City || Suna Rintarou

By Erukani_mitsu

67 22 1

Saat ia tetap dipaksa bangun untuk menikmati nasi goreng yang sudah tersaji, Suna tahu hari itu akan berjalan... More

Intro

Kesemua Bintang yang Meledak Bersama Senyummu

33 11 1
By Erukani_mitsu


Suna mengerjap, ia kemudian membuka mata, yang ia lihat hanya gelap. Kemudian ia mengerjap lagi, dan membuka mata, masih gelap. Lalu ia mengerjap, dan membuka matanya lagi, kali ini ia melihat setitik cahaya di depannya. Kemudian perlahan dan perlahan, setitik itu tumbuh menjadi serumpunan cahaya, dan sebelum Suna sadari, di sekelilingnya sudah ramai penjual, pembeli, wisatawan, dan keramaian yang membuat sesuatu dalam dada Suna membuncah-ruah. Sesuatu, Suna merasa bingung tapi ia nyaman dengan rasa bingung itu.

Ia merasa tempat ini familiar. Suna menghirup nafas, kemudian merasai aroma yang menyergap masuk hingga ke paru-parunya. Ah, aroma ini. Pikir Suna ia sudah enggan lagi merasai aroma ini.

Kakinya melangkah maju, berjalan pelan melewati pedagang-pedagang dan wisatawan, di antara keramaian dan gemerlap terang cahaya dari lampu-lampu toko dan eperan. Netranya berkeliling memandang-mandangi, kapan terakhir kali ia melihat ini semua ia sudah lupa. Di tengah hiruk pikuk keramaian orang yang mengelilinginya, Suna mendadak terdiam. Netranya terpaku pada sepasang insan yang saling tertawa di tengah dua orang itu. Suna tahu, Suna tahu siapa mereka, tahu kelewat tahu. Bahkan Suna tahu kemana mereka akan pergi setelah ini. Kakinya kemudian mengejar dua insan yang masih saling tertawa melanjutkan perjalanan itu, ia mengejar, mengejar dan mengejar, namun ia kemudian terhenti sekali lagi kala merasai kakinya tak menapaki datar.

Suna terjatuh. Kemudian gelap. Ia tidak bisa melihat apa-apa.

.

.

Kesemua Bintang yang Meledak Bersama Senyummu.
Pairing: Suna Rintarou x reader
story © Erukani_mitsu
Haikyuu!! © Haruichi Furudate
Wcs: 2009 words.

Tw: Hw, Death, Blood, angst, hurt.

|

Tarikan nafas Suna terdengar begitu sengsara, ia kedinginan, matanya menatap sekitar, di kamarnya. Ah, mimpi yang sama lagi.

Ia termenung sebentar sebelum kepalanya menoleh melihat bajunya yang basah kuyup seperti orang baru saja pulang kehujanan. Suna mendesah tipis sebelum turun dari kasurnya dan memutuskan untuk mandi kemudian berangkat latihan.

Suatu ketika, Komori pernah bertanya padanya, apa Suna tahu bagaimana rasanya jatuh cinta?

"Tahu." Jawab Suna saat itu. Rasanya begitu indah, memabukkan, membuat Suna terlena setengah mati, namun juga memuakkan. Suna, jauh di lubuk hatinya sangat hafal mampus bagaimana rasanya jatuh cinta. Namun dikuburnya rasa itu, berusaha sudah disapunya rasa-rasa sial sisa cintanya setelah semua masa yang berlalu. Nyatanya, setiap kali ia tanpa sengaja merenung, Suna kembali terkurung.

Satu orang. Suna pernah merasa ribuan kali jatuh cinta. Tapi hanya di satu orang yang sama. Kalau hatinya diibaratkan sebagai kapal, maka, kapal itu akan selalu bertambat di dermaga yang sama. Sampai kapanpun. Helaian (h/c) yang lembut dan aroma manis buah dan vanilla yang menguar setiap kali Suna menyugar jemarinya di antara helai itu masih Suna ingat hingga sekarang. Bagaimana ia akan mendengkur kecil ketika Suna selalu melakukan itu di pengujung hari kala keduanya kelelahan setelah bertempur seharian dengan tugas-tugas kuliah yang amit-amit.

Lalu, esoknya Suna akan terbangun dengan harum masakan yang mewangi di seluruh ruangan dengan dia yang masih enggan beranjak dari sofa sejak semalam. Lalu, lalu, Suna akan mendengar suara selembut debur ombak yang biasa ia kunjungi setiap selesai ujian pertengahan semester untuk menenangkan kembali pikirannya memanggilnya. Dan sentuhan itu, sentuhan yang dengan lembutnya mampu membuat Suna kepayang. Memegang lembut tangannya kemudian, bahunya berguncang, dan ia membuka mata, dan ia disambut senyum yang sangat ia cintai.

Kemudian, setelah itu, harusnya Suna akan berkata, "pagi (Name), bolehkah aku meminta lima menit lagi untuk tertidur?" yang kemudian dibalas dengan tawa yang lembutnya tak akan ada yang pernah menyaingi.

Lalu, saat ia tetap dipaksa bangun untuk menikmati nasi goreng yang sudah tersaji, Suna tahu hari itu akan berjalan begitu baik, kemudian Suna diam-diam akan menyelipkan doa-doa dan puja-puji kepada para Dewa-Dewi atau Siapapun yang ada di atas sana. Mengujarkan betapa bersyukurnya dia atas hari-hari yang ia lalui setiap hari ini, betapa berkah bisa bersama malaikat yang diwujud sedemikian indah hingga menjadi sosok yang Suna kenal sebagai (Fullname).

Kemudian, di sepanjang hari itu, Suna akan enggan pulang, memohon agar diizinkan lebih lama bermanja-manja dengan (Name) yang kemudian akan menjitak kepalanya menuntutnya untuk pergi segera sebelum Suna akan menginap dengan bodohnya lagi di sofa selama dua hari berturut-turut seperti yang sudah-sudah dan mengeluh punggungnya sakit seperti seorang kakek tua jompo. Berakhir dengan (Name) akan mengolesi minyak gosok di sepanjangan punggung lebarnya dengan mulut yang tak henti-hentinya melempar omel dan serapahan halus.

Saat itu, Suna akan tertawa. Kemudian akan berujar seribu satu maaf yang tak serius. Kemudian, ia akhirnya akan pulang, lalu saat sampai di kamar kosnya, ia akan mengeluarkan gawainya dan mengirim seribu satu pesan berisi pernyataan betapa ia sudah merindukan (Name). Yang kemudian hanya akan dibalas dengan stiker bodoh dan Suna balas juga dengan stiker bodoh. Kemudian keduanya akan mengirim voice note berisi tawa masing-masing, kemudian Suna akan mengecek grup, dan mendapati pengumuman bahwa mereka akan libur empat hari sebelum tahun baru sampai pertengahan Januari nanti. Kemudian, senyum Suna tidak akan henti-hentinya terpatri sepanjang hari.

Air mineral diteguknya, asik bernostalgia membuat Suna tanpa sadar menjalani hari sudah cepat. Tiba-tiba sudah malam, dan timnya mengakhiri latihan seperti biasa, mengucap kerja bagus satu sama lain, kemudian pelatih akan memberi tahu apa ada perkembangan atau malah kemunduran di masing-masing mereka. Lalu Suna akan pulang, seperti biasa, berbaring hampa di kasur tanpa mandi terlebih dulu, kemudian tahu-tahu terlelap begitu saja.

.
.

|

Suna kembali, ia berdiri di tengah ramai gemerlap cahaya itu, badannya terasa begitu kaku. Kemudian ia memaksakan kepalanya yang begitu berat sedang menatap langit berbintang menoleh, tangannya sedang mengelus rambut tanpa henti kepala yang bersandar di bahunya. Suna rasa, nafasnya benar-benar berhenti saat itu juga. Dia tahu dia sedang apa dan dimana dan kapan dan bagaimana dan kenapa dan mengapa. Dia sangat tahu.

Bangsat, bangsat, bangsat. Suna memaki dalam hati, ia ingin berteriak, kemudian menarik tangan orang yang masih sibuk berbicara sambil bersender di bahunya, lari sejauh-jauhnya dari tempat mereka saat ini. Tapi apa? Suna malah tersenyum tanpa henti, tangannya juga masih senantiasa mengelus lembut rambut itu. Dia tidak bisa berhenti, dia tidak bisa bergerak sesuai maunya.

Jangan, jangan, jangan. Batin Suna bergemuruh. Bangsat, kalau memang ia sedang mengalami lucid dream, bisakah tidak mengambil adegan terburuk dalam hidupnya?

Suna hafal mampus, apa yang akan terjadi setelah ini, ia betul hafal bahkan hingga ia kakek tua pikunan kelak, mungkin satu-satunya hal yang masih menempel di ingatannya nanti hanyalah momen ini.

Kemudian, Suna berteriak, walau mulutnya malah tersenyum semakin lebar bersama sosok yang berdiri di sampingnya, kemudian mulutnya membuka bersamaan tatapan yang saling beradu, hendak mengujar kata. Tapi sebelum semua itu terulang, Suna merasa ia lagi-lagi berpijak pada kehampaan dan sekeliling seketika gulita dan Suna akhirnya sadar ia sedang bermimpi. Atau barangkali hanya memutar ulang memori.

.
.

|

Lagi, Suna terbangun lagi. Di atas kasur empuknya yang belakangan tidak terasa nyaman. Kali ini yang basah bukan bajunya Suna sadari, tapi bantalnya. Barulah ia merasa perih-perih memercik di sekitar matanya. Rupa-rupanya ia menangis selama tertidur.

Memilih bodoamat, kemudian ia membuat tangannya meraih ponsel yang tergeletak dengan posisi bodoh bersandar pada kalender seolah-olah ragu untuk jatuh sepenuhnya pada permukaan nakas. Mungkin semalam ia terlalu ngantuk dan asal melempar. Saat dinyalakan, notifikasi pertama yang muncul di layar adalah libur tahun baru bagi timnya.

Oh, sudah tiba, toh?

Suna mengerjap, kemudian melihat tanggal yang tertera di ponsel. Seminggu lagi tahun baru. Wah, sudah lewat setahun sejak ia tinggal di Jepang?

Dengan kuap masih sekali-sekali muncul di parasnya, Suna kemudian beranjak turun dengan malas dari kasurnya. Berjalan sampai ke depan lemari, kemudian menggapai bagian atas lemari tanpa perlu susah-susah berjinjit, terima kasih atas tingginya yang semampai sejak dulu. Setelah mendapatkan koper dari atas lemari, ia membawanya turun, membuka lemarinya, dan mengambil beberapa baju untuk kemudian dimasukkan ke dalam koper.

Suna lelah, sudah dua tahun dihantui mimpi yang sama tanpa henti, berputar-putar bagaikan kutukan. Apa-apaan, Dewa-Dewi ini? Setelah semua segala puja-puji yang Suna berikan, mereka menjadikan bagian terburuk hidup Suna sebagai sebuah hiburan komedi? Brengsek sekali.

Mungkin, mungkin sudah saatnya ia pulang. Sudah saatnya ia berdamai atas dirinya sendiri, dan pengalaman pahit penyebab mimpi buruknya.

Secepat kerjapan mata, enam hari perjalanan menuju kota kecil tujuannya terasa begitu cepat. Suna termangu. Tahu-tahu ia sudah akan memasuki kereta sebagai transportasi akhir menuju ke kota tujuan. Suna sejujurnya kadang bertanya-tanya bagaimana bisa lamunannya membuat segalanya terasa begitu semu dan membosankan dan cepat?

Ia kemudian memasuki kereta, mendudukkan diri di bangku yang tertera sesuai karcis yang digenggamnya. Sepertinya ia akan menikmati luasnya bangku sendiri karena nampaknya orang yang seharusnya duduk di sampingnya tak kunjung muncul.

Suna menguap, matanya memandang malas di jendela sampingnya. Kereta mulai berjalan dan sekelebat memori seolah berpantulan di kaca jendela kereta yang diatatapnya.

.
.

|

Suna kembali, ah bajingan sial memang Dewa-Dewi ini. Ia masih menjadi dirinya yang lalu, yang masih tersenyum dengan bahagia, yang masih menatap penuh kasih kepada (Name) yang juga menatapnya dengan sama. Kemudian, ia merasa mulutnya membuka, bersama dengan mulut (Name). Lalu, keduanya dengan bahagia menjulur di keseluruhan tubuh tertawa dan sama-sama mengucap;

"Selamat tahun baru, semoga kita bersama selalu,"

Lalu, kembang api tahun baru akan bermekaran, bersama dengan semu rona yang menjalar di wajah (Name) atau mungkin di wajah Suna sendiri juga, namun ia tidak sadar. Lalu ia merasa hangat. Kemudian, ah sial ini dia.

Senyum Suna perlahan surut, sorot matanya berubah antara panik dan takut kemudian berusaha menghindarkan (Name) dari apa yang dilihatnya. Sedang, (Name) yang kebingungan dengan perubahan ekspresi Suna hanya akan menatapnya kebingungan sebelum sebuah besi tajam nan dingin mendarat di sisi lehernya. Dan itu dia, merah meledak di sisi wajah Suna, menyembur dengan deras, belum sempat Suna berteriak panik dan terkejut, kemudian bahunya terasa basah dengan cepat. Orang itu ternyata sempat memampirkan besi tajam itu di sisi bahu Suna yang kosong. Nyeri seketika menjulur beserta dengan jerit panik dan takut orang kesekitar, panas seketika merambati Suna, sisi tangan satunya masih menahan (Name) yang basah dengan merah yang mengalir dari luka di leher. Suna marah dan sakitnya terasa dua kali lipat. Di sekelilingnya orang-orang dengan cepat berteriak menyuruh menelpon ambulans lah, apa lah, merekam lah. Suna tidak peduli, tangannya terus menahan (Name) yang berusaha dipisahkan oleh warga darinya.

Lalu, seketika ia merasa lemas, tepat sebelum ia kembali bertemu dengan gelap, maniknya membelalak mendengar letusan kembang api di langit begitu meriah bersama dengan kurva lebar yang terbentuk di depan matanya.

.
.

|

Suna mengerjapkan matanya kala suara di pengeras berteriak-teriak berisik mengumumkan pemberhentian. Sudah sampai rupanya.

Suna menguap sebentar, meregangkan badannya yang pegal-pegal dan berbunyi tulang patah sebelum kemudian mengambil koper dan gawainya lalu bergegas turun. Seketika kepala Suna rasa-rasanya begitu sakit dipenuhi memori tanpa aba-aba, semuanya berkelebat cepat. Ia meremas rambutnya yang kini dipangkas lebih pendek dari tahun lalu.

"Ah, sial, aku tidak bawa nolakangin," cibir Suna menyadari kala ia baru ingat dia mabuk kereta.

Meskipun begitu, Suna memutuskan untuk tak acuh, kemudian lanjut berjalan cepat menggeret kopernya menuju ke tempat tujuan. Gawainya menunjukkan bahwa dua puluh menit lagi tahun sudah akan berganti dan Suna memutuskan untuk melangkah lebih cepat.

Ia kemudian mengatur nafas kala sudah sampai di tempat tujuan yang berkali-kali ia lihat di mimpinya selama beberapa waktu belakangan. Kangen sekali, rindu sekali, cinta sekali, indah sekali⎯⎯

⎯⎯ Sakit sekali.

Ia buru-buru memasuki Pasar Malioboro, tidak banyak yang berubah sejak dulu, kecuali pedagang dan wisatawan yang bertambah. Dan Suna sampai di sisi pasar yang tidak terlalu ramai, di depan penjual jajanan tradisional itu, ia kemudian menoleh, mendapati ibu penjual itu sudah semakin sepuh, mungkin sekarang sudah bisa dipanggil mbah. Suna mengambil satu bungkus mika klepon, harganya pun ternyata sama, masih dua ribu rupiah. Setelah memberikan uangnya, Suna kemudian membuka mika, belum sempat mengambil klepon, Suna dikejutkan dengan suara meledak keras membumbung di angkasa. Menelan keseluruhan bintang-bintang bersama dengan cahaya gemerlapan dan asap-asap yang tersisa setelahnya, seakan-akan kesemua bintang juga turut meledak. Tapi, pun Suna tahu, tak hanya bintang-bintang maupun segala kembang api yang meledak malam ini, bersamaan dengan lelehan air yang melesak keluar dari matanya, Suna juga meledakkan memori terakhirnya dan tersenyum kepada langit bertabur asap dan kembang api dan bintang dan bulan seakan-akan mereka semua membalas senyum Suna.

"Terima kasih, Jogja, karena tetap menyimpan senyum (Name),"

Continue Reading

You'll Also Like

655K 36.4K 125
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
482K 55K 96
tidak ada kehidupan sejak balita berusia 3,5 tahun tersebut terkurung dalam sebuah bangunan terbengkalai di belakang mension mewah yang jauh dari pus...
610K 53K 28
[Brothership] [Re-birth] Singkatnya tentang Ersya dan kehidupan keduanya. Terdengar mustahil tapi ini lah yang dialami oleh Ersya. Hidup kembali di m...
338K 29.3K 34
Lima tahun lalu, Wonwoo memutuskan sebuah keputusan paling penting sepanjang hidupnya. Dia ingin punya anak tanpa menikah. Lima tahun kemudian, Wonw...