"Alamatnya bener di sini, Can?" Tanya Donita.
"Dari alamat yang dikasih mbak Zizi, iya sih, bu."
"Sepi banget, kayak nggak ada kehidupan. Ini mah, kalo ada maling, nggak bakal ada orang tau! Liat aja rumahnya introvet gini. Sendirian doang, padahal yang lain pada mepet." Komentar Donita, begitu tiba di sebuah komplek perumahan yang asri, dan sangat sepi.
Bagaimana tidak, rumah di depannya ini memang masuk dalam komplek perumahan. Tapi, hanya rumah ini yang berjarak jauh dari rumah lainnya. Dan, hanya rumah bercat hijau tosca ini, yang diapit oleh sawah.
"Tau gitu, tadi bawa mercon aja kita, bu! Biar rame!" Saran Cantika.
"Yang ada, kita ditangkap polisi gara-gara bikin keributan, Can." balas Donita.
"Tapi kan, ibu punya temen polisi! Lagian nggak lucu aja, kalo emang masuk penjara, gara-gara ngidupin petasan. Nggak sebanding sama malunya."
"Tapi Can, masa iya, rumahnya yang ini? Pak Tian ini padahal asetnya kan, banyak. Tapi, rumahnya biasa aja untuk ukuran orang yang punya semuanya."
Keduanya tidak segera keluar dari mobil, dan masih sibuk memperhatikan sekitar.
"Berarti, pak Tian ini orangnya sederhana, bu. Nggak neko-neko! Kalo kata orang mah, merakyat."
"Ya udah, ayo turun Can." ajak Donita.
Cantika menurut, lalu ikut keluar dari mobil.
"Menurut kamu, penampilan saya gimana? Masih ok, kan?" Tanya Donita.
Cantika mengacungkan jempolnya. "Cuma satu kurangnya, bu."
"Apa?" Donita sedikit panik.
"Bu Donita belum ada suami."
Donita memukul lengan Cantika pelan. "Ada-ada aja kamu, tuh!"
"Tapi kan, bener bu! Nggak bosen jomblo mulu, bu? Saya aja bosen ngeliat ibu kemana-mana sendirian mulu! Masa kalah sama saya, yang sebulan nggak ada gandengan langsung cari yang baru."
Mulut Donita berdecak. "Diem kamu! Komentar mulu! Mana nggak penting lagi komentarnya."
Donita mendekati pagar tinggi di depannya tersebut, lalu memencet bel yang ada di samping pagar.
"Kok, nggak ada yang bukain pintu ya, Can?" Tanya Donita yang tampak celingukan mencari seseorang di dalam rumah tersebut.
"Mana saya tau. Kan, rumahnya bukan punya saya." jawab Cantika.
Ada perasaan ingin marah mendengar ucapan asistennya itu, tapi Donita mengabaikannya. "Coba kamu panggil, Can. Kali aja ada yang nyaut."
"Manggil siapa?"
"Pemadam kebakaran! Masih nanya lagi! Panggil yang punya rumah, lah!"
"Dih, dipanggil pake bel aja, nggak ada yang nyaut. Apalagi dipanggil biasa?"
"Ya udah sana, coba pencet bel rumahnya lagi."
Cantika menurut, dan memencet bel rumah yang ada. Namun, tidak seperti yang dilakukan Donita. Wanita itu justru memencet bel rumah tersebut berkali-kali, tanpa jeda.
"Heh! Nggak sopan banget kamu, mencet bel kayak gitu!" Tegur Donita.
"Ya lagian, gerbang rumahnya nggak buru-buru dibukain! Ngapain coba di dalem? Semedi? Kan, nggak mungkin!"
"Ya tapi, nggak gitu juga!"
"Ya udah, bu Donita aja yang pencet bel kalo gitu."
"Kamu nih, kalo disuruh selalu aja ngebantah."
"Bukannya ngebantah, tapi-"
Suara gerbang terbuka sedikit, hanya seukuran untuk satu orang saja. Kedua wanita itu segera menghentikan perdebatan mereka, dan menoleh kepada seorang laki-laki yang memakai hoodie biru tosca, kacamata bulat, juga celana jeans selutut.
Dalam hati, Donita merasa ragu. Benarkah laki-laki di depannya ini berusia 41 tahun? Dan mempunyai seorang putri berusia 15 tahun? Melihat penampilannya, yang tidak seperti seorang ayah, dan laki-laki dewasa pada umumnya, membuat Donita tidak percaya.
"Cari siapa?"
Donita berdeham, merasa tertangkap basah, karena telah membicarakan laki-laki itu, walaupun dalam hati. Saat melihat Tian sendiri yang ternyata membuka gerbang rumahnya. "Selamat pagi. Dengan bapak Tian?" Tanyanya memastikan.
Tian mengangguk, dan melihat kedua wanita di depannya dengan pandangan menilai.
Tangan Donita terulur. "Perkenalkan bapak, nama saya Donita."
"Tian." jawab Tian, sembari membalas uluran tangan Donita. "Ada apa kesini? Penting, nggak?"
'Dih, songong amat!' batin Donita. Namun, wanita itu mencoba menguasai dirinya. "Emm ... begini, pak. Tujuan saya kesini. Ini ... terkait dengan lahan-" jelas Donita hati-hati.
"Oh, masalah nggak penting! Kalo gitu, silahkan kalian pulang aja! Saya lagi nggak mood buat terima tamu! Selamat pagi!"
Donita dan Cantika terdiam sejenak, tidak menyangka dengan sambutan Tian, yang tidak ramah. Begitu sadar, pintu gerbang di depannya itu sudah kembali tertutup.
"Lah, kok ditutup? Pak? Bapak Tian? Pak? Pak?" Donita berseru memanggil si pemilik rumah.
Wanita itu berdecak kesal, ketika Tian benar-benar menutup gerbang rumahnya, dan tidak kembali. "Gimana nih, Can?"
Cantika mengedikkan bahunya, pertanda tidak tau. "Jangan nanya saya, bu. Kan, ibu yang punya urusan."
"Kamu nih! Nggak ada effort sama sekali, kalo kerja!"
"Bukan nggak ada effort, bu. Tapi kan, ngapain juga kita kerja terlalu ngotot, kalo gajinya juga nggak pernah naik? Maaf aja ya, bu. Tapi, saya nggak mau jadi budak korporat, yang kerja, kerja, kerja, terus tipes! Kerja mah, sesuai porsi aja! Lagian, kalo saya ntar mati, karena kecapekan kerja, ibu pasti langsung cari orang lain buat gantiin saya! Nggak mungkin, masih inget sama saya!"
Mata Donita menatap tajam. "Saya potong gaji kamu, biar tau rasanya kerja sesuai porsi!" Ancamnya.
"Tuh kan, kebiasaan deh ibu. Padahal kan, tadi bu Donita sendiri, yang minta saya buat nyetirin kesini, bukan buat ikutan ngomong sama pak Tian. Katanya, pas rapat kemarin, ibu sendiri yang mau ngebujuk pak Tian? Kenapa sekarang, saya harus ikutan ngomong? Kan, ibu bayar saya buat jadi asisten bu Donita, bukan buat ikutan ngebujuk pak Tian."
Dengusan kesal keluar dari bibir Donita. "Ya udah, kita balik ke kantor aja!"
"Nggak pulang aja, bu?"
"Saya tau isi otak kamu! Belum waktunya buat kamu pulang! Ini masih jam kantor!"
Cantika mengerucutkan bibirnya.
"Biasa aja itu mulutnya! Nggak usah kayak bebek gitu! Gaji minta naik, kerjanya nggak seberapa! Mau makan gaji buta?"
"Namanya juga usaha, bu! Siapa tau, ibu peka! Saya kan, butuh duit buat nafkahin bujang-bujang kesayangan saya!" Jawab Cantika.
"Korea teruuuussss!" Cibir Donita.
"Biarin! Daripada bu Donita? Jomblo! Lagian, idol yang saya suka bukan orang Korea, tapi orang Kanada! Namanya aja, Mark! Wlee.." Balas Cantika menjulurkan lidahnya, mengejek Donita.
"Untung aja, bos kamu kayak saya! Coba kamu begitu sama orang lain, udah pasti dipecat!"
"Makanya saya berani sama bu Donita!"
"Udah ah, ayo balik ke kantor! Darah tinggi saya lama-lama ngadepin kamu!"
"Sabar, bu."
"Kamu mah enak cuma ngomong doang! Saya yang pusing!"
"Ya udah, maaf. Sini, saya cium tangan dulu."
Secara tiba-tiba, Cantika meraih tangan Donita, dan mencium punggung tangan wanita yang menjadi bos-nya itu.
Kelakuan Cantika yang seperti ini, tentu saja membuat Donita hanya tertawa kecil, karena merasa lucu. Inilah yang membuat Cantika spesial dimata Donita. Wanita muda yang sudah 2 tahun bekerja dengannya itu memang terkadang bersikap seenaknya, dan tengil. Namun, dibalik itu semua, Cantika adalah sosok yang selalu bisa menghibur Donita, dengan semua tingkah konyolnya.
Bahkan Donita merasa kesepian, jika Cantika tidak masuk kerja, ketika sedang ijin, karena sakit.
"Perlu sungkem juga nggak, bu?" Tanya Cantika.
"Ya udah, silahkan. Yang penting kamu nggak malu!" Donita mengikuti permainan.
"Enggak deh, hehehe. Ayo pulang!"
"Ke kantor! Siapa yang nyuruh pulang?"
Cantika kembali meringis. "Masih inget aja, harus balik ke kantor."
"Jelaslah! Saya nggak males kayak kamu!" Donita masuk terlebih dahulu ke dalam mobil.
"Saya juga nggak males kali bu. Cuma, kadang suka mager aja!" Ucap Cantika, begitu masuk, dan mulai menghidupkan mesin mobil.
"Sama aja!"
Tian hanya memperhatikan dalam diam, begitu mobil yang ditumpangi kedua wanita yang dia tolak secara mentah-mentah tadi, sudah pergi dari depan rumahnya. "Awas aja, kalo sampe balik lagi kesini, pasti aku kerjain! Gangguin orang aja!" Gumamnya.
"Heran banget sama orang-orang. Padahal kan, banyak tuh lahan-lahan kosong. Kenapa juga, harus selalu gangguin lahan kosong punyaku? Toh, aku juga sanggup bayar pajaknya! Kurang kerjaan banget nih, orang-orang nggak jelas! Kayaknya mesti pindah rumah lagi, deh. Biar nggak digangguin orang-orang modelan mereka! Tapi, si Yafa pasti ngambek, kalo diajak pindah lagi untuk yang keempat kalinya."
Dengan kasar, Tian menutup gorden rumahnya, lalu pergi begitu saja dari ruang tamu.
***