Halooo, DELUCI sudah update kembali ^^
Jangan lupa vote dan komen yaaa.
Kalau rame, besok bisa langsung update lagi deh :p
Happy reading!
***
"Minggu depan, gala premier. Habis itu, kamu ada jadwal nobar sama beberapa cast di tiga hari berbeda." Kiki mengamati setiap tulisan yang tertera di tablet-nya, berisi jadwal kegiatan yang ia pegang untuk Luci. "Hm ... sama Amara di Bintaro, sama Bulan di Bogor, terakhir sama Mbak Citra dan Andhika di Malang." Kiki melirik Luci yang diam mendengarkan sambil menatap hampa ke depan. "Ora onok jadwal mbek bojomu. Rapopo, ta?" (Nggak ada jadwal sama suamimu. Nggak apa-apa?)
"Bisa dipaksakan nggak biar aku punya jadwal bareng suamiku?" tanya Luci dengan suara datar, tetapi memiliki harapan.
Kiki menganggap Luci bergurau, jadi ia tertawa kecil. "Tiap hari ketemu di rumah, kok." Namun, beberapa menit mengamati, menyadari sosok Luci yang terlihat tidak bersemangat, juga wajahnya yang tidak berwarna seperti biasanya, Kiki jadi heran. Terakhir kali komunikasi, mereka hanya membahas tentang keinginan Luci yang meng-hold jadwal di luar projek film. Kiki belum tahu kalau Luci sedang ada masalah. Perempuan yang rambutnya dicepol itu menatap Luci penuh keheranan, lantas menyadari sesuatu. "Ci? Ono opo, to?”
Luci mengedip sekali. "Suamiku udah tau."
"Tau apa?"
"Lily."
Kiki mengedip dan langsung meloncat ke samping Luci saking terkejutnya. Bianca yang baru datang membawa minuman dibuat terkejut juga karena tingkah Kiki yang melompat seperti kucing. Bianca meletakkan minuman ke atas meja, lalu ikut duduk bergabung bersama Luci dan Kiki.
Belum ada suara lagi dari Luci, ia sibuk dengan pikirannya sendiri. Kiki memilih menatap Bianca sambil menunjukkan wajah bertanya-tanya, Kiki tebak kalau Bianca sudah tahu.
Bianca mengangguk, paham maksud dari raut wajah Kiki. "Dekada udah tau, Luci udah jujur ke dia. Sekarang, mereka lagi jauh-jauhan. Kata Luci, Dekada butuh waktu buat terima semuanya." Bianca diam dan menghela napas, membiarkan pendengarnya mencerna ucapannya.
Kiki menganga sambil berpikir lama, masih tidak menyangka kalau akhirnya Luci mengakui masa lalunya pada Dekada. Ia tahu bagaimana takutnya Luci untuk menghadapi kemungkinan yang terjadi kalau orang-orang tahu tentang dirinya dan putrinya.
"Terus, keluarga juga udah tau?" tanya Kiki.
"Belum. Luci belum sanggup. Sama Dekada aja begini, apa lagi kalau keluarganya yang tau," balas Bianca sambil menatap sedih ke arah Luci, kemudian kembali pada Kiki. “Ki, kamu ajak Luci makan, gih. Udah dua hari nggak mau makan apa-apa, cuma minum air putih aja.”
“Duh ....” Kiki ingin menangis, tidak tega melihat sahabatnya sedih begitu. Benar-benar muram dan mengingatkan pada masa-masa berat yang dulu Luci lalui. Kiki merangkul Luci yang makin terlihat kuyu, dipijat-pijat ringan pundak Luci. “Mangan o ... nek awakmu loro, sopo seng ngancani Lily?” (Makan, dong. Kalau kamu sakit, siapa yang temani Lily?). Luci diam saja, membuat Kiki mengembuskan napas berat.
“Ajak makan di taman belakang, Ki. Udaranya seger seginian, suasananya jadi adem dan tenang,” kata Bianca memberi saran.
“Ayok, ayok! Menyelesaikan masalah itu butuh tenaga. Come on, Luci!” Kiki berseru, berusaha menyalurkan semangat, sambil mencoba angkat-angkat pundak Luci. Kiki lebih semangat lagi membantu Luci agar berdiri, si empunya badan pun pasrah saja dan mengikuti Kiki meskipun lemas sekali rasanya. Sementara Bianca tersenyum hangat. Kalau dirinya tidak bisa membujuk Luci untuk makan, semoga Kiki bisa.
Bianca bangun dari duduknya, berniat untuk melihat Lily di kamarnya, tetapi bel pintu utama berbunyi. Bianca urung ke kamar Lily dan segera membuka pintu. Ia terkejut melihat siapa yang datang, seorang perempuan baya yang sudah lama sekali tidak bertemu.
“Bu Cinta,” sapa Bianca. Bianca mengubah raut terkejutnya menjadi senyuman hangat, lantas perempuan baya yang datang itu pun balik tersenyum. “Ya, ampun, Bu ....” Bianca menyalami tangan lembutnya. “Bu Cinta apa kabar? Duh, udah lama banget kita nggak ketemu.”
Cinta masih tersenyum lebar. “Iya, udah lama banget. Saya baik-baik aja, alhamdulillah. Mumpung sekarang punya waktu, jadi saya sempatin buat mampir ke sini. Bianca gimana kabarnya?”
“Bianca baik juga, Bu. Eh, mari masuk dulu, Bu.” Bianca melebarkan daun pintu, mempersilakan Cinta masuk dan duduk di salah satu sofa. “Bianca buatkan minum dulu, ya.”
“Air putih aja, Bi.”
“Oh, oke, Bu.”
Beberapa menit kemudian, Bianca sudah kembali dengan membawa segelas air putih untuk tamunya. Bianca melihat Cinta yang menenggak minuman sambil bergumam dalam hati, kagum karena melihat wajahnya yang terlihat awet muda dan segar.
Bianca tidak akan pernah lupa pada sosok perempuan yang bersamanya sekarang. Orang yang sudah banyak sekali membantu ketika Bianca dan Bryan mengurus Luci.
Cinta yang membantu Luci pergi dari laki-laki yang sudah merenggut mahkotanya. Cinta yang selalu ingin tahu kabar Luci melalui Bianca dan Bryan. Cinta yang mengeluarkan banyak biaya untuk semua keperluan Luci, baik saat penyembuhan, hamil, persalinan, bahkan kebutuhan Lily ketika bayi. Semua itu Cinta berikan melalui Bianca dan Bryan.
Satu lagi yang Cinta lakukan, kali ini tanpa sepengetahuan Bianca dan Bryan, yaitu memberikan kado selama dua tahun Lily ulang tahun. Jadi, kado misterius yang mereka terima saat ulang tahun Lily kemarin itu rupanya dari Cinta—yang nyaris saja lupa kalau tidak melihat Luci dan Dekada berpamitan selepas acara dari rumahnya.
Bianca amat terkejut atas kedatangan Cinta sebab sejak dulu, Cinta tidak pernah ingin memperlihatkan diri. Ia selalu memastikan Bianca dan Bryan tidak memberitahu Luci tentang semua pertolongannya. Cinta benar-benar tulus membantu, ia juga pernah mengalami hal serupa seperti Luci di masa lalu. Apalagi setelah tahu kalau Luci adalah putri dari salah satu teman baiknya, yaitu Fani.
“Bu,” panggil Bianca pelan, membuat Cinta menoleh ke arahnya. “Luci ada di sini. Bianca panggil, ya?”
Cinta tersenyum tipis. “Nggak usah, Bi, ntar aja. Luci sama anaknya apa kabar?”
“Hm ... kalau sekarang, sih, Luci lagi nggak baik-baik aja, Bu.”
Cinta menyerngit. “Kenapa?”
“Luci udah nikah dan sekarang lagi ada masalah sama suaminya.”
Cinta menelan ludah diam-diam, perasaannya mendadak cemas. Luci sama Deka lagi ada masalah?
Cinta berdehem sebelum bertanya, “Masalah apa, ya?”
“Luci selama ini sembunyikan tentang Lily dari suaminya. Beberapa hari yang lalu, Luci udah coba jujur, dan ternyata suaminya marah. Lily juga sempat sakit, jadi beberapa hari ini Luci tidur di sini, sedangkan suaminya juga pergi dari rumah.”
Napas Cinta tercekat dan kecemasannya meningkat. Ia tidak menyangka kalau Luci sudah berani jujur. Niat hati Cinta ingin membantunya, itu alasan mengapa sekarang dia datang menemui Bianca, inginnya berdiskusi dulu, tetapi rupanya Luci sudah mendahului. Cinta menghela napas berkali-kali sambil memikirkan bagaimana hubungan putra dan menantunya sekarang. Dekada pun belum mengadu apa-apa padanya. Cinta berpikir harus segera bertemu dengan Dekada. Ya, ampun, dia benar-benar sangat khawatir.
“Bi,” panggil Cinta.
“Iya, Bu?”
“Suami Luci itu ... anak saya.”
Mata Bianca melebar dan mulutnya menganga terkejut. “Bu? Serius? Dekada? Anak Bu Cinta?”
Cinta mengangguk bersama dengan mata yang mulai berair. Bianca pun amat terkejut sekaligus terharu. Entah mengapa Bianca menjadi senang mendengar kebenaran itu. Serupa mata Cinta yang berkaca-kaca, mata Bianca pun begitu juga.
Bianca meraih kedua tangan Cinta, lantas menyalami lagi dengan teramat, keningnya bersentuhan lama dengan punggung tangan Cinta. “Bu Cinta ... beneran Dekada itu anak Ibu? Kalau iya ... makasih banyak, Bu. Kata Luci, dia dijodohin. Berarti Ibu jodohin Dekada sama Luci, kan? Makasih banget, Bu, udah jodohin Luci sama orang yang tepat.”
Bianca mengangkat kepalanya, mengakhiri salim dan menatap Cinta yang tersenyum. Bianca kembali berbicara. “Kita tau gimana terpuruknya Luci dulu sampai bener-bener takut sama laki-laki, bahkan hubungannya sama Bang B pun harus selesai tanpa dimulai. Tapi, setelah sama Dekada, Luci bisa jujur ke Bianca. Luci bilang, dia bahagia bisa nikah sama Dekada. Keberanian Luci bisa balik lagi, Bu, berkat Dekada yang selalu bersikap baik dan sabar. Luci bilang, dia sayang banget sama Dekada. Luci udah berhasil nemu kebahagiaannya lagi. Jadi, sekarang Luci juga terpuruk lagi karena berantem sama Dekada.”
Cinta tidak kuat mendengar cerita itu. Cinta tidak bisa membayangkan kalau anak-anaknya berantem. Cinta juga merasa bersalah dan dilema. Di satu sisi, Cinta merasa perlu mendukung dan membantu Luci menjaga rahasia itu sampai semuanya bisa diungkapkan pada waktu yang tepat. Sebab, Cinta sangat mengerti bagaimana posisi Luci yang dipenuhi ketakutan untuk berkata jujur, dan memilih untuk memendamnya.
Di sisi lain, Cinta merasa bersalah karena membohongi Dekada tentang masa lalu Luci yang sebenarnya berhak didiskusikan sebelum pernikahan itu dilangsungkan, sudah semestinya para calon pengantin memiliki hak untuk mengenal satu sama lain lebih jauh, lalu bisa menentukan pilihan untuk lanjut atau berhenti. Ini sama saja Cinta seperti memaksa Dekada untuk menerima keadaan Luci meskipun sebenarnya Dekada sendiri memang sudah tertarik dengan Luci, tetapi dalam hal ini, Dekada tidak tahu apa-apa. Wajar saja sekarang Dekada marah karena merasa dibohongi.
“Apa selama ini Ibu juga merahasiakan tentang masa lalu Luci? Terus, nggak bilang ke Luci kalau Bu Cinta yang pertama kali nolongin dia?”
Cinta menggeleng pelan. “Luci sama Dekada nggak tau apa-apa. Luci nggak tau kalau saya yang dulu nolongin dia. Dekada nggak tau kalau Luci pernah diperkosa.”
Spontan mata Bianca meneteskan air mata, perihnya tidak tertahan lagi. “Bianca takut, Bu. Bianca takut anak Ibu marah dan nggak bisa terima keadaan Luci. Bianca takut hubungan mereka jadi berantakan. Luci udah bahagia sama Dekada, tapi keadaan mereka sekarang ....” Bianca menggeleng, benar-benar khawatir sekali. “Bu, tolong bantuin mereka buat baikan, ya, Bu? Bianca mohon banget, Bu. Bantu Luci buat bikin anak Ibu paham dan bisa terima Luci sama Lily.”
Cinta mengangguk dengan pasti, mengangguk tanpa ragu. “Kamu tenang aja, ya. Saya janji, hubungan mereka akan baik-baik saja. Ini juga salah saya karena membohongi anak saya dan nggak mengaku diri ke Luci. Saya juga nggak tega kalau mereka berantem seperti sekarang. Saya akan bicara sama Dekada.”
Bianca tersenyum tulus. Genggaman tangan mereka kian erat, menyalurkan kesedihan dan harapan bersama-sama melalui sentuhan itu. Hingga beberapa derap langkah terdengar berhenti dari arah belakang.
“Mama?” Luci melihatnya, lantas bersuara dengan lirih. Bingung yang dirasakan sekarang. Bolak-balik matanya menatap Bianca dan mertuanya yang bahkan belum melepaskan genggaman. Luci hendak mendekati, tetapi tubuhnya nyaris jatuh karena sangat lemas, sampai Kiki harus bantu memapahnya. Luci berjalan dengan langkah tertatih.
“Mama, kok, di sini? Kalian ... saling kenal?” Luci duduk di salah satu sofa tunggal yang berada di sisi kanan, lantas dua perempuan di hadapannya melepas genggaman dan fokus padanya. Luci mengesampingkan perasaan bingungnya dan lebih memikirkan Dekada. Tanpa diduga, Luci menjatuhkan tubuh ke lantai dan bersimpuh di kaki Cinta, air mata Luci tumpah saat itu juga, membuat semua orang terkejut.
“Ma, maafin Luci. Maaf karena selama ini Luci nggak jujur sama kalian. Mas Deka pasti marah banget, ya, Ma? Mas Deka nggak mau ketemu Luci, kan, Ma? Luci tau, Luci salah. Luci mau perbaiki semuanya, Ma. Luci nggak tahan dijauhin sama Mas Deka begini.” Suara Luci terbata-bata di antara isakan yang membuat tarikan napasnya menjadi pendek. Sesak di dadanya kian bertambah, berlebih membayangkan kemarahan Dekada.
Cinta sedikit membungkuk dan memegang kedua pundak Luci. Cinta tidak tega melihat Luci bersimpuh sambil menangis seperti itu. “Bangun, Nak,” tuturnya sambil membantu Luci untuk berdiri. Luci menurut dan membiarkan sang mertua membawa tubuhnya untuk duduk di sebelahnya, sementara Bianca berpindah tempat.
Tubuh Cinta bergeser untuk lebih dekat dengan Luci, lalu ia meraih tangan menantunya yang begitu dingin dan berwarna putih pasi serupa wajahnya. “Ci, harusnya Mama yang minta maaf. Mama yang selama ini nggak jujur sama kalian.”
Luci tidak mengerti. Tidak jujur apa? Kenapa mama mertuanya berbicara sambil menangis begitu? “Maksud Mama apa?”
Cinta menunduk dan kian terisak. Kata-kata sudah siap meluncur dari mulut, tetapi sesak di dadanya membuatnya sulit untuk mengeluarkan suara. Melihat itu, Luci makin dibuat bingung dan bertanya-tanya.
“Bu, apa Bianca aja yang jelasin?” tanya Bianca meminta izin. Tidak sanggup bicara, Cinta pun mengangguk saja. Sekarang, perhatian Luci jatuh pada Bianca. “Ci, kamu ingat, kan, aku pernah cerita kalau ada satu orang yang pertama kali nolongin kamu dan bantu ngurusin semua keperluan kamu selama di sini?”
Luci mengangguk. Ingat betul semua cerita yang Bianca dan Bryan ceritakan selama dirinya terpuruk. Bahkan, Luci sangat penasaran dengan orang itu dan berniat mencarinya. Bianca dan Bryan bertingkah seolah tidak mengenal orang itu dan hanya menceritakan kebaikannya saja.
“Orang itu adalah Bu Cinta ini, Ci. Orang itu, mertua kamu sendiri.”
Mata Luci mengedip tidak percaya. Dadanya bergemuruh tidak tenang. Ia menatap mertuanya dan menetes lagi air matanya. “Ma? A-apa bener?” Tidak mungkin, Luci sama sekali tidak bisa mencerna kebenaran itu. Namun, anggukan kepala Cinta jelas menjadi jawaban yang mau tidak mau membuat Luci harus percaya.
Luci menggigit bibir bawahnya, menahan perasaan pilu yang sudah membumbung tinggi.
“J-jadi, selama ini ... Mama tau masa lalu Luci dan Mama tau kalau Luci bohongin kalian semua?”
Cinta hanya bisa mengangguk lagi. Tubuh Luci menjadi makin lemas. Ia menutupi wajah dengan kedua tangannya yang sudah dilepaskan oleh Cinta. Tangisan mereka menyatu, riuh rendah mengisi suasana pilu.
Sampai akhirnya, dering ponsel Cinta terdengar. Ia mengambil benda itu di dalam tas dan terlihat kontak Dekada sebagai pemanggil. Cinta melirik Luci sejenak, lalu menerima panggilan dan mengaktifkan speaker.
“Halo, Deka.” Cinta berusaha menormalkan deru napas dan suaranya.
“Ma, Deka mau bicara sesuatu. Mama di rumah, kan?”
“Mama lagi sama Luci. Kamu mau bicara apa? Mama pulang sekarang sama Luci.”
Hening beberapa saat, Dekada hanya diam tidak menjawab.
“Deka?”
“Deka mau bicara berdua aja sama Mama. Luci nggak perlu ikut.”
Luci meremas ujung bajunya untuk menahan sakit yang mengisi relung hati. Sebegitu tidak inginnya Dekada bertemu dengannya?
“Mama bakal tetap datang sama Luci. Mama tau apa yang mau kamu bicarakan.”
“Ma—”
“Jangan bantah Mama.”
Panggilan terputus oleh Dekada. Bisa Cinta tebak kalau putranya itu pasti sedang kesal sekarang. Bahkan, Cinta bisa membayangkan Dekada yang membanting ponselnya, atau barang di sekitarnya. Selain tidak bisa mengontrol ucapan, Dekada juga sulit mengontrol emosi kalau benar-benar marah.
Cinta memasukkan lagi ponselnya dan kembali menatap Luci. “Kita ketemu Deka, ya? Kita selesaikan ini. Setelah selesai sama Deka, kita jujur juga ke keluarga kamu. Mama bakal bantu—”
“Ma ...,” potong Luci takut. “Luci nggak berani lihat Mas Deka marah. Luci takut banget.”
“Nggak apa-apa, Ci. Kita hadapi sama-sama, biar semuanya cepat selesai.”
Luci tetap menggeleng. “Luci takut, Ma. Luci di sini aja, ya? Mas Deka itu ... nggak mau ketemu Luci, Ma.” Hati Luci tercubit mengingat hal itu. Dekada tidak hanya butuh waktu untuk berpikir, tetapi juga butuh waktu untuk bertemu lagi dengan Luci.
“Sayang ... ayo, lah.” Cinta terus membujuk, tetapi Luci terus menggeleng sebab nyalinya benar-benar sudah hilang entah ke mana.
Luci menunduk dan isakannya makin terdengar jelas. Cinta menarik tubuh Luci untuk masuk ke dalam pelukannya. Luci merasakan kehangatan, kemudian mengingat dirinya yang samar-samar ditolong oleh seseorang. Luci masih tidak menyangka bahwa orang baik itu adalah mertuanya sekarang. Jadi, bolehkah Luci berpikir kalau selama ini memang sang mertua ingin tetap menjaganya dengan menjodohkannya dengan Dekada?
Kalau memang begitu ... sungguh, Luci ingin bersyukur dan berterima kasih sebanyak-banyaknya. Sang mertua tidak hanya membantunya bangkit dari keterpurukan, tetapi juga mempertemukan dan menyatukannya dengan seorang laki-laki yang—setelah disadari—amat sangat berarti. Laki-laki yang mampu membawanya menuju rasa aman, nyaman, tenang, membuat hidupnya dipenuhi dengan cinta dan kasih sayang.
“Ya, udah, kalau gitu biar Mama dulu yang bicara sama Dekada. Luci istirahat dulu, nanti Mama kabarin lagi, ya?”
Luci mengangguk dalam dekapan hangat itu. Sekarang, ia benar-benar menaruh banyak harapan melalui mama mertuanya.
— bersambung
Yang kemarin baca kronologi masa lalunya Luci, sekarang udah tau kaannn siapa yang nolongin Luci pertama kali :))
Orangnya sama dengan yang kasih Lily hadiah :))
Siapa yang nebaknya benerrr ayooo?? Sini kita pelukan seperti teletabis ahahaha
Siap ketemu Dekada lagi?