SETELAH gue meninggalkan sisa lambrusco di botolnya dan membayar, gue memutuskan untuk benar-benar pulang ke apartemen, beristirahat sejenak dari segala penat yang gue alami akhir-akhir ini. Namun entah kenapa ponsel gue nggak ada henti-hentinya berdering memunculkan notifikasi. Seolah tidak ada jeda barang semenit untuk tubuh gue berbaring di tempat tidur.
Waktu gue cek, ternyata kali ini isinya bukan tentang pekerjaan atau pesan spam dari Sheina. Melainkan grup Truppen yang berisi gue, Vian, Dipta, dan Gema yang tengah heboh karena informasi baru yang baru mereka tahu kalau Vian memutuskan menjadi mualaf dan resmi memeluk agama Islam beberapa hari yang lalu.
Mereka antara speechless dan senang-tidak senang akan hal tersebut. Senang karena pada akhirnya di grup tersebut muslim semua, tidak menyenangkan saat Vian mungkin tidak seasik dulu untuk diajak nongkrong.
Dipta:
Welcome, Bro! Selamat ibadah lima kali sehari. Nggak ada ibadah Minggu lagi. Eh, di Islam hari Ahad ya bilangnya?
Gema:
Gimana sih lo, duluan Islam kok malah nanya balik.
Vian:
Thanks a million, guys. Ahad club sekarang gue. Baru ngamalin rukun Islam yang pertama, udah pengen langsung yang ke lima aja nih.
Dipta:
Anj*r, kecepetan Ian. Udah mau jadi Pak Haji aja lo. Eh, astagfirullah kasar gue. Nggak boleh ya.
Gema:
Patut di rayakan nih. Momen langkanya Si Ian. Seumur hidup sekali soalnya. Yuk, mau di bar mana?
Atha:
Gila lo! Baru log in jangan diajak buat dosa. Baru juga di nol-kan catatan amalnya. Udah mau bikin catatan baru aja.
Dipta:
Nggak tahu tuh, harus memberikan contoh yang baik buat saudara seiman baru kita, Gem. HAHAHA
Gema:
Ya udah Bottega gimana? Bentar, yang bersangkutan bisa di ajak nggak?
Vian:
Oke Bottega aja. Kebetulan deket nih gue. Entar gue yang traktir.
Dipta:
Alhamdulillah.
Gema:
Alhamdulillah (2).
Vian:
Sepanjang gue masuk grup ini, baru pertama lo berdua pake ketikan Alhamdulillah.
Atha:
Gue aja yang traktir, mualaf berhak mendapatkan santunan.
Gema:
Hahaha... eh, tapi bener juga, Tha.
Dipta:
Ini konsepnya gimana? Konglomerat menyantuni konglomerat.
Gue nggak lagi menyimak pembicaraan mereka setelah itu. Gue bergegas mengambil wudhu sekaligus berganti pakaian untuk menunaikan sholat magrib terlebih dahulu sebelum berangkat, karena jarak dari apartemen gue ke Bottega agak lumayan jauh sebenarnya. Kalau gue nggak salah tempat itu tutupnya cuma sampe jam 22.00.
Tubuh memang capek. Gue sama sekali belum istirahat setelah balik dari Jepang, hanya sehari menemani Sheina di rumah sakit hingga menginap, besoknya gue langsung Bandung. Namun meski berusaha untuk tidur, mata gue nggak akan bisa terpejam sama sekali dan itu benar-benar sangat menyiksa. Mana gue belum makan apapun dari tadi siang.
Tiga puluh menit kemudian, gue sudah menjadi orang kedua yang berada di tempat. Vian paling pertama datang ke sana, katanya dia ada pekerjaan yang selesai nggak jauh dari tempat itu dan baru saja. Padahal gue sering ketemu Vian, enggak tahu kenapa wajahnya jadi mendadak adem. Bahkan, dia mengucapkan salam pertama ketika gue datang.
Hal yang gue ingat ketika melihat Vian, langsung tentang permintaan maaf karena nggak bisa hadir Sabtu kemarin. Padahal saat itu, mungkin dia benar-benar lagi butuh support dari teman.
"Iann..." Gue memeluknya seolah udah lama banget nggak ketemu. Dia malah merasa jijik dengan tingkah gue dan berusaha melepaskan diri.
"Sorry banget, gue nggak bisa mendampingi lo Sabtu lalu. Lo boleh protes ke Pak Jo deh. Every decision you've made, i'm sure it is for the best."
"Apaan sih, Tha? Lebay banget lo," setelah berhasil terlepas dari pelukan gue.
"Gue seneng dan terharu banget, sumpah. Waktu denger lo beneran mau meluk Islam dari Abyan. Itu keputusan yang lebih berat dari memilih calon istri. Memilih Tuhan," Vian tertawa mendengar gue mengatakan itu.
Selang beberapa menit dari kedatangan gue. Gema dan Dipta datang bersamaan. Suasana ramai seketika. Mereka heboh karena penasaran akan bagaimana akhirnya Vian memutuskan menjadi mualaf. Tentu mereka berdua sama sekali nggak tahu soal perempuan berhijab yang Vian temui di museum karena kasus laptopnya yang hilang, Vian hanya menceritakan hal tersebut ke gue.
Namun Abyan juga sudah menegaskan, bukan hal tersebut yang membuatnya memutuskan berpindah agama. Mungkin Vian memang menemukan jalannya sendiri untuk memilih pindah agama. Malam itu adalah makan malam yang singkat, dengan obrolan paling dalam yang pernah kami lakukan.
Meski singkat, hanya berlangsung satu jam setengah—karena Vian ada janji belajar baca tulis Al-Qur'an bareng Abyan setelah isya—kami langsung pulang saat acara makan-makan selesai, dan gue benar-benar mentraktir mereka makan di sana. Gema dan Dipta ngajak lanjut ke bar, gue menolak dengan alasan kalau tadi siang gue sudah menikmati beberapa teguk lambrusco di Mossery.
Keluar dari parkiran, mobil gue nggak langsung melaju ke arah apartemen. Gue mampir sebentar ke Pasific Place Mall yang jaraknya nggak nyampe lima menit dari Bottega. Bahkan malam begini dengan jalanan yang kosong, semenit juga nyampe. Gue udah kayak cuma pindah tempat parkir doang.
Selain karena gue perlu menunaikan sholat isya terlebih dahulu dan di Pasific Place ada mushola yang cukup luas di lantai duanya. Gue berencana membelikan hadiah untuk Sheina apabila dia nanti di perbolehkan untuk pulang.
Gue mulai memiliki tekad untuk memperbaiki diri gue sendiri sebelum gue memperbaiki hubungan dengan orang-orang di sekitar gue. Nggak akan pernah ada yang baik-baik aja kalau diri gue sendiri masih rusak dan berantakan.
Selesai sholat, gue selalu muter-muter sebentar dan berakhir bingung mau beli apa karena nggak tahu barang yang Sheina suka atau barang yanb sedang dia butuhkan. Membelikan mobil baru untuk Sheina kayaknya bukan solusi meski mobil lamanya memang rusak, padahal gue melewati luxury cars showroom beberapa kali. Apalagi sejenis Ferrari atau Lamborghini, bisa-bisa gue ditampar kanan-kiri sama bokap.
Nggak tahu kenapa, bokap kayaknya nggak pernah beli mobil sport, atau mobil kebanyakan orang tertarik untuk mengoleksinya. Sheina juga pasti di larang membawa mobil sendiri setelah kejadian ini.
Akhirnya gue memutuskan untuk membelikan Sheina gadget dan tablet baru. Mengingat tabletnya yang berada di dalam mobil juga rusak, dan handphonenya agak tergores layarnya. Berkat Mbak-Mbak Digimap yang ramah, gue dipilihkan warna handphone dan aksesorisnya yang cantik-cantik saat mengatakan itu hadiah buat adek perempuan gue.
Melewati beberapa toko brand-brand fashion dan tas ketika berjalan menuju tempat parkir, gue berpikiran untuk membelikan Shafira hadiah juga. Ucapan terima kasih karena dia sudah mau gue repotkan perihal Sheina. Akhirnya kaki gue mampir di salah satu store-nya. Mudah untuk menebak warna-warna apa yang disukai Shafira. Warna-warna gelap dan basic seperti hitam, putih, coklat, abu, atau warna-warna pastel.
Shafira tidak suka dan pasti akan menolak, namun gue tahu cara agar dia tidak bisa menolaknya.
__________
To be continued.
Let's see, kalau 1500 komen tercapai. Hari ini aku double update sama nanti malam. 🔥🔥
Make the Qur'an as the main reading.