Coffee, Book, and Red Rose [S...

By SelayOlay4

3.3K 455 83

Kalian tau cerita fiksi remaja yang sering kali melibatkan geng motor? Buku ini tentang Reo, tentang Nagi, t... More

II - 3027
III - 2138
IV - 2525
V - 2273
VI - 1582
VII - 2030
VIII - 2122
IX - 1826
X - 2426
XI - 3273

I - 2818

733 72 15
By SelayOlay4

"Oi bro!"

Sapaan beriringin dengan rangkulan keras Nagi dapatkan tiba-tiba. Ia memberenggut kesal, menyikut temannya yang malah tertawa keras.

"Gue jadi mati anjing!"

"Ha? Innalilahi bro."

Shiduo Ryusei, katakan saja Ryu si biang kerok. Hobi telat dan ga ngerjain PR.

"Lo nonis blok!" Yukki yang baru aja nyampe rooftop sehabis beli makanan buat anak-anak lain langsung gebuk keras punggung Ryu. Gimana ya, temennya ini emang suka lupa diri kalo ga diingetin.

"Oh, lupa."

Mereka menghela napas, pasrah sama tingkah laku temennya satu ini.

"Oit!" Otoya eita, panggil aja Otoy atau Toy aja. Sebelas duabelas sama Ryu, jamet pangkalan.

"Oi." Balas yang lain serempak. Suara lantang mereka memenuhi atap sekolah yang seharusnya ga boleh mereka tempatin.

Tapi mau gimana lagi, sekolahnya juga punya bapaknya Yukki. Jadi mereka bebas-bebas aja kesana tanpa kena omel. Walaupun kalo kepergok guru BK suka dijewer juga sih. Atau kalau ga gitu mereka bakal dijemur di lapangan. Buset panas banget bro.

"Kalian tau gak-"

"Gosip teroooos!"

Belom sempat Otoya selesein kalimatnya tapi udah dipotong aja sama temen-temennya.

"Beneran, dengerin dulu." Dia duduk di samping Nagi yang masih asik main game. Ngerangkul pundak itu dan lanjut natap yang lain.

"Sekolah kita besok ada anak pindahan dari Surabaya. Sekolah lo dulu Gi." Otoya nepuk pundak Nagi dua kali. Berharap Nagi berhenti main game dan gabung ngobrol sama mereka.

"Cowo atau cewe?" Yukki yang nanya. Kalo mau gebuk aja Yukkinya, playboy ga laku padahal ganteng.

"Cowo, tapi cantik." Ryu nyaut, duduk di sebelah Yukki dan nyomot sembarang jajan. "Gue tadi mau ngomongin ini. Tapi si mbah atu ini malah sibuk sama gamenya."

"Ngomong aja kan bisa. Gue dengerin." Nagi memutar mata malas, masih fokus dengan game di ponselnya. Males banget sama curut-curut cem temen-temennya ini. Bikin pusing doang.

"Yakin lo?" Ryu naik turunin alisnya. Ga yakin Nagi bakal diem sehabis dengerin beritanya. "Mau gue sebutin ciri-ciri murid pindahannya? Lo harusnya kenal sih, kan satu sekolah dulu. Anaknya juga terkenal banget di sekolah. Bukan cuman di sekolah sih, di dunia bisnis juga."

Tangan Nagi berhenti bergerak, otaknya lebih memilih menyimak penjelasan Ryusei dibanding game di ponselnya yang sudah tidak lebih menarik.

"Jangan basa-basi, bikin penasaran aja." Kunigami Rensuke, panggil aja Ren. Dia dari tadi cuma nyimak aja sama Tabito karena emang ga terlalu suka yang namanya gosip.

Toh, gosip banyak hoaxnya. Daripada dosa bicarain orang yang kagak-kagak kan mending mereka tutup mulut, nyimak aja.

Dengerin doang dosanya ga sebanyak ngomongin kan?

"Sabar napa." Ryu nyenderin punggung ke sofa yang susah payang mereka gotong dari gudang. Seringaian lebar terpampang jelas di wajahnya. "Dia tinggi, manis, cantik walaupun ga secantik ayang gue, dan rambutnya yang paling unik. Warna-"

"Lebih unik dark kita?" Kunigami nunjuk rambut temen-temennya. "Rambut lo ada gradasi gitu. Gue oren, Nagi putih, ada dari kelas sebelah, siapa itu? Chigiri? Hiori? Warnanya pink merah sama biru gitu. Terus itu, pacar lo juga. Sekalian Rin deh, warna rambutnya ijo-ijo aneh gitu. Aneh lagi si Otoy, jamet banget buset."

"Gue dari tadi diem?" Rin natap sinis kunigami. Enak aja rambutnya dikatain aneh.

"Nah udah tau gitu kenapa ga kalian balikin rambut kalian jadi item ha?"

"MAMPUS!"

Mereka gelagapan, buru-buru beresin makanan mereka sebelum di sita.

"Saya tuh bingung, punya murid rambutnya warna-warni gini. Ada lagi si Aryu, malah manjangin rambut haduh. Bachira juga, warna rambutnya kuning-kuning gitu. Kalian tuh yang normal dikit harusnya bisa lah." Anri, guru BK yang suka jewer mereka.

"Bu, ngapain di sini? Mau nyamperin saya yang ganteng ini ya bu?"

Anri tepok jidat, capek betul sama kelakuan murid-muridnya. Apalagi yang namanya Otoya sama Ryusei. Kepala sampe mau pecah rasanya.

"Udah ah, sini kalian! Ikut saya ke BK! Biar pak Ego yang kasih hukuman. Udah capek saya muter-muter sekolah cuma buat nyari kalian. Taman belakang ga ada, kantin ga ada, uks juga ga ada, tau-taunya di atap. Ga capek kalian kena hukum mulu? Sekali-kali gitu yang bener. Kamu juga Tabito, Yukki, kenapa malah ikut-ikut mereka sejak Sei pindah? Aduh, padahal kalian tuh berpotensi masuk ke kelas percepatan loh. Bingung saya."

Mereka diem, cuma jalan aja ngikutin Anri yang sedari tadi ngomel sambil ngeluh. Entah udah berapa kali mereka dengerin omelan Anri yang isinya cuma itu-itu aja. Tapi mereka ga bakal bantah sih, paling cuma godain dikit. Contohnya aja-

"Yah bu, masa SMA cuma tiga tahun sih. Sekarang tinggal satu tahun. Kan enakkan dinikmati." Nah, gitu contohnya. Ryu yang ngomong, sambil rangkul Rin yang kemudian nendang tulang kering dia.

"Buset, keliatannya sakit tuh." Bito ngeliatin Ryusei yang jongkok bentar gegara kakinya ngilu banget.

"Ya kalo udah tau kalian udah kelas tiga tuh tobat dong. Masa mau nakal terus sampe lulus? Duh saya boleh gak sih ngarep kalian ketiban hidayah biar tobat."

"Hidayah siapa bu?"

"Sei! Kamu gak usah ikut-ikutan ya." Anri nunjuk tepat di wajah Sei, udah kepalang kesel sama tingkah mereka, bikin emosinya naik terus.

"Eh bu, katanya mau ada murid pindahan ya? Info-info dong bu." Yukki jalan duluan, nyusul Anri yang jalan di depan.

"Oh iya, kalian dilarang deketin murid baru ya! Ga boleh! Haram hukumnya kalian ada satu meter dari tempat dia!"

"Loh, loh, loh, kok gitu bu? Kita salah apa?" Yukki nunjukin wajah melasnya. Wajah-wajah buaya kalo mau ditinggal betinanya.

"Ya gimana, kalian gini sedangkan dia gitu. Mana mungkin saya izinin kalian mencemari nama baik dia. Ga tega saya kalo sampe dia temenan sama berandal kayak kalian." Kini giliran Anri yang nunjukin wajah sedih. Sukses sih buat keenam muridnya itu nunjukin wajah asem.

Baik gitu kok dibilang berandal.

Tapi dasarnya mereka ga sadar diri aja sih.

"Eh tapi saya seneng banget sama dia. Adem gitu auranya, padahal holang kaya. Duh mana manis banget kayak anak kucing. Rambutnya ungu-ungu gitu, gemes banget gak kayak kalian. Mana dia masuk kelas percepatan. Tapi disini cuma satu semester doang ya jadinya. Tapi gapapa deh hehe." Anri nangkupin wajahnya, seneng banget kedatengan murid baru yang waras.

"Namanya?" Nagi bersuara, sungguh! Sungguh, katakan tidak padanya.

"Ha?" Anri noleh ke aran Nagi. "Ooh, Reo. Lebih tepatnya Mikage Reo sih. Anak pengusaha ternama. Ahli waris satu-satunya. Duh jadi pengen pacarin tapi kok brondong ya haha." Anri tertawa.

Sedangkan disisi lain, Nagi mematung. Membuat jalan mereka menuruni tangga terhenti. Dan didetik berikutnya, ia berlari meninggalkan teman-temannya juga Anri yang berteriak memarahinya.

"Bu udah bu, lagi galau anaknya. Maklumin aja." Yukki menahan Anri yang udah kayak mau makan orang.

"Galau? Galau kenapa?"

"Gini bu-" Yukki mendekatkan wajah, seakan ingin membisikkan sesuatu padahal sedetik kemudian malah modus cium pipi Anri terus langsung lari diikutin temen-temennya.

"ABSEN BK DULU YA BU, MAU NYEBAT. BESOK-BESOK SAYA BAWAIN MARTABAK BUAT PAK EGO! BYE BYE BU CANTIK."

Anri ngelus dada, "BOCAH EDYAN!"

o0o

"MA, RERE TELAT MA!" Reo keluar dari kamarnya, berlari tergesa menuruni tangga.

"Ya siapa suruh kamu dibangunin berkali-kali ga mau bangun."

Reo cemberut, "Ya lagian semalem ujan sih, kan suasananya enak banget buat molor ma." Ia menyambar bekal yang mamanya siapkan, mencium kedua pipi mamanya dan berlari keluar.

"Loh kamu ga sarapan dulu Re?" Teriakan sang mama disambut udara kosong, berlalu begitu saja karena yang diajak bicara sudah keluar rumah.

Mungkin sudah menghampiri supirnya dan menyuruhnya ngebut ke sekolah.

"Ba-ya, ngebut ya." Reo masuk ke dalam mobil, yang sedetik kemudian sudah meluncur deras membelah jalanan.

Ia membuka kotak bekal dari mamanya, memakannya dengan buru-buru. Biarkan ia membeli makanan di kantin untuk makan siang, yang penting sekarang sarapan dulu. Ia tak akan mengambil resiko untuk sekedar pingsan karena tidak sarapan.

"Kok lampu merahnya lama." Reo menutup kotak bekalnya, mengintip keluar dimana mobil-mobil berjejeran. Ia menoleh, menatap sekitarnya dan mendecak.

Ia akan terlambat jika seperti ini, karena bisa dipastikan bahwa ia akan tejebak macet. Ah, andai saja ia diperbolehkan membawa motor oleh orang tuanya, mungkin ia bisa menyalip sana-sini saat ini.

Eh, sebentar, motor?

Reo menoleh ke samping, pandangannya bertemu dengan mata sayu dibalik helm.

Ia tersenyum, "Ba-ya, maafin Rere ya. Rere sayang ba-ya kok." Ujarnya sembarangan dan membuka pintu mobilnya, bergegas menaiki motor orang dengan seragam sama dengannya ini.

Ba-ya menggelengkan kepala, tuannya memang suka sekali seperti ini.

"Nebeng ya." Ujarnya yang lagi-lagi seenaknya saja.

Tidak ada jawaban dari orang di depannya. Helm full face itu juga menghalanginya menatap wajah itu. Hanya mata sayu yang terlihat familiar yang bisa ia lihat. Juga aroma tubuh yang wangi itu.

Entah mengapa, ia merasa familiar.

Tapi biarkan itu berlalu sekarang, karena yang lebih penting adalah ia tidak terlambat pergi ke sekolah. Karena yang lebih penting adalah, lampu sudah berubah menjadi hijau dan ia bahkan tak bisa membuka mata karena orang ini melajukan motornya dengan kecepatan yang gila-gilaan.

Hei! Ia bahkan tak memakai helm.

Reo ingin memukul pundak itu, menyuruhnya melambatkan lajunya. Tapi yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah meremas pundak itu kencang karena takut terjatuh.

Tapi lama-kelamaan ia menikmatinya. Ia tak pernah merasakan sensasinya, menaiki motor apalagi dengan kecepatan segila ini. Rasanya menyenangkan hingga membuatnya tersenyum saat matanya tertutup dan angin sejuk menerpanya. Membelai kulitnya dan mengibarkan rambutnya.

Hanya lima menit lagi hingga mereka sampai di sekolah. Terima kasih dengan orang yang memboncengnya, karena Reo tidak jadi telat dihari pertamanya masuk sekolah.

"Turun." Titah orang itu, membuat Reo mengangguk dan bergegas turun.

"Makasih." Ujarnya sembari membenahi helai rambutnya yang sudah berantakan. "Kalo boleh, gue minta nganterin ke ruang guru mau ga?" Reo menatap orang itu yang masih enggan membuka helmnya.

Tapi yang Reo dapati hanyalah dehaman pelan yang tak menentu apa artinya. Ia memberenggut kesal, menghela napas kemudian.

Ia mengikutinya, mengamati sekitar yang sepertinya sangat menarik. Sekolah elite dengan segudang keasriannya. Ini menyenangkan, Reo menyukainya.

Kakinya melangkah lebih cepat, menyejajarkan dirinya dengan sosok yang sedikit lebih tinggi darinya itu.

"Kenapa lo ga lepas helm?" Tanyanya heran dan lagi-lagi tak mendapati balasan dari si lawan bicara.

Mereka masih berjalan untuk beberapa menit lagi. Hingga kakinya terhenti di depan ruangan dengan papan bertuliskan ruang guru.

"Thanks sekali lagi." Reo mengetuk pintu ruang guru dua kali sebelum membukanya.

Meninggalkan Nagi yang berjalan menjauh dari tempatnya berdiri beberapa saat lalu dan melepaskan helmnya. Memperlihatkan seberapa keras ia menggigit bibir hingga bibir itu meneteskan cairan merah.

Ia ingin berbicara lebih dengannya, bertingkah manja seperti dulu, dan membelai rambut itu dalam heningnya malam.

"Bukannya semuanya udah terlambat Sei?" Gumamnya pada diri sendiri, merutuki segala yang sudah terjadi di masa lalu.

Tapi biarkanlah, ia bahkan tak memiliki nyali untuk sekedar menunjukkan wajah pada Reonya yang telah hilang.

Tapi, bolehkah ia merasa senang untuk sedikit kenangan yang kembali? Karena melihat wajah dengan mata yang berbinar itu lagi.

Lihatlah tingkahnya, yang dulunya tidak berani, bahkan tidak bisa membantah orang tuanya dan berlari padanya sembari menangis, kini senyumnya terlihat lebih lebar lagi.

Apa-apaan ini? Jantungnya berdegup kencang.

Lagipula, mereka menjalin hubungan banyak tiga bulan. Kenapa juga ia tak bisa melupakannya bahkan setelah dua tahun terpisah.

Terus merindu membayangkan sosoknya.

Nagi menjatuhkan diri di bangkunya, membiarkan tasnya tergeletak di lantai dan merebahkan kepalanya pada lipatan tangan. Ia akan tidur. Barangkali saja mimpi sedang berbaik hati memberinya bunga tidur indah bersama Reonya.

Haha, konyol.

o0o

"Kagak bangun-bangun dah."

"Mokad kali ya?"

"Mulut lo kayak ga pernah di sekolahin anjing."

"Ngaca cok."

"Lah lo lebih parah nyet."

"Udahlah, ini gimana cara banguninnya?"

"Siram air dari pot itu aja gimana?"

"Blok, kasian anak orang lo guyur aer tanah."

"Lah, emang dari tadi kita ngapain? Goyangin badannya, keplak palanya, sampe sumpet lobang idungnya juga kagak bangun-bangun nih orang."

Nagi mengerjapkan matanya. Berisik sekali orang-orang di sekitarnya ini.

"Sialan, kaget gue." Katanya, dengan nada datar.

"Kaget model apaan flat gitu." Otoya natap Nagi dengan pandangan aneh. Mana ada orang kaget tapi wajah sama nada suara datar-datar aja gitu.

Ya ada sih, Nagi orangnya.

Ya gimana ya, Nagi baru buka mata langsung disuguhi wajah buluk temen-temennya. Gimana ga kaget coba?

"Makan siang Gi, anak-anak dah nungguin di atas. Lo dari dateng sekolah molor sampe istirahat kedua." Tabito menepuk pundak Nagi, menunjukkan bungkusan makanan di tangannya.

"Gue kira lo koid soalnya tidur lo kayak mayat."

Plak

Nahloh, si Otoy ini emang suka banget ngundang perkara. Dapet juga kan geplakkan maut dari Nagi.

"Skip, gue mau nyebat." Nagi bangkit, mengusak rambutnya yang sedari awal sudah berantakan.

"Ga usah aneh-aneh lo, makan dulu baru nyebat. Nanti istirahat kedua selese lo kebelakang dah. Bolos juga udah biasa kan. Yang penting makan dulu." Tabito menarik kerah belakang Nagi, menyeretnya menuju lift darurat dan membawanya ke atap. Setidaknya lewat sana lebih sepi ya. Kagak perlu desak-desakkan sama murid-murid lain.

Nagi? Muter mata males tapi ujung-ujungnya nurut juga. Daripada kena bogem Kunigami kalo dia bandel kan.

"Eh tapi murid pindahannya beneran mantan lo Gi?" Otoya yang keinget sama topik ga tuntas kemarin balik nyomot topik itu.

"Oh iya, gue liat lo tadi berangkat boncengin dia kan?" Tabito ikutan nyomot topiknya. Agak heran sama Nagi yang tumbenan ga telat dan boncengannya kagak kosong. Biasanya aja ogah banget boncengin orang.

Tapi waktu liat rambut ungu, Tabito ga jadi nyamper waktu di parkiran tadi.

"Hah? Beneran? Gokil juga lo Gi, gue doain cepet balikan dah."

"Lo bukannya atheis ya Toy?"

"Diem deh lo nyet." Otoya natap sinis Tabito, gedek sama temennya satu itu yang demen banget ngisengin dia.

"Tapi dia tau lo Gi?" Abaiin teriakan ga bermutu Otoya, Tabito lebih milih ngelanjutin pertanyaannya.

"Hh, penting banget?" Nagi menghela napas, agak ga suka kalo temennya udah nanyain tentang Reo. Mereka buaya semua. Kecuali Kunigami, Rin sama Ryusei.

"Banget." Jawab Otoya dan Tabito serempak.

"Kita ketemu di lampu merah. Dia mau telat jadi gue kasih tumpangan. Dia juga belom sadar kalo itu gue soalnya gue ga buka helm. Udah kan?"

Penjelasan singkat dari Nagi membuat kedua temannya mengangguk. Cukup jelas untuk seorang Nagi Seishiro dalam hal menjelaskan.

"Cupu lo Gi."

Plak

Nahkan, dua kali untuk hari ini Otoya dapet geplakkan maut dari Nagi.

"Agaknya bakal ada CLBK nih." Tabito naik turunin alisnya, godain Nagi yang wajahnya masih sama lempengnya dari tadi.

"CLBK apanya? Gue emang ga bisa move on dari dia."

"Eh?"

"EH?"

Otoya sama Tabito saling lirik, lantas-

"WOI NAGI GAMON WOI!"

Teriakan mereka ngeramein atap.

"Ha? Ngomong apaan kalian? Cepet sini, jam istirahat dah mau abis baru dateng. Lemot lo."

o0o

Reo keluar dari kelasnya. Sekolah sudah sepi dan ia enggan untuk pulang. Males banget, ada tamu di rumah. Pasti mama sama papanya bahas jodoh-jodohan lagi. Ngeselin.

Kenapa juga keluarga dari kalangan atas suka banget main jodoh-jodohan? Dikira dia barbie apa ya? Nikah juga nikah politik, atau buat urusan bisnis. Males banget.

Reo jalan ke belakang sekolah, niat cari jalan lain buat ngehindarin ba-ya yang pastinya udah ada di depan sekarang.

Dia noleh kanan kiri, kali aja ada pintu atau apa gitu buat keluar. Tapi yang ada cuma tembok tinggi.

Reo noleh ke arah lain, matanya seakan nangkep siluet sosok yang dia kenal.

Tangga, handphone, game, rambut putih, dan mata sayu.

Bedanya, saat ini yang ada hanyalah mata sayu yang melebar, menatapnya dengan belahan bibir terluka yang menghembuskan asap rokok.

Reo mematung. Padahal ia dulu pernah bilang, padahal dulu dia pernah berjanji, apapun yang terjadi jangan berlari pada hal jahat itu.

Ia mendekat, berjalan pelan dan merenggut pelan batang rokok yang ada di tangan itu. Ia menunduk, menatap beberapa putung rokok yang sudah tergeletak tak berdaya di tanah.

Mereka beradu tatap, membiarkan hening menyapa lebih lama lagi.

Pantas saja ia merasa familiar dengan mata sayu itu. Pantas saja ia merasa familiar dengan harum tubuh itu. Pantas saja ia merasa familiar dengan semuanya. Punggung kekar itu, juga suara yang sekilas ia dengar.

Pantas saja ia merasa familiar dengan rasa yang sekilas muncul di dadanya. Karena tenyata ia juga tengah merindu dengan sosok yang dulu memeluknya erat.

Tapi apa yang ia lihat sekarang? Begitu banyak batang rokok yang sosok itu habiskan.

Ia tidak bodoh, sungguh. Karena alasannya untuk melarikan diri pada hal ini adalah dirinya. Karena dirinya yang kembali tiba-tiba.

"Kenapa belom pulang?" Nagi memecah hening yang terasa begitu lama melanda. Memberanikan diri untuk menyapa lebih dulu.

"Ah itu." Reo mengalihkan pandangan, menatap sekitarnya yang sebenarnya tidak lebih menarik dari wajah tampan itu. Tapi ia merasa sedikit canggung setelah tiba-tiba merebut batang rokok itu tanpa sepatah kata pun. Sungguh, yang tadi itu hanya refleks saja.

"Ada masalah sama papa lagi?" Nagi bangkit dari duduknya, menyambar tasnya yang terlihat sangat ringan.

"Ha? Gak kok, sok tau." Reo buru-buru membantah, mengelak dari tebakan Nagi yang tepat sasaran.

"Wajah lo ga bisa bohong. Masih sama kayak dulu."

"Lo gamon ya sama gue?" Reo menyusul Nagi yang sudah berjalan lebih dulu.

"Tuh tau."

Jawaban Nagi yang terlalu tiba-tiba membuat Reo refleks memutar balik, bersiap lari menuju arah yang berlawanan.

Malu anjing.

"Hh." Helaan napas kembali keluar dari mulut Nagi. Ia meraih tangan itu sebelum sosoknya benar-benar berlari meninggalkannya.

"Pulang bareng gue, cari makan dulu sebelum nganterin lo balik. Bilang papa."

Dan seperti biasa, Nagi akan selalu tau kenapa ia enggan untuk sekedar kembali ke istananya.

TBC

Lanjut ga?

Bakal agak panjang sih cerita ini hehe :D

Pamit dulu ya,
Pay pay(◍•ᴗ•◍)










Continue Reading

You'll Also Like

304K 31.3K 56
Menyesal! Haechan menyesal memaksakan kehendaknya untuk bersama dengan Mark Lee, harga yang harus ia bayar untuk memperjuangkan pria itu begitu mahal...
132K 10.7K 35
Supaporn Faye Malisorn adalah CEO dan pendiri dari Malisorn Corporation yang memiliki Istri bernama Yoko Apasra Lertprasert seorang Aktris ternama di...
50.6K 3K 16
Jeno membayar semua hutang keluarga Jaemin, tapi dengan syarat pria manis itu harus menikah dengannya.
507K 36.3K 44
Romance story🤍 Ada moment ada cerita GxG