『Ⓗ︎Ⓐ︎Ⓟ︎Ⓟ︎Ⓨ︎ Ⓡ︎Ⓔ︎Ⓐ︎Ⓓ︎Ⓘ︎Ⓝ︎Ⓖ︎』
Sinar rembulan malam bersinar terang menerangi malam. Yang menjadi saksi bisu kekerasan yang dilakukan oleh Kaiser.
Cahaya terangnya menembus masuk pada tenangnya air danau. Jauh di dalam sana, nampak sang pemilik lautan hijau itu yang berusaha untuk mencapai permukaan danau.
"Hah!"
Akhirnya kepala sang gadis muncul di atas permukaan usai bermenit-menit ia berdiam di dalam danau. Tanpa berlama lagi gadis itu berenang ke ujung danau untuk naik ke daratan.
Ia terbatuk pelan sembari mengambil posisi duduk memeluk kedua lututnya. Nampak bahunya naik turun menyesuaikan nafasnya yang tersengal. Juga punggung mungilnya yang bergetar menahan rasa dingin udara dan tubuhnya yang baru saja terjun ke danau. Bahkan bibirnya memucat karena dingin.
Detik berikutnya ia rasakan sesuatu hangat menyelimutinya, menandakan jika seseorang telah datang. Di tatapnya siapa yang datang, ternyata sosok Ran yang datang dengan jaket besarnya yang ia sengaja ia lepas untuk gadis bersurai hitam itu.
"Maaf, gue telat datang," ucap Ran duduk di sebelahnya. Ia kemudian mengelus lembut surai hitamnya yang sudah basah itu.
Sang gadis hanya terdiam dengan kepalanya yang berada di antara lekukan lututnya. Menyembunyikan wajahnya yang kini menumpahkan lautan amarahnya lewat tetesan air mata.
Ran menatapnya. Laki-laki bermanik violet itu mengerti dengan perasaannya saat ini. Maka dari itu, ia tarik tubuh gadis itu hingga jatuh pada pelukan hangatnya.
Ia benar-benar tak tahu bagaimana kronologis kejadian yang terjadi pada gadis itu. Yang ia tahu, (Name) menyuruhnya untuk pergi meninggalkannya selama beberapa menit.
Tahu-tahu gadis itu sudah basah kuyup. Entah kenapa gadis itu selalu menyembunyikan masalahnya. Orang-orang di sekitarnya tak pernah tahu tentang masalahnya.
"Nangis nangis aja. Gue tau perasaan lo yang lagi rusak gara-gara cowok itu kan?"
Di bawah sinar rembulan, kedua insan itu saling memeluk. Menyalurkan kehangatan guna menenangkan sang hawa yang kini tengah bersedih.
Lihat menit mereka habiskan untuk saling mengobrol dan memberikan motivasi pada masing-masing pihak. Membuat suasana hati sang bungsu Itoshi itu kembali baik.
"Muka lo sembab noh," ucap Ran sembari menoel hidung mancung gadis itu. Sementara sang gadis tertawa pelan dengan suara seraknya.
"Iya kan jadi jelek. Makannya gue gak suka kalau nangis terus," ujarnya sembari menyenderkan kepalanya pada bahu lebar milik Ran.
"Ran," panggil (Name).
"Yes princess?" Jawabnya yang di balas sebuah cubitan kecil di lengannya.
"Gue kalau ninggalin lo gak pa-pa?"
"Maksud lo, meninggal?" Ran berucap dengan nada bertanya dan membuatnya mendapatkan sebuah cubitan lagi di tangannya.
"Aw aw aw, sakit ih," ringisnya.
"Bukan itu bego," (Name) menjeda ucapannya. Mengangkat kepalanya dan menarik wajah laki-laki itu agar menatapnya. "Maksudnya, kalau gue ninggalin lo buat ngejar karir gue, lo sama Rindou gak pa-pa kan?"
Laki-laki bersurai dwiwarna itu terkekeh pelan hingga beberapa anak rambutnya bergerak turun. Kedua tangannya ikut memegang telapak tangan mungil gadis di depannya yang bertengger di dua sisi pipinya.
"Denger (Name). Kalau lo mau ngejar karir, kejar sampai lo ngerasa puas dengan pencapaian lo. Masalah pertemanan, percintaan, lo buang dulu jauh-jauh. Fokus sama karir lo, (Name)," jelas Ran yang membuat sang gadis menarik ujung bibirnya.
"Emang kenapa lo nanya gitu?" Ran bertanya. Melepaskan telapak tangannya dan beralih menyapu pucuk kepala gadis itu yang terdapat selembar daun.
Sang laut hijau itu terdiam. Melepaskan telapak tangannya pada pipi laki-laki itu dan kembali menyenderkan kepalanya pada bahu lebar miliknya.
"Gue mau ikut kejuaraan voli tingkat nasional. Kalau tim gue menang, tiap-tiap anggota bakalan dapet surat undangan dari organisasi ternama . Baik di dalam, maupun di luar Jepang," jelas (Name). Terselip perasaan kurang menyenangkan pada wajah Ran dikala mendengar kalimat terakhir gadis itu.
Ran mendiamkan dirinya sejenak. Mengambil nafas untuk menetralkan pikirannya yang negatif saat itu.
"(Name), ini kan karir lo. Keinginan lo, masa depan lo. Dan lo tau kan siapa yang berhak mutusin?" Telapak tangan besarnya itu menepuk-nepuk pundaknya pelan.
Kelopak mata gadis itu turun sedikit. Meninggalkan tatapan datar namun penuh rasa bimbang yang tersirat.
"Gue yang berhak. Cuman," ia menjeda ucapannya. Membuat tanda tanya muncul di benak laki-laki bermarga Haitani itu.
"Cuman?"
"Cuman gue ragu buat ninggalin orang-orang disini- kalau emang, nanti gue menang."
Ran menarik dua ujung bibirnya. "Listen to me, semuanya, yang terbaik, ada di tangan lo. Kalau memang lo yakin ini impian lo, raih. Ambil mimpi itu, jangan sampai orang lain ngeduluin lo."
Iris hijau itu membola mendengarnya. Bukankah ia harus egois bila hanya mengutamakan mimpinya saja tanpa memikirkan orang lain? Baiklah jawaban di temukan.
"Nah sekarang." Ran memposisikan kedua tangannya pada lekukan lutut bagian belakang dan juga bahu milik (Name). Mengangkatnya dan membuat gadis itu tersentak.
"Lo istirahat. Gue tau lo capek gara-gara itu Jamet Jerman. Besok-besok lo bunuh aja itu anak, ganggu hidup orang aja," ucap Ran yang mengundang tawaan gadis yang berada di dalam gendongannya itu.
Langkahnya lebar, berjalan menuju tempat motor mereka terparkir. Di bawah sinar rembulan, nampak senyuman manis, juga iris hijau laut yang bersinar memancarkan kebahagiaan.
"Thanks for tonight, Ran."
𓆸
Hari baru di pagi hari yang cerah ini dipenuhi oleh kejutan. Ingin di bilang sebuah keajaiban, tapi seorang Itoshi Sae tak percaya hal seperti itu, tapi mau bagaimana lagi. Kejadian dimana adik perempuannya yang terkenal keras kepala dan berani menolak tanpa adanya pemikiran dua kali akhirnya menerima undangan untuk berpartisipasi dalam kejuaraan voli tingkat nasional.
Entah karena apa gadis itu bisa berubah pikiran.
"BANGGG! ADEK BERANGKAT DULU!" Suara penuh semangat itu menggelegar di penjuru rumah layaknya sebuah terompet yang di tiup kencang. Membuat sang sulung dan tengah menutup telinganya.
"IYA-IYAAA! HATI-HATI DI JALAN!" jawab Sae sembari mengoleskan selai strawberry pada roti tawar miliknya.
"(Name) kenapa bang? Tumben bahagia," tanya Rin. Sang kakak mengangkat kedua bahunya, menandakan jika ia tak tahu apa-apa.
"Mana Abang tahu. Kemarin malem aja, dia balik-balik basah kuyup sambil senyum-senyum sendiri," jawab Sae sebelum memasukkan rotinya dalam sekali suap.
Sang anak tengah Itoshi itu meneguk habis susu di gelasnya. Terlihat kesusahan karena ia menelannya bersama roti yang baru saja ia telan tadi.
"Baikan sama tu Jamet Jerman?"
Sae yang saat itu tengah meneguk susu di gelasnya langsung tersedak mendengar kata 'baikan' terucap di dalam kalimat yang diucapkan sang adik.
"Hah? Matahari terbit dari mana itu dua anak baikan?"
"Terbit dari selatan bang."
Kita beralih pada sosok (Name) yang kini berjalan melewati tiap lorong untuk menemui sang pelatih. Dengan perasaan penuh semangat dan bahagia, kakinya nampak sedikit melompat-lompat.
Tatapan orang-orang yang datang pagi hari itu menatapnya dengan tatapan aneh, ada pula yang terlihat senang melihat wajahnya yang berseri itu. Terutama kaum adam.
Bahkan saat itu kakinya tersandung karena kaki seorang Kaiser yang terulur ketika dirinya lewat di depannya. Biasanya ia akan mengamuk dan membalasnya dengan pukulan. Tapi kali ini ia balas dengan senyuman manisnya pagi ini.
Hal ini membuat laki-laki dengan tato mawar biru itu tertawa pelan dan memiliki anggapan jika gadis itu gila.
"Dasar aneh," ucap Kaiser yang tak di dengar oleh gadis itu.
Namun saat itu (Name) sekilas menoleh ke belakang. Sembari mengacungkan jari tengahnya pada laki-laki bertato mawar biru itu.
Kaki jenjang miliknya kemudian berlari menuju taman belakang sekolah. Menyusuri tiap lorong-lorong ruangan hingga sebuah cahaya lurus terlihat. Menandakan jika sebentar lagi ia tiba.
Saat itu juga ia lihat siluet seorang wanita tinggi dengan rambut yang agak bergelombang tengah duduk di sebuah kursi bersama dengan sebatang rokok menemani paginya.
"Kak Aika!" Gadis bungsu Itoshi itu memanggil nama wanita itu.
Wanita dengan rambut pirang dan agak bergelombang itu menoleh ke arah sumber suara. Iris cokelat muda wanita itu menatap visual anak didiknya yang tengah berlari dengan secarik kertas di tangannya yang ia bawa.
Hal itu membuat wanita itu berdiri dari duduknya dan melempar asal batang rokok yang sebelumnya ia hisap sebagai obat stress di pikirannya.
"(Name)!"
Gadis itu melompat ke hadapan Aika dengan secarik kertas ia tunjukkan padanya. Kedua bibir dua insan bergender sejenis itu tertahan, menahan teriakan mereka.
Dua tangan mereka mengepal erat, kemudian mengangkat ke atas memukul udara.
"YOSHA!!"
Aika kini beralih merangkul leher anak didiknya itu. Mengacak-ngacak surai hitamnya karena rasa senang yang sangat ia tunggu dari jauh hari.
"Dasar monster sialan. Kenapa kau baru sekarang menyetujuinya!"
(Name) ber-hehe pelan. "Aku baru saja mendapatkan hidayah Kak. Maaf kan aku!"
Telapak tangan Aika yang masih terkepal itu ia gunakan untuk menjitak kepala milik (Name). Membuat sang empunya meringis.
"Dasar. Oh ya, ku dengar saat hari kejuaraan kau ada jadwal olimpiade. Apakah kau sanggup?" Sang pelatihnya itu menundukkan kepalanya, mensejajarkan dengan wajah gadis itu.
"Tentu. Lagipula tempatnya tak akan terlalu jauh," jawabnya.
Sang pelatihnya itu mengelus lembut pucuk kepalanya. Lalu beralih menepuk pundak gadis itu. "Waktu mu masih banyak lagi. Habiskan waktu itu untuk melatih gerakan mu, juga gerakan memukul baru bersama ku, oke?"
Gadis itu mengangguk. "Tentu. Jika perlu, latihan hingga larut, juga tolong bantu aku mengembangkan satu gerakan ku."
Bibir wanita itu tertarik, membentuk senyuman miring."Hee? Tumben sekali~"
"Entahlah Kak, kemarin malam aku baru menemukan jawabannya." Jawabannya demikian lantaran mengingat kembali perkataan Ran semalam.
"Oh iya Kak." Gadis itu kemudian duduk pada kursi panjang yang sebelum di tempati oleh Aika. Begitu juga dengannya.
"Bagiamana bila nanti aku tak bisa bermain? Atau bahkan saat nanti aku tak bisa membawa kebahagiaan yang sudah mereka dambakan itu?"
Saat itu juga Aika, pelatihnya itu bungkam mendengar pertanyaannya. Diingat kembali, bahwa kebahagiaan tak selamanya akan berpihak pada tim-nya. Atau bahkan gelar juara pertama yang selalu mereka bawa akan tetap menaungi nama mereka.
Tapi pemikiran itu Aika buang jauh-jauh. Karena ia tahu sosok di depannya ini adalah kunci kemenangan tim yang di bawanya.
"Apa-apaan ucapan mu. Kau akan bermain. Tapi mungkin diantara babak semifinal ataupun final. Ini adalah perkiraan ku." Aika memutar kepala gadis itu agar menatapnya.
"Pertandingan di bagian menjadi dua tempat. Di awal, kita melawan empat tim yang terbilang mudah. Di pertengahan, kita melawan satu tim yang tersisa sebelumnya dan hasil dari sesi lain."
"Jika memang kau ingin bermain di babak semifinal, aku memperbolehkan mu. Tapi jika kau ingin di final, tidak menjadi masalah juga."
Penjelasan panjang itu membuat satu alis gadis itu terangkat. "Kenapa aku tak dari awal?"
Sang pelatih menyimpan dagunya pada kedua tangannya yang bertumpu di atas meja. "Karena pertandingan di babak awal, bahkan semifinal akan kau anggap sebagai permainan biasa. Mana mungkin kartu as milikku bermain di saat seperti itu.
"Aku tak mau emas seperti mu membuang-buang butirannya dengan bermodalkan hembusan angin.
Sorot mata cokelat muda itu menajam. Memberikan tekanan pada atmosfir. Membuat bulu kuduk siapapun yang berada disana akan berdiri dan menegang.
"Bukan begitu, Queen?"
𓆸