Hai!!!
Ada yang nungguin Jeffrian nggak nih? Enjoooyy~
Sebelumnya gue udah pernah bilang kan, kalau semua love language tuh diborong semua sama Jeffrian Purnama. Saking paket lengkapnya, ada masa di mana gue udah salting parah dan nggak mau ketemu dia seharian. Jeffrian yang suka banget quality time jelas udah acak-acak seisi apartemen. Padahal gue nggak lagi marah, cuma salting aja!
Begitupun waktu gue tertangkap basah setelah mengirim email terakhir gue ke Jeffrian. Gue rasanya udah mau ambil kunci motor dan balik ke kos, tapi dia justru narik gue ke sofa dan peluk gue erat banget sampai sesek.
"Jeff lepaaas! Aku mau pulaangg!"
Jeffrian di belakang gue menggeleng-geleng sambil terus mengeluarkan suara tawa berat itu dari mulutnya. "Nggak boleh pulaaang, kamu lucu bangeett!"
Setelah puas menggoyang badan gue ke kanan dan ke kiri selama 2 menit, Jeffrian akhirnya berhenti—tapi tetap merangkul bahu gue erat.
"Jadi pengirim email yang namanya Caramel itu kamu?"
Gue hanya bisa mengangguk sambil menutup muka gue malu.
Jeffrian ketawa lagi "Hahaha lucu banget," dia menurunkan tangan gue yang menutupi muka "makasih ya, emailnya. Dapet ide dari mana?"
Menghela napas, gue mengedikkan bahu. Memang semuanya terjadi natural aja. Gue aslinya cuma mencari cara buat menyatakan perasaan dan interest gue secara anonim aja. Dan email jadi salah satu pilihan terbaik karena gue bisa dengan mudah membuat akun baru.
"Kamu tau?" gue menyandarkan badan di kepala sofa, sambil terus menatap Jeffrian "waktu pertama kamu balas email aku, aku berharap banget semua cerita kita bisa dimulai hari itu juga. Tapi setelah email-email berikutnya nggak pernah kamu balas, aku sadar aku bukan siapa-siapa kamu."
Jeffrian terdiam mendengar penuturan gue.
"Boleh aku tau nggak, kenapa emailku nggak pernah kamu balas?"
Jeffrian bergeming.
Jujur, gue bukan lagi ngajak berantem dan cari-cari masalah. Pertanyaan yang keluar dari mulut gue ini pure karena gue penasaran aja. Ada ratusan email yang terkirim beberapa tahun terakhir, dan hanya sekitar 1% yang mendapat balasan cowok itu.
"Kalau boleh jujur," Jeffrian berdeham "aku cuma baca sekilas aja semua email kamu yang nggak aku balas. Waktu itu aku pernah balas waktu bersih-bersih mail box, dan itu saat aku mulai bacain semua email yang belum pernah terbaca." Cowok gue itu lagi-lagi berdeham pelan "Alasan lainnya, waktu itu aku masih pacaran sama Angie. Nggak enak juga sama dia."
Gue mengangguk-angguk. Alasan yang logis, banget. Toh kalau di posisi Angie dan liat email dari cewek lain without professional context juga gue ngamuk.
"Mira jangan marah..."
Gue menggeleng, dan kemudian tersenyum.
"Aku nanya gitu bukan buat cari masalah, Jeffrian. Lagian, what you did was reasonable. Aku juga sadar kok aku bukan siapa-siapa kamu waktu itu."
Gue mengusap rambut Jeffrian pelan, dan kemudian bergumam pelan "Aku sayang banget sama kamu."
"Me too."
Malam itu, gue lega karena sudah mengungkap dan nggak perlu khawatir lagi akan segala per-email-an di masa lalu itu. Sayangnya, gue punya firasat kuat akan ada tantangan baru yang akan datang nggak lama setelah ini.
<><><><><>
"Jeff!"
Jeffrian yang lagi ngobrol asik itu kemudian menoleh ke arah gue, dan tersenyum.
"Hai, Dirga."
Dirga ikut menyapa. Lama rasanya gue nggak melihat sosok bersejarah di antara hubungan gue dan Jeffrian ini. Anaknya memang sibuk banget lomba, sih. Sebelas dua belas lah sama Jeffrian.
"Mau makan di mana?"
"Jam segini bakso yang deket apartemen kamu udah buka belom ya?"
"Kalau dihitung sama macet di jalan nanti, harusnya udah."
"Dirga ikut juga?"
"Boleh, deh."
Dan akhirnya, kita bertiga berakhir di salah satu warung bakso yang enak banget ini. Jeffrian masih asik banget ngobrol sama Dirga. Biasa, masalah web development BEM sama lomba mereka berdua. Dan gue—yang nggak ngerti apa-apa tentang itu—cuma memakan bakso di mangkok gue dengan tenang. Toh gue juga bukan orang yang suka makan sambil ngobrol.
"Proposal lomba kita udah di-acc Prof. Laksmono, Jeff. Tinggal upgrade beberapa fitur aja dari prototype kemarin. Request-an beliau soalnya ngebet banget kita menang."
Jeffrian mengangguk-angguk. "Betewe, lo udah kasih tau Mira?"
Mendengar nama gue disebut, gue sontak menoleh pada kedua cowok itu. "Ada apaan?"
"Itu—"
"Ehm." Jeffrian sontak langsung memotong, sambil melempar tatapan penuh arti pada Dirga. Jujur, ini membuat gue sedikit bingung dan penasaran.
"Aku sama Dirga—sama beberapa anak tim juga—mau ikut lomba." Gue baru saja akan memberikan ucapan semangat sebelum Jeffrian melanjutkan "di Inggris."
Pemberitahuan itu sejujurnya membungkam gue sejenak.
"Kalau kita berhasil dapat top 5, ada kemungkinan project ini bakal diambil sama investor luar dan kerennya masih bawa nama tim kita yang udah kerja keras banget." Jeffrian mengaduk-aduk gelas berisi es jeruk nya dengan sedotan "Lomba nya 5 hari, ditambah perjalanan mungkin jadi 6 hari."
Oke, wow. Inggris bukan tempat yang bisa gue datangi dengan sekadar naik angkot, dan walaupun 6 hari bukan waktu yang lama, itu bukan waktu yang sebentar juga. Secara, gue adalah sosok pacar yang cukup manja dan kangenan.
Salah satu persoalan yang cukup mengganggu pemikiran gue adalah dengan adanya perbedaan waktu antara Inggris dan Indonesia yang cukup jauh. Tentu, komunikasi kita berdua nggak akan selancar biasanya selama Jeffrian di Inggris.
"Berangkat kapan?"
"2 minggu lagi."
Gue menghitung kalender di dalam otak gue. Damn, ulang tahun gue.
Jeffrian menggenggam tangan gue erat. "Aku tau tanggalnya nggak enak banget, tapi ini impian aku dan tim dari lama. Nggak papa, ya?"
Gue mengangguk dan tersenyum cerah—meskipun keliatan sedikit memaksa. "Nggak papaaa. Semangat kalian."
Hah... Giliran udah ada pacar malah ngerayain ultah sendirian lagi.
<><><><><>
To be continued...
Halooo semuanyaa, sebelumnya maaf bangeet kalo udah buat menunggu lamaa (walaupun kayaknya gaada yang menunggu). Jadiii, setelah menimbang-nimbang, kayaknya aku akan berusaha lanjutin Best Part ini dengan alur yang aku percepat karena takut feel-nya keburu ilang huhuhuuu. Anywayyy! Have a great day! Ditunggu next part yang pasti akan lebih spicy ;)