Ex-enemy

By aayidan_

750 324 295

#Zarchseries 1 Ini kisah Zade-Zarch Leonarde Steaver yang berseteru dengan gadis cantik di sekolahnya, Sh... More

00. Prolog
01. Akibat
02. Arron
03. Demi Wan
04. Leonarde sialan
05. Pemakaman
Perkenalan
06. Pendekatan
07. Sweetie
08. Ulah Arron
10. First with Zade
11. Kejahilan Zarra
12. Bro Complex
13. Confess
14. First Date
15. Pria di Masalalu
16 Hadiah termanis
17. Incaran
18. Hampir
19. Aman
20. Zarch Sendy

09. Satu orang

33 18 3
By aayidan_

Jangan lupa vote, comment and share ya guys! Makasihh

Aku menerima kritik atau saran untuk cerita ex enemy, asalkan itu bersifat memberikan perubahan lebih apik. Jujurly aku ngerasa kadang ini cerita agak Gj, but aku masih mau cobaa. Lagiaan kek sepi banget sih lapak ku yang ini:( padahal Zade itu salah satu tokoh kesukaan ku, semoga menjadi tokoh kesukaan kalian juga yaa♡

Makasih yang udah mau mampir sejauh ini♡

˚·❀˚· S A T U O R A N G ·˚❀·

••˚·❀·˚••

Klakson mobil terdengar di telinga Shawn, anak laki-laki itu berlari kecil membawa tas kura-kuranya yang berada di punggung kecilnya. Zade tersenyum manis saat anak laki-laki itu menyapanya senang.

"Wan apa kabar?"

"Aku baik, kakak jenius gimana? Ah iya, teman perempuan kakak yang waktu itu gimana? Kakak udah minta maaf?"

Zade mengacak rambutnya gemas dari kaca jendela. "Masuk dulu," titah Zade yang langsung di turuti anak laki-laki itu.

Setelah masuk dan duduk di belakang kemudi Zade, ia meminta anak itu berpindah kedepan. Duduk di sisinya, Shawn kembali menurut. Kemudian ia menagih cerita kepada kakak jeniusnya.

Sabuk pengaman itu menjalar membalut tubuh keduanya berkat sensor otomatis, menyesuaikan tubuh yang duduk di atas bangku jok. Shawn awalnya terkejut, tapi ia menjadi terkagum-kagum saat melihat kakak jeniusnya biasa aja.

Seraya menyalakan mesin Zade menceritakan hal yang berhubungan dengan teman perempuan yang Shawn maksudkan. Cerita berakhir dan senyuman Shawn tak pernah luntur sedikitpun, minus di bagian Zade yang mendapatkan ancaman dari Arron saat semalam. Zade belum tau saja bahwa kak Nana nya Awan adalah gadis yang semalam bersamanya sepanjang malam.

"Dan dia udah di rumah kakak," ujar Zade senang dan membuat Shawn bertambah senang.

"Pasti dia cantik, namanya siapa kak?"

"Nanti Wan tanya sendiri, kenalan sendiri biar seru."

"Okee!" Sahut Shawn senang.

"Wan, gimana kabar kak Nana?" tanya Zade sekejap melunturkan antusiasme di wajah anak laki-laki itu.

"Kak Nana belum ketemu sama aku lagi sejak di omelin papah," sahut Shawn lesu. Anak itu misuh-misuh, ia khawatir dengan kakaknya, "padahal aku yang nakal tapi kak Nana yang di omelin papah."

Perkataan Shawn membawa ingatanya di hari saat ia menguntit Shenna dari angkasa. "Kak Nana di usir atau kabur?" tanya Zade penasaran.

Shawn menggelengkan kepalanya pelan, "kak Nana emang jarang pulang. Papah selalu marah kalau kak Nana pulang ke rumah, apa lagi ngga bawa uang. Padahal uang papah udah banyak, aku sedih liat kak Nana selalu di omelin."

"Nanti kenalin kakak, ke kak Nana ya?" Shawn menganggukinya pelan.

"Jangan murung gitu Wan, nanti di rumah kakak ramai loh. Wan juga bisa main sama paman kakak, tapi dia seumuran kamu. Namanya Yoffan," ujar Zade merayu Shawn agar tidak murung, tentu berhasil tapi membuat anak itu kebingungan.

"Kakak punya paman seumuran aku?" Zade menganggukinya sebagai tanda bahwa perkataan Shawn benar.

"Yoffan, anak nenek nya kakak. Tapi bukan nenek langsung, kakek nenek kakak udah gak ada. Jadi orang tuanya Yoffan ini adik dari kakek neneknya, kakak." Jelas Zade dengan perlahan, agar anak laki-laki di sisinya paham. "Shawn paham?" tanya Zade mendapati kebisuan dari Shawn.

"A-ha, aku paham!"

Zade terkekeh gemas pada anak laki-laki satu ini. Kendali otomatis yang ia gunakan kini di alihkan menjadi kendali manual, Shawn memperhatikannya dalam diam dan ia begitu terkagum akam cara mengemudi Zade.

"Aku juga mau kayak kakak, biar keren," celetuk Shawn membuat Zade tersenyum tipis dengan mata yang fokus menatap jalanan.

"Nurut sama papah ya, biar kak Nana senang nanti Wan jadi keren. Kan udah buat kak Nana bahagia," celetuk Zade menyahut.

Ia membelokan mobil ketika melihat pagar yang menjulang tinggi dari jarak lima puluh meter, Shawn menatapnya dari kaca jendela.

"Waah," beo Shawn kagum.

"Rumah kakak bagus," celetuk Shawn masih terkagum.

Pagar besar itu terbuka setelah melakukan Scanning terhadap orang yang ada di dalamnya, juga mencatat seperti nomor polisi, jam masuk kediaman tersebut, serta barang bawaan yang ada di dalam mobil. Zade mengemudikannya perlahan, biasanya ia melesat cepat hingga tiba di depan gerbang rumahnya.

Mata Shawn tak lepas memperhatikan dua bangunan sama tinggi dengan warna dan arsitektur berbeda, masing-masing rumah besar itu memiliki paviliun yang elegan serta di kelilingi halaman yang indah. Pagar tinggi yang terlihat kokoh itu menunjukan batas yang ada.

Disebelah kanan jalan, terdapat rumah dengan arsitektur classic, di luar bangunan. Shawn seperti pergi ke sebuah kerajaan.



Di sebelah kiri jalan, kediaman besar itu lebih condong ke Nature, warna-warni tumbuhan memanjakan mata yang melihatnya. Shawn berkeinginan main disana bersama Yoffan, dan itu jika Yoffan mau bermain dengannya disana.

Seketika perhatian Shawn teralihkan pada bangunan di sebelah kanan, di sana terdapat ledakan kecil dari garasi mesin milik Damian. Seorang gadis keluar dengan baju panjangnya yang kotor, rambutnya yang di kuncir kuda berantakan, wajahnya setengah menghitam-celemongan.

Hal itu membuat Shawn tertawa, ia terpingkal menangkap kondisi wajah dan ekspresi gadis tersebut. "Kakak itu lucu," kata Shawn di sela tawanya, mata berair membuat Zade menoleh ke arah yang Shawn maksud.

Ia menggeleng heran menatap adiknya yang sedang menciptakan sesuatu di garasi mesin milik ayahnya, "itu adik kakak."

"Adik kakak, lucu." Shawn semakin terpingkal, tak bisa tenang di kursinya. Ketik
a Zarra mengusap bagian wajah lainnya hingga membuat wajahnya penuh dengan warna hitam.

Mata Zarra menangkap laju mobil kakaknya yang terlihat santai melewati dirinya, segera saja ia berjalan ke arah mobil itu biasa terparkir.

"Udah Wan, nanti sakit perut."

"Udah sakit perut aku, Kak," sahut Shawn menahan tawanya. Ia tak kuasa melihat ekspresi Zarra yang tengah menghampiri mereka.

Mobil itu masuk melewati gerbang ketika terbuka otomatis dengan cepat ter scan, kemudian gerbang itu kembali tertutup ketika mobil Zade telah melewatinya.

Sisa tawa Shawn terdengar sesekali, kemudian mobil itu tepat berhenti di dekat Zarra yang menunggu mereka. Mesin mati, sabuk pengaman mereka otomatis terbuka perlahan. Shawn membuka pintu mobil lalu melompat begitu saja. Bersama Zade yang keluar lebih santai.

"Hai kak Vanya!" sapa Shawn pada Zarra, muka merahnya bekas tawa nya masih tampak. Zarra melambaikan tangannya pada Shawn, dengan senyuman ramahnya.

"Siapa dia?" tanya Zarra pada Zade.

"Wan, " jawab Zade singkat. "Kamu ngapain disana? Sampe muka hitam kayak gitu," ujar Zade menatap Zarra dengan heran.

Sontak saja Zarra menatap refleksi dirinya pada jendela mobil Zade yang menggelap, "Ga ada tuh."

Zade mendorong kepala adiknya kearah kaca spion mobil, membuat Zarra tertawa sendiri melihat wajahnya. Zade menggelengkan kepalanya heran.

"Kakak pernah kayak gini?" tanya Zarra pada Zade, yang langsung mendapat gelengan dari pemuda itu.

Senyum jahil terbit di wajah Zarra, "Yah payah."

Zarra menyodorkan tangannya yang hitam dan menaruhnya di wajah Zade menyilang dari atas kiri ke kanan, dengan wajah datar Zade tawa Shawn kembali pecah.

"Kakak, lucuu..."

"Zarra!"

"Ahahaaa..." Zarra bukannya takut ia menambah warna hitam di wajah Zade, berakhir kejar-kejaran. Zade menghindar dan Zarra tak puas akan kejahilannya, Shawn di dekat mobil menonton interaksi keduanya dengan terpingkal pingkal dekat ban mobil.

"Kakak... Udaah... aku capek ketawa... " Anak itu mengusap sudut matanya yang menumpahkan Air, Zade yang melihatnya segera menghampiri anak itu meninggalkan Zarra yang protes dengan kakaknya yang selalu menghindar.

"Ayo masuk," ajak Zade datar. Ia kesal dengan Zarra, kemudian tangannya menarik tangan mungil Shawn yang menggantung bebas. Zarra menyusul keduanya dengan napasnya yang terengah.

Di dalam rumah itu, tepatnya di taman belakang. Shenna samar-samar mendengar suara adik laki-lakinya yang tertawa, tawanya sangat khas dan sangat membekas. Sayangnya anak itu lebih mudah tersenyum dan jarang tertawa, Shenna memberenggut dan ia merindukan Shawn. Di dalam netra matanya menangkap seorang bocah laki-laki yang jutek tapi manis, ia mengingatkannya pada Shawn.

Hari ini Zinca bersama keluarga kecilnya-Tora dan Yoffan, mengunjungi kediaman Zarch. Ayah dan anak itu baru kembali dari luar negeri setelah dua bulan disana. Shenna tersenyum manis saat melihat senyuman Zinca terbit sangat manis dan tulus.

"Shenna, sudah?" tanya Dea ramah, ia menatap manik coklat Shenna dengan manik birunya yang bersih.

Shenna menyerahkan bunga yang ia rapihkan sendiri pada Dea. Setidaknya Shenna mampu menghias bunga ketika membantu Alsya merapihkan tatanan bunga yang tumbuh di taman kecil dekat studionya dan yang menghias ruangan yang ada disana.

"Kak Shen, sini!" ajak Vera pada Shenna yang terdiam di tinggal Dea, gadis satu itu telah terbiasa di dekat keluarga besar satu ini. Karena sejak kecil ia tumbuh bersama Alex dan anak kembar itu.

Shenna menghampiri Vera yang tengah merapihkan beberapa adonan cookies yang siap di masukan ke oven, oven ini memilki banyak ruang. Vera menggunakannya tanpa bingung sedikitpun, sedangkan Shenna tak paham apapun. Suara dentingan dari ruangan oven lain, yang berada di atas tepat oven yang tadi Vera masukan adonan baru pintu terbuka otomatis kemudian menyembulkan seloyang cookies yang sudah masak.

"Kakak cobain," kata Vera seraya menyodorkan setoples cookies coklat yang masih hangat. Ia meraih loyang yang baru matang itu dengan hati-hati.

Shenna meraihnya, kemudian mengunyahnya. Di dekat mereka Alex sibuk memasukkan beberapa Cookies yang mulai matang, "Lo gimana sama Zade?" tanya pemuda itu.

"Ga gimana-gimana," sahut Shenna baru saja menelan cookiesnya.

"Ini enak, kamu yang buat?" tanya Shenna pada Vera.

"Bukan," jawabnya dengan menggeleng. Kemudian tersenyum manis ke arah Alex, yang mendapatkan balasan senyum tak kalah manis dari Alex. "Kak Alex," kata Vera.

"Kereen ya, cowo bisa masak."

"Zade juga bisa, laki-laki di keluarga Zarch bisa semua." Shenna menganggukinya pertanda paham.

"Paman Mian," sapa Yoffan dengan datar ketika Damian melewati pintu kaca yang terbuka lebar.

Damian tersenyum manis, kemudian menciumi bocah laki-laki satu itu. "Pasti Yoffan ga sabar mau ke lab," ujar Damian.

Yoffan menganggukinya, ia suka sekali main ke kediaman Zarch. Apa lagi ia memiliki keponakan yang ramah dan pintar, seperti Alex dan Zarra.

Mata Damian berpendar, melihat siapa saja yang bergabung. Hingga ia menangkap kehadiran Shenna yang berada di dekat Alex dan Vera.

Dea menghampiri Damian, meraih jasnya dan tas kerjanya. Hari ini dia pulang lebih awal bersama Dave yang juga baru sampai rumah, "Putramu membawa Shenna kesini."

"Paman Daddy baru pulang, ya?" Damian mengangguki pertanyaan Alex, Shenna menoleh ke arah sepasang suami istri itu yang menatap ke arahnya. Ia tersenyum manis, Dea menggenggam lengan Damian dengan erat.

Damian menoleh ke arah Dea, "dia anak yang baik. Aku yakin dia gadis pemaaf, buktinya Zade berhasil membawa gadis itu kesini."

Dea menganggukinya, "kamu bersihin badan dulu. Zade lagi keluar jemput Wan."

Dea berjongkong menyentuh pundak Yoffan, "nanti Yoffan punya teman disini. Ajak dia main ya nanti?"

Anak itu menganggukinya patuh, Damian dan Dea tersenyum. Dea berbalik merangkul Yoffan menuju mainan yang ia mainkan tadi, melihat sang istri sudah kembali beraktivitas Damian memutar langkahnya, membiarkan tas kerja dan jasnya di tangan sang istri.

"Astaga!"

Mata Damian yang terbalut soflent hitam legam itu membelo, terkejut menatap wajah putranya yang menghitam dengan wajah tertekuk dan tangan menggandeng bocah laki-laki yang mukanya masih sedikit memerah tapi senyuman tak lepas dari wajahnya.

Diikuti kehadiran Zarra yang kondisi wajahnya lebih parah, semua mata tertuju pada arah pintu masuk.

Tawa pertama yang menggelegar adalah Tora dan Alex, keduanya tertawa bersama tanpa di rencanakan. Dengan kurang hajar Alex mengeluarkan ponsel dan memotretnya.

Shenna dan Vera menahan tawanya. Bayangkan saja muka jutek dengan wajah sedikit menghitam, dengan anak kecil yang tersenyum manis.

"Eh-" Shenna melangkah mendekat, "Wan?" tanya Shenna memastikan. Ia yakin itu Shawn, tapi bagaimana bisa ia sampai kesini bersama Zade. Ah iya, si kakak jenius yang suka mengajarkannya di taman.

"Kak Nana!" Shawn berlari melepas genggaman tangannya pada Zade, mereka berpelukan. "Kakak gak papa?" tanya bocah itu khawatir.

Shenna menggeleng pelan, ia merindukan bocah satu ini. "Papah ga mukulin Wan, 'kan?"

Shawn menggeleng, dan menerbitkan senyuman Shenna. Keduanya menjadi tontonan yang sangat menyentuh, terutama Zade. Ingatannya kembali pada malam Shenna di marahi dengan seorang anak kecil.

Zade menghampiri keduanya, kemudian berlutut. "Wan, maafin kakak ya. Teman perempuan kakak itu, kak Nana."

Wajah Zade melunak, seperti ada penyesalan mendalam yang tersirat dari tatapannya. Damian yang ingin pergi menuju kamarnya urung, melihat sang putra begitu lembut adalah hal yang langka. Damian tau Zade putranya yang manis dan lembut, tapi semua itu hanya berdasarkan cerita Dea, istrinya. Dan kini ia melihat kejadiannya secara langsung.

"Iya, tapi kakak Janji jangan jahat lagi ke Kak Nana. Kakak ga tau kan kalo Kak Nana dulu nangis-"

"Wan, udah."

••˚·❀·˚••

Tubuh kekar lelaki itu terlentang di atas kasur dengan telanjang dada, Elron menatapnya datar. Menonton kegiatan Arron dari dekat pintu seorang asisten rumah tangga meletakan makanan apa yang telah Arron sebutkan sebelumnya. Kemudian pergi meninggalkan kedua lelaki itu.

"Keluar lo!" hardik Arron dengan jengkel pada Elron.

Pertama, Arron baru tau bahwa Elron adalah kakak sepupunya. Kedua, ia membenci Xevaroy berkat kejadian dua hari lalu. Membuat dirinya lemas lebih dari tiga puluh enam jam, dan Elron adalah bagian dari Xevaroy.

"Gua baru bisa kesini setelah sekarat sepuluh jam," ujar Elron dengan datar, tidak mempedulikan tampang Arron yang seakan ingin sekali melahap dirinya. "Jangan ngelunjak sama gua, lo bisa ngerasain apa yang lo dapatkan dari Heldron di gua," lanjutnya.

Kemudian Elron mengangkat sebelah tangannya-tangan kirinya. Dan dari sana terlihat percikan cahaya yang bisa menciptakan sebuah kebakaran kecil, "sayangnya mau lo siram gue juga ga akan padam ini daya."

"Persetan, lo itu siapa?!"

"Elron Jhosua, banyak hal mau gua tanya sama lo. Tapi sebelumnya lo harus patuh sama gua, atau lebih dari 24 jam waktu lo bisa terbuang sia-sia."

Arron menggeram, ia murka. "Mau apa lo?"

"Gua ga mau apa-apa, gua cuman butuh bantuan lo." Elron menerbitkan senyuman miringnya, "jangan coba-coba menghindar. Dominic Arron sudah terikat dengan Elron Jhosua."

Elron melepaskan tubuhnya dari dinding hitam kamar Arron, "gua ga pernah main-main. Lo tau seberapa bengis Xevaroy." Laki-laki itu mengangkat kakinya dari sana, melangkah pergi meninggalkan Arron dengan ketakutannya.

Niat ingin membuat Zade babak belur, kini ia yang terkena imbasnya sendiri. Bahkan ia terjebak dengan salah satu anggota Xevaroy yang sadis. Cara yang tepat untuk selamat adalah, ia menuruti perkataan Elron meski ia tidak akan kuat tunduk akan perkataan sepupu nya satu itu.

"Sial!"

••˚·❀·˚••

Semilir angin malam menjelang hujan membuat intensitas kedinginannya dua kali lebih terasa dari biasanya. Seorang gadis dengan tubuh ramping ideal melenggang turun dari mobil mewah yang ia tumpangi di ikuti seorang wanita cantik yang tampak anggun.

"Mamii! Licia ga kuat bawanya!" gadis dengan teriakan manja itu menunjuk ke arah koper pink nya yang tergeletak di dekat roda mobil, "Ih kotoor, berdebu!" teriaknya lagi misuh-misuh.

"Licia, jangan teriak," tegur wanita itu membuat sang putri memberenggut.

"Ambil dan bawakan itu!" titah Gevan pada pak Sam, satpam rumahnya. Ia baru menampakkan diri tepat setelah teriakan yang kedua milik gadis itu menggelegar di area rumahnya. "Licia sayang kenapa?" tanya Gevan lembut. Melangkah ke arah sang putri kesayangannya yang telah lama ia rindukan.

"Aku capek! Harusnya papih yang pindah rumahnya, jangan kita! Nyusahin banget tau," sahut Licia dengan manja. Hal ini membuat Gevan mengusap lembut pipi Licia.

"Maafin Papi, ya? Papi udah siapin kamar kamu yang besar dan sesuai request kamu." Muka Licia yang sebelumnya tertekuk kini kontras menjadi senyuman yang manis di mata Gevan.

"Sayang," sapa wanita dengan rambut coklat panjangnya yang curly, Gevan menarik pinggangnya saat wanita itu di dekatnya. "I miss u, Gevan." Dan Gevan memejamkan matanya saat wanita yang ia peluk pinggangnya mencium rahang Gevan lembut.

"Aku mau ke kamar," celetuk Licia kemudian ia menarik tangan Gevan dari pinggang Maminya.

Mata Licia berpendar saat memasuki ruangan utama di rumah besar milik Gevan, matanya tertuju pada dinding ruangan yang kosong. "Papi! Harusnya ada foto aku sama Mami disini," protes Licia dengan jarinya yang menunjuk ke arah dinding putih yang ada di hadapannya.

Gevan menganggukinya, "Iya, besok Papi pajang disana." Tangan pria itu kembali menyelinap di balik pinggang Maminya Licia.

"Bagaimana dengan Shenna?" tanya wanita itu saat menatap pintu kamar dengan gantungan kayu bergambarkan kuda putih berponi, khas kartun anak-anak.

"Sudahlah Fenita, jangan bahas mereka jika bersama Licia." Fenita terdiam menuruti perkataan lelaki yang ia cintai.

Licia mendekat ke arah meja yang terpajang banyak gelas-gelas cantik, tapi matanya tertarik dengan beberapa penghargaan yang Gevan raih semasa ia bekerja di Stylan Tech sejak awal. Di antara itu semua Licia menatap lekat sebuah figura kecil yang menunjukkan figur ayahnya bersama seseorang yang sangat terkenal, satu diantaranya Licia menyukainya.

"Papi!" Licia berlari mendekati Gevan, ia menunjukan figura kecil tersebut. "Aku ingin bertemu dia juga! Ingin foto bersama! Ingin makan bersama, ah pokoknya bersama dia, Papi!" Seru Licia dengan jarinya yang tak henti menunjuk salah satu wajah pemuda tampan.

"Alex?"

"Ih bukan! leonarde, aku suka Leonarde!" koreksi Licia dengan seruan senangnya.

"Boleh, nanti Licia akan bertemu Leonarde di sekolah baru. Sekarang Licia ke kamar, istirahat. Lusa ekolah."

"Aku mau besok."

"Iya Licia, besok kamu sekolah."

"Yay! Thanks u so much Pii!"

••˚·❀·˚••

2650 words! Jangan lupaa tinggalkan jejak ya!


Zarra itu lumayan nakal, apa lagi backstreet sama Lepi

Continue Reading

You'll Also Like

2.8M 260K 61
📌Spin off "Kiblat Cinta". Disarankan untuk membaca Kiblat Cinta lebih dulu untuk mengenal masing-masing karakter tokoh di dalam cerita Muara Kiblat...
AV By s h e y

Teen Fiction

3.6M 291K 50
Sequel ALTHAIA. Asgara Ardew Lazarus. Pria dingin anti sosialisasi ini menyebut perempuan adalah mahluk yang merepotkan, kecuali Mommy tersayang nya...
466K 24.4K 36
Kisah seorang Andrea si bodyguard tampan tapi Manis yang selalu menarik perhatian tuannya . "Tidak ada yang aneh, hanya saja kamu terlihat menarik di...
169K 4.3K 46
LEBIH BAIK FOLLOW DULU SEBELUM BACA YA GUYS!! [END] °°° Elgarve Xaverius Veer, pria dingin dan juga sangat kaku. Sikapnya yang sangat dewasa dibandin...