Happy Reading!
.
.
.
"Monsieur, istri anda sudah sadarkan diri, anda bisa menemuinya di ruang ICU." Seorang suster datang dari lorong rumah sakit.
Matthew sontak mendongakkan kepalanya. Ia tersenyum lebar, akhirnya istrinya bangun juga. Matthew berdiri, ia segera mengikuti sang suster dari belakang. Matthew tiba di depan pintu kaca yang buram. Jantungnya berdegup kencang. Sang suster membuka pintu kaca tersebut.
Dari balik pintu, terlihat jelas sebuah ranjang dengan seorang wanita yang terbaring lemah di atasnya. Matanya sayu, wajahnya masih pucat. Ia baru sadar dari koma pasca operasi caesar. Wanita itu mengalami pendarahan hebat sebelum melahirkan. Ia terjatuh saat sedang hendak pergi ke dapur. Air ketubannya pecah, bercampur dengan darah segar. Ia terpaksa menjalankan operasi caesar sebulan sebelum seharusnya bayinya lahir. Dan di sinilah ia, terkulai lama tak berdaya.
Matthew mendekati istrinya, sembari ia mengusap-usap kepalanya, Matthew berbicara pelan di dekat telinga wanita itu, "Kana, kau sudah baik-baik saja?"
Wanita yang dipanggil Kana itu mengedipkan kedua matanya pelan, sebagai ganti jawaban 'iya'.
Matthew tersenyum hangat melihat responnya. Istrinya sudah sadarkan diri, setidaknya ia selamat. Namun terlintas lagi di kepalanya tentang putrinya yang sedang menjalani operasi. Sejak awal tiba di rumah sakit, dokter memang sudah bilang bahwa harus ada salah satu yang siap dikorbankan, antara ibu atau anaknya. Kana sudah siap menyerahkan nyawanya demi anak yang berada di dalam perutnya, namun Matthew menolak mentah-mentah, ia bersikeras untuk tetap membuat keduanya selamat. Sang dokter yang tidak bisa apa-apa hanya mampu mengangguk, dan berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan kedua pasiennya. Dan akhirnya dijalankanlah operasi itu, yang membuat keduanya justru sama-sama berada di ambang kematian.
Matthew menggenggam tangan Kama dengan lembut nan halus. Ia menyalurkan kehangatan lewat telapak tangannya ke tangan Kana yang pucat dingin.
"Anak kita, bagaimana?" Kana berusaha sebisa mungkin untuk mengeluarkan suara. Matthew hanya tersenyum.
"Dia selamat, Kana. Dia selamat." Matthew berbicara dengan nada bahagia.
Ucapan Matthew membuat Kana tersenyum lebar walaupun terlihat tipis. Wajah pucatnya samar-samar mulai merona, terpancar sinar bahagia dari wajahnya. Hal itu sudah cukup untuk membangkitkan semangat Kana. Angka vital di elektrokardiograf-nya meningkat, kondisinya seketika mulai membaik.
Sedangkan di ruangan lain, seseorang merasa seakan jantungnya berhenti berdetak. Jiwanya seakan ditarik keluar dari tubuhnya. Ia terduduk lemas, tak sanggup mendengar kabar yang baru saja ia terima.
***
Seisi lorong rumah sakit mendadak hening. Di sana sudah ramai terisi keluarga Triegor, baik Mayor Minor, dan Alkaero. Mike berlutut tak percaya. Saking lemasnya, Mike sampai tak sanggup lagi untuk gemetaran.
Baron dan Belle hanya bisa mengusap wajah. Begitu pula Jay. Ia tidak tega menatap sahabatnya menangis tergugu tanpa suara. Mike memukul-mukul dadanya dengan keras. Suara pukulan itu terdengar menggema di lorong rumah sakit. Dada Mike sesak bukan main. Oksigen serasa habis, ia seakan tenggelam di laut dalam. Hampir separuh jiwanya hancur, menghilang. Putri bungsunya telah lenyap, tak lagi bisa bernapas, bahkan sebelum ia bisa melihat dunia dengan jelas.
Yang Mike pikirkan hanya satu. Bagaimana perasaan Natta saat ia tahu? Akan sehancur apa hati Natta nanti? Ia yang sudah berjuang sekuat tenaga untuk melahirkan putrinya ke dunia. Natta-lah yang sudah bertarung antara hidup dan mati demi menunjukkan terangnya cahaya matahari pada putrinya. Dan sekarang bayi itu telah tiada, bahkan belum sempat diberi nama.
Baron hanya bisa memeluk Mike dengan kuat, menahan tangan Mike agar berhenti memukul dirinya sendiri.
Dengan cepat keadaan berbalik. Yang awalnya hati Mike buncah penuh dengan perasaan bahagia, sekarang semuanya runtuh tak bersisa. Perasaan sedih menyelimuti seluruh hatinya. Ia kehilangan, sangat kehilangan. Mike bahkan belum sempat menggendong kedua putrinya secara bersamaan. Hati Mike hancur sehancur-hancurnya. Namun apalah daya, sebanyak apapun air mata menetes dari matanya, sekencang apapun Mike berteriak, dan sekuat apapun ia memukuli tubuhnya, keadaan tidak akan pernah membaik. Putrinya akan tetap tiada.
Butuh sepuluh menit untuk menenangkan Mike. Matanya sembab, bengkak, merah sekali. Kondisinya menjadi kacau. Tatapannya berubah kosong, seperti tak ada harapan lagi untuk membuatnya tetap hidup.
Perkara ini tak bisa terus disembunyikan. Natta juga harus tau apa yang sedang terjadi. Seluruh keluarga Triegor bergerak, mereka melangkahkan kaki menuju ruang inap Natta.
Di sana, Natta duduk dengan selimut tebal di pangkal kakinya. Ia sedang mengayunkan pelan keranjang putri pertamanya dengan senyum hangat. Natta terlihat bahagia, tenang sekali. Demi mendengar suara pintu yang terbuka, Natta menolehkan pandangan. Ia melihat Mike dan yang lain berdiri di ambang pintu. Natta tersenyum lebar. Namun senyumnya langsung luntur begitu melihat raut wajah Mike.
"Apa yang terjadi, Mike?" Natta bertanya dengan lembut.
Mike tidak menjawab. Ia terdiam, menatap Natta dengan tatapan kosong. Tapi Natta tahu ada yang salah dengan suaminya.
"Baron, apa yang sedang terjadi? Kenapa Mike jadi begitu? Belle, Kara, kenapa kalian seperti habis menangis?" Natta mengerutkan keningnya. Situasi ini membingungkan.
Baron hendak menjawab, ia sudah bersiap mengeluarkan suara. Tapi tiba-tiba Mike berjalan maju, ia berdiri tepat di samping bangsal istrinya. Dengan halus Mike meraih tangan Natta. Ia elus tangan putih nan lentik itu dengan lembut. Hangat sekali rasanya. Mike merasakan perasaan hangat menyalur ke lubuk hatinya. Kehangatan itu melembutkan hati Mike, menenangkan pikirannya pelan-pelan. Natta hanya mampu menatap suaminya dengan bingung.
"Natta..." Mike memanggil nama Natta.
Natta tidak menjawab, ia masih diam.
"Aku mencintaimu, sangat mencintaimu. Bahkan lebih dari siapapun di dunia ini." Mike berkata lirih dengan suara serak.
Ucapan Mike membuat Natta semakin kebingungan. Perasaannya menjadi tidak enak. Natta menduga-duga apa yang sedang terjadi kala ia sendirian di sini tadi.
"Maafkan aku, sungguh maafkan aku..." Mike kembali menangis. Lututnya melemas, Mike jatuh berlutut di samping bangsal Natta.
Tidak perlu banyak bicara, tidak perlu banyak kata. Cukup dengan apa yang baru saja Mike ucapkan, Natta sudah paham. Semua orang pikir Natta akan bereaksi panik, berteriak histeris. Namun justru sebaliknya, Natta justru diam tak bersuara. Semuanya menatap Natta dengan prihatin. Ternyata Natta begitu sabar, ia bisa menerima apa yang sedang terjadi.
Tapi semua itu salah. Sedetik kemudian, Natta memejamkan matanya. Badannya seketika lemas, pegangan tangannya dengan Mike terlepas.
Natta jatuh pingsan.
***
Matthew menggendong seorang bayi perempuan di tangannya dengan lembut. Hati-hati sekali ia gendong bayi itu. Seutas senyum merekah di bibir Matthew. Perasaan bahagia terpancar dari mata abu-abunya. Bayi yang sekarang ia gendong adalah putrinya sekarang, putrinya. Ia angkat tinggi-tinggi bayi perempuan itu. Matthew tersenyum lebar.
"Thalia, Thalia Minareen."
Dengan lantang Matthew menyebut nama bayi perempuan itu. Matthew sudah memberi nama. Thalia, ialah bayi perempuan Matthew sekarang.
Ribuan kali Matthew mengecup kening Thalia. Ia belai kepala Thalia dengan penuh kasih sayang.
Inilah putrinya. Jantung putrinya berhasil terselamatkan. Jantung itu berdetak dengan normal. Matthew mendekatkan telinganya ke dada Thalia. Ia dengar detak demi detak suara yang muncul dari jantung Thalia.
Keadaan Matthew dengan cepat berbalik. Ia yang awalnya panik akan kehilangan dua orang yang ia sayang, sekarang Matthew tak perlu lagi khawatir. Keduanya selamat, ia bisa hidup bahagia.
***
Mike menunduk. Ia mainkan jemarinya dengan penuh kekhawatiran. Wajahnya cemas menatap Natta yang masih memejamkan matanya. Sudah enam jam Natta tidak sadarkan diri. Mike mengusap wajah frustasi.
Oh, Tuhan. Adilkah seperti ini? Natta sudah berjuang mati-matian, namun inikah yang ia dapatkan? Apa kesalahan yang pernah kuperbuat di masa lalu hingga menjadi seperti ini?
Mike terus mengeluh di dalam hati. Perasaannya berkecamuk, kacau tak menentu. Mike menjambak rambutnya entah untuk yang keberapa kali. Dan tepat begitu Mike melepas genggamannya dari rambut, Natta membuka matanya. Mike berseru tertahan, ia langsung mendekat ke wajah istrinya.
"Natta, kau sudah sadar? Kau tidak apa-apa?"
Natta mengerjap-ngerjapkan matanya. Bola matanya menatap sekeliling dengan seksama. Natta langsung bangun, ia mendudukkan tubuhnya di atas bangsal.
"Mike, anak-anak kemana? Mereka sudah sarapan?" Natta bertanya panik.
Mike terdiam. Apa maksudnya? Hari sudah malam, Fort dan Mier masih tidur di rumah. Hanya ada Mike dan Natta di rumah sakit sekarang.
"Mike, aku di mana? Kenapa kita ada di rumah sakit? Siapa yang sakit? Aku?" Natta berseru kebingungan.
Mike mengerutkan keningnya. "Kamu... Kamu tidak ingat?"
"Ingat apa? Apa ada yang baru saja terjadi?" Dengan polos Natta justru bertanya balik.
Persis kalimat Natta selesai, terdengar tangisan seorang bayi di ruangan itu. Suaranya melengking kencang memekakkan telinga. Natta sontak menoleh, ia menatap bayi di keranjang di sebelah kirinya. Natta tersenyum lebar.
"Bayi siapa ini? Aduh, jangan menangis, sayang. Di mana ibumu?" Natta berkata lembut.
Untuk kedua kalinya di hari ini, jantung Mike lagi-lagi dibuat berhenti berdetak. Cukup sudah kejadian hari ini. Mike kehilangan banyak hal, banyak sekali. Air matanya dibuat jatuh lagi. Dada Mike sesak lagi.
Bayi perempuan dengan bulu mata panjang yang lentik, menangis kencang mencari susu, menangis karena kosong perutnya. Bayi itu, bayi perempuan yang sedang Natta dekap dalam pelukannya adalah darah dagingnya sendiri. Bayi yang sempat selamat, bayi yang kehilangan saudari kembarnya.
Jelas sudah kesimpulan pada hari ini. Putrinya mengalami gagal jantung. Operasi transplantasi jantungnya gagal, bayi itu meninggal. Dan sekarang, Natta kehilangan ingatannya. Cukup, ini lebih dari cukup. Dunia sedang bercanda, film komedi sedang diputar.
Mike menangis sejadi-jadinya di lantai rumah sakit. Hancur sudah seluruh hatinya. Sedangkan Natta, ia masih sibuk menenangkan bayi 'orang lain'.
***
Mama meneteskan air matanya tiba-tiba. Pistol di tangannya jatuh ke lantai gedung kosong ini. Bulir-bulir air semakin deras mengucur dari pelupuk matanya. Mama menangis tanpa suara.
Ayah tertawa kencang tiba-tiba. Ia tertawa terbahak-bahak, sampai memegangi perutnya karena sakit.
"Kau baru ingat, heh? Kau baru ingat? Ini anakmu, Thalia! Thalia Minareen yang kau banggakan!" Ayah berseru kencang.
"Jantung putriku ada di dada kiri putrimu, Mike. Jantung, JANTUNGNYA!" Matthew berseru galak.
"Kau pikir sudah berapa lama jantung putriku menemani hidup Thalia, heh? Anakmu selamat berkat itu! Kau tahu betapa bahagianya aku begitu menggendong anakmu? Jika saja jantung putriku tidak berada di sana, tak sudi aku menggendong bayi lemah itu!" Ayah menghardik Mama dan Papa.
Hatiku terpukul dengan kata-kata Ayah. Jadi selama ini aku hidup dengan nyawa orang lain? Dengan nyawa sepupuku sendiri? Bahkan sebelum aku bisa mengerjapkan mata, aku sudah membunuh, merenggut nyawa seseorang.
Dadaku sakit, sesak bukan main. Tenggorokanku perih, mataku panas. Aku meremat dada kiriku. Kurasakan sayatan bekas luka di sana. Ternyata itu luka jahitan, tempat dimana jantung sepupuku sendiri diletakkan di sana. Sakit, nyeri betul rasanya. Aku ingin menangis, tapi tak sanggup. Aku hanya bisa diam, berdiri lemas di belakang Ayah.
"Aku benar-benar bahagia hidup bersama keluargaku meski Thalia bukan putri kandungku. Aku bersumpah akan menutupi semua fakta dari Kana. Hingga akhirnya Kana mengetahuinya sendiri, entah dari mana dan dari siapa. Lantas Kana memberikan Thalia kepada kalian, yang aku pun tidak tahu ia mengenal kalian dari mana. Seketika hidupku hancur, semuanya menghilang dari hidupku. Hanya perihal satu anak perempuan yang tak bisa apa-apa, semuanya terenggut dari hidupku!"
Kalimat yang Ayah lontarkan betul-betul menyakiti hatiku. Sebegitu tak berharganya kah aku di mata Ayah? Hanya karena keegoisan yang ia miliki, aku menjadi begitu rendah di hadapan semua orang. Air mataku benar-benar jatuh sekarang.
Tak ada yang bisa kulakukan. Bahkan semua orang di lantai dua ini hanya bisa menangis tanpa suara. Secara diam-diam Laureen bergerak menuju Paman Baron, awalnya tidak ketahuan oleh Ayah, namun akhirnya ketahuan juga. Dengan sigap Ayah mengambil pistol dari balik bajunya, ia todong pistol itu ke arah Paman Baron. Papa langsung bergerak menutupi Paman Baron dan Laureen. Ia menggeleng tegas, menahan gerakan Ayah.
"Matthew, tenanglah, kita selesaikan semua ini baik-baik. Thalia, kemari, jangan takut." Papa berusaha membujuk Ayah dan Aku.
Aku menggeleng ragu-ragu, aku takut sekali. Dua langkah di depanku ada Ayah yang menggenggam erat pistolnya. Boleh jadi saat aku berjalan, Ayah justru menembakkan pelurunya padaku. Tapi Papa justru mengangguk, ia meyakinkanku agar berjalan ke arahnya. Aku menggigit bibir, lalu memilih untuk melangkah.
Kuangkat kakiku dengan pelan. Berat sekali rasanya, gravitasi bumi seakan menarikku dua kali lebih kuat. Tapi begitu aku sudah melangkah sejajar dengan Ayah, tangan Ayah langsung menangkap leherku. Aku tersentak, kehilangan keseimbangan. Ayah menangkap badanku, lalu mencekik leherku dengan lengannya. Ia menempelkan mulut pistol ke kepalaku.
"THALIA!" Papa spontan berteriak. Semuanya berseru panik memanggil namaku.
Aku memejamkan mata. Sudah belasan kali aku ditodong pistol oleh orang-orang, namun tak pernah sekalipun aku merasa setakut ini. Aku benar-benar tidak percaya apa yang Ayah lakukan padaku. Seumur hidupku aku tidak pernah menyangka hal ini akan terjadi. Kupikir Ayah adalah pelindungku di garda terdepan. Namun nyatanya salah, ia bahkan sedang bersiap untuk membunuhku sekarang.
"Kau ingin putrimu ini, Mike? Ambil, ambillah! Ambil hidup-hidup kalau kau bisa!" Ayah membentak Papa. Suaranya menggelegar, membuat tubuhku gemetaran.
"Matthew, tolong jangan bunuh jiwaku untuk kedua kalinya..." Papa menggeleng kencang. Ia memohon untuk tetap membiarkanku hidup.
Mama berdiri gemetaran di belakang Papa. Air matanya mengalir deras, tak sanggup melihat kejadian di hadapannya.
Ayah tertawa keras. Bagai monster yang bangun dari tidurnya, ia tertawa ganas, seolah berhasil mendapatkan mangsa terbesarnya.
Ayah menarik pelatuk pistol, bersiap memuntahkan peluru, yang sepersekian detik kemudian akan menembus kepalaku.
Ini bukan Ayah, ini bukan Ayahku...
"MATTHEW!"
Dor!!
.
.
.
To be continued