ATHA ✔

By morfemima

2M 392K 181K

Takdir tuh nggak kayak bisnis yang perencanaannya selalu lurus dan runut. Akan ada hambatan-hambatan, masalah... More

Prolog
Bagian 1
Bagian 2
Bagian 3
Bagian 4
Bagian 5
Bagian 6
Bagian 7
Bagian 8
Bagian 9
Bagian 10
Bagian 11
Bagian 12
Bagian 13
Bagian 14
Bagian 15
Bagian 16
Bagian 17
Bagian 18
Bagian 19
Bagian 20
Bagian 21
Bagian 22
Bagian 23
Bagian 24
Bagian 25
Bagian 26
Bagian 27
Bagian 28
Bagian 29
Bagian 30
Bagian 31
Bagian 32
Bagian 33
Bagian 34
Bagian 35
Bagian 36
Bagian 37
Bagian 38
Bagian 39
Bagian 40
Bagian 41
Bagian 42
Bagian 43
Bagian 44
Bagian 45
Bagian 46
Bagian 47
Bagian 48
Bagian 49
Bagian 50
Bagian 51
Bagian 53
Bagian 54
Bagian 55
Bagian 56
Bagian 57
Bagian 58
Bagian 59
Bagian 60
Bagian 61
Bagian 62
Bagian 63
Bagian 64
Bagian 65
Bagian 66
Bagian 67
Bagain 68
Bagian 69
Bagian 70
Bagian 71
Bagian 72
Bagian 73
Bagian 74
Bagian 75
Bagian 76
Bagian 77
Bagian 78
Bagian 79
Bagian 80
Bagian 81
Bagian 82
Bagian 83
Bagian 84
Bagian 85
Bagian 86
Bagian 87
Bagian 88
Bagian 89
Bagian 90
Bagian 91
Bagian 92
Bagian 93
Bagian 94
Bagian 95
Bagian 96
Bagian 97
Bagian 98
Bagian 99
Bagian 100
Bagian 101
Bagian 102
Bagian 103
Bagian 104
Bagian 105
Bagian 106
Bagian 107
Bagian 108
Bagian 109
Bagian 110
Bagian 111
Bagian 112
Bagian 113
Bagian 114
Bagian 115
Bagian 116
Bagian 117
Bagian 118
Bagian 119
Bagian 120
Epilog
Extra Chapter 1A
Extra Chapter 1B
Extra Chapter 2A
Extra Chapter 2B
Extra Chapter 3A
Extra Chapter 3B
Extra Chapter 4A
Extra Chapter 4B
Extra Chapter 5A
Extra Chapter 5B
Extra Chapter 6A
Extra Chapter 6B
Extra Chapter 7A
Extra Chapter 7B
Extra Chapter 8A
Extra Chapter 8B
Extra Chapter 9A
Extra Chapter 9B
Extra Chapter 10A
Extra Chapter 10B
Pre Order Novel Atha, Bisa dipesan Sekarang!
Give Away Time!

Bagian 52

12K 2.7K 2.1K
By morfemima

SETELAH gue meninggalkan sisa lambrusco di botolnya dan membayar, gue memutuskan untuk benar-benar pulang ke apartemen, beristirahat sejenak dari segala penat yang gue alami akhir-akhir ini. Namun entah kenapa ponsel gue nggak ada henti-hentinya berdering memunculkan notifikasi. Seolah tidak ada jeda barang semenit untuk tubuh gue berbaring di tempat tidur.

Waktu gue cek, ternyata kali ini isinya bukan tentang pekerjaan atau pesan spam dari Sheina. Melainkan grup Truppen yang berisi gue, Vian, Dipta, dan Gema yang tengah heboh karena informasi baru yang baru mereka tahu kalau Vian memutuskan menjadi mualaf dan resmi memeluk agama Islam beberapa hari yang lalu.

Mereka antara speechless dan senang-tidak senang akan hal tersebut. Senang karena pada akhirnya di grup tersebut muslim semua, tidak menyenangkan saat Vian mungkin tidak seasik dulu untuk diajak nongkrong.

Dipta:
Welcome, Bro! Selamat ibadah lima kali sehari. Nggak ada ibadah Minggu lagi. Eh, di Islam hari Ahad ya bilangnya?

Gema:
Gimana sih lo, duluan Islam kok malah nanya balik.

Vian:
Thanks a million, guys. Ahad club sekarang gue. Baru ngamalin rukun Islam yang pertama, udah pengen langsung yang ke lima aja nih.

Dipta:
Anj*r, kecepetan Ian. Udah mau jadi Pak Haji aja lo. Eh, astagfirullah kasar gue. Nggak boleh ya.

Gema:
Patut di rayakan nih. Momen langkanya Si Ian. Seumur hidup sekali soalnya. Yuk, mau di bar mana?

Atha:
Gila lo! Baru log in jangan diajak buat dosa. Baru juga di nol-kan catatan amalnya. Udah mau bikin catatan baru aja.

Dipta:
Nggak tahu tuh, harus memberikan contoh yang baik buat saudara seiman baru kita, Gem. HAHAHA

Gema:
Ya udah Bottega gimana? Bentar, yang bersangkutan bisa di ajak nggak?

Vian:
Oke Bottega aja. Kebetulan deket nih gue. Entar gue yang traktir.

Dipta:
Alhamdulillah.

Gema:
Alhamdulillah (2).

Vian:
Sepanjang gue masuk grup ini, baru pertama lo berdua pake ketikan Alhamdulillah.

Atha:
Gue aja yang traktir, mualaf berhak mendapatkan santunan.

Gema:
Hahaha... eh, tapi bener juga, Tha.

Dipta:
Ini konsepnya gimana? Konglomerat menyantuni konglomerat.

Gue nggak lagi menyimak pembicaraan mereka setelah itu. Gue bergegas mengambil wudhu sekaligus berganti pakaian untuk menunaikan sholat magrib terlebih dahulu sebelum berangkat, karena jarak dari apartemen gue ke Bottega agak lumayan jauh sebenarnya. Kalau gue nggak salah tempat itu tutupnya cuma sampe jam 22.00.

Tubuh memang capek. Gue sama sekali belum istirahat setelah balik dari Jepang, hanya sehari menemani Sheina di rumah sakit hingga menginap, besoknya gue langsung Bandung. Namun meski berusaha untuk tidur, mata gue nggak akan bisa terpejam sama sekali dan itu benar-benar sangat menyiksa. Mana gue belum makan apapun dari tadi siang.

Tiga puluh menit kemudian, gue sudah menjadi orang kedua yang berada di tempat. Vian paling pertama datang ke sana, katanya dia ada pekerjaan yang selesai nggak jauh dari tempat itu dan baru saja. Padahal gue sering ketemu Vian, enggak tahu kenapa wajahnya jadi mendadak adem. Bahkan, dia mengucapkan salam pertama ketika gue datang.

Hal yang gue ingat ketika melihat Vian, langsung tentang permintaan maaf karena nggak bisa hadir Sabtu kemarin. Padahal saat itu, mungkin dia benar-benar lagi butuh support dari teman.

"Iann..." Gue memeluknya seolah udah lama banget nggak ketemu. Dia malah merasa jijik dengan tingkah gue dan berusaha melepaskan diri.

"Sorry banget, gue nggak bisa mendampingi lo Sabtu lalu. Lo boleh protes ke Pak Jo deh. Every decision you've made, i'm sure it is for the best."

"Apaan sih, Tha? Lebay banget lo," setelah berhasil terlepas dari pelukan gue.

"Gue seneng dan terharu banget, sumpah. Waktu denger lo beneran mau meluk Islam dari Abyan. Itu keputusan yang lebih berat dari memilih calon istri. Memilih Tuhan," Vian tertawa mendengar gue mengatakan itu.

Selang beberapa menit dari kedatangan gue. Gema dan Dipta datang bersamaan. Suasana ramai seketika. Mereka heboh karena penasaran akan bagaimana akhirnya Vian memutuskan menjadi mualaf. Tentu mereka berdua sama sekali nggak tahu soal perempuan berhijab yang Vian temui di museum karena kasus laptopnya yang hilang, Vian hanya menceritakan hal tersebut ke gue.

Namun Abyan juga sudah menegaskan, bukan hal tersebut yang membuatnya memutuskan berpindah agama. Mungkin Vian memang menemukan jalannya sendiri untuk memilih pindah agama. Malam itu adalah makan malam yang singkat, dengan obrolan paling dalam yang pernah kami lakukan.

Meski singkat, hanya berlangsung satu jam setengah—karena Vian ada janji belajar baca tulis Al-Qur'an bareng Abyan setelah isya—kami langsung pulang saat acara makan-makan selesai, dan gue benar-benar mentraktir mereka makan di sana. Gema dan Dipta ngajak lanjut ke bar, gue menolak dengan alasan kalau tadi siang gue sudah menikmati beberapa teguk lambrusco di Mossery.

Keluar dari parkiran, mobil gue nggak langsung melaju ke arah apartemen. Gue mampir sebentar ke Pasific Place Mall yang jaraknya nggak nyampe lima menit dari Bottega. Bahkan malam begini dengan jalanan yang kosong, semenit juga nyampe. Gue udah kayak cuma pindah tempat parkir doang.

Selain karena gue perlu menunaikan sholat isya terlebih dahulu dan di Pasific Place ada mushola yang cukup luas di lantai duanya. Gue berencana membelikan hadiah untuk Sheina apabila dia nanti di perbolehkan untuk pulang.

Gue mulai memiliki tekad untuk memperbaiki diri gue sendiri sebelum gue memperbaiki hubungan dengan orang-orang di sekitar gue. Nggak akan pernah ada yang baik-baik aja kalau diri gue sendiri masih rusak dan berantakan.

Selesai sholat, gue selalu muter-muter sebentar dan berakhir bingung mau beli apa karena nggak tahu barang yang Sheina suka atau barang yanb sedang dia  butuhkan. Membelikan mobil baru untuk Sheina kayaknya bukan solusi meski mobil lamanya memang rusak, padahal gue melewati luxury cars showroom beberapa kali. Apalagi sejenis Ferrari atau Lamborghini, bisa-bisa gue ditampar kanan-kiri sama bokap.

Nggak tahu kenapa, bokap kayaknya nggak pernah beli mobil sport, atau mobil kebanyakan orang tertarik untuk mengoleksinya. Sheina juga pasti di larang membawa mobil sendiri setelah kejadian ini.

Akhirnya gue memutuskan untuk membelikan Sheina gadget dan tablet baru. Mengingat tabletnya yang berada di dalam mobil juga rusak, dan handphonenya agak tergores layarnya. Berkat Mbak-Mbak Digimap yang ramah, gue dipilihkan warna handphone dan aksesorisnya yang cantik-cantik saat mengatakan itu hadiah buat adek perempuan gue.

Melewati beberapa toko brand-brand fashion dan tas ketika berjalan menuju tempat parkir, gue berpikiran untuk membelikan Shafira hadiah juga. Ucapan terima kasih karena dia sudah mau gue repotkan perihal Sheina. Akhirnya kaki gue mampir di salah satu store-nya. Mudah untuk menebak warna-warna apa yang disukai Shafira. Warna-warna gelap dan basic seperti hitam, putih, coklat, abu, atau warna-warna pastel.

Shafira tidak suka dan pasti akan menolak, namun gue tahu cara agar dia tidak bisa menolaknya.

__________

To be continued.

Let's see, kalau 1500 komen tercapai. Hari ini aku double update sama nanti malam. 🔥🔥

Make the Qur'an as the main reading.

Continue Reading

You'll Also Like

2.3M 193K 35
Lentera Hati - Series keempat Lentera Universe Romansa - Spiritual - Militer "Dejavu paling berat adalah bertemu seseorang yang mirip dengan dia tapi...
360K 19.1K 34
"Namanya Iliyas Abrisam. Dia suami kamu sekarang." "Mama bercanda?! Kapan Diba nikahnya?!" *** Adiba Larasati itu cewek nolep. Kerjaannya hanya mengu...
869K 47.6K 143
Dari Berbagai Sumber.
182 58 11
Singkat saja cerita ini mengisahkan tentang seorang gadis cantik yang menjalani kehidupannya dengan penuh lika-liku, ujian, dan rintangan, baik dari...