Ketidak jelasan sifat "Emiliana"
ada dikarenakan latar belakang yang rumit
Hari itu saat MPLS, aku sebagai ketua OSIS tentunya harus mengoceh di depan murid- murid baru di SMA. Bukan karena pingin pansos, tapi ya emang tugasku kayak gitu si...
Sebelumnya kenalan dulu... Reika Sugimawan, panggil aja Reki. Dengan segala ketampanan dan kepedean diriku tentunya. Walau kadang jadi ketos tuh bukan karena pengen, tapi karena mau tidak mau diantara semua Staf hanya aku saja yang cowo...
'Oke, kenalannya cukup gais'
"Emil... Sini Mil, liat tuh ketosnya gans bangettt. Ihhh ajak kenalan yuk, mil.."
"Iyakah? Gak! Aku kan udah punya cowo, lagian muka burik kayak dia gantengnya dari mana coba? Mending kamu aja dih. Gue sih NO"
Emilia terlihat tidak antusias saat mengikuti MPLS, bosan sekolah katanya. Hobi dia cuma rebahan nonton film di Netflix dan baca Novel merupakan kegiatan yang sering dia lakukan sehari- hari. Cukup mengherankan juga sih, apalagi dia sekarang Emil bisa punya pacar. Apalagi pacar dia aktif dalam oraganisasi kepramukaan, sosial masyarakat, dan lainnya.
"Ayang....<3", teriak Emil di lorong sambil berlari mendekati seseorang. "Akhirnya aku ketemu kamu, kamu kangen kan sama aku hihihi...", tawa goda Emil kepada doinya
Pacar Emil, namanya Awan. Tidak seperti Emiliana si Tukang Rebahan, Awan lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bersosialisasi dengan orang banyak. Ditambah sifat Awan yang cool, justru menjadi daya tarik bagi Emil untuk berpacaran dengannya.
"Iya, kangen... dikit", saut Awan dengan muka datar dan matanya yang memalingkan pandangan. "Btw kamu kok milih SMA sini sih? Bukannya kamu dulunya suka jelek- jelekin SMA ku ya? Apa karena zonasi, jadinya keterimannya disini?", lontaran pertanyaan Awan yang pedas itu membuat Emil jadi cemberut. Emil tadinya ingin memeluk Awan, malah menjiwit pipinya Awan dengan semua tenaganya. "Ihhh... Kenapa si kamu nyebelin mulu, bukannya seneng jadi satu SMA sama pacarnya... malah di- roasting. Sumpah kamu tu nyebelin, pengen ku gigit". Geram Emil dengan sikap Awan yang mulutnya pedas dan menusuk.
*Suara bel berbunyi... (Suara sirine Damkar)
Para Murid baru memasuki kelas mereka masing- masing. Emilia ditempatkan di kelas X IPA 8, bersama dengan teman sebangku saat SMP-nya yaitu Aghniya. Tak lama kemudian, Aku justru ditempatkan di kelas dimana Emiliana berada. Sebelum aku menginjakkan kaki ke ruang kelas, dari belakang ada cewe yang berlari seperti dikejar rentenir menuju ke arahku, dan...
'DUBRAKK...'
"Woi, kalo jalan ati-ati dong...!!", bentak Emiliana kepadaku. "Ga kebalik ya dek? kan kamu yang lari- lari", jawabku dengan nada sabar. "Dak dek dak dek..., emang gue adek lo apa?", ketus Emil dengan muka yang merasa tak mau disalahkan. "Lagian kenapa lari-lari sih, dek. Yasudahlah, buruan masuk ya... bentar lagi mau ada pemateri dari pengurus OSIS".
Emiliana yang mendengar hal itu sontak terkejut, tak lama kemudian dia masuk ke kelas tanpa kata maaf kepadaku.
"Okey semuanya, hari ini aku selaku Pengurus OSIS akan menyampaikan beberapa materi tentang kedisiplinan, tapi sebelum itu, aku ingin kalian semua berdiri terlebih dahulu. Yang hari ini seragam OSISnya tidak lengkap, silahkan turun ke lapangan untuk disidang"
Sontak, Emiliana pun panik tak karuan. Dia lupa membawa sabuknya yang sudah disiapkan mamanya di atas meja belajarnya. "Aghni... Gimana nih? Sabukku tertinggal dirumah huaaaa.., aku ga mau disidang dilapangan. Ntar kulitku item, ntar juga pasti ga cantik lagi, ntar Kak Awan jijik sama aku kalo item, ntar.. ntar....". "Sini Mil aku tutupin kamu biar ga ketauan sama Mas Ketos Ganteng. Ntar aku bujuk dia deh biar kamu ga ikut disidang"
"Lohelohe.... Ohh gtu taktiknya"
"Eee... Kak Reki, itu kak..."
Tanpa pikir panjang, kusuruh Emiliana dan Aghniya untuk turun menuju ke lapangan. Kekesalan dan kesabaranku benar- benar diuji saat mendengar omongan dua orang tersebut. Berani sekali mereka meremehkan diriku ini.
"Ayo cepet turun ga pake lama, 10...9...8..7... WOI CEPETAN! NGAPAIN PAKE JALAN, LARI!!", bentakku yang mengheningkan seisi kelas. "Kenapa kalian liat-liat, mau ikut join mereka kah?". Seisi kelas mengatakan, "Tidak kak".
Tak lama kemudian setelah penyampaian materi, aku menuju ke tengah lapangan untuk melihat murid- murid baru yang tidak disiplin itu. Diantara mereka tentu saja ada Emiliana dan Aghniya yang sebelumnya ku ciduk karena tidak disiplin, terkhusus Aghniya juga yang mendukung ketidakdisiplinannya Emil.
"Kalian tau kenapa kalian berada disini?", tanyaku dengan nada serius. "Tau kak", semua murid itu menjawab dengan lesu dan takut. "Bagus kalian tau, ini akan menjadi pelajaran buat kalian tentang kedisiplinan. Dari sini kami bisa menilai sifat- sifat kalian seperti apa, belum juga tadi banyak yang datang terlambat. Kalian niat sekolah atau tidak? Ini masi kami loh dek, coba saja kalau sama guru... Malu tidak?!..."
"Yah, mulai lagi deh orasinya... Males dengerin ocehan tu orang", bisik Emil kepada Aghniya. "Sttt... Diem Mil, nanti kita kena hukuman tambahan lagi kalo kita ngobrol. Tapi, kok tambah ganteng ya dia pas lagi marah... Omaigattt.. Arggghh", Aghniya yang begitu terpesonanya kepadaku sampai- sampai lupa kalau ada Yusuf dibelakang mereka.
"Kak, ini kak malah pada ngobrol sendiri...", saut Yusuf kepadaku. "Bawa sini, Suf. Tarik aja kalau ngelawan!". "Okee siap, boss"
Pikiranku yang awalnya sudah mendingin kembali memanas dengan kehadiran mereka berdua. Lantas mereka juga terdiam jika sudah berhadapan denganku.
"Sopan kah begitu?, ada orang sedang berbicara didepan kalian, kalian malah bisik bisik sendiri... Kesalahan kalian sudah banyak sekarang, tau gak?!". "Lagian kakak juga si pake bentak- bentak segala, kan bisa diomongin baik- baik dulu. Negosiasi gitu loh kak", ucap Emil yang asal nyerocos dan tidak memikirkan perkataannya layaknya petinggi negara. "Baik baik? Maaf, tadi siapa ya yang nabrak aku lalu nyalahin aku karena tidak liat jalan?! Dan sekarang kamu minta diomongin baik- baik? Hah?". Emiliana terdiam dan memalingkan wajahnya dariku.
"Kamu, Dek Aghniga. Kamu boleh istirahat ke kantin dan Dek Emiliana tetep disini". "Btw nama saya, Aghniya kak huhu... makasih kak". "Loh kak, curang ihhh... Aghniya boleh istirahat, sedangkan aku enggak?! Gak adil", sontak Emil yang benar- benar kesal karena hanya dirinya saja yang harus berhadapan denganku di sudut lapangan.
Tak lama kemudian, Awan datang menghampiri kami. Emiliana yang awalnya kesal, menunjukan senyum- senyum liciknya kepadaku. "Liat aja nanti, Kak Reki bakal nyesel ga ngijinin aku buat istirahat hahaha..". "Ngomong apa sih? Gajelas banget. Lagian ya kenapa juga senyum- senyum gitu ke aku, suka ya sama aku?", dengan pede kujawab. "Dih, ogah amit- amit...", sontak Emilia dengan tangan menutup mulutnya
"Napa nih bro? Kok doi gue ada sama lo?", tanya Awan dengan tatapan dingin. Emil dengan muka sok imutnya meminta agar Ayangnya membawa dia pergi dari cengkramanku. "Ayang, bawa aku pergi bersamamu ya. Aku takut disini, Ketos kita jahat... Masa aku satu- satunya murid baru yang harus banget disini sama dia, mending sama kamu kan yang yaa". "Ohh ini... Dia ga disiplin, sabuknya ketinggalan terus juga tadi ngoceh sendiri pas gue ngomong didepan. Ga ngehargai kan, bray", belaku dengan maksud agar Awan juga berpikir kalau pacarnya lah yang salah.
Lagipula.... Awan kan sodaraku sendiri
"Oh gitu ya, yaudah ga papa hukum aja sampai kapok. Gue serahin dia pada lo dulu, kasih pelajaran yang setimpal, bro".
"Ayangggg..... Ihhhh"
To be continued...