Ajudan yang dikirim oleh Kapolda Riau--Aksan Triyono--menjemput di Bandara Internasional Sultan Syarif Kasim II bersama seorang sopir. Mereka kini menaiki mini bus yang dikemudikan oleh sopir tersebut, menuju ke perumahan khusus yang menjadi tempat tinggal para anggota kepolisian. Raja tampak kembali mendalami isi keterangan dalam berkas yang Tari bagikan di kantor tadi, sementara yang lainnya sibuk mempersiapkan hal-hal yang mereka perlukan setelah melihat langsung kondisi para korban.
"Perkenalkan, namaku Ardit Julianto. Aku adalah ajudan yang diutus oleh Pak Kapolda untuk mendampingi kalian berenam selama menangani masalah yang cukup ... uhm ... bisa dibilang, aneh, di perumahan tempat tinggal anggota kepolisian. Pak Kapolda mungkin akan sangat sibuk sehingga hanya beberapa kali bisa menemui kalian berenam. Jadi untuk itulah aku akan selalu stand by bersama kalian, jika kalian mendadak membutuhkan sesuatu saat Beliau sedang tidak ada," jelas Ardit.
"Apakah Pak Ardit juga tinggal di perumahan itu?" tanya Hani.
"Iya, aku juga tinggal di perumahan itu. Hanya saja, jarak rumahku dengan rumah ketiga keluarga yang saat ini terkena sakit itu cukup jauh. Kami tinggal di blok yang berbeda," jawab Ardit.
"Kalau menurut Pak Ardit, seberapa aneh masalah yang terjadi pada ketiga keluarga itu?" Mika ikut bertanya karena ingin tahu masalahnya dari sudut pandang orang lain.
"Kalau menurutku ... sangat aneh."
Ardit tidak ragu-ragu saat menjawab pertanyaan itu. Bahkan mimik wajah pria itu terlihat sangat ngeri akibat membayangkan hal yang disaksikanya.
"Jujur saja, aku belum pernah melihat hal seperti itu sebelumnya. Apa yang terjadi pada ketiga keluarga itu sangat tidak bisa diterima dengan nalar manusia mana pun. Di dalam ketiga keluarga itu terdapat masing-masing tiga anggota keluarga. Mereka mendadak sakit pada hari yang sama dengan gejala yang sama, lalu setiap kali waktu shalat tiba mereka akan mulai berteriak-teriak histeris seperti ada yang akan membunuh mereka. Dan yang paling aneh adalah, dalam setiap teriakan mereka ada kalimat yang menurutku sangat janggal."
"Kalimat apa itu, Pak Ardit? Bisa Bapak ucapkan kalimatnya?" pinta Rasyid.
"Kalimatnya begini, 'aku tidak tahu apa salahku, aku benar-benar tidak tahu apa kesalahanku'. Itu yang selalu diucapkan oleh orang-orang yang ada di dalam ketiga keluarga tersebut ketika sudah mulai berteriak-teriak. Tidak sering memang, tapi hampir di setiap teriakan mereka kalimat itu akan muncul."
Hani langsung mencatat isi kalimat yang disebutkan oleh Ardit barusan ke dalam buku catatannya. Rasyid dan Tari kini menoleh ke belakang untuk melihat ke arah Ziva dan Raja. Mereka jelas ingin tahu apa tanggapan dari kedua orang itu, namun tampaknya Ziva ataupun Raja sama sekali belum ingin memberikan tanggapan.
"Bagaimana dengan kondisi rumah ketiga keluarga itu, Pak Ardit? Apakah ada yang tampak janggal juga dari rumah mereka?" tanya Raja, ketika akhirnya menutup berkas yang sejak tadi ia baca.
Ardit kembali menoleh ke arah belakang dan menatap tepat kepada Raja. Pria itu tampak sedang memikirkan ketiga rumah yang akhir-akhir ini sangat sering ia kunjungi untuk memeriksa keadaan penghuninya.
"Kalau kondisi rumah ketiga keluarga itu menurutku cukup baik-baik saja. Hanya saja memang tidak serapi biasa ketika para penghuninya masih sehat. Yang paling mencolok adalah pot-pot bunga pada masing-masing rumah yang sangat kacau dan berantakan di bagian teras, serta samping rumah. Selebihnya, tidak ada yang terlihat berbeda," Ardit benar-benar mengutarakan apa yang diingatnya.
"Hm ... itulah yang akan pertama kali kita periksa saat tiba di sana. Itu akan jadi fokus utama kita," Ziva akhirnya bersuara.
Raja pun kemudian menoleh ke arah Ziva yang terlihat setenang biasanya. Rasyid, Tari, Hani, dan Mika jelas sudah bisa membaca apa yang dimaksud oleh Ziva. Ardit sendiri kini sudah kembali ke posisinya semula dan menatap lurus ke depan.
"Menurutmu memang ada yang aneh di teras ketiga rumah itu?" tanya Raja, bersuara pelan.
"Iya. Bisa jadi juga sumber dari sakit dan kejanggalan yang terjadi pada para korban memang berasal di teras rumah mereka. Teras jelas menjadi tempat pertama bagi seseorang untuk menjejakkan kakinya ketika akan masuk ke rumah ataupun saat akan keluar rumah. Teras jelas akan menjadi tempat yang pas jika ingin mengirimkan teluh terhadap seseorang. Karena tidak mungkin seseorang akan melompati bagian teras saat akan masuk ataupun keluar dari rumah," jawab Ziva, sama pelannya dengan suara Raja.
Setelah memberi Raja jawaban, Ziva pun terdiam selama beberapa saat. Ia kemudian teringat untuk menanyakan satu hal lagi kepada Ardit.
"Oh ya, Pak Ardit, kalau tidak salah tadi Bapak mengatakan bahwa ketiga keluarga itu mendadak sakit pada hari yang sama dan dengan gejala yang sama. Apakah Pak Ardit tahu, kapan persisnya mereka mengalami sakit?" tanya Ziva.
"Persisnya pada jam tiga sore. Aku tahu mengenai hal itu karena salah satu Polisi yang ada di antara ketiga keluarga itu langsung menelepon Sekretaris Pak Kapolres ketika dirinya mulai mengalami sakit. Saat itu aku juga berada di dekat Pak Kapolres sehingga bisa mengetahui kabar tersebut. Pak Kapolres langsung menanggapi hal tersebut dan kami sama-sama pergi ke rumahnya. Kami sangat terkejut saat tahu bahwa bukan hanya satu keluarga yang mengalami sakit, melainkan tiga keluarga sekaligus," tutur Ardit.
"Apakah pada hari itu ketiga keluarga tersebut sama-sama akan pergi ke suatu tempat atau baru saja pulang dari suatu tempat, Pak Ardit?" lanjut Ziva.
"Lebih tepatnya mereka baru akan pergi dari rumah. Itulah mengapa salah satu Polisi dari ketiga keluarga itu langsung menelepon pada Sekretaris Pak Kapolres. Karena pada saat itu ketiga keluarga tersebut akan menemui Pak Kapolres yang mengundang untuk makan bersama sebelum keesokan harinya mereka akan menjalani proses kenaikan pangkat."
Ziva pun tersenyum secara mendadak, namun tidak mengatakan apa sebabnya dia tersenyum saat itu.
"Hani Sayang, nanti tolong kamu tanyakan beberapa hal pada Pak Ardit, ya, saat kita sudah tiba di lokasi. Kalau bisa minta juga pada Pak Ardit mengenai data para anggota Polisi yang tinggal di perumahan itu," pinta Ziva.
"Oke, Ziv. Akan aku penuhi hal itu dan secepatnya akan aku laporkan sama kamu," tanggap Hani, setelah selesai mencatat apa yang Ziva pinta.
Raja menggenggam tangan Ziva dengan lembut. Pria itu ingin selalu merasa tenang saat sedang menghadapi sesuatu yang berkaitan dengan pekerjaan mereka. Satu-satunya cara yang ia miliki sekarang untuk membuat dirinya merasa tenang adalah dengan selalu berada di sisi Ziva. Ia tidak mau berjauhan dari Ziva, karena ia harus memastikan bahwa Ziva akan selalu baik-baik saja meski sedang menghadapi hal yang berat.
* * *