Ini bukan mimpi. Wanita itu benar-benar ibu kandung Kanaka. Sienna masih berada di balik pintu dengan tangan yang bergetar, masih bergelut dengan pikirannya sendiri.
Sienna tak mau Kanaka dibawa pergi. Kanaka adalah milik keluarga ini. Kanaka adalah miliknya.
"Lo jangan egois, kita bukan siapa-siapa."
"Gue nggak akan pergi. Keluarga gue ada di sini."
"Ma, jangan pergi. Temanin aku sebentar."
Isi kepala dan perasaan Sienna seolah diaduk, semuanya bercampur dan membuatnya semakin pusing. Ucapan Kanaka di dalam mimpinya, ucapan Kanaka tempo hari, dan ucapan Kanaka saat dia mimpi buruk. Semuanya menghantui Sienna. Dan belum sempat Sienna mengambil keputusan, pintu tiba-tiba terbuka dan membuat air matanya langsung turun begitu melihat sosok Kanaka muncul.
"Nana, lo kenapa?" Kanaka langsung memegangi kedua pundak Sienna dengan khawatir. "Masih pusing?"
Sienna langsung menggeleng kuat. Iya, dia sedang sangat pusing. Namun sekarang bukan waktu yang tepat untuk membicarakan tentang dirinya.
"Duduk dulu, ya. Gue udah beliin kebab yang lo mau." Kanaka menuntun Sienna untuk duduk di sofa, tetapi Sienna langsung menahan langkahnya.
"Kanaka, maaf.." Sienna menangis tersedu sambil melepaskan tangan Kanaka dari miliknya, kemudian berlari ke luar rumah dengan air mata yang terjatuh di setiap hentakan kakinya.
"Nana!" Kanaka langsung mengejar perempuan itu.
Saat Sienna sudah berlari ke luar, sosok wanita paruh baya dan anak perempuan itu sudah tak terlihat keberadaannya. Sienna tak tahu harus berlari kemana untuk mengejar mereka.
"Nana, kamu kenapa?" Arvian datang bersama Nano setelah menyimpan mobil.
"Kakak kenapa?" Nano ikut khawatir ketika menyadari kakaknya menangis dengan muka yang pucat.
"Tadi ada yang lihat ibu-ibu sama anak perempuan nggak?" Sienna bertanya dengan tergega-gesa dan panik. "Lihat nggak mereka pergi kemana?"
"Abang nggak ketemu siapa-siapa sih sepanjang jalan."
"Aku juga nggak lihat, cuma ketemu tukang es krim aja tadi di portal depan."
Mendengar itu, Sienna langsung berlari ke tempat yang Nano sebutkan dengan harapan mereka ada di sana karena Sienna mengingat anak kecil itu sempat merengek meminta es krim.
"Kakak mau kemana? Hoy!"
"Nana!" pekik Kanaka yang baru sampai di halaman.
"Nana ngejar siapa sih?" tanya Arvian pada Kanaka. "Bukannya dia lagi sakit?"
Kanaka berdecak kesal, lantas langsung kembali berlari mengejar Sienna.
"Nana!" Kanaka memanggil dengan maksud agar perempuan itu berhenti. "Sienna!"
"Lo kenapa sih?!" Kanaka sedikit berteriak saat berhasil menarik dan menahan lengan perempuan itu. "Nggak ingat sakit ya lo hah? Emang siapa yang lo cari? Biar gue yang kejar! Lo duduk diam aja di rumah!"
Sienna tak menjawab, dia bahkan hampir tak mendengar apa yang Kanaka katakan. Matanya masih sibuk mencari dengan putus asa, walau pandangannya kabur karena air mata.
"Naka.." Sienna memegangi kedua tangan Kanaka ketika merasakan lututnya terasa lemas. "Naka, ini salah gue."
Kanaka menahan tubuh mungil itu, menuntunnya untuk pelan-pelan duduk di atas aspal. Amarah laki-laki itu langsung sirna ketika menyadari sedari tadi Sienna tak berhenti menangis.
"Gue minta maaf, semuanya gara-gara gue." Sienna menangis di atas pundak Kanaka selagi dia mengalungkan lengannya di leher laki-laki itu. "Gara-gara gue... mereka pergi gara-gara gue. Kanaka, gue minta maaf."
"Siapa yang lo maksud, Nana? Siapa yang pergi?"
Sienna tak dapat menjawabnya. Tangisannya membuat dadanya sesak dan semakin sulit menjawab pertanyaan itu.
"I..ibu.." Sienna berusaha meski sesegukan. "Ibu lo... gue ketemu... ibu...kandung.... Naka.."
Kanaka tersentak.
"Itu cuma mimpi, Na."
Sienna langsung menggeleng.
"Kali ini beneran! Gue ketemu beneran! Dia datang nyariin lo, dia datang sama anak perempuan. Dia datang, Naka. Dia datang, tapi... tapi gue--"
"Nana, itu cuma mimpi." Kanaka langsung menyela. "Lo lagi sakit."
Tangisan Sienna semakin pecah, dia menggeleng semakin kuat.
"Naka, lo harus percaya. Ibu lo tadi ada di sini, tapi dia pergi karena gue. Gue minta maaf. Semuanya karena gue. Lo nggak bisa ketemu dia karena gue."
"Nana, lo butuh istirahat."
"Naka, please, percaya sama gue. Please, maafin gue."
"Gue maafin lo, Nana. Sekarang ayo kita masuk, muka lo makin pucet."
Sienna menggeleng cepat. "Kalo lo maafin gue, itu tandanya lo nggak percaya!"
Kanaka terkejut. Sienna semakin membuatnya bingung.
"Kalo lo percaya, harusnya lo nggak bisa maafin gue. Gue udah ngelakuin kesalahan besar."
"Nana--" Kanaka tak dapat melanjutkan ucapannya karena Sienna tiba-tiba mencengkram kedua pundaknya dengan erat.
"Masih ada waktu, mereka pasti masih ada di dekat sini." Sienna melototi Kanaka, kemudian dia mendongak dan berteriak dengan sangat kencang. "KANAKA! KANAKA ADA DI SINI!"
"Sienna!" Kanaka refleks berteriak. "Cukup! Itu cuma mimpi!"
Sienna tak mau mendengarkan. Dia terus meneriakkan nama laki-laki itu sampai tenggorokannya terasa perih. Sienna tak peduli jika Kanaka atau siapapun mengira saat ini dia sedang gila.
"KANAKA! KANAKA RUSTAFIAN! KANAKA ADA DI SINI TANTE!"
"Nana..." Arvian dan Nano akhirnya datang bersama kedua ibu mereka.
"KANAKA! uhuk.. uhuk.. KANAKA ADA DI SINI!!"
Akhirnya Kanaka hanya diam, tak lagi berusaha untuk menghentikan Sienna yang sedang berusaha kerasa melakukan sesuatu yang masih tak bisa Kanaka atau siapapun pahami. Namun dengan melihat ketulusan Sienna, Kanaka merasa takjub dan entah kenapa jadi ikut menangis.
"Nana..." Kanaka langsung memeluk perempuan itu. "Udah, Na, nggak papa. Mereka udah pergi jauh."
Sienna kembali menangis sejadi-jadinya.
"Ini salah gue, Naka. Bisa jadi ini satu-satunya kesempatan lo untuk ketemu mereka."
Kanaka menggeleng. "Gue udah pernah bilang, kan? Gue tahu dimana mereka tinggal, gue bisa ke sana dan temui mereka langsung kalo gue mau."
"Tapi mereka datang karena nyariin lo, dan lo seharusnya ketemu mereka hari ini."
"Lo lagi sakit, Nana. Tolong mikirin diri lo sendiri."
"Kanaka..."
Kanaka langsung tersentak begitu mendengar namanya dipanggil. Itu bukan suara Sienna, bukan juga suara Tiara dan Juli. Belum sempat ia mendongak untuk melihat pemilik suara itu, Sienna lebih dulu menolehkan kepala dan melihatnya.
"Tante.." Sienna tersenyum lega begitu melihat sosok yang sedari tadi ia cari. "Kanaka ada di sini."
"Mama.." Kanaka berucap lirih sambil membangkitkan tubuhnya. "Mama beneran datang.."
Wanita itu mengangguk dengan air mata yang jatuh dari pipinya. Juli dan Tiara pun ikut menangis melihat reuni anak dan ibu yang terasa seperti keajaiban.
"Mama!" Kanaka langsung berlari dan memeluk erat tubuh perempuan yang paling ia rindukan. Tangisannya semakin pecah saat merasakan hangat yang sempat ia lupakan.
Saat Kanaka memeluk ibu kandungnya, Sienna langsung dipeluk oleh Tiara dan Nano. Sedangkan Arvian memeluk Juli. Mereka menangis bersama, menyaksikan hangatnya reuni anak dan ibu.
🌻A D A P T A S I🌻
Sejak bertemu dengan ibunya, Kanaka tak pernah beranjak dari samping perempuan itu. Setelah menangis dan mencurahkan semua rasa rindu dan sedihnya di pelukan ibunya, barulah Kanaka memperkenalkannya pada semua anggota keluarga keduanya. Dia duduk di samping perempuan yang memiliki mata dan cara tersenyum yang sama dengannya, dan menemaninya selama mereka mengobrol.
Senyum hampir tak pernah hilang dari bibir laki-laki itu setiap kali dia membuka mulutnya, menceritakan kehidupannya selama tinggal di rumah Juli. Dia bahkan tak menyadari Sienna yang sudah beranjak pergi dari samping Tiara karena pandangannya hanya tertuju pada ibunya.
"Nana mana, Bun?" tanya Arvian yang kebetulan duduk di samping Tiara.
"Pulang, pusing katanya." jawab Tiara yang langsung membuat Kanaka menoleh pada mereka.
Arvian yang mengerti arti dari tatapan adiknya lantas memberi senyum dan anggukan pelan, meminta Kanaka untuk tidak beranjak dan membiarkan dirinya yang menyusul Sienna. Kanaka hanya mengangguk.
"Aku lihat Nana bentar ya, Bun." ucap Arvian yang langsung mendapat anggukan dari perempuan itu. Arvian menoleh pada Juli, tetapi ibunya itu masih asyik mengobrol dengan ibu Kanaka. Arvian langsung bangkit dan beranjak pergi.
Pintu kamar Sienna sudah terbuka saat Arvian sampai di sana. Arvian dapat melihat punggung mungil itu terbaring di atas kasur. Arvian mengetuk pelan pintu itu, membuat Sienna langsung memutar kepala menghadap ke arahnya.
"Abang boleh masuk?"
Sienna hanya mengangguk sambil merubah posisinya menjadi duduk.
"Kepalanya masih pusing?" tanya Arvian sambil meletakkan tangannya di kening Sienna. "Udah minum obat?"
"Udah, udah mendingan kok pusingnya."
Arvian mengangguk mengerti sambil tersenyum lembut.
"Makasih ya, Nana." Arvian menatap lekat ke dalam mata perempuan yang sudah seperti adiknya sendiri itu.
"Makasih untuk apa?" tanya Sienna dengan raut wajah bingung.
"Makasih karena udah mempertemukan Naka sama ibu kandungnya." ucap Arvian. "Sebenarnya, Naka udah lama tahu tentang keluarganya, tapi sampai sekarang dia masih ragu untuk mendatangi dan menemui ibunya."
"Kenapa ragu? Padahal pas ketemu, dia kelihatan lega banget gitu."
"Dia masih belum mau ninggalin kita."
Kepala Sienna tertunduk, menoleh ke kiri untuk menyembunyikan matanya yang mulai berair.
"Sekarang Naka bakalan pergi ya, Bang?" tanya Sienna dengan suara yang bergetar. "Tapi kemaren dia bilang, dia nggak akan tinggalin kita. Dia bilang, kita keluarganya. Akhirnya, setelah sekian lama, Naka bilang kalo aku keluarganya."
"Kita memang keluarganya." Arvian sedikit menekan kalimatnya. "Tapi nggak ada yang lebih kental dari darah, Na."
"Jadi Naka beneran akan pergi?"
"Menurut kamu?"
Sienna mengangguk. "Naka selalu rindu ibunya."
"Kalo Naka pergi, kamu gimana?"
Sienna mengedikkan bahunya. "Bang Arvi gimana?"
"Kalo Abang sih nggak papa, justru senang karena akhirnya Kanaka bisa ketemu dan tinggal bareng keluarga kandungnya lagi. Yah, mungkin bakal sedih juga sih dikit, karena pasti ngerasa kehilangan sosok adik. Tapi kan, Abang harus sadar juga, kalo Kanaka itu cuma titipan. Dia bukan milik keluarga kami sejak awal."
Kepala Sienna langsung mendongak, menatap Arvian dengan sepasang matanya yang sendu. Mendengar ucapan laki-laki itu, Sienna merasa dirinya sudah egois. Arvian yang keluarganya secara legal sudah mengadopsi Kanaka saja sadar bahwa sebenarnya mereka tidak memiliki Kanaka dan tidak punya hak untuk mengatur hidupnya, tetapi Sienna yang hanya seorang anak dari teman orang tua angkatnya malah merasa seperti memilikinya.
"Kalo Nana gimana?" Arvian kembali bertanya.
Sienna menghela napas sambil menjatuhkan kepalanya ke pundak Arvian "Sama kayak Abang."
Arvian terkekeh. "Dih, kok ikut-ikutan sih?"
Tak ada lagi jawaban yang terdengar dari mulut perempuan itu, Arvian hanya mendengar suara isakan yang Sienna redam di pundaknya. Arvian langsung mendekap tubuh mungil itu dengan hangat sambil membiarkan air matanya ikut turun menemani Sienna.
🌻A D A P T A S I🌻
Sienna tak keluar kamar lagi hari itu. Bahkan saat ibu dan adik Kanaka pulang, ia hanya mengintip mereka dari jendela kamarnya. Sienna berencana mengurung diri di kamar. Namun Kanaka yang sedang kepalang bahagia, sama sekali tak menyadari itu. Laki-laki itu langsung berlari ke kamar Sienna setelah mengantar ibunya pulang.
"Nana!" Kanaka langsung memeluk Sienna yang sedang duduk melamun di tempat tidur dan memandang jauh ke luar jendela.
"Makasih banget ya, Na. Berkat lo, gue bisa ketemu sama Mama dan adik gue." Kanaka mendekapnya erat. "Selama ini sebenarnya gue takut, gue nggak tahu gimana caranya untuk ketemu sama ibu kandung gue. Gue takut dia nggak bisa terima gue lagi. Tapi berkat lo, gue sama sekali nggak perlu ngerasa takut karena lo udah mempertemukan gue sama Mama."
Sienna langsung menutup matanya dengan tangannya saat merasa ingin menangis lagi.
"Kanaka, gue pusing. Ngomongnya besok aja."
Bukannya mengindahkan ucapan Sienna, Kanaka justru langsung memutar kedua pundak perempuan itu untuk menghadapnya.
"Masih nggak enak badan? Kita ke rumah sakit aja ya?"
Sienna menggeleng dan menepis tangan Kanaka. "Cuma demam biasa, nggak usah lebay. Gue cuma butuh tidur."
"Udah makan? Udah minum obat?"
"Udah." Sienna menjawab sambil merebahkan tubuhnya dan menarik selimut. "Keluar sana, gue mau tidur."
Kanaka hanya memandang khawatir pada Sienna yang sekarang sedang memunggunginya.
Ting!
Kepala Kanaka refleks menoleh ke ponsel Sienna yang berada di atas nakas. Sebuah notifikasi pesan dari grup alumni muncul di layar dan Kanaka tak sengaja membacanya.
"Ada yang nikah lagi?" tanya Kanaka begitu melihat pembahasan di notifikasi itu. "Yang nikah si Andre, mantan temen band lo dulu? Kok gue nggak diundang?"
"Lonya aja nggak masuk grup alumni." Sienna mendengus. "Dimasukin langsung keluar. Tiap diadain reuni atau ada undangan nikah, nggak pernah mau datang."
Kanaka balas mendengus. "Kayak lo pernah datang aja!"
"Seenggaknya gue masuk grup alumni!"
"Ck, katanya pusing tapi masih bisa mencak-mencak!"
"Makanya sana keluar! Gue mau tidur!"
Kanaka tertawa. Namun saat menyadari Sienna yang terlihat murung, laki-laki itu langsung terdiam. Dia menatap dalam wajah Sienna yang sedang menutup mata, hingga tanpa sadar kepalanya menunduk mendekati wajah itu. Mungkin, kalau Kanaka tak langsung sadar, sebuah kecupan sudah mendarat di pipi perempuan itu. Namun Kanaka langsung menyadarkan dirinya dan mengganti kecupan itu menjadi usapan lembut dengan tangannya.
"Cepat sembuh ya, gue masih kangen."
🌻A D A P T A S I🌻
Keesokan harinya, Sienna benar-benar mengurung diri di kamar. Pintu kamar dia kunci, dan hanya Bunda yang diperbolehkan masuk untuk menyuapinya makan dan obat. Kelakuannya ini membuat heboh satu rumah, bahkan Bunda sempat dimarahi Ayah karena tidak segera membawa anak perempuan mereka ke rumah sakit. Namun, Bunda akhirnya tahu bahwa anaknya itu memang sama sekali tak perlu ke rumah sakit.
"Badan kamu nggak panas lagi ah, cuma anget dikit aja. Itupun pasti karena belum mandi!" ucap Tiara sambil memperhatikan termometer dan menaruh tangannya di kening anaknya. "Makanya, mandi sana! Bergerak, jangan rebahan terus!"
"Bunda, aku masih pusing. Aku masih demam tauk!"
"Kita ke rumah sakit kalo gitu!"
"Nggak mau. Mau di rumah aja, minum paramex aja."
Tiara mendengus. "Ih, kamu jangan boong ah! Nanti Bunda dimarahin Ayah lagi!"
Sienna langsung menggeleng dan menempel di lengan ibunya. "Beneren kok. Beneran pusing. Aku mau tidur aja hari ini di kamar, nggak mau ketemu siapa-siapa dan nggak mau ngapa-ngapain. Mau tidur aja sendirian di sini."
"Kamu nggak bisa kayak gini terus loh, Na." Tiara menghela napas berat. "Besok Bunda nggak mau percaya lagi kalo kamu pura-pura sakit."
"Besok aku cari cara lain." Sienna berucap pelan.
"Jangan kayak gini dong, Na. Kasian Naka loh, dia nggak bisa lama di sini. Besok lusa dia udah pergi ke rumah ibunya."
"Biarin aja dia pergi."
"Sebelum dia pergi, kamunya yang baik-baik dong sama dia. Kamu temenin dia kek, ajak main, kalian pergi ke mana gitu berdua atau bareng sama Nano." Tiara sedikit membujuk.
"Dia bisa sendiri lah, Bun."
"Tapi dia pasti maunya bareng kalian."
"Ya suruh aja si Nano yang temenin."
"Nano kan sekolah, Na. Kamu yang pengertian dikit kenapa sih?"
"Aku kan lagi sakit! Bunda kenapa nggak pengertian ke aku sih?" Sienna membalikkan ucapan ibunya dengan nada yang sedikit lebih tinggi.
Tiara langsung berdecak kesal.
"Terserah kamu lah!" kesalnya sambil bangkit dari tempat tidur. "Dikasih tahu ngeyel mulu! Nanti nyesel jangan salahin Bunda!"
"Kalo mau makan, ambil sendiri! Bunda capek ngeladenin kamu!" lanjut Tiara sambil beranjak meninggalkan anaknya. "Ngeyel banget jadi anak!"
"Aku juga nggak mau makan! Males lihat Bunda!"
"Terserah!"
"Terserah Bunda juga!"
Brak!
Pintu kamar Sienna dibanting pelan oleh Tiara yang sudah keluar dan menyerah meladeni sikap anaknya. Setelah ditinggal bundanya, Sienna langsung mengunci kamar dan menghidupkan laptopnya, bertekad melakukan sesuatu yang produktif meski hanya di kasur.
🌻A D A P T A S I🌻
Keesokan harinya, Sienna akhirnya keluar dari kamarnya dengan dress cantik dan dandanan tipis, sudah sangat siap untuk pergi. Saat itu hanya ada Tiara di rumah, sedangkan Beni sedang bekerja, dan Nano sekolah. Suasana di rumah masih terasa agak dingin karena ibu dan anak itu belum berbaikan sejak kemarin.
"Mau kemana?" tanya Tiara dengan nada yang dibuat kesal.
"Pergi." Sienna menjawab dengan acuh tak acuh.
"Lama?"
"Mungkin."
Tiara berdecak kesal, sudah benar-benar tak tahan dengan kelakuan anak gadisnya ini. "Kamu tuh bener-bener nggak ngerti ya sama apa yang Bunda bilang kemarin?"
Sienna menghela napas jengah. "Apa lagi sih Bun? Aku ada salah apa lagi?"
"Hari ini Kanaka udah mau berangkat ke rumah ibunya, kamu malah mau kelayapan! Kamu tuh nggak ada peduli-pedulinya ya sama Kanaka!"
"Naka lagi, Naka lagi! Dari kemaren Bunda selalu ngomongin dia. Bunda mikir perasaan aku nggak sih?" Sienna balas meninggikan suaranya. "Aku nggak peduli sama Naka? Bunda yang nggak peduli sama aku!"
"Kenapa jadi salah Bunda? Yang harusnya marah tuh Bunda. Kamu udah bohongin Bunda dengan pura-pura sakit, ngurung diri di kamar entah ngambek karena apa. Terus sekarang tiba-tiba mau keluyuran di hari Naka mau pergi. Sebenarnya kamu kenapa sih?"
"Aku bingung!" Sienna memekik kesal. Mukanya memerah, dan air mata turun tanpa ia sadari. "Sekarang aku benar-benar bingung mau ngapain! Aku udah berhenti kuliah, udah jauh dari teman-temanku, udah nggak bisa sama 6Days lagi, aku udah nggak bisa manggung lagi. Aku nggak tahu sekarang mau kemana dan mau gimana. Aku nggak punya sosok abang lagi yang selalu punya solusi untuk masalah aku. Bukannya aku nggak bersyukur ada Bang Arvi, tapi aku juga kangen sama Bang Niko!"
Tiara sontak terkejut mendengar isi hati anaknya yang tak pernah tersampaikan sebelumnya.
"Aku capek, Bun. Aku capek sama perpisahan dan semua yang nggak berjalan sesuai rencanaku. Aku capek ngelihat orang yang udah hampir nyentuh garis finish, sedangkan garis start-ku aja nggak tahu ada dimana. Semua orang udah dapat happy ending mereka, kenapa aku cuma dapat sedih yang nggak berkesudahan? Aku capek dan aku bingung harus apa." Sienna menyeka air matanya saat amarahnya mulai mereda. "Dan sekarang, Naka juga mau pergi ninggalin aku. Aku takut makin nggak bisa apa-apa kalo nggak ada Naka."
"Nana.." Tiara langsung memeluk tubuh gadis kecilnya yang sesegukan sambil ikut menangis karena memahami apa yang anaknya rasakan. "Mau sekacau apapun rencana kamu, dan semua orang di dunia ini ninggalin kamu, Bunda nggak akan pergi, Sayang. Bunda nggak akan tinggalin kamu sendiri."
"Sebingung apapun kamu, secapek apapun kamu, Bunda nggak akan tinggalin kamu. Maafin Bunda ya, Nak, belum bisa kasih solusi yang baik untuk kamu. Maafin Bunda yang selama ini nggak peka sama apa yang kamu rasain." Tiara membelai rambut Sienna dengan lembut. "Sayangnya Bunda, pasti berat ya merasa ketinggalan dan kehilangan? Tapi Bunda selalu percaya kalo waktu yang tepat pasti akan datang ke kamu, dan Bunda jamin, kamu nggak akan pernah kehilangan Bunda."
"Jangan terlalu dipikirin ya, Bunda nggak akan nuntut apa-apa ke kamu. Just take your time ya, Sayang. Fokus aja ke diri kamu sendiri, prioritas Bunda adalah kesehatan fisik dan mental kamu." Tiara mendongakkan kepala Sienna dan menghapus air matanya sambil tersenyum lembut. "Utututu, make up-nya jadi luntur kan? Ayo Bunda bantu poles lagi, nanti sekalian perginya bareng Bunda ya? Kita udah lama nggak pergi berdua."
Sienna tersenyum dan mengangguk pelan. Kemudian mereka berdua bersiap-siap untuk pergi dengan saling membantu. Tiara membantu membenarkan make up anaknya, Sienna membantu memilihkan outfit untuk bundanya.
Namun saat benar-benar sudah siap, mereka justru dikejutkan dengan kemunculan Kanaka di ruang tengah. Laki-laki itu mengenakan stelan jas dengan rambut yang ditata rapi.
"Wow, udah pada cantik nih!" puji Kanaka begitu melihat Sienna dan Tiara menuruni tangga. "Ayo kita berangkat!"
"Emang tahu mau kemana?" tanya Tiara dengan nada jahil.
"Ke kondangan kan?"
"Emangnya kamu diundang?"
"Bunda emangnya diundang?" Kanaka membalikkan pertanyaan Tiara.
Tiara menggeleng. "Tapi Bunda perginya bareng Nana."
"Kalo gitu aku juga bareng Nana." ucap Kanaka yang sontak membuat Sienna melotot dan ingin protes. "Aku ajak Mama juga. Mama udah tunggu di mobil."
Sienna hanya dapat menghela napas pasrah. "Yaudah, ayo berangkat."
🌻A D A P T A S I🌻
Kanaka yang menyetir mobil, Sienna duduk di sebelahnya, dan kedua ibu mereka duduk di belakang. Selama perjalanan hanya terdengar suara Tiara dan Juli yang sedang bergosip tentang Aktor Korea dan seputar drama Korea yang sedang booming. Sedangkan kursi depan diam seribu bahasa. Sienna langsung menghindari percakapan sejak masuk ke dalam mobil, ia langsung memejamkan mata dan memposisikan dirinya menghadap jendela. Kanaka yang sangat memahimnya hanya membiarkannya saja tanpa memaksa untuk mengobrol.
Sesampainya di lokasi, Sienna dan Kanaka langsung terpisah dengan ibu mereka setelah Tiara dengan hebohnya menarik tangan Juli saat melihat teman lama mereka menjadi salah satu tamu di pernikahan itu. Sedangkan Kanaka yang hanya mengekori kemanapun Sienna pergi karena di sangat merasa tidak nyaman berada di sana.
"Lo mau makan apa?" tanya Sienna pada Kanaka yang hanya berdiri saja di belakangnya tanpa mengambil hidangan yang disediakan.
"Mau siomay yang ada di sana." Kanaka menunjuk stand yang ada di sudut seberang tempat merek berdiri. "Temenin."
Sienna mendengus, tapi tetap mengiyakan setelah mengisi piringnya dengan dengan aneka kue.
"Lo kenapa tiba-tiba ikut sih?" tanya Sienna saat mereka sudah mengambil tempat di kursi yang kosong di sudut ruangan.
"Lo juga kenapa tiba-tiba datang? Ini kan nikahannya Andre, kalo lo ketemu temen-temen band lo dulu gimana?"
"Justru gue datang karena mereka." ucap Sienna. "Mereka dulu temen deket gue. Meski pernah renggang, tapi kita sekarang udah baikan, udah sama-sama dewasa."
"Yang bener?"
"Ya."
"Udah dewasa, tapi masih cengeng."
"Maksud lo?" Sienna bertanya dengan sedikit terkejut, mengira bahwa jangan-jangan Kanaka melihatnya menangis tadi.
"Lo nangis waktu kemaren sakit."
Sienna menghela napas lega, kemudian berdeca. "Lo juga nangis waktu ketemu ibu kandung lo."
Seketika suasana menjadi hening saat Sienna membawa topik yang cukup sensitif diantara mereka.
"G-gue mau ambil minum dulu." Sienna langsung bangkit dari duduknya, kemudian menoleh pada Kanaka. "Lo ditinggal bentar nggak papa kan?"
Setelah melihat Kanaka mengangguk, Sienna langsung beranjak menuju stand minuman yang berada cukup jauh dari tempat mereka duduk.
"Lo sama Kanaka kapan nyusul?" Sienna langsung terlonjak kaget saat seseorang tiba-tiba berdiri di belakangnya dan berbicara padanya.
"Ipank!" kedua mata Sienna melebar sempurna saat menoleh dan menemukan seorang laki-laki berambut gondrong yang dulunya merupakan gitaris band nya di sekolah.
"Halo, Na. Udah lama banget ya kita nggak ketemu." Ipank tersenyum ramah sambil mengulurkan tangan kanannya. "Masih ingat handshake kita dulu?"
Sienna hanya mengangguk, kemudian menjabat tangan Ipank dan mulai melakukan handshake khas band mereka dulu. Lalu mereka berdua tertawa.
"Sukri sama Raja ada di depan tuh." Ipank menunjuk ke arah teman-temannya duduk. Matanya Sienna mengikutinya dan menemukan dua laki-laki yang sedang melambaikan tangan ke arahnya.
"Mereka nggak berubah ya." gumam Sienna sambil balas melambaikan tangan.
"Masih tengil?"
Sienna terkekeh dan mengangguk. "Masih tengil."
Ipank ikut tertawa, kemudian membuka topik pembicaraan baru. "Lagi sibuk apa, Na? Kuliah?"
"Oh, nggak, gue lagi cuti."
"Lo ambil mesin kan ya?"
"Iya. Tapi sebenarnya gue nggak tahu sih, mau lanjut atau nggak."
"Bingung ya? Karena itu bukan passion lo?"
Sienna hanya mengangguk.
"Nggak papa, nanti lo pasti ketemu apa yang lo mau kok. Nggak harus dari ilmu yang lo dapat di sekolah, kembangin aja apa yang lo suka." ucap Ipank. "Kayak Andre, dia suka lele, sekarang punya ternak lele. Si Sukri suka makan, punya usaha foodtruck. Raja sibuk kuliah musik sambilan bantu jualan batu akik bapaknya."
"Kalo lo sekarang gimana, Pank?"
"Gue cume buruh biasa." jawab Ipank dengan senyum yang mengembang. "Tapi gue masih suka bikin lagu, bahkan ada yang pernah dibeli sama band indie."
"Oh ya? Wah, hebat!"
Ipank mengangguk. "Sekarang bisa dibilang gue udah jadi producer untuk lagu-lagu mereka sih."
Sienna melongo takjub. "Itu sih namanya bukan cuma buruh biasa!"
Ipank tertawa. "Gue emang buruh kok. Jadi producer cuma sampingan. Soalnya gue nggak betah kalo cuma disuruh ngelakuin apa yang gue nggak suka, gue pengin ngelakuin apa yang gue suka dan apa yang gue bisa."
"Ipank, lo nggak berubah ya. Kata-kata lo selalu bisa bikin orang lain tenang dengarnya."
"Nggak juga. Itu karena lo doang yang lagi butuh untuk dengar kata-kata itu." ucap Ipank. "Oh iya, gue ikutin 6Days loh! Gue dengerin semua lagu dan cover kalian!"
"Oh ya?"
"Iya! Mereka cocok banget sama lo. Tapi gue kangen deh dengerin lo nyanyi ballad."
"Lo ada lagu ballad buat gue nggak?" Sienna bertanya dengan jahil. "Kalo nggak ada, gue nggak mau nyanyi ballad lagi."
"Lo mau kalo ada?"
"Hmm, boleh lah dicoba."
"Serius?"
"Iya."
"Wah, kebetulan banget lo nanya! Gue punya satu lagu yang ditulis waktu kita SMA, untuk lo. Masih gue simpan sampai sekarang dan belum pernah gue dengerin ke siapapun. Kalo lo mau, lo boleh nyanyiin lagu itu."
"Hah? Bentar... ini serius?"
Ipank mengangguk. "Iya. Nanti gue kirim guide-nya ke lo. Kalo lo mau, nanti kita atur waktu untuk rekaman di studio gue."
Sienna tersenyum lebar. "Mau banget! Makasih banget ya, Pank. Gue udah lama nggak megang mic, kangen banget rasanya."
Ipank menggeleng. "Justru gue yang makasih, karena lo mau dateng ke sini. Gue kira lo masih nggak mau berhubungan sama kita lagi."
"Kita udah dewasa. Lagian masalah yang waktu itu ada karena kita masih anak-anak. Sekarang masalah kayak gitu nggak akan ngeganggu kita lagi kan?
Laki-laki berambut gondrong itu hanya mengangguk. "Btw lo belum jawab pertanyaan gue tadi loh."
"Yang mana?"
"Lo sama Kanaka kapan nyusul?" Ipank mengulangi kalimat pertamanya saat bertemu Sienna tadi.
"Nyusul apa?"
"Nyusul si Andre." Ipank menoleh sekilas ke pelaminan tempat Andre dan sang istri sedang bersalaman dengan para tamu.
"Hah?" kening Sienna merengut bingung. "Gue? Sama Kanaka?"
Kedua mata Ipank langsung melebar sempurna. Ditahannya bahu Sienna selagi dia kehilangan kata-kata karena gelagat perempuan itu.
"Jangan bilang kalian masih sama-sama nggak mau ngakuin perasaan kalian." Ipank sedikit heboh. "Astaga, Sienna! Setelah selama ini? Yang benar aja dong kalian!"
"Pank, gue nggak ngerti kenapa lo bisa mikir gitu. Tapi gue sama Kanaka itu..."
"Keluarga." Ipank langsung menyela. "Itu juga yang dia bilang waktu sekolah dulu, dia sama lo itu keluarga."
"Kanaka bilang gitu?" tanya Sienna tak percaya. "Kanaka bilang gue keluarga, waktu sekolah dulu?"
Ipank mengangguk. "Iya. Tapi gue bilang, dia cuma anak dari temen bunda lo. Terus dia ngamuk."
"Lo serius?"
"Iya. Lo tahu kan gue sama dia sempet berantem karena lo? Waktu itu gue tahu dia juga suka sama lo, tapi dia ngelak dan bilang kalo lo itu keluarga dia. Terus gue bilang, dia cuma anak dari temen bunda lo, dan dia sembunyi di balik kata keluarga karena dia nggak mau ngakuin perasaan dia ke lo." Ipank menjelaskan pada Sienna yang justru terlihat semakin bingung. "Sienna, jangan bilang lo nggak tahu juga soal ini?"
Sienna hanya menggeleng dengan pandangan yang kosong, mencoba memproses apa yang baru saja ia dengar dari Ipank.
"Kayaknya lo salah menafsirkan Kanaka, dia nggak mungkin suka--"
"Gue suka sama lo, Na. Lebih dari sekedar yang lo pikirkan, gue sayang sama lo. Bukan sebagai keluarga, bukan sebagai anak dari sahabat orang tua angkat gue, tapi selayaknya hubungan antara perempuan dan laki-laki."
Sienna langsung terdiam setelah tiba-tiba mengingat pengakuan Kanaka padanya beberapa bulan lalu.
"Nggak mungkin. Itu nggak mungkin benar." Sienna bergumam pelan, jelas tak ingin mengakui apa yang baru ia ketahui dan ingat sebagai kenyataan.
"Dia selalu ngejagain lo kan, Na? Apa lo nggak ingat?" tanya Ipank yang lagi-lagi membuat Sienna menggeleng. Bukan untuk jawaban pertanyaan itu, melainkan sebagai bentuk bahwa Sienna tak mau mendengar apapun lagi soal Kanaka dari mulut laki-laki itu. "Waktu lo sakit dan nggak ada obat maag di UKS, Kanaka lari ke kelasnya terus ke UKS cuma untuk ngasih obat ke lo. Padahal dia lagi ambil nilai olah raga di lapangan. Terus waktu ban sepeda lo dibocorin, orang yang ngebocorin ban lo dipanggil guru BK karena dia ngelaporin. Masih banyak lagi, Sienna, gue bisa ceritain semuanya kalo lo mau."
"Lo bohong.... kan?" tanya Sienna masih tak percaya. "Nggak mungkin lo tahu semua itu. Lo pasti ngarang."
"Gue tahu karena gue selalu merhatiin lo. Gue udah kayak saksi hidup hubungan kalian aja tahu nggak sih?" Ipank kemudian tertawa canggung. "Tapi gue tetap nekad nembak lo, padahal udah jelas ada Kanaka yang lebih effort."
"Ipank, gue..." Sienna kehilangan kata-katanya. Tak tahu harus merespon bagaimana setelah mendengar semuanya dari laki-laki itu. "G-gue mau ke tempat Bunda dulu."
Ipank hanya mengangguk, kemudian mereka sama-sama beranjak dan melangkah ke arah yang berlawanan.
Sienna dapat melihat Kanaka yang masih berada di tempat tadi, laki-laki itu juga melihatnya dan langsung bangkit mendekatinya. Namun Sienna langsung membuang muka dan kembali mencari keberadaan bundanya.
"Lo mau pulang kapan?" tanya Kanaka yang sudah berdiri di samping Sienna. "Mama sama Bunda udah pergi sama temen-temen sekolahnya, ninggalin kita berdua di sini."
"Hah? Kapan?"
"Tadi, waktu lo lagi ngobrol sama temen lo."
Sienna berdecak sebal. Niatnya mau pamit pada Tiara untuk pulang duluan karena mau menghindari Kanaka, malah dia yang ditinggalkan berdua sama laki-laki itu.
"Yaudah, ayo pulang." Sienna langsung beranjak pergi.
🌻A D A P T A S I🌻
"Mau langsung pulang?" tanya Kanaka saat mulai menyetir meninggalkan parkiran.
Sienna masih menolehkan kepalanya ke arah jendela, semakin tak bisa menatap Kanaka setelah mendengar perkataan Ipank tadi. "Iya. Hari ini lo mau pergi kan?"
"Hah? Pergi kemana?"
"Ke tempat ibu kandung lo."
"Oh, belum kok."
"Kenapa belum?"
"Belum bisa ninggalin lo."
Sienna langsung menoleh pada Kanaka dengan cepat. Namun Kanaka langsung melanjutkan. "Dan Mama, Bunda, Ayah, Papa, Bang Arvi, sama Nano."
Melihat Kanaka yang sengaja menjahilinya dengan senyuman usil, Sienna sontak mendengus dan kembali menoleh ke jendela.
"Lihatnya ke gue dong. Kalo lo menghindar terus, gue makin nggak bisa pergi loh." ucap Kanaka sambil memegang dagu Sienna untuk membuat perempuan itu menoleh ke arahnya.
"Pergi sana jauh-jauh!" Sienna menepis tangan Kanaka. "Gue nggak mau lihat muka lo lagi!"
"Yang bener?" tanya Kanaka dengan senyum yang makin terlihat tengil. "Kalo beneran, gue lega banget loh."
"Iya."
"Serius?"
"Iya."
"Serius nggak bohong?"
"Iya."
"Tapi lo bisa kan, kalo nggak ada gue?"
Kali ini Sienna tak langsung menjawab. Perempuan itu terdiam cukup lama sebelum akhirnya menjawab sambil membuang muka. "Nggak tahu."
"Harus bisa dong, gue kan bukannya pergi dari dunia ini sampai kita nggak bisa ketemu lagi. Kita masih bisa ketemu kok. Kalo lo telepon, pasti langsung gue angkat. Kalo lo kangen, gue pasti pulang... ke tempat lo."
"Kalo nggak bisa?"
"Gue nggak akan pergi." Kanaka langsung menjawab tanpa ragu. "Kalo lo nggak mau gue pergi, maka gue nggak akan pergi."
Sienna tak mengatakan apapun, tak tahu harus mengatakan apa. Karena saat ini Sienna tahu, keegoisannya menahan Kanaka untuk pergi. Sienna tak mau egois, tapi juga tak mau Kanaka pergi.
"Nana, jujur sama gue." ucap Kanaka sambil menepikan mobilnya untuk berhenti sejenak dan menoleh menatap Sienna. "Gue akan turutin apapun jawaban lo, tapi lo harus jujur."
Kanaka melepaskan safety belt di badannya, kemudian mendekatkan badannya ke Sienna.
"Nana.." ucap Kanaka saat tangan kanannya bergerak menyentuh pipi kiri Sienna untuk membuat perempuan itu menatap matanya. "Lo mau gue tetap di sini, atau lo nggak papa kalo gue pergi?"
bersambung...
a/n:
Hai yorobun! Maaf lahir bathin ya🫶
Sekali lagi aku mau bilang makasih untuk yang sering promosiin dan rekomendasiin cerita ini dimana pun, terutama di twitter. So much appreciation and love for you guys🫶💕💕💕💕💕
See u!
ayeenaw | 20 Maret 2023