Bukannya pulang, Gabriel kini justru berada di sebuah cafe di dekat apartemennya. Ia memesan ice americano dan duduk di dekat jendela. Pikirannya nampak sedang berkelana entah kemana. Hingga tiba-tiba ia mengacak rambutnya sendiri, frustasi.
"Aku mukul dia."
"Dia berdarah, apa gak papa?"
"Pasti sakit."
"Arggh.. aku nyakitin dia."
"Pasti dia marah ke aku nanti."
"...Tapii..."
"... Dia pantes dapetin itu."
"Dia nyakitin Rona-ku juga."
"Dia harus bayar perbuatannya ke Rona."
"Tapi dia mate ku."
"Arrghhh!!!"
Gabriel pasti sudah gila. Ia berkata dengan dirinya sendiri. Tapi jujur, Gabriel menyesal melukai matenya bahkan sampai tersungkur dan berdarah.
"Aku alpha yang buruk."
Sedari tadi ia tak luput menyalahkan dirinya sendiri apabila sampai terjadi sesuatu pada matenya. Namun di sisi lain ia merasa kurang. Ia ingin menghajar lagi pria brengsek yang telah menyakiti Rona. Tapi ternyata brengsek itu justru matenya sendiri. Mate yang bertahun-tahun lamanya telah ia tunggu kehadirannya.
"Ini gak bagus.."
Gabriel menjatuhkan kepalanya pada meja hingga membentur kuat dan menimbulkan suara "dug" yang cukup kencang.
Tapi tunggu, bukankah guru BK itu bilang Sultan itu alpha?
"Benar. Guru BK itu bilang Rona confess ke Sultan, alpha sekaligus anak donatur terbesar di sekolah itu."
Atau jangan-jangan Gabriel salah orang? Orang yang tadi ia pukul itu bukan Sultan?
"Itu bisa aja. Mungkin...."
"... Tapi aku gak mungkin buta dan tuli. Jelas-jelas aku denger dia di panggil Sultan."
Kebimbangan lagi-lagi menyeruak di dalam benaknya. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang. Perasaan bersalah karena menyakiti matenya sendiri memenuhi hatinya. Tapi di sisi lain ia juga masih gamang.
"Hahh.. Kenapa mateku jahat..?" Gabriel menggumam.
Ia memutuskan untuk bergegas dari sana dan pulang karena hari sudah semakin sore. Rona pasti menunggunya dari tadi.
~~~~
Sesampainya Gabriel di apartemen, ia menemukan Rona yang tengah menonton televisi.
"Rona.." panggil Gabriel. Ia mendekat pada adiknya itu dan meletakkan sebungkus plastik berisi makanan.
"Kakak beli sup iga. Makan dulu yaa.."
"Hmm, iya. Makasih kak." balas Rona.
Sedangkan Gabriel bukannya senang, ia justru malah sedih. Pancaran katakutan dan kesedihan masih terlihat dari mata Rona. Mungkin kini gadis itu berusaha untuk terlihat baik-baik saja.
Gabriel mengusak kepala Rona.
"Kakak ambilin piring."
Ia mengambil piring di dapur dan memberikannya pada Rona. Tadinya ia ingin menyuapi Rona makan, tapi gadis itu menolak.
"Aku bisa sendiri kak." ucapnya.
"Yudah, kakak mandi dulu yaa.."
Gabriel pun menuju kamarnya sendiri untuk membersihkan diri. Setelah selesai, ia membawa laptop kerjanya dan kembali ke ruang tamu untuk bekerja sembari menemani Rona menonton tv.
Lama Gabriel berfokus mengurus pekerjaan yang sedikit menumpuk, hingga ia tak menyadari waktu kini sudah menunjukkan tengah malam.
"Aggrh..."
Gabriel meluruskan tulang-tulangnya yang kram. Ia mengarahkan Pandangannya ke Rona dan menemukan gadis itu sudah tertidur dengan memeluk guling.
Gabriel menutup laptopnya dan menaruhnya di atas meja. Tangannya kini terangkat untuk menepuk kepala Rona lembut.
"Kasihan adik kakak."
Gabriel mengangkat tubuh Rona, memindahkannya ke kamarnya dan menyelimutinya. Kemudian ia menyalakan lampu tidur dan membakar lilin aroma terapi. Setelahnya ia keluar dari sana dan menuju kamarnya sendiri.
~~~
Besoknya, Gabriel mulai masuk ke kantor lagi. Untung Rona sudah terlihat lebih baik, jadi Gabriel sedikit tenang saat meninggalkan adiknya sendirian di apartemen.
Selama 10 jam Gabriel habiskan untuk berkutat dengan berkas-berkas yang menumpuk setelah seminggu belakangan ini ia telantarkan.
Bersyukur bosnya orang yang baik. Ia memberikannya izin selama Gabriel merawat Rona. Beberapa pekerjaannya bahkan di handle oleh bosnya itu.
"Sudah sore Gabriel. Pulanglah" tiba-tiba suara bosnya terdengar.
Gabriel sontak tersenyum sopan.
"Ah iya pakk.. Sebentar lagi saya pulang." balasnya.
"Apa adikmu sudah membaik?"
"Rona sudah membaik pak. Mangkanya saya mulai bekerja lagi. Kalau Rona tak kunjung membaik mungkin saya akan resign dulu saja. Saya tidak enak hati terus-menerus izin begini." ucap Gabriel sejujur-jujurnya.
"Sudahlah. Tidak ada karyawan yang sebaik dirimu untuk mengisi posisi ini."
Gabriel dan bosnya berbincang cukup lama mengenai adiknya dan masalah pekerjaan. Hingga tepat pada pukul 5 sore, Gabriel dan bosnya akhirnya memutuskan untuk pulang.
Gabriel menuju parkiran dan bergegas melesatkan mobilnya dari sana. Di perjalanan ia melihat restoran sushi yang cukup ramai pengunjung.
"Makanan kesukaan Rona.." gumamnya.
Gabriel berniat untuk membelikan Rona sushi. Ia pun memarkirkan mobilnya dan turun untuk memesan sushi. Pasti Rona akan suka nanti.
Setelah Gabriel menerima pesanannya. Ia membayar kemudian menuju mobilnya untuk melanjutkan perjalanan pulang.
Namun saat akan menghidupkan mesin. Tiba-tiba ia melihat sosok yang lumayan ia kenal tengah duduk sendirian di halte bus.
"Ngapain dia di sana sendirian..?"
Gabriel terus mengamati pergerakan orang itu, tapi tidak berniat untuk menemuinya. Yah, jujur saja ia belum siap untuk bertemu dengannya.
Cukup lama Gabriel hanya duduk di dalam mobil sambil menatap lurus orang itu. Jaraknya sedikit jauh karena halte berada di seberang jalan, sehingga ia tidak tahu pasti apa yamg sedang orang itu lakukan. Namun yang pasti Gabriel melihat orang itu menyadarkan tubuhnya pada sandaran kursi. Mungkin kelelahan, pikirnya.
Beberapa saat kemudian, bus datang dari arah barat. Orang itu seharusnya akan segera menaiki bus itu dan pulang ke rumahnya.
Namun yang membuat Gabriel terkejut. Setelah bus berlalu dari sana, dapat ia lihat orang itu masih berada di sana dan berada pada posisi yang sama.
"Apa dia ketiduran?"
Alhasil Gabriel turun. Tidak dapat dipungkiri ia sedikit khawatir. Ia akan mengeceknya, apa ia baik-baik saja atau tidak.
Gabriel telah sampai di halte bus. Ia melihat mata orang itu terpejam. Mungkin benar dia tertidur.
"Hey bangun. Ini bukan tempat buat tidur." ucapnya yang tidak disahut sama sekali oleh orang itu.
Gabriel menepuk pundak orang itu kecil.
"Sultann.." panggilnya.
Iya, orang itu adalah Sultan. Pelaku pembullyan adiknya. Seharusnya Gabriel menghajarnya lagi saat ini. Tapi melihat Sultan yang seperti sangat kelelahan itu malah membuat Gabriel khawatir.
"Ughh.." Sultan terbangun.
Ia mengerjapkan matanya beberapa kali. Saat kesadarannya kembali sepenuhnya, Sultan begitu terkejut akan kehadiran sosok Gabriel. Sosok yang kemarin menghajarnya di depan sekolah. Seketika ia beringsut, pertahanan dirinya meningkat 100%.
"Kenapa lo di sini?! Mau hajar gue lagi?!" ucap Sultan waspada.
Sementara Gabriel yang melihat matenya ketakutan padanya, tiba-tiba menjadi sedih. Tapi wajar jika ia takut pada Gabriel setelah apa yang kemarin ia lakukan padanya.
"Lo ketiduran. Bus udah kelewat tadi." jawab Gabriel tak mengindahkan pertanyaan Sultan tadi.
Sultan yang menyadari bus sudah terlewat seketika panik.
"Sial! itu bus terakhir!"
Sultan merogoh hp nya, ingin memesan ojek online saja, tapi hp nya kehabisan baterai. Tidak mau menyala sama sekali.
"Arrghh!" ia berteriak frustasi. Dari kemarin ia selalu tertimpa kesialan.
Hari ini pun sama. Rahasianya hampir saja terbongkar kalau saja ia tidak cepat-cepat bersembunyi dari teman-temannya.