“Dean!”
“Ssssst!” Dean lekas menempelkan telunjuk ke bibir dan memaksa Felix, salah satu penghuni panti yang sepantaran dengannya, tutup mulut. “Pelankan suaramu.”
Kami bertiga tengah berada di gang yang letaknya tidak jauh dari panti. Felix izin kepada perawat akan mengajakku ke puskesmas dengan alasan gigiku nyeri. Ini semua merupakan rencana Dean agar aku bisa pergi ke Kota Metro.
Bingung, ya?
Baiklah akan aku jelaskan secara terperinci. Dean bersedia menolongku mencari Ronan. Orang waras pasti menolak permintaan balita sepertiku, tetapi berhubung ini Dean yang memiliki jiwa sosial setingkat Tokyo Tower, maka semuanya bisa terjadi. Bukan sekali dua kali Dean melakukan tindakan di luar logika pahlawan, melainkan berkali-kali. Dulu ada salah satu anak yang mengeluh dirinya merasa tidak aman setiap kali pulang sekolah. Perawat maupun teman-teman yang lain mengabaikan keluhan anak tersebut, tapi beda cerita dengan Dean. Dia mendengar dan sengaja membeli jam tangan dan memodifikasi jam tersebut demi bocah itu.
Tahu, apa yang terjadi kemudian? Yup, ternyata bocah itu menjadi sasaran penculikan. Untung Dean sudah memasang pelacak di jam tersebut hingga memudahkan pihak berwenang menemukan si bocah. Otak Dean memang luar biasa!
Kasusku sama seperti bocah itu. Tinggal mengeluh, maka Peri Dean akan melakukan keajaiban!
“Kamu sinting, ya?” Felix mendelik. Dia masih menggendongku seolah Dean akan menjualku ke penimbun organ tubuh. “Omongan balita kamu dengarkan? Besok dia bilang ayahnya seorang presiden, pasti kamu percaya begitu saja!”
“Felix,” Dean memperingatkan, “jaga suaramu. Kalaupun ayahnya Kayla seorang presiden, maka itu jauh lebih bagus.”
Dean berjongkok, menarik resleting dan mulai mengeluarkan jaket dan peralatan gendong. “Sini,” katanya memberi intruksi kepada Felix, “Kayla harus pakai jaket. Jangan sampai dia kedinginan.”
“Kamu gila! Sinting!” Felix menggerutu, meski begitu dia tetap mengamini perintah Dean. Dengan hati-hati ia meletakkanku dan membiarkan Dean memasang jaket bertudung....
“Nah, lucu, bukan?”
Senyum di wajah Dean terlihat puas. Hahahahahaaaa-aku ingin menangis! Dari sekian model baju yang bisa dipilih Dean, dia justru mengambil jaket berbulu warna putih lengkap dengan tudung yang dihiasi telinga kucing. Aku makin tenggelam! Orang hanya akan bisa melihatku sebagai gumpalan kapas!
“Baby Kayla, lucunya,” puji Felix yang sudah jatuh pada pesona keimutanku. “Dengar, ya! Dean, kamu harus segera kembali begitu bertemu dengan lelaki itu!”
“Oke!”
“Kalau dia seorang bapak berengsek, jangan serahkan Kayla!”
“Paham.”
Felix? Siapa yang mengajari pemuda manis ini kata-kata kasar?
***
Semua kursi di bus telah memiliki penumpang. Aku duduk bersama Dean dan beberapa kali harus menahan malu karena ada ibu-ibu yang berusaha mengambil fotoku. Andai saja Dean memilih jaket normal, maka setidaknya harga diriku bisa kulindungi.
Jarak antara Kota Metro dengan kota yang kutinggali kira-kira perlu sekitar dua puluh menit. Itu bila naik bus. Dean memilih bus daripada kereta api karena kami berdua belum memiliki tanda pengenal. Bus merupakan transportasi teraman dan termudah yang bisa dipilih oleh Dean.
Beberapa kali Dean menyuapiku roti dan berkata, “Sabar, ya? Sebentar lagi kita sampai.”
Berhubung ini Dean, salah satu calon pemilik masa depan cerah, aku percaya saja alias tinggal jadi tim penggembira. Sudah kubilang, ‘kan, bahwa Dean itu berotak encer? Dia bahkan mempersiapkan segalanya secara matang mulai dari perlengkapan balitaku, uang, dan alamat. Tentu saja kami butuh alamat Ronan!
Mengenai alamat, Dean pasti sudah berselancar di internet dan mencari tahu kantor mana yang perlu kami singgahi.
Jasa Dean tidak akan aku lupakan. Nanti akan kurayu Ronan agar memberikan semua dana yang bisa Dean dapatkan agar lulus dengan nilai sempurna!
***
“Saya ingin bertemu Tuan Collin,” kata Dean kepada resepsionis. “Beliau berjanji akan memberi sponsor bila saya bisa memberikan rancangan mesin pelacak. Sekarang saya membawa cetak biru rancangan tersebut.”
Aku aman dalam gendongan Dean. Beberapa kali orang mencuri pandang ke arah Dean karena dia terlihat....
Unik!
Ransel menempel di punggung, sementara kedua tangan sibuk mengamankan balita yang sepertinya ingin berpura-pura jadi macan salju raaaw! Yak, itu kami.
Resepsionis tidak langsung memberi balasan. Dia melirik ke rekannya, kemudian memintanya menghubungi seseorang. Usai melakukan percakapan resepsionis menyarankan agar kami menunggu di lobi.
Dengan berat hati aku pun memilih pasrah. Dean memilih duduk di sofa. Beberapa kali kami mendapat tatapan ingin tahu dari sekian orang. Pasti mereka terpikat kepada kami, pasangan unik!
Eh, itu tidak penting.
“Dean,” aku memanggil.
Dean merapikan tudungku dan hanya memberiku seulas senyum.
“Cetak biru?”
“Oh perusahaan Collin pernah datang ke sekolahku,” Dean menjawab. “Mereka tertarik dengan penelitianku. Kamu beruntung aku bisa menemukan cara menghubungi mereka.”
Aku mengangguk-angguk.
Barangkali Felix sekarang tengah bertarung dengan perawat. Mereka pasti menuntut Felix membeberkan informasi mengenai keberadaan kami. Felix pasti bisa menangani amukan perawat. Dia terkenal si paling jago adu mulut. Aku yakin di kemudian hari dia bisa menjadi pengacara terkaya.
Entah berapa menit kami menunggu hingga seseorang menghampiri sofa dan memerintahkan Dean mengikutinya.
Lorong yang kami lewati terasa seperti bagian dari salah satu film fiksi; dinding kaca, kubikel-kubikel berisi budak korporat, lampu-lampu tanam, orang-orang berpakaian rapi, aroma parfum dan kopi, lalu orang tersebut memerintahkan kami menunggu di salah satu ruangan.
“Jangan gaduh,” kata wanita itu sebelum memutuskan lenyap dari pandangan kami.
Ruangan yang kami datangi tidak ditempati oleh siapa pun. Lantai kayu terpoles bersih, meja berkaki rendah, beberapa kursi empuk, sebuah televisi, kaca yang menampilkan pemandangan kota, dan....
“Uaaaaaa luas!”
Dean menurunkanku dan melepasku dari gendongan. Dia membiarkanku berlarian dan mengamati apa pun.
“Kayla,” pangil Dean, “kemari.”
Aku langsung merentangkan tangan dan memeluk kaki Dean. “Kita bisa menari tanpa ada yang mengomentari kita dengan kata norak!”
“Emmm di sini ada CCTV, Kayla. Kamu nanti akan menyebabkan serangan jantung bagi penonton.”
Belum sempat aku membalas, pintu terbuka lebar. Seorang pria berkacamata masuk dan langsung memperkenalkan diri sebagai Asisten Chen. Dia memiliki sepasang mata hitam, ekspresi di wajahnya terkesan lembut, dan tatanan rambutnya pun tidak terlihat kuno. Sungguh pria modern keren kaya menawan.
Mata Asisten Chen berbinar begitu melihatku. Dia hendak mengelus kepalaku, tapi mengurungkan niat ketika Dean berdeham.
“...”
Kami duduk sementara seorang wanita meletakkan minuman di meja lantas pergi begitu saja.
“Maaf, saya hanya bersedia menyerahkan cetak biru kepada Tuan Collin,” Dean memberi persyaratan. “Selain beliau, saya keberatan.”
Dean mendudukkanku di pangkuannya dan menghalangiku minum apa pun yang tersaji di meja. Mungkin dia takut aku akan mengompol.
“Tuan Collin sedang ada kepentingan di salah satu cabang,” Asisten Chen menjelaskan. “Bukankah lebih baik lekas serahkan cetak birunya daripada menunggu?”
Di ruangan hanya ada kami bertiga. Aku yakin Dean tengah berkontemplasi dan akhirnya mengambil keputusan:
“Saya sebenarnya datang ke sini karena ingin menyerahkan putri kandung Tuan Collin.”
“!”
Asisten Chen seperti disambar petir. Diam tak berkutik.
***
Selesai ditulis pada 19 Januari 2023.
:”) Maaf saya nulis Kayla dulu. Sedang butuh hiburan. Makanya, saya milih nulis ini dulu. Hehehehehe. Boleh, ya? Hehehehehehehe.
Salam hangat,
G.C