Ketika Abi bangun, dia sudah tidak menemukan Gisa lagi di sampingnya. Abi mengitari pandangannya ke seisi kamar, namun Gisa atau pun Alma tidak terlihat dimana pun. Begitu ekor matanya melirik ke arah jam dinding, Abi tampak terkejut. sudah pukul dua belas siang ternyata.
Abi beranjak dari atas sofa seraya memanggil Gisa. "Gis?" tapi tak ada sahutan. Diperiksanya kamar mandi, pun juga sama, Gisa tak ada di sana. Maka setelahnya, Abi memilih mencari Gisa ke penjuru rumah. Tapi Gisa tak ada dimana pun. Rumah bahkan terasa begitu sepi.
"Kia," panggil Abi pada ART yang melintasinya. "Lihat Gisa, nggak?"
"Bu Gisa, Pak?" ulang Kia. Abi mengangguk. "Bu Gisa pergi ke rumah sakit sama Alma. Kata Bu Gisa Alma panas tinggi tadi malam, terus pagi tadi juga masih panas, makanya Bu Gisa bawa Alma ke rumah sakit."
Wajah Abi berubah panik. "Sama siapa?"
"Sendiri, Pak. Naik taksi." Jawab Kia.
Di rumah ini memang tidak ada supir yang Abi pekerjakan. Gisa selalu menolak dengan alasan dia bisa menyetir sendiri. Sedang Ibunya jarang bepergian. Arjuna punya motor sendiri, begitu juga Raja. Jadi menurut Gisa, supir tidak dibutuhkan di rumah mereka. Dan mendengar Gisa ke rumah sakit dengan menggunakan taksi, pikiran buruk seketika menerjang Abi. Apa keadaan Alma sangat mengkhawatirkan sampai Gisa pergi ke rumah sakit dengan taksi?
Abi berterima kasih pada Kia, lalu mulai berjalan kesana kemari seraya berkutat dengan ponselnya untuk menghubungi Gisa. Satu kali, dua kali, bahkan panggilan ketiga pun tetap tak terjawab.
Abi berdecak kesal, dan bertepatan dengan itu, ekor matanya melirik ke arah pintu rumah dimana Gisa muncul sembari menggendong Alma menggunakan baby carrier. Satu tangannya menepuk-nepuk pantat Alma, sedang satunya lagi memegang sebuah tas tangan.
Gisa melangkah santai melewati Abi yang masih menatapnya dalam keterpakuan.
Menyadari hal itu, Abi bergegas menyusul Gisa. "Kamu abis dari Dokter? Alma sakit lagi?" Abi bertanya sembai menyamai langkah Gisa.
"Hm." Gumam Gisa sekenanya.
"Dokter bilang apa? Alma nggak apa-apa, kan?"
"Cuma diare."
"Terus gimana?"
"Udah diikasih obat, lihat perkembangannya gimana nanti." Gisa meletakkan tasnya di atas sofa, mengeluarkan Alma dari baby carrier kemudian meletakkan Alma yang sedang tidur dengan penuh hati-hati ke atas ranjang. Dan sejak tadi, yang Abi lakukan hanyalah mengamati Gisa dalam keterdiamannya. Abi menyadari gelagat Gisa yang tak biasa. Cenderung diam dan tenang, tidak meledak-ledak seperti biasanya. Dan itu artinya, Gisa sedang marah.
Menghela napas, Abi memilih duduk di samping Alma. Disentuhnya jemari kecil putrinya seraya diusapnya lembut.
"Kok kamu perginya nggak bilang aku?" gumam Abi pelan. Matanya menyorot sendu wajah putrinya. Hanya saja, karena dia tidak mendengar sahutan Gisa, Abi kembali melirik istrinya itu. "Gis?"
Seraya mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya, Gisa menjawab dengan suara tenangnya yang menusuk. "Kalau gue harus bilang sama lo, yang ada anak gue keburu mati."
Abi mengernyit tak senang. "Ngomong apa sih kamu! Yang begitu nggak usah dijadiin bahan candaan."
Wajah Gisa menoleh cepat seketika. Ada kemarahan diraut wajahnya. "Siapa yang bercanda memangnya? Lagian yang gue bilang juga benar, kan? Kalau gue harus bilang sama lo, artinya gue harus tunggu lo bangun dulu baru ke Dokter. Terus anak gue gimana? Memangnya lo tahu kalau tadi pagi Alma demam tinggi? Lo tahu udah berapa kali Alma muntah-muntah dari tadi malam? Nggak, kan? Jadi mendingan lo tutup mulut dari pada ngoceh nggak jelas kaya gini!"
Gisa memang berhasil meredam suaranya agar tidak terlalu berisik. Tapi Gisa tidak bisa menyaring setiap kalimat yang keluar dari mulutnya untuk menghardik Abi. Gisa bahkan melupakan sopan santunnya sebagai istri. Andai saja Alma tidak sedang sakit dan tertidur pulas, Gisa pasti sudah mengatakan hal yang lebih mengerikan dari yang sebelumnya.
"Kok kamu jadi marah-marah sama aku? Karena aku nggak nemenin kamu ke dokter? Kamu sendiri kan yang nggak mau bangunin aku? Padahal kalau kamu bangunin pun, aku pasti bangun dan nemenin kamu, Gis." Balas Abi dengan suaa bersungut kesal. Matanya memandang Gisa tak senang. Bagaimana tidak kesal, dia baru saja bangun dan mendengar kabar mengenai Alma. Abi panik, tapi ketika dia bertanya secara baik-baik pada Gisa, istrinya itu malah mengatakan hal yang tidak-tidak.
"Aku tahu kamu capek. Dari tadi malam kamu jagain Alma, tapi bukan berarti—"
"Itu lo tahu. Iya. Gue capek. Nyaris nggak tidur semalaman, stres mikirin keadaan Alma. Sementara lo enak-enakan diluar sana, minum-minum, having fun dengan semua teman-teman lo. Lo bahkan nggak bisa dihubungi disaat gue butuh lo di sini, Abi." Napas Gisa tampak tersengal ketika dia memuntahkan kesal dan marah yang sejak tadi malam dia tahan mati-matian.
Bahkan keberadaan Abi yang tidur di sampingnya di atas sofa tadi pagi pun sama sekali tidak membuat Gisa merasa tersentuh. Ketika Gisa melihat Abi hendak mendekatinya dan mengatakan sesuatu, Gis mengangkat satu telapak tangannya sebatas dada. Sebuah isyarat yang menandakan jika Gisa sedang tidak ingin diidekati oleh suaminya itu. "Gue mau istirahat, dan gue nggak mau lihat lo ada di kamar ini."
Abi mengernyit tak percaya. "Gis, aku—"
"Keluar," telunjuk Gisa mengarah ke pintu kamar. "lakukan apa pun yang lo mau di luar sana. Gue butuh istirahat dengan tenang buat jaga-jaga misalnya Alma rewel lagi malam nanti, gue bisa jagain Alma sendirian." seperti kedua matanya yang memandang Abi penuh ketajaman, begitu pula setiap perkataan yang Gisa ucapkan pada suaminya.
Jujur saja, Abi kesal bukan main menerima kemarahan Gisa yang meledak-ledak dan sedikit keterlaluan menurutnya. Tapi Abi pun tahu, jika dia tetap mendebat Gisa, yang ada mereka akan bertengkar hebat dan itu pasti membuat Alma bangun. Alma sedang sakit, Abi tak ingin mengganggu waktu istirahat putrinya itu.
Maka dengan wajah keruh dan perasaan kesal bukan main, Abi memilih keluar dari kamar, meninggalkan Gisa yang sudah lebih dulu memunggunginya dan berkutat dengan ponselnya sendiri.
Ini bukan pertengkaran pertama mereka memang. Sebelum menikah pun, mereka sudah sering bertengkar. Lebih parah dari hari ini pun juga pernah. Hanya saja, entah mengapa, akhir-akhir ini intensitas pertengkaran mereka semakin sering saja. Bahkan semenjak Alma lahir, pertengkaran kecil maupun pertengkaran besar seperti tadi sudah sering kali terjadi.
Dan Abi tidak bisa mengesampingkan rasa tak nyaman serta terganggu yang dia rasakan akhir-akhir ini. Gisa selalu saja marah-marah, dan itu sangat menyebalkan bagi Abi. Itu kenapa dia jadi lebih sering berada di luar rumah dari pada di dalam rumah. Terlebih lagi Ibu mertuanya sedang tidak menetap bersama mereka, Abi jadi semakin memiliki peluang untuk sedikit menjauh dari Gisa.
***
Gisa tersenyum tipis selagi memandang senyuman Alma yang sedang berada dalam gendongan Rere. Rere dan Leo datang untuk menjenguk Alma setelah mendapatkan kabar dari Abi mengenai Alma yang sedang sakit. Lalu karena Rere tahu kalau Gisa belum makan sejak tadi pagi karena sibuk merawat Alma, maka Rere menyuruh Gisa untuk mengisi perutnya selagi Rere menjaga serta menyuapi Alma.
Siapa pun tahu betapa keibuannya Rere. Anak-anak selalu saja menyukainya dan senang menempel dengannya. Lihat saja, sejak berada di dalam gendongan Rere, Alma sering kali tersenyum. Alma bahkan makan dengan sangat lahap.
"Kalau gue minta lo kerja sama gue buat ngurusin Alma, kira-kira gue harus gaji lo berapa ya, Re?" tanya Gisa.
Dia sedang berada di balik meja makan menikmati makan siangnya. Ketika Rere meliriknya dengan lirikan malas, Gisa terkekeh geli. "Soalnya, dari kemarin malam Alma tuh mukanya jutek mulu. Gue ajakin becanda pun nggak mau ketawa, apa lagi senyum. Giliran lo ajakin ngobrol, anak gue langsung sumringah. Lo pake pelet apa sih, Re, sampai semua anak-anak di dunia ini seneng banget sama lo."
"Ya gimana Alma mau ketawa kalau yang ngajakin dia becanda aja mukanya udah mirip kaya zombi." Dumel Rere. "aku bilang juga apa, pakai baby sitter buat bantuin kamu ngurus Alma. Bandel sih."
"Ck. Gue bisa kok ngurusin Alma sendirian."
"Tapi kewalahan, kan?"
"Karena Alma lagi sakit aja."
"Gisa... yang namanya anak, apa lagi masih bayi begini, pasti bakalan sering sakit. Bahkan flu sekalipun bakalan buat mereka rewel berhari-hari. Kamu butuh baby sitter, Gisa, jadi nggak sampai kelelahan begini. Jadi Ibu rumah tangga itu ribet tahu. Harus ngurus suami, harus ngurus anak, belum lagi kalau mereka pada sakit. Aku aja bisa sampai nangis sendiri karena stresnya."
"Ya kalau elo sih memang butuh, Re. Soalnya bayi di rumah lo kan bukan cuma dua, tapi tiga." Sindir Gisa seraya memutar bola matanya malas. "Leo kan apa-apa serba harus lo urusin. Kalau gue kan memang cuma fokus ngurusin Alma." Gisa tahu betul betapa merepotkannya suami mantan bosnya itu.
Rere mengernyit. "Terus Abi? Memangnya kamu nggak ngurusin Abi juga?"
Mendengar nama Abi disebut, wajah santai Gisa tampak sedikit berubah menjadi pias. Gisa hanya mendengus samar sebelum menjawab pertanyaan Rere. "Biarin aja dia ngurus dirinya sendiri. Gue nggak punya waktu buat ngurusin dia."
Setelah mengatakan kalimat itu, Gisa kembali menyuapi nasi ke mulutnya dengan gelagat santai. Tapi ketika Rere kembali bertanya, Gisa menghentikan kunyahannya.
"Kamu lagi berantem ya, sama Abi?" tanya Rere dengan suara hati-hati.
Gisa melirik Rere sekedar. "Kelihatan, ya?" Rere mengangguk seraya meringis samar. Gisa hanya mendesah malas. Dia memang segamblang itu, kan? Kalau sedang tidak menyukai seseorang, sekalipun dia hanya diam, namun wajahnya pasti tampak begitu jelas.
"Aku perhatiin, setiap kali Abi ngomong sama kamu, kalau nggak ngangguk, kamu cuma geleng kepala. Terus nggak mau deket-deket sama Abi." Rere menghela napasnya. "Mau cerita?"
Kini Gisa tak lagi berselera menyantap makan siangnya. Maka sembari minum dan membawa alat makannya ke wastafel, Gisa mulai menceritakan pertengkaran mereka kemarin pagi.
"Gimana gue nggak ngamuk coba." Rutuk Gisa diujung ceritanya.
Rere mengulum bibirnya ragu, takut salah memberi pendapat. "Mungkin Abi lagi sibuk kerja tadi malam, makanya kamu nelefon pun dia nggak angkat." Dan pada akhirnya Rere memilih kalimat yang tujuannya adalah untuk menenangkan Gisa.
Gisa tersenyum malas. "Kerja? Kerjaan penting apa yang harus dia urusin di King sampai pagi begitu? Jelas-jelas sekarang fokusnya Abi cuma pendidikannya Raja. Nggak ada kerjaan lain. Yeah... kecuali teman-temannya dan semua minuman sialan itu." Gisa menipiskan bibirnya kesal. "Apa lagi semenjak Ibu di kampung, Abi sialan itu jadi semakin merajalela."
"Kamu nggak suka kalau Abi sering-sering ada King?"
"Ya menurut lo aja, Re. Gue ngurusin anaknya, tapi dia malah senang-senang sendiri di luar sana. Minta gue mutilasi banget emang."
Rere tersenyum kecil mendengar rutukan Gisa. "Terus kenapa nggak bilang ke Abi?"
"Bilang apa?" Gisa melirik Rere.
Rere menaikkan satu alisnya ke atas. "Soal keberatan kamu. Kenapa nggak bilang sama Abi kalau kamu keberatan dia sering pulang pagi begitu?"
"Gue rasa hal yang kaya gitu nggak perlu lagi gue jelasin ke Abi. Memangnya dia nggak punya otak buat mikir? Atau otaknya mendadak lumpuh sampai nggak bisa dipake buat mikir kalau gue nggak suka ngelihat tingkah sialannya itu akhir-akhir ini?" Gisa tampak begitu berapi-api ketika mengutarakan perasaannya.
"Otaknya Abi baik-baik aja kok. Cuma memang jarang digunakan aja, makanya dia jadi tolol begitu."
Baik Rere mau pun Gisa kini menoleh serentak ke arah yang sama sejak mendengar suara Leo. Dan mereka berdua menemukan keberadaan Leo yang berdiri berdampingan bersama Abi, menatap lurus pada Gisa.
"Kebetulan gue sama Abi ada di sini waktu lo maki-maki dia," gumam Leo dengan wajah datarnya. Kemudian lelaki itu melangkah santai menghampiri istrinya meski matanya masih menatap Gisa. "gue yakin masih ada puluhan makian yang tertahan di mulut sadis lo itu, Gisa. Jadi," Leo merangkul pinggang istrinya. "gue bawa istri sama anak lo pergi dulu." Leo menganggukk ke arah Abi. "silahkan maki-maki suami lo sepuasnya."
Abi melirik tajam pada Leo. Mulutnya tampak komat-kamit memaki sahabatnya yang tersenyum miring itu tanpa suara. Leo benar-benar kurang ajar. Setelah tadi Abi mencurahkan perasan gundahnya mengenai Gisa yang masih saja terus mogok bicara sejak pertengkaran mereka di kamar kemarin pagi, Leo menghardiknya habis-habisan. Leo bilang, masalah itu ada karena kesalahan Abi sepenuhnya. Dan sekarang, dia malah dengan sengaja mengantarkan Abi ke kandang macan betina.
Benar-benar sahabat sialan!
Begitu Leo, Rere dan Alma pergi meninggalkan dapur dan hanya menyisakan sepasang suami istri yang sedang terlibat perang dingin itu, keadaan dapur mendadak senyap. Abi memberanikan diri memandang Gisa, dan ternyata istrinya itu masih memasang raut wajah seperti sebelumnya. Bersedekap dengan wajah datar dan tampak begitu muak memandangnya, membuat Abi meringis pelan.
Leo bilang, Abi harus minta maaf. Karena peraturan pertama di dalam rumah tangga, apa pun masalahnya, apa pun alasannya, meminta maaf kepada istri merupan sebuah hukum yang mutlak dan tidak bisa diganggu gugat.
Karena kalau tidak, rumah tangga akan berubah bagai neraka dimana seluruh hari-hari di pernikahan akan diisi dengan berbagai bencana besar.
"Gis..." gumam Abi ketika menghampiri Gisa. Gisa hanya menaikkan satu alisnya malas ke atas sebagai respon dan itu membuat Abi meneguk ludahnya berat. Gisa ini adalah jelmaan Macan betina yang sesungguhnya, dimana dia sama sekali tidak mau berpikir dua kali untuk mencabik-cabik mangsa di hadapannya. Abi tidak akan meragukan hal yang satu itu.
Masalahnya, saat ini ada Leo dan Rere di rumah mereka. Tidak lucu kan kalau ketika Gisa mengamuk dan melempari Abi dengan barang pecah belah di rumah mereka, ada Leo yang nantinya akan menertawakannya dengan puas.
Abi menggaruk dahinya dengan gerakan kaku. "Soal kemarin malam... aku minta maaf." Abi mengulum bibirnya, tatapannya tampak merunduk ke bawah. "aku nggak akan ngebela diri karena yang salah memang aku. Aku cuma minta kamu maafin aku dan biarin aku menebus kesalahanku."
"Dengan cara apa?" tanya Gisa ketus.
Entah Abi harus bahagia atau menangis sekarang.
Karena setelah pertengkaran mereka kemarin pagi, ini adalah kalimat terpanjang yang Gisa katakan padanya selain iya, atau nggak. Hanya saja, ketika Abi menatap Gisa, tatapan muak itu masih terpatri di kedua mata istrinya.
"Aku bakalan lebih sering di rumah." Jawab Abi cepat.
"Itu aja?"
"Bakalan jawab telefon kamu lebih cepat dari biasanya."
Abi sengaja memerlihatkan senyuman manisnya pada Gisa. Biasanya istrinya itu akan mendengus, kemudian mendorong wajahnya menjauh sembari mengumpat pelan. Walaupun terkesan tak sopan, tapi demi Tuhan, Abi lebih menyukai ketidak sopanan Gisa dari pada aksi mogok bicaranya yang selalu saja membuat Abi pusing.
Namun sayangnya, tak ada reaksi apa pun di wajah Gisa. Bahkan Gisa hanya menggelengkan kepalanya dan nyaris pergi meninggalkan Abi kalau saja Abi tidak menahan pergelangan tangannya.
"Oke," desah Abi putus asa. "kamu jelas tahu aku nggak pintar ngerayu-ngerayu kamu. Aku tahu kamu marah, aku menyesal dan sekarang kamu bilang aja sama aku, apa yang harus aku lakuin biar masalah sialan ini selesai." Abi mengumpat pelan. "kamu tahu kan, Gis, aku nggak bisa kalau keadaan kita begini. Aku butuh ngobrol sama kamu."
"Oh, ya?" balas Gisa dengan nada mencemo'oh. "bukannya akhir-akhir ini lo nyaris nggak punya bahan obrolan apa pun ya sama gue? Lo pulang hampir subuh, tidur kaya orang mati sampai siang. Gitu bangun, yang pertama kali lo cari malah Hp, bukan gue. Lo ngobrol sama gue kan cuma buat nanya sesuatu yang lo butuhin. Selebihnya apa? Hp, Laptop, King. Nggak pernah ada gue, apa lagi Alma, kan?"
Abi mengernyit hebat.
Dia tidak marah, sungguh, hanya saja apa yang baru saja Gisa katakan seolah menyentaknya. Gisa bukan jenis orang yang senang melebih-lebihkan perkataan apa lagi situasi. Dia selalu apa adanya. Dan jika Gisa sudah mengatakan semua itu dengan sangat meledak-ledak, itu artinya Abi memang telah menyakiti Gisa.
Dan anehnya, Abi nyaris tidak menyadari apa yang telah dia lakukan pada istrinya itu.
"Lo dengar ya, Bi. Selama gue bareng lo, bahkan selama kita menikah, apa gue pernah sekali pun ngelarang lo ngelakuin apa pun? Gue pernah ngeribetin lo dengan semua telefon gue? Pernah gue ngeganggu semua waktu yang lo punya? Nggak, kan? Tapi bukan berarti gue nggak butuh lo, Bi. Apa lagi sekarang ada Alma. Alma itu anak kita, bukan cuma anak gue, dan harusnya lo bisa mikir dong, kalau yang dibutuhin Alma itu kita berdua, bukan cuma Gue!"
Gisa benar-benar meluapkan kemarahannya saat ini. Dan kabar baiknya, Abi tidak menyela ucapannya sekali pun. Karena kalau tidak, Gisa pasti bisa lebih meledak dari pada sebelumnya. "Gue telefon lo tadi malam, berkali-kali, tapi lo kelewat sibuk dengan temen-temen lo disaat gue kebingungan karena anak lo muntah-muntah dan nangis-nangis. Di rumah nggak ada Ibu, dan kalau aja Juna nggak ada, gue bener-bener nggak tahu lagi harus apa. Bisa lo bayangin gimana paniknya gue kemarin malam, huh?!"
Telunjuk Gisa mendorong-dorong dada Abi dengan penuh amarah.
"Kalau lo masih terus begini, jangan salahin gue kalau suatu hari nanti, gue nggak akan lagi ngebutuhin lo di hidup gue, Bi. Jadi, selama gue masih mau ngerendahin harga diri gue ngemis-ngemis waktu yang lo punya buat anak gue, lo gunakan kesempatan itu dengan baik. Karena gue nggak akan mikir dua kali buat ngebuang laki-laki sialan seperti yang berdiri di hadapan gue saat ini. Lo inget itu baik-baik."
Gisa mendorong tubuh Abi kasar agar menyingkir darinya. Setelah itu, dia melangkah cepat menuju kamarnya. Bahkan ketika melintasi Leo dan Rere yang sejak tadi menguping pembicaraan mereka sembari bermain bersama Alma, tak sedetik pun Gisa mau menoleh.
Begitu berada di dalam kamar, Gisa duduk di atas ranjangnya. Tubuhnya gemetaran, begitu juga dengan kedua tangannya yang berada di atas pangkuan.
Dan kini matanya memerah basah. Amarah dan sedih bercampur menjadi satu hingga setetes air mata meluruh di wajahnya.
Gisa benci ini.
Menangis karena seorang lelaki meski itu adalah suaminya adalah salah satu hal yang paling Gisa benci di dunia ini. Menurut Gisa, air matanya itu sangat berharga. Jadi, jika dia mengeluarkan air mata, itu hanya diaperuntukkan bagi orang-orang yang sangat berharga dihidupnya.
Abi salah satunya memang. Tapi, sikap lelaki itu lah yang membuat Gisa merasa kesal karena harus menangisinya. Abi sudah sangat keterlaluan dan Gisa tidak bisa mengabaikan kesalahan Abi begitu saja.
Suara derit pintu yang terbuka membuat Gisa tersentak dari lamunannya, kemudian bergegas mengusap air mata di wajahnya. Gisa tak perlu menoleh untuk mencari tahu siapa yang baru saja masuk ke kamarnya.
Karena tak lama berselang, Abi menghampirinya, duduk tepat di samping Gisa. Sejenak, tak ada percakapan apa pun yang terjadi diantara mereka. Abi hanya bungkam begitu pula Gisa.
Lalu tak lama kemudian, tiba-tiba saja Abi menyentuh lengan Gisa. Namun sentuhannya itu ditepis secara kasar oleh istrinya. Tapi Abi tak menyerah, bahkan dengan sedikit paksaan, Abi menarik Gisa mendekat, tak peduli Gisa berkali-kali memalingkan wajah dan menepis sentuhan Abi, Abi tetap berusaha keras agar Gisa berada dalam pelukannya. Maka benar saja, begitu wajah Gisa bersandar di dada Abi, tangis wanita itu pecah begitu saja.
Gisa bukan jenis wanita yang cengeng. Dia sekuat baja. Tetapi, ketika dia benar-benar menangis, itu artinya dia sudah tidak lagi sanggup menahan rasa sakit yang memenuhi hatinya.
Mulanya Gisa berusaha memberontak, tapi begitu telapak tangan Abi mengusap lembut punggungnya, lalu dia mendengar bisikan lirih Abi, tubuhnya melemah begitu saja, sedang jemarinya meremas kaus dibagian dada suaminya itu.
"Maaf, sayang."
Hanya itu yang Abi katakan, tapi Gisa sudah merasa luar biasa lega.
Sejujurnya, bukan permintaan maaf Abi yang membuat Gisa merasa lega luar biasa, namun pelukan Abi yang sesunguhnya sangat Gisa butuhkan sejak kemarin malam.
Karena sekuat-kuatnya seorang wanita, dia tetap membutuhkan tempat untuk bersandar, mengistirahatkan dirinya dari segala rasa lelah yang terkadang membelenggu.
***
Ada yang sama kaya Gisa? Kalau lagi ngamuk, cukup di peluk biar hatinya adem 🤭