hamba."