Six Ways To Sunday [FIN]

By dadodados

538K 57.5K 3.9K

TAMAT & PART LENGKAP May contain some mature convos and scenes Jatuh hati sendiri: check! Patah hati sendiri... More

Six Ways To Sunday - Seroja 1.1
Six Ways To Sunday - Seroja 1.2
Six Ways To Sunday - Tetangga Sebelah Rumah 2.1
Six Ways To Sunday - Tetangga Sebelah Rumah 2.2
Six Ways To Sunday - DuGem Berak 3.1
Six Ways To Sunday - DuGem Berak 3.2
Six Ways To Sunday - Tangan Kanan Lucifer 4.1
Six Ways To Sunday - Tangan Kanan Lucifer 4.2
Six Ways To Sunday - Si Tukang Marah-marah 5.1
Six Ways To Sunday - SI Tukang Marah-marah 5.2
Six Ways To Sunday - Si Tukang Marah-marah 5.3
Six Ways To Sunday - Lio Si Cerewet 6.1
Six Ways To Sunday - Lio Si Cerewet 6.2
Six Ways To Sunday - Marahnya Jaja 7.1
Six Ways To Sunday - Marahnya Jaja 7.2
Six Ways To Sunday - Jaja & Momo 8.1
Six Ways To Sunday - Jaja & Momo 8.2
Six Ways To Sunday
Six Ways To Sunday - Jaja & Momo 8.3
Six Ways To Sunday - Intermezzo 1
Six Ways To Sunday - Jaja & Momo 8.4
Six Ways To Sunday - Sialnya Jaja 9.1
Six Ways To Sunday - 9.2 Sialnya Jaja
Six Ways To Sunday - 9.3 Sialnya Jaja
Six Ways To Sunday - 10.2 Jaja, Momo, Dan Teh
Six Ways To Sunday
Six Ways To Sunday - 11.1 Pestanya Lio Dan Ara
Six Ways To Sunday - 11.2 Pestanya Lio Dan Ara
Six Ways To Sunday - 11.3 Pestanya Lio Dan Ara
Six Ways To Sunday - Intermezzo 2 - Komiknya Jaja
Six Ways To Sunday - 11.4 Pestanya Lio Dan Ara
Six Ways To Sunday - 12.1 Alerginya Momo
Six Ways To Sunday - 12.2 Alerginya Momo
Six Ways To Sunday - 13.1 Satu Rahasia ke Rahasia Lainnya
Six Ways To Sunday - 13.2 Satu Rahasia ke Rahasia Lainnya
Six Ways To Sunday - 14.1 Duo Keriwil
Six Ways To Sunday - 14.2 Duo Keriwil
Six Ways To Sunday - 15.1 Kombinasi Jaja & Momo
Six Ways To Sunday - 16 - Perjanjian Sewaktu Kecil
Six Ways To Sunday - 17.1 Sama-Sama Madesu
Six Ways To Sunday - 17.2 Sama-Sama Madesu
Six Ways To Sunday - 17.3 Sama-Sama Madesu
Six Ways to Sunday - 18.1 Titik Balik
Six Ways to Sunday - 18.2 Titik Balik
Six Ways To Sunday - 19.1 Hati-Hati Sama Hati
Six Ways To Sunday - 19.2 Hati-Hati Sama Hati
Six Ways To Sunday - 19.3 Hati-Hati Sama Hati
Six Ways To Sunday - 19.4 Hati-Hati Sama Hati
Six Ways To Sunday - 20.1 Kencan Paksaan
Six Ways To Sunday - 20.2 Kencan Paksaan
Six Ways To Sunday - 20.3 Kencan Paksaan
Six Ways To Sunday - 21.1 Si Penggoda Ulung
Six Ways To Sunday - 21.2 Si Penggoda Ulung
Six Ways To Sunday - 22.1 There's no way I'm letting you go
EXTRA PART 2 - Wish
Six Ways To Sunday - 22.2 There's no way I'm letting you go. - TAMAT

Six Ways To Sunday - 10.1 Jaja, Momo, Dan Teh

8.5K 1.2K 81
By dadodados


Jangan lupa vote, komen dan follow akun WP ini + IG @akudadodado yaaw.
Thank you :)

🌟


Aku menyerahkan tongkat estafet ke Rei saat dia harus berangkat menjemput Liora. Aku melambai penuh dengan suka cita dengan sapu tangan di tangan kananku. Aku hampir saja menitikkan air mata karena menjaga balita yang sangat ketakutan jika ditinggal membuatku sangat kelelahan.

"Mungkin dia takut ditinggal kayak emaknya ninggalin dia." Rei berseloroh saat aku gemas Adara tidak mau melepaskan lengan gembilnya dari leherku. Tentu saja dengan bahasa inggris karena dia tidak ingin Adara paham apa yang kami bicarakan.

"Dia masih terlalu kecil untuk paham."

"Lo nggak tahu apa yang bocah-bocah ini tahu. Semua ada alasannya, Oja."

Aku menatap belakang kepala bocah dalam gendonganku yang masih menempelkan pipinya ke bahuku.

Satu jam setelah keberangkatan Rei menjemput Liora, kepalaku sudah penuh. Ponselku pun sudah membuka banyak tab berisikan artikel-artikel mengenai trauma yang dialami anak di bawah tiga tahun, bagaimana itu mempengaruhi anxiety disorder atau depresi yang muncul di saat dewasa jika tidak dilakukan perawatan. Lalu artikel lain bagaimana stres dapat memicu sakit yang lebih rentan pada anak-anak. Sementara aku sejak dulu selalu mendengar orang-orang yang mengatakan "Ah, mereka masih anak-anak. Nggak bakalan ingat." Tidak tahu bahwa apa yang kita lakukan sekarang efeknya di jangka panjang.

Bisa dibayangkan tidak umur sekecil itu harus memiliki trauma dan terus membawanya sampai dewasa sedangkan pelakunya berpikir bahwa mereka tidak melakukan hal yang salah. Orang-orang kadang terlalu fokus dengan luka fisik, tetapi lupa ada luka batin yang juga butuh tahunan untuk sembuh. Atau bahkan meninggalkan bekas yang sulit untuk disembuhkan.

Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Liora dan Adara karena ditinggalkan oleh ibunya begitu saja. Demi pria lain juga lagi.

Not that I care, tapi aku perlu mengirimkan artikel ini kepada Amos tidak, ya? Apa Liora dan Adara sudah dibawa ke psikolog anak?

Pang of guilt seeps into my bones.

Suara mobil yang berhenti di depan rumah serta pagar yang dibuka membuatku menutup seluruh pencarianku di ponsel. Membiarkan Rei mengurus semuanya sendiri, karena itu yang dilakukannya tadi padaku. Ha!

Liora keluar mobil dengan tas sekolahnya. Dia berlari ke dalam rumah yang memang pintunya sengaja kubiarkan terbuka. "Tante Jaja!" Sebelum bocah itu sempat menabrakkan tubuhnya kepadaku yang duduk di atas sofa, aku sudah mengelak hingga tubuh kecilnya jatuh ke atas sofa.

Aku memang merasa bersalah. Sedikit. Tapi bukan berarti aku mau beramah tamah dengan keturunan setan versi pocket-size ini.

"Kamu sama Rei," kataku dan langsung ngacir ke lantai dua untuk mengerjakan pesanan, tapi harus turun karena perutku protes minta diisi.

Tidak ada keributan di lantai bawah membuatku celingukan mencari tiga orang yang sedari bokongku menempel di kursi kerja, sudah menimbulkan kegaduhan. Entah Rei yang berteriak meminta Liora untuk mengganti bajunya, atau Liora dan Adara yang berebutan mainan. Aku sedikit bersyukur mendapatkan jadwal pagi meskipun itu berarti aku harus bertemu dengan Amos. Mendengar keriuhan di bawah sudah membuatku pusing. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kepala Rei mau pecah, biarpun tingkah kesabaran yang dimiliki sahabatku itu jauh lebih tebal dariku yang seperti selembar tisu.

Aku menemukan Rei menyandarkan pipinya di meja makan. Matanya tertutup dan nyawanya hanya tertahan benang tipis di ujung kepala. Aku terbahak.

"Makan tuh dua anak," ejekku. Tanganku membuka kulkas, mengeluarkan lauk untuk dipanaskan di microwave. Aroma ayam rica-rica dengan nasi hangat membuat air liurku mengalir deras. Satu suapan pertama masuk ke dalam mulut, gerutuan Rei sudah berhenti dan dilanjutkan dengan ocehan.

"Gue mau ikutin selebgram Indo yang mau child-free aja."

"Tuba falopi lo mau diikat? Apa namanya? Tubektomi?"

Ini baru. Kami tidak pernah membicarakan hal seperti anak secara panjang. Hanya sekilas seperti persetujuan kami yang tidak terlalu berbakat dengan para bayi. Aku tidak tahu perihal Rei yang memikirkan perihal child-free.

"Iya, tubektomi." Rei menggunakan tangan kirinya sebagai bantalan pipi. "Gue nggak sanggup kalau harus di rumah dan urus anak doang. Kayak apa, ya? Gue nggak punya kesabaran yang panjang. Kalau disuruh milih, gue lebih suka ding-dong yang panjang dan diameter gede."

"Makanya gue pilih jadwal pagi. Gue tahu kalau dua anak bakalan berpotensi ribut. Rebutan mainan lah, rebutan remot TV lah. Kesabaran gue lebih kecil dari gorengan abang-abang di pinggir jalan."

Rei mengangkat tangannya di udara, membentuk lingkaran dengan ujung ibu jari dan telunjuk yang menyatuh. "Kecil banget. Sekali hap langsung ludes." Ponsel Rei yang berada di sebelah kepalanya berbunyi dan dia mengerang lemah. Tangan sahabatku memiringkan ponsel agar dia dapat mengecek isinya. "Ini juga bapaknya ngapain tiap jam tanyain kabar anaknya? Emangnya bank tempat dia kerja nasabahnya dikit apa?" Jari-jari Rei bergerak di atas layar dengan tekanan penuh emosi.

"Dia kerja di bank swasta terbesar, ya kali nasabahnya dikit."

Ponsel itu kembali jatuh ke atas meja makan dengan bunyi yang nyaring. "Dia MaGaBut berarti. Makan Gaji Buta."

Suapan terakhir sudah mendarat di dalam perut, begitu juga dengan kunyahan final. "Gue mau tidur dulu. Bangun tengah malam mungkin, biar bisa kerjain pesanan ke Belanda terus ngejar shift pagi besok." Aku membilas piring dan meletakkannya ke rak pengeringan. "Enjoy your day with the kids from hell."

Mulut Rei yang komat-kamit dengan umpatan mengiringi jalanku memasuki kamar. Aku sengaja melenggok seperti model hanya untuk membuatnya semakin kesal.

Kantuk menjemputku di detik yang sama dengan kepalaku menempel di bantal dan berat comforter menimpaku. Tengah malam, saat alarmku berbunyi di pukul satu, mataku terbuka lebar. Aku mengulet untuk meregangkan oto yang kaku hanya untuk membekukan tubuh lima detik kemudian, saat tanganku merasakan sesuatu di sisi ranjang yang seharusnya kosong. Jantungku melesak ke dalam perut.

Mataku harus menyesuaikan dengan kegelapan, lantaran hanya lampu proyektor yang mengarah ke langit-lagit yang menyala; langit malam dengan warna hitam dan biru serta bintang yang berkerlap-kerlip. Kepalaku menoleh dengan perlahan kemudian terkesiap saat menemukan kepala Liora lebih dulu lalu Adara di tengah-tengah kami.

Aku berdecak dan membaca pesan dari Rei saat aku ingin mengirimkannya rentetan pesan dengan kata-kata cantik.

Rei

Bapaknya lembur. Katanya paling lama jam 12, jadi jam 10 waktu anak-anak sudah teler, gue suruh tidur di kamar lo aja. Shift lo kan jam 12 ke atas. Gue yang kerjain pesanan buat ke Belanda, lo jagain mereka aja sampai Amos jemput.

Kalau tidak ingat ada dua bocah yang tengah lelap di sebelahku, aku sudah berteriak hingga Rei dapat mendengarnya dan tertawa di atas sana. Aku harus menggigit lidah. Dua bocah ini lebih resek saat bangun.

Aku berjinjit untuk keluar kamar, menutupnya dengan pelan, dan ketika sudah berada di dapur baru aku dapat bernapas dengan lega hanya untuk tiga detik kemudian mobil berhenti tepat di depan rumahku.

So much for a quite night.

Aku membuka pintu depan saat terdengar ketukan. Pakaian Amos jauh lebih lusuh ketimbang pagi tadi.

"Sori, baru selesai bikin perencanaan buat tahun depan dan harus kasih penilaian ke beberapa orang lewat sistem." Amos mengatakannya tanpa jeda.

Aku membuka pintu lebar, membiarkan cowok itu masuk tanpa sepatah kata. "Lio dan Ara di mana?"

Kakiku membawaku ke dapur untuk lanjut membuat teh dan kopi untuk kubawa ke Rei. "Di kamar gue." Tanganku menunjuk pada pintu yang berada dekat dengan tangga. "Biarin di sini aja. Gue nggak repot juga pagi-pagi harus ke sana. Buat sarapan mereka ada di sini, Bou sudah siapin. Paling besok gue ambil baju Ara sama Lio aja." Peralatan mandi mereka juga sudah ada di dalam tas ganti. Mereka berdua berada di sini adalah opsi yang paling fisibel. Meminimalisir interaksiku dengan Amos juga.

Amos melihat jam di pergelangan tangan kemudian mengesah panjang. Ini sudah terlalu larut untuk membangunkan bocah-bocah itu. "Gue masuk, ya? Mau lihat mereka bentar."

Dia menungguku untuk mengangguk baru memasuki kamar.

Aku menunggu air mendidih untuk menuangkannya ke dua cangkir yang sudah aku siapkan. Uap mengepul dan aroma kopi milik Rei menguar. Aku menarik satu napas panjang, menghidu aroma pahit yang pekat baru menuangkan krimer ke dalam cangkir milik Rei. Sedangkan untukku, aku menambahkan madu sebagai pengganti gula.

Amos keluar saat aku tengah mengaduk kedua cangkir. "Lo sejak kapan minum kopi?" Dagunya kemudian terarah pada cangkir sebelahnya. "Itu buat gue?" tanyanya yang langsung kusambut dengan dengusan.

"PD banget lo dateng tengah malem ke rumah orang minta dijamu." Aku sengaja meminum cangkir teh milikku setelah meniupnya tiga kali.

Cowok itu memutar bola mata. Dia kemudian berdiri di sebelahku, di samping konter dapur dekat teko air panas yang masih berada di atas kompor. Cangkir teh yang baru diambil dari konter atas sudah berada di depannya.

Sama sepertiku, Amos lebih sering meminum teh dibandingkan kopi. Tapi, ya, kenapa juga dia minum teh di sini, bukan di rumahnya?

"Lo ngapain ngeteh di rumah gue?"

"Chamomile di rumah nyokap habis. Gue belum sempat belanja."

"Lo bawa aja sana sekotak-kotaknya. Balik ke alam lo, gih."

Amos tidak mengindahkan usiranku. Tangannya bekerja melipat lengan kemeja hingga ke siku dan menuangkan air panas dan ke dalam cangkir. "Gula," gumam Amos dengan mata yang mencari benda itu dan mulut yang tidak berhenti mengulangnya. "Ah, ini dia," ujarnya saat berhenti di konter paling ujung tempat bumbu dapur berada. "Nggak punya yang manis-manis buat temen ngeteh?" tanyanya tanpa tahu malu. Tangannya menambahkan tiga sendok penuh gula ke dalam gelas yang membuatku berjengit ngeri.

Amos dan sweet tooth-nya.

"Nggak tahu diri, nggak tahu malu. Lo borong semua predikat tamu tak diundang."

Namun, ocehanku tidak digubris oleh Amos yang sudah membuka kulkas dan membungkukkan badan untuk melihat ke bagian bawah. Mata suciku kini dihidangkan pemandangan bokong cowok itu yang dilapisi celana kerja. Polusi mata! Aku memutar badan dan membawa cangkir kopi untuk Rei ke atas. "Gue turun dulu, mau kunci pintu sama pagar," terangku setelah meletakkan di atas meja kerja sahabatku.

Aku benar-benar mengira kalau Amos akan menghilang begitu dia meminum teh, tetapi dia justru menikmati brownies yang siang tadi aku beli.

"Gue makan browniesnya, ya. Gue belum makan malam."

Aku melirik ke dalam kotak cokelat brownies yang seharusnya masih utuh, "Lo baru bilang setelah habisin hampir setengah? Gue perasaan cuma anter kopi Rei doang, nggak sampai tiga menit. Itu brownies lo hirup kayak udara apa gimana?"

17/4/23

Apdet lagi waktu bintang 500 dan komen 100 ya ges :D

yang mau baca cerita Jessica sudah tamat ya di judul The honeymoon Is Over (marriage life, romcom gemes). Cerita lain yang sudah tamat dan masih lengkap di WPku juga ada Every Nook and Cranny (fake dating metropop, bf to lover), Love OR Whatnot (marriage life angst), dan Rumpelgeist (romantasy)

Continue Reading

You'll Also Like

130K 12.6K 74
still [21+] mature contents Bahasa Indonesia Berawal kepulangan seorang Pewaris Besar ke tanah air. RSPV melempar gosip panas, betapa dia kakap besar...
R By run

Romance

3.4K 328 40
Machela membangun tembok yang tinggi, berusaha memukul mundur semua orang di sekitarnya. Melarikan diri dari dunia luar. Tanpa sadar Erza menyusup ma...
149K 9.6K 37
Apa kau pikir aku akan menyerah begitu saja? Tidak akan pernah! Kau akan tahu sendiri, apa saja yang bisa kulakukan untuk memenangkan permainan takd...
226K 1.6K 4
Alisa bukan prioritas utama Winter, sebagaimana Marco bukan prioritas utama Michelle. Keduanya mencoba bermain api, jika memang itu satu-satunya cara...