Hari ini Gloria harus datang ke sekolah karena suatu hal. Dengan tangan cekatan memoles wajah dengan sedikit liptint dan bedak baby, Gloria berkicau ria. Ia mengeluarkan semua isi kepalanya.
Semalam, setelah keluar dari ICU, perutnya sakit kedatangan tamu. Oleh karena itu, Gloria meminta Sam membelikan pembalut dan kiranti. Alih-alih membeli pembalut biasa, yang dibeli malah yang berharga mahal.
"Kalo dipikir-pikir, mana mungkin itu manusia bisa beli barang bagus kayak gitu? Gue aja nggak pernah beli pembalut ini karena mahal. Apa Sam nyari di internet? Ok, bisa jadi."
Hari ini, Gloria berencana melakukan misi kemanusiaan yang amat penting bagi seseorang. Tanpa berlama-lama ia segera turun ke bawah sembari menjinjing tasnya. Meski di luar mendung, itu seakan tidak berpengaruh padanya.
Saat bertemu Sam di meja makan, keduanya saling menatap serius lalu tiba-tiba tergelak. Menyadari bahwa mereka sedang dalam kondisi yang sama. Penuh semangat walau dilandasi rasa bingung yang kentara.
"Sam, gue bingung. Kok lo bisa beli pembalut sama kiranti buat gue?" tanya Gloria sambil berkaca di layar ponsel.
"Kan lo yang suruh, Maemunah!"
Gloria menatap datar. "Maksud gue, kenapa lo tau merknya, Bambang!" dengusnya.
"Emang kenapa? Gue udah keren banget padahal."
"Lo nggak mungkin nanya sama orang, secara lo kan anti-asking sama orang kecuali sama gue."
Sam yang sedang menyendok nasi goreng menatap sang gebetan dengan perasaan dongkol. Masih bagus dibelikan, masih saja ditanya-tanya. Berharap ucapan terima kasih penuh cinta pada Gloria memang sama seperti berharap bintang jatuh di siang hari. Susah.
Ia kembali teringat kekonyolan yang dibuat semalam. Baru pertama kali Sam mempermalukan diri di depan seorang gadis cantik demi pembalut dan botol minuman pesanan kekasihnya itu.
"Gue semalam kayak orang bodoh tau nggak? Berdiri di depan rak yang dipenuhi pembalut hampir setengah jam saking bingungnya lo pake yang mana, sampai akhirnya terpaksa gue nyetop cewek buat nanya. Ya Tuhan, betapa malunya," ratap Sam dramatis.
Gloria tergelak. "Lo sampai rela nyetop cewek? Salut gue!" ledek Gloria.
Untung saja yang berbicara di depannya adalah pujaan hati yang sangat Sam cintai. Kalau tidak, segelas susu hangat akan membasahi wajah dan seragamnya. Secinta apapun Sam pada Gloria, rasa kesalnya seringkali membara.
Tak jarang mereka bertengkar karena hal sepele, lalu tiba-tiba sudah gelendotan manja bak anak TK. Akan tetapi, bagi Sam, inilah gaya pacaran yang dia inginkan. Bukan leyeh-leyeh seperti anak baru gede. Sampai memiliki nama panggilan ayah bunda. Sam geli akan hal seperti itu.
"Oh iya, gue cuma bisa nganterin lo doang. Entar pulangnya pake taksi, ya? Kalo mau ke rumah sakit kasih tau dulu, biar gue nyusul," kata Sam masih dengan wajah berkerut.
Ah, gadis itu baru sadar kalau Sam tidak mengenakan seragam. Pasti harus ke kantor karena disuruh ayahnya mewakili perusahaan. Calon mertuanya cukup kejam. Berani mengambil resiko dengan meminta Sam menghadiri rapat-rapat penting tanpa pengawasan.
Maklum orang kaya. Lagipula, kemampuan tanpa pengalaman sama saja penipuan. Sam harus memiliki jam terbang yang tinggi. Otaknya yang kadang pintar kadang hilang itu harus sering-sering diajak berpikir kritis secara cepat dan tepat.
"Iya, nggak apa-apa. Wajah lo biasa aja kali," jawab Gloria santai.
"Nggak enak sama lo, apalagi sama Athena." Sam meneguk susu sekali.
"Nanti gue pergi sama Gabriel aja."
Prutt!
Oh, tidak!
Hujan susu tersembur begitu saja dari mulut Sam. Untung tidak mengenai makanan. Namun, tetap saja beberapa tetes muncrat ke seragam Gloria.
"Sam, lo jorok!" pekik Gloria kesal.
Mata Sam menatap sang gebetan dengan tatapan kesal. Enak saja pergi dengan Gabriel. Dikira ia mengizinkan apa?
Seolah mengetahui isi pikiran Sam, Gloria menepuk bahu kirinya dengan ekspresi bangga. "I'm a genius girl! Nggak ada pacar yang bisa jemput, maka kawannya jadi sasaran," ujarnya dengan wajah songong. "Ayo, cepetan. Gue harus segera sampe di sekolah buat bikin perhitungan sama manusia-manusia kurang sopan itu!"
Semalam, ia sudah menceritakan semua pada Sam dan juga Alana. Sebagai satu-satunya sahabat yang tak terima Athena diperlakukan seperti itu, Gloria akan mengadakan unjuk rasa pada kepala sekolah mereka yang jauh dari kata bijaksana.
Pesan berantai sudah dikirimkan ke semua murid angkatannya. Isinya, memanas-manasi dan mengungkit-ungkit kebaikan Athena, sehingga yang semula malas ikut pun mendadak terpacu semangatnya akibat rasa tidak enak pada Athena.
Ada sekitar seratus orang setuju melakukan unjuk rasa. Gloria berhasil mengajak mereka untuk melakukan 'sengketa' keadilan. Kalau bisa, Gloria akan membuat sang kepala sekolah turun tahta.
Tak ada yang bisa menentang keinginannya. Alana hanya bisa berdiam diri sembari meminta sang putri berhati-hati. Sam yang awalnya heboh akhirnya sadar diri. Keinginan Gloria tidak akan bisa diganggu gugat apabila itu menyangkut Athena.
Maka pagi ini, meski khawatir kekasihnya menjadi pemimpin unjuk rasa minimalis, Sam tetap mengantar Gloria. Ia rada menyesal harus pergi rapat mewakili perusahaan. Ingin membatalkan, tapi Sam tahu masa depan dirinya harus cerah agar diizinkan menikah dengan Gloria.
"Gue janji bakal baik-baik aja. Lo harus tenang dan rapat dengan nyaman. Jangan khawatirin gue," ujar Gloria sambil menepuk pundak Sam kuat-kuat.
"Masalahnya, gue khawatir, Markonah!" keluh Sam.
"Ya udah, ingat ini baik-baik pas mulai nggak fokus. Gue ogah hidup miskin sama lo! Jadi, tolong berjuang buat kaya raya tanpa bantuan full dari bokap lo!" ucap Gloria menggebu-gebu.
Gloria melambai sekali, lalu berlari masuk ke pekarangan sekolah. Ia segera menemukan massa yang tergerak karena hati nuraninya, mungkin. Gadis itu berdiri di depan mereka, menyampaikan rasa terima kasih dengan suara bergetar.
Tanpa membuang waktu lebih lama, Gloria mengarahkan pasukannya menuju ruang kepala sekolah. Mereka akan menyuarakan protes atas ketidakadilan pada Athena. Mengeluarkan seorang siswa dengan alasan dibuat-buat membuat kepala sekolah terlihat konyol.
Apalagi posisinya Athena adalah seorang korban. Andai dia melakukan kesalahan pun prestasi yang pernah diberikan untuk sekolah bisa dijadikan pertimbangan. Menganakemaskan Claire, sama saja dengan mencari malapetaka dengan Gloria, macan betina yang tak takut pada apapun.
"BAPAK KEPALA SEKOLAH, KITA MINTA KEADILAN ANDA SEBAGAI PEMIMPIN SMA MERDEKA!" teriak Gloria memecah kesunyian.
Mereka berteriak lebih keras lagi mengikuti kata-kata Gloria. Beberapa kali menggetarkan SMA Merdeka dengan teriakan seratus siswa, akhirnya pintu ruang kepala sekolah terbuka lebar. Wajah kepala sekolah terlihat berang bagai beruang yang diganggu masa hibernasinya.
"Ada apa ini? Kenapa kalian ribut-ribut? Ini minggu tenang, harusnya kalian manfaatkan waktu sebelum pembagian raport!" kata kepala sekolah emosi.
"Kita mau minta keadilan Bapak yang nggak adil sama Athena!" jawab Gloria lantang.
"Kamu, Gloria! Apa-apaan ini? Apa semua belum jelas? Keputusan sudah saya buat dan tidak bisa diganggu gugat."
"Seratus pasang mata di sini jadi saksi Athena nggak salah. Kalo Bapak tetep keukeuh, kita bakalan ngadain sengketa. Saya bakalan bikin Bapak turun tahta!" ancam gadis itu ngawur.
Menghadapi kemarahan gadis itu serta pertentangan yang dilakukan oleh siswa sebanyak ini, kepala sekolah dibuat pusing. Seumur-umur menjadi pimpinan sekolah, baru kali ini ia menghadapi unjuk rasa siswa atas keputusannya.
Tiba-tiba seseorang keluar dari ruang tahta tertinggi SMA Merdeka. Mata Gloria membesar saat melihat pria yang telah membuat hidup Athena berantakan bagai gelas dijatuhkan dari lantai dua masih santai melenggang di sekolahnya.
Padahal Athena sedang terbaring di rumah sakit. Bertahan di ujung tombak antara hidup dan mati. Dia malah enak-enakan di sini. Gloria naik pitam. "Dasar dugong nggak punya hati nurani!" geramnya.
Emosinya meledak lebih besar karena melihat Hardian. Jika bisa divisualisasikan, maka api tengah memancar dari setiap bagian dari tubuh Gloria. Ia benar-benar marah. Tak pernah rasanya emosinya meluap sebesar ini karena seseorang. Baru sekarang, Gloria memperlihatkan kemarahannya.
"KALIAN LIAT? BAPAK KEPALA SEKOLAH NGGAK MAU NGASIH KEADILAN! BAHKAN DIA BERSEKONGKOL SAMA PRIA DARI TANAH JAHANNAM ITU! DARIPADA KITA DIBIKIN NAIK DARAH TERUS TERJADI PENUAAN LEBIH CEPAT, MENDING KITA GERAK! GUE NGGAK MAU JADI NENEK-NENEK! AYO, KITA OBRAK-ABRIK SEKOLAH INI!" perintah Gloria dengan tatapan benci.
Semua berseru setuju. Setiap kata yang keluar dari mulut Gloria membakar semangat mereka hingga semakin menyala. Mereka tahu siapa pria yang Gloria maksud. Gosip menyebar dengan cepat dan itu lebih dari cukup untuk tertular virus kebencian Gloria.
Saat mereka bergerak, kepala buru-buru menahan dengan wajah panik. "Tunggu, tunggu! Kalian ini kenapa malah mengancam saya?"
Matanya melotot antara takut dan juga bingung. Ia tidak tahu harus berbuat apa agar Gloria berhenti mengajak teman-temannya melakukan unjuk rasa.
"Terus Bapak pikir saya peduli?" Gloria semakin berapi-api. "Kebijaksanaan dan keadilan dari Bapak nol besar buat sahabat saya yang nggak bersalah! Saat Bapak menutup mata dan telinga dari itu semua, kenapa saya harus mendengar Bapak?! Katakanlah saya kurang ajar, tapi Bapak lebih jahat dari manusia manapun!"
Gloria tahu betul, kalau menggerakkan massa kepala sekolah tak bisa melakukan apapun. Belum tentu mereka akan mendengar jika diberikan hukuman, sedangkan mengeluarkan siswa sebanyak ini hanya akan merusak reputasi sekolah.
Media massa pasti akan meliput. Lalu, alasan pengeluaran akan menjadi berita besar. Mana mungkin Gloria dan teman-temannya menahan diri untuk tidak berkata jujur apa adanya. Bahkan, kalau bisa ditambah bumbu penyedap agar lebih 'nendang' ceritanya.
Lalu, apa kata orang di luar sana jika tahu penyebab dikeluarkannya seratus siswa dari sekolahnya? Kepala sekolah yang tidak kompeten serta mudah dipengaruhi orang itu pasti bisa berpikir sampai ke sana.
"Gloria, tolong pengertiannya!" Kepala sekolah dibuat kelabakan sekarang. "Saya tidak bisa mengubah keputusan karena ini semua atas dasar permintaan Pak Hardian!"
"Oh, jadi ini semua kerjaan Anda?!" sinis Gloria sambil menatap Hardian. "Bener-bener nggak tau malu, ya? Athena selalu diem aja selama anak kesayangan Anda itu nyakitin dia. Kalo bukan karena saya dan El yang balas Claire, mungkin Athena selalu babak belur tiap hari!"
Gloria merasa emosional sekali. Dadanya sesak antara ingin menangis dan emosi. Andai ada bunga di dekat mereka, pasti akan Gloria lempar dengan senang hati. Sekalian potnya juga terbang melayang menebus kebencian yang Gloria rasakan sekarang.
"Anda juga lupa, Athena hampir mati karena nyelametin Anda. Apa nggak ada sedikit aja rasa peduli sebagai seorang ayah walaupun nggak pantas buat Athena sebut ayah?" Gloria terus herbicara.
Hardian tersentak. Putrinya tengah berada di rumah sakit setelah menyelamatkan dirinya dari kecelakaan. Ia ingin menjenguk Athena. Sayang sekali kerjaan kantor terus menumpuk. Kondisi kaki Claire yang masih terluka juga membuat dirinya tak bisa meninggalkan rumah terlalu lama.
"Saya minta maaf, tapi ... gimana keadaan Athena?" Hardian menatap gugup.
"Dia nggak selamat!"
Jawaban Gloria mengejutkan semua orang. Hening seketika menguasai atmosfer di sekitar mereka.
Hardian sendiri terkesiap. Apa benar Athena sudah pergi? Menyerah pada dunia? Athena meninggal karena menyelamatkan dirinya?
"Nggak, saya becanda. Athena masih belum siuman." Gloria melihat wajah Hardian kembali lega. "Cuma segitu reaksinya? Wah, saya bingung apa benar Anda ini papanya? Eh, malah kebablasan. Masa seorang papa tega ninggalin anaknya, terus balik-balik malah nambah nyakitin. Aneh!"
"Saya ingin menjenguk Athena, tapi kaki Claire masih sakit. Nggak bisa ditinggal terlalu lama. Claire butuh saya," kata Hardian.
Gloria mengangguk sekali. "Iya, Claire butuh Anda. Athena punya kami semua. Kehadiran Anda bukannya membantu, yang ada malah bikin kondisi Athena makin parah. Udah paling bener nggak usah dijenguk," ucapnya pedas.
Pasukan yang dibawa Gloria kembali berteriak meminta keadilan. Kepala sekolah harus mencabut kembali keputusan Athena dikeluarkan dan menghukum Claire sebagai gantinya.
Saat Hardian mengangkat tangan, semua mendadak diam. Gloria mengangkat alis sebelah, menunggu kalimat yang hendak diucapkan.
"Pak, saya batalkan permintaan mengeluarkan Athena dari sekolah!" ucap Hardian tegas.
"Tapi, Pak, suratnya udah saya buat," sanggah kepala sekolah tak terima.
Giliran surat pengeluaran saja cepat. Coba kalau dimintai proposal pengeluaran dana untuk acara tertentu, pasti lama sekali urusannya. Gloria melirik tajam pada kedua pria parlente itu. Ia janji akan merusak semua fasilitas sekolah kalau Athena tetap dikeluarkan.
Seorang Gloria bisa lebih kejam dan lebih liar daripada Claire kalau keinginan baiknya tidak terpenuhi. Meskipun Athena bisa melakukannya sendiri, tapi sahabatnya takut untuk emosi. Athena akan berubah menjadi orang lain saat marah, itu kata Alana.
"Batalkan saja. Athena juga putri saya!" ulang Hardian lebih tegas.
"Baik, Pak."
Wajah kepala sekolah terlihat lega dan bingung di saat bersamaan. Dengan begitu, Gloria akan menarik pasukannya, dan tidak perlu mengeluarkan dana besar untuk memperbaiki kerusakan fasilitas sekolah.
Mendengar semua itu, siswa di belakang Gloria bersorak gembira. Tak sia-sia rasanya hadir memenuhi permintaan Gloria. Rasanya menyenangkan bisa membela salah satu kawan mereka. Terlebih, ini unjuk rasa internal pertama yang terjadi di SMA Merdeka.
Gloria menatap dua pria dewasa itu dengan sorot marah. Rupanya Claire tetap tidak dihukum. Baiklah, selama kesalahannya masih bisa diingat dengan jelas, Gloria sendiri yang akan menghukum gadis itu dengan kedua tangan mulusnya.
Meski setengah dari permintaan dikabulkan, bukan berarti dia bisa berpuas hati. Masih ada tugas sebagai sahabat sejati yang harus dipenuhi.
Sebelum pergi, Gloria memiringkan kepala dan tersenyum meremehkan. "Terima kasih sudah memenuhi permintaan kami, Pak Hardian. Itu bukan berarti Athena, saya, dan semuanya bisa maafin Anda. Saya nggak berharap, tapi akan mengatakan dengan setegas-tegasnya sebagai satu-satunya sahabat yang Athena punya. Jangan pernah ketemu sama Athena lagi, selamanya kalau bisa!" kecam Gloria.
Gloria pergi dengan wajah puas. Lega rasanya bisa mempermalukan Hardian. Mengaku-ngaku sebagai papa, tapi bersikap layaknya orang asing yang memiliki dendam lama. Apapun itu, Gloria bangga karena unjuk rasanya berhasil. Menghujat Hardian adalah bonus. Hasilnya sangat 'mulus' dan sesuai dengan ekspektasi.
"Gebetan Sam memang kece badai, dah!" gumamnya sambil mengibas rambut.