Cerita sudah bisa dibaca sampai tamat di Karyakarsa yaw! Makasih selalu buat dukungan kelen semua. Mamak sayang kelen banyak2!
~~~
Viola jelas-jelas merasa kesal meskipun Nero tidak bisa berpikir apa yang sebenarnya membuat wanita itu marah. Ia mengingat-ingat pembicaraan mereka, memutar ulang semua di dalam kepalanya, sambil menaiki lift ke ruangannya, dan sama sekali tidak bisa mencari penyebab kesalnya wanita itu.
Apa itu karena mereka membicarakan Muti? Itu tidak mungkin. Viola sendiri yang memulai pembicaraan tersebut. Lagipula, kenapa wanita itu harus kesal? Mereka juga sering membicarakan Muti sebelum itu. Jadi pasti bukan topik tersebut penyebabnya.
Jika bukan itu, apa Viola tiba-tiba merasa kesal pada gossip yang tadi dibicarakannya? Apa gossip itu berhubungan dengan dirinya?
Pasti iya. Jika tidak, Viola tidak akan mengusirnya dengan seketus itu. Gosip tersebut pasti telah membuat Viola kesulitan, hanya saja, seperti biasa, wanita itu akan bersikap pura-pura kuat dan tidak butuh bantuannya.
Ketika lift membuka dan ia melangkah keluar, Nero melihat sekretaris ayahnya berada di mejanya. Wanita itu bukan seseorang yang muda seperti Jules, tetapi tidak peduli berapapun usianya, para wanita selalu senang bergosip kan? Gossip dan wanita adalah dua hal yang tidak akan pernah bisa dipisahkan.
Nero mendekati meja itu, dan Shannon langsung bangkit dari duduknya sambil tersenyum keibuan. Dari yang Nero dengar dari Paman Stevan, Shannon adalah janda dua anak yang keduanya masih kuliah. Suaminya meninggal dalam tragedi WTC saat anak-anak mereka masih sangat kecil.
Wanita itu sudah bekerja sebagai sekretaris ayahnya sejak masih belum menikah. Bisa dibayangkan seberapa kenalnya Shannon pada lingkungan ini, juga mungkin pada ayahnya. Ia pastilah wanita yang pandai bekerja dan juga pandai memaklumi sikap ayahnya yang menyebalkan. Jika tidak, Shannon tidak akan bertahan selama itu.
"Ada yang bisa kubantu, Sir?" tanyanya dengan ramah.
Satu keuntungan memiliki sekretaris paruh baya adalah tidak ada lirikan menggoda, atau gerakan menunjukkan 'aset' mereka dengan berlebihan. Shannon sangat professional dan jelas tidak akan pernah menggodanya. Wanita itu jauh lebih pantas menjadi ibunya.
Nero menghela napas saat sebuah tusukan kecil rasa sakit terasa ketika ia memikirkan tentang seorang 'ibu'. Seseorang yang tidak pernah ia miliki dalam arti yang sebenarnya.
"Shannon, kau tahu gossip apa yang dibicarakan para karyawan?" tanyanya sambil mengabaikan rasa sakit dan pikirannya.
Kening wanita itu berkerut saat mendengar pertanyaannya. "Gossip?"
"Tentang CFO kita."
Raut pemahaman melintas di wajah Shannon sebelum berubah menjadi sebuah keprihatinan. Dan keprihatinan itu jelas ditujukan padanya, bukan Viola. Otak Nero menggabungkan beberapa cerita yang pernah didengarnya dari Ola, dan apa yang mungkin sedang terjadi saat ini.
Tebakannya pasti tidak salah. Gossip itu jelas menyangkut dirinya.
"Miss Aleyna selalu menjadi korban gossip yang sangat buruk," ujar Shannon kemudian dengan simpati mendalam dalam suaranya.
Dalam hatinya, Nero bersyukur karena Shannon tidak termasuk dari orang-orang yang ikut menggosipkan Viola.
"Kau keberatan menceritakannya padaku?" Menyadari bahwa mereka masih berdiri di depan meja sekretaris Shannon, Nero pun melanjutkan, "di ruanganku sekarang kalau kau tidak keberatan?"
"Anda butuh teh atau kopi?" tawar Shannon dengan ramah.
Nero menggeleng. "Tetapi jika kau membutuhkannya untuk dirimu sendiri, bawalah, tidak apa-apa."
Shannon tersenyum dan mengangguk. "Saya akan segera masuk ke ruangan Anda."
Menunggu Shannon memasuki ruangannya terasa seperti berabad-abad walaupun itu jelas tidak sampai beberapa menit. Ia duduk di sofa dengan gelisah saat wanita itu masuk membawa nampan yang berisi dua cangkir teh, yang dari aromanya pastilah teh herbal, juga piring kecil berisi kue yang tampaknya cukup lezat.
"Sudah kubilang aku tidak mau teh," ujar Nero saat Shannon meletakkan cangkir dan piring di hadapannya.
"Anda akan membutuhkannya jika kita akan membahas gossip tersebut," jawab Shannon sambil tersenyum. "Dan berhubung ini sudah sore, ini waktunya camilan sore untuk Anda."
"Camilan sore?" Ia memandang tiga potong kue coklat yang bisa dimakan dalam satu kali gigit itu.
"Ayah Anda selalu rutin menyantap camilan setiap sore karena, yah, Anda tahu, beliau sering sekali telat makan dan telat pulang hanya karena bekerja."
Jadi selama ini, Shannon-lah yang memperhatikan semua kebutuhan ayahnya. Bahkan tidak hanya pekerjaan, tetapi juga masalah makan.
"Tetapi dia makan dengan baik kan?"
Nero tidak ingin menanyakan itu, tetapi entah bagaimana, hal tersebut keluar begitu saja dari bibirnya.
"Setelah beliau terkena maag akhir tahun lalu, sekarang saya selalu memaksanya makan tepat waktu meskipun itu membuatnya menjadi lebih sering marah-marah pada saya."
Shannon terkekeh seakan kemarahan Dad bukanlah sesuatu yang ia khawatirkan.
"Kenapa tidak ada yang mengabariku jika Dad sakit?"
Itu juga bukan sesuatu yang ingin ia tanyakan. Lagipula, sejak kapan ia peduli pada Dad. Dalam waktu bertahun-tahun saat ia tinggal di Jakarta, ia tidak pernah menghubungi ayahnya lebih dulu. Dan setiap kali pria itu menghubunginya, mereka hanya akan berakhir dengan bertengkar.
"Stevan sudah akan melakukannya, tetapi ayah Anda melarangnya dan berkata jika itu tidak akan berhasil membuat Anda pulang."
Nero memandang Shannon saat benaknya menyadari sesuatu. "Mobil itu. Dad membelikan mobil itu agar aku pulang, dan aku menolaknya dengan keras kepala. Padahal itu pasti upayanya untuk mengatakan padaku bahwa ia sakit."
Shannon mengangguk setuju tanpa mendebat apapun, dan seketika, Nero merasakan perasaan bersalah pada ayahnya. Ia benar-benar bukan anak yang baik kan? Kenapa ia tidak pernah mencoba untuk memahami ayahnya sebelum ini?
"Meskipun ayah Anda terkesan dingin dan tidak peduli, dia sangat menyayangi Anda. Ayah Anda hanya tidak tahu cara mengungkapkannya dengan kata-kata. Dia membutuhkan Anda di sini, Sir. Usianya sudah tidak muda lagi. Staminanya tidak sekuat dulu untuk bekerja lembur dan menghadiri rapat ke sana kemari."
Rasa bersalah itu menusuk-nusuknya seperti pisau tajam yang membuat jantungnya begitu perih. Apa dirinya yang keterlaluan selama ini? Selama bertahun-tahun, Nero membenci ayahnya karena telah membuat Mama pergi dari sisinya. Akan tetapi, apa selama ini ia sudah mencoba bicara baik-baik dengan ayahnya tentang hal itu?
Dulu, mungkin Dad akan keberatan membicarakan hal tersebut. Namun sekarang, saat ia bukan lagi anak kecil yang tidak boleh tahu permasalahan orang dewasa, bukankah ia berhak tahu apa yang sebenarnya terjadi?
Nero merasa tenggorokannya sakit, dan tangannya gemetar saat meraih cangkir teh. Ia menggenggam cangkir itu dengan kedua tangannya selama sesaat untuk merasakan kehangatannya, sebelum meminum cairan kuning keemasan yang harum itu. Shannon menunggunya memulihkan diri dengan sabar dan tanpa menyela.
"Jadi, gossip apa yang sedang dibicarakan para karyawan tentang Viola?" tanya Nero setelah merasa lebih tenang. Ia masih menggenggam cangkir teh di pangkuannya.
"Sama seperti yang sejak dulu beredar. Hanya saja, kali ini Anda yang menjadi korbannya. Bukan ayah Anda."
"Jadi benar mereka mengira Viola memiliki hubungan dengan Dad agar bisa memiliki jabatannya sekarang?"
Shannon mengangguk. "Miss Aleyna sudah mendapatkan gossip itu semenjak ia diperhatikan ayah Anda karena kemampuan kerjanya yang luar biasa. Gossip yang beredar sekarang mengatakan jika ia mengincar posisi Anda, jika nanti Anda naik menggantikan ayah Anda sebagai Ketua perusahaan."
Siapa yang memulai omong kosong itu? Dan kenapa ada orang yang bisa begitu jahat berpikiran tentang orang lain? Viola jelas tidak pernah mengganggu orang lain.
"Desas desus telah menyebar bahwa kemungkinan besar Ayah Anda tidak akan bisa memimpin perusahaan karena kecelakaan yang dialaminya."
"Kenapa mereka berpikir seperti itu?"
"Karena Anda pulang."
Kening Nero berkerut tak mengerti dengan penjelasan tersebut.
"Selama ini, meskipun ayah Anda jatuh sakit, Anda tidak pernah diminta untuk pulang. Ketika sekarang Anda berada di sini, mereka mulai berspekulasi bahwa James akan segera turun dari jabatannya. Dan itu berarti, siapapun bisa mengisi posisi Anda sekarang."
"Dad sering jatuh sakit?"
Kerutan di kening Nero semakin dalam saat mendengar itu. Jika ayahnya sering jatuh sakit, kenapa Paman Stevan tidak pernah mengatakan apapun padanya? Pria itu sering menghubunginya. Bahkan jauh lebih sering daripada ayahnya sendiri.
"Dia terkena serangan jantung pertamanya dua tahun lalu. Lalu maag akhir tahun lalu, dan sekarang, kecelakaan itu."
Kenapa mendengar ayahnya sering sakit membuat hati Nero ikut terasa sakit? Ia adalah putra Dad satu-satunya, dan ia menjadi orang yang terakhir tahu tentang sakit yang diderita ayahnya. Serangan jantung? Ayahnya yang setangguh itu pernah terkena serangan jantung? Itu sungguh sulit dipercaya.
"Anda ingin waktu untuk sendirian sekarang?" tanya Shannon dengan penuh pengertian.
Nero memandangnya, kemudian menggeleng dengan sedikit linglung.
"Shannon," ujarnya dengan suara serak, "maukah kau membantuku?"
"Apapun," jawab wanita itu dengan cepat.
"Tolong cari tahu siapa yang sudah memulai gossip itu. Viola tidak pantas dibicarakan seburuk itu di belakang."
Shannon tersenyum lembut sebelum akhirnya ia mengangguk. "Tentu saja akan saya cari tahu. Ada lagi yang Anda butuhkan?"
Nero menggeleng. "Aku akan pulang sekarang. Kau juga boleh pulang."
Lama setelah Shannon pamit keluar dan akhirnya pulang, Nero masih duduk di sofanya. Ia merasa lemas dan tidak memiliki kekuatan untuk beranjak pergi. Paman Stevan sedang berada di Washington sehingga tidak ada yang bisa ia ajak bicara.
Setelah melihat langit telah berubah menjadi malam dari balik jendela kantornya, Nero bangkit dan meraih kunci mobilnya. Kantor sudah sepi. Ketika ia sengaja berhenti di lantai ruangan Viola dan mengamati dari lift, ia tahu jika wanita itu juga sudah pulang. Jadi sebaiknya ia juga pulang sekarang.
Namun, saat Nero pergi dari gedung kantornya, bukannya pulang ke rumahnya yang dingin dan sepi, Nero justru menyadari jika mobilnya berhenti di depan gedung apartemen Viola. Ia mendongak memandang lantai yang ia perkirakan tempat hunian Viola berada.
Apa wanita itu akan marah jika ia tiba-tiba muncul? Viola bilang akan mengepak barang-barangnya, apa ia akan mengganggu kegiatan wanita itu?
Seharusnya ia pulang saja kan? Sayangnya, kakinya memiliki keinginannya sendiri untuk melangkah turun dari mobil, dan memasuki lobi apartemen yang hangat. Resepsionis muda yang menatap Viola dengan penuh kekaguman dua hari lalu, tidak ada di sana, digantikan dengan wanita muda berambut merah yang langsung menyapanya dengan ceria.
Nero melirik nama yang terpasang di dada kirinya, dan tersenyum. Mencoba untuk memesona gadis muda itu.
"Lilibeth," panggilnya dengan dengkuran menggoda yang membuat warna pipi Lilibeth semerah rambutnya. "Apa kau mau membantuku membuka akses ke lantai tempat hunian Miss Aleyna berada?"
Meskipun tampak tergoda untuk segera mengangguk, Lilibeth menggigit bibirnya dengan sedikit ragu. "Tetapi itu melanggar privasi. Apa Anda tidak keberatan jika saya menelepon Miss Aleyna dan mengatakan Anda berada di sini?"
Nero menggeleng. Itu hanya akan membuat Viola mengusirnya dengan segera. Ia tidak ingin pergi dari sini sebelum bicara dengan wanita itu.
"Kami sedang bertengkar dan aku ingin meminta maaf padanya."
"Anda...kekasih Miss Aleyna?" Raut wajah Lilibeth langsung menunjukkan kekecewaan.
"Tidak. Kami rekan kerja dan tadi kami bertengkar tentang pekerjaan. Aku merasa tidak enak padanya."
Kekecewaan di wajah Lilibeth sirna saat mendengarnya mengatakan itu. Gadis itu melongok dari balik meja resepsionisnya.
"Tetapi Anda tidak membawa apa-apa."
Kening Nero berkerut.
Lilibeth tersenyum. "Seharusnya Anda membawa coklat atau makanan untuk membuatnya memaafkan Anda. Tidak ada orang yang meminta maaf dengan tangan kosong."
Kenapa ia tidak berpikir seperti itu tadi? Tentu saja karena sebenarnya ia tidak pernah berniat pergi kemari, jadi Nero tidak membawa persiapan apapun.
"Aku agak terburu-buru tadi."
Lilibeth memandangnya dengan sedikit menegur. "Carilah apa saja yang ia sukai di depan sana. Ada banyak toko makanan yang bisa Anda datangi."
Ia diusir lagi sekarang?
"Kau akan membukakan akses liftnya jika aku kembali nanti?"
"Pasti jika Anda membawa sesuatu."
Meskipun tahu itu membuang waktu karena Nero tidak tahu apa yang Viola sukai, ia berbalik dan keluar dari pintu. Kepala menoleh ke kanan dan ke kiri, melihat apa yang bisa ia beli untuk Viola.
Butik pakaian, restoran, toko perhiasan, tetapi tidak ada satu pun yang Nero yakin disukai Viola. Wanita itu bisa memasak makanan yang jauh lebih enak daripada restoran. Nero memilih melangkah ke arah kanan sambil melihat apa yang bisa ia beli untuk Viola.
Ia masuk ke toko pizza, tetapi saat memesan, Nero menyadari itu bukan permintaan maaf yang memberikan kesan. Bahkan bisa saja Viola tidak menyukai pepperoni. Jadi, setelah keluar dari toko pizza itu, Nero kembali berjalan.
Ia menarik napas dengan frustasi. Kenapa ia mau dibodohi oleh Lilibeth? Bisa saja saat ia pergi, Lilibeth menelepon Viola kan? Lagipula, ia bukan kekasih Viola, kenapa harus repot-repot membawa hadiah permintaan maaf?
Nero memandang pizza di tangan kanannya. Ini pasti cukup. Mereka bukan hanya sekali ini berbeda pendapat. Viola sudah marah padanya sejak pertama kali bertemu dan mereka bisa berbaikan tanpa hadiah apapun. Jadi pasti yang sekarang pun juga akan begitu.
Ketika memutuskan untuk berbalik dan kembali ke apartemen, mata Nero menangkap toko lain di seberang jalan. Toko yang berwaran merah muda dengan jendela besar, juga barisan benda-benda berbulu di baliknya. Tanpa sadar, Nero tersenyum dan langsung menyeberangi jalan. Sekarang, ia tahu hadiah permintaan maaf yang tepat untuk Viola.