Si Nyebelin apa pun karakter di sini, jangan berkata kasar ya, Gaes. Kalo aku ketemu komen dengan kata kasar, auto hapus. Bukan baper, cuma nggak enak aja dilihat.
Happy reading
❤️❤️❤️
-
-
-
Jika biasanya Kirana hanya diam, kali ini wanita itu membuka sedikit bibirnya, sehingga Gama dengan mudah memperdalam pagutannya. Kecupan lembut itu makin lama makin menuntut.
Dengan masih menempelkan bibir satu sama lain, Gama mengangkat tubuh Kirana dan membuat tungkai wanita itu sontak melingkari pinggulnya. Tanpa melepas ciuman itu, Gama bergerak mundur perlahan.
Gerakannya terhenti ketika langkahnya mengenai tepian tempat tidur, dia lantas jatuh terduduk dengan Kirana yang ada di pangkuannya. Ciuman keduanya terurai lalu tatap mereka bertemu. Tidak ada sepatah kata keluar, atau apa pun yang harusnya salah satu dari mereka lontarkan.
Tangan Gama terangkat dan menepikan rambut Kirana yang menjuntai. Ibu jarinya juga sempat mengusap bibir tipis Kirana yang basah. Lagi keduanya masih saling diam. Kirana bahkan tak berniat menyingkir dari pangkuan lelaki itu. Dia tidak mengerti, dan nyaris tak mengenali dirinya sendiri. Kepalanya terasa kosong. Dan ketika Gama kembali maju lalu mengecup dua matanya berganti, Kirana masih tetap bergeming.
Kembali Gama menatap wajah rapuh di hadapannya. "Saya nggak mau mengulang salah kedua kali. Jadi, saya akan memastikan ke kamu terlebih dulu. Apa ini sebuah kesalahan? Apa saya salah melakukan ini sama kamu?" tanya Gama tanpa melepas pandangannya dari mata Kirana. Sementara tangannya dengan perlahan membuka tiga kancing teratas piyama wanita itu, lalu berhenti seolah menunggu jawaban yang akan Kirana beri.
Kirana menunduk seraya memejamkan mata. Dia belum menjawab kala merasakan tangan Gama menyelinap masuk ke dalam piyama tidurnya melalui bagian depan yang sudah lelaki itu buka kancingnya.
"Jika kamu diam, itu artinya kamu memberi izin saya melakukan lebih. Dan saya nggak mau suatu hari nanti kamu salahkan," ucap Gama lagi, diakhiri dengan sebuah remasan di dada sebelah kanan Kirana. Membuat tubuh wanita itu seketika berjengit.
Gama terus melakukan gerakan itu dengan lembut seraya menatap wajah Kirana yang mulai memerah. Sampai dia menarik turunkan piyama sebatas lengan atas, Kirana masih saja bergeming. Wanita itu hanya sesekali memejamkan mata ketika jemari Gama memainkan puncak dadanya. Melihat tidak ada perlawanan, Gama mulai menunduk dan menyapukan ujung lidahnya di puncak kemerahan itu.
Kirana merintih lirih ketika lidah Gama memutari area sensitifnya. Tangannya mencengkeram erat dua bahu lelaki yang tengah menunduk itu. Napasnya mulai tidak beraturan, sementara itu desahannya sesekali lolos.
Bibir Gama berpindah ke leher jenjang Kirana. Mengecup basah di sana, dan menggigitnya pelan. "Bagaimana ini, saya nggak bisa berhenti," bisiknya dengan suara serak. Dia lalu kembali mencium bibir Kirana dengan penuh gairah. Sebelah tangannya menyusup masuk ke balik celana tidur wanita itu, menemukan sesuatu yang dari tadi menekan miliknya. Dia menemukannya, lalu menyusupkan satu jari tengahnya di sana.
Satu erangan Kirana meluncur, ketika Gama memulai gerakan pada jarinya di bawah sana. Menggosok, dan perlahan mendorong masuk, untuk kemudian dia keluarkan lagi, begitu seterusnya hingga membuat napas Kirana makin memburu terbakar api gairah.
Gama bisa merasakan cengkraman di bahunya makin kuat, seiring tempo gerakan jarinya yang makin cepat. Milik Kirana benar-benar basah sekarang. Gama sangat menikmati wajah cantik Kirana yang kemerahan. Mata wanita itu terpejam, sesekali mendesis nikmat. Hingga klimaksnya, kepala wanita itu menengadah, cengkraman tangannya makin kuat. Dan....
"Aah, Mas...." Kepala Kirana jatuh ke dada bidang di depannya, tubuhnya bergetar hebat selama beberapa saat, lalu pegangan tangannya perlahan mengendur. Dia seolah tengah melayang di angkasa tanpa tujuan, terombang-ambing bagai diamuk badai. Dia lemah, sangat lemah.
Gama menarik tangannya dari celana Kirana. Jemarinya basah oleh cairan cinta yang wanita itu keluarkan. Kembali Gama mencium bibir tipis Kirana, dan beralih mengulum lembut puncak dada yang masih menggantung di hadapannya, berganti.
Setelahnya dia menjauhkan wajah, membenarkan baju piyama Kirana, mengaitkan kancingnya kembali. Hingga benar-benar rapi seperti semula.
Hal itu tentu saja membuat Kirana bingung. Dia kira lelaki itu akan melakukan lebih daripada ini.
Gama lantas bergerak mengangkat tubuh Kirana kembali dan membaringkannya di atas permukaan tempat tidur.
Kirana benar-benar dibuat bingung oleh tindakan pria berahang tegas itu. Sebuah kecupan lembut lantas mendarat di keningnya.
"Selamat malam," ucap Gama, lantas bergerak menjauh. Namun, Kirana buru-buru menarik tangannya.
Sejujurnya dia malu menanyakan ini. Tapi, rasa penasarannya telanjur bergelayut. "Kenapa berhenti?"
"Saya nggak bisa melakukannya meski ingin. Atau saya mungkin akan terus merasa bersalah sama kamu. Kamu tidur, besok harus kembali menjalani aktivitas." Setelah mengatakan itu, Gama benar-benar beranjak keluar dari kamar Kirana.
Dia tidak langsung masuk ke kamarnya sendiri. Pria itu berbelok menuruni anak tangga, lalu melangkah cepat menuju ruang gym. Dia perlu melakukan olahraga kecil, agar sesuatu di dalam yang bergejolak segera hilang.
***
"Apa kamu sudah memilih perguruan tinggi mana yang akan kamu masuki?" tanya Gama seraya memotong roti bakar yang sudah Kirana persiapkan.
"Belum."
Beberapa hari lalu Gama memberikan brosur pada Kirana tentang perguruan tinggi dan universitas, tapi wanita itu belum melihatnya lagi. Pekerjaan membuatnya tak sempat memilih.
"Kenapa belum? Apa tidak ada yang menarik?" tanya Gama lagi.
"Nggak, bukan itu. Saya memang belum sempat melihatnya lagi."
Sejak kejadian malam itu, Kirana tidak lagi terlalu berminat melanjutkan sekolah. Lagi pula jadwal universitas bentrok dengan jam kerjanya.
"Kamu harus cepat memutuskan, Kirana. Atau kamu akan ketinggalan tahun ini. Perkuliahan itu dimulai September."
"Iya, tapi sepertinya universitas yang Mas sodorkan nggak ada yang memiliki jam kuliah malam."
"Oh ya?" Gama menatap Kirana sejenak, sebelum kembali menyuap rotinya. "Kalau begitu akan saya carikan yang ada kelas malamnya. Nanti."
Kirana mendorong piringnya yang kosong. Setelah meneguk teh hangat, dia meraih tablet dan membacakan jadwal harian Gama.
"Mbak Silvana meminta makan siang bersama, apa Mas mau terima?" tanya Kirana berhenti meng-scroll layar tablet.
"Hari apa?"
"Siang ini, tapi bersama Pak Raja. Kemarin juga Pak Raja telepon memastikan jadwal makan siang Mas hari ini."
Gama menarik selembar tisu lalu mengelap mulutnya. "Mau apalagi kakak tiri itu. Apa nggak bosan terus berusaha mengajak makan siang?"
"Jadi, mau Mas tolak lagi?" tanya Kirana, sudah akan bersiap-siap menulis ulang jadwal lelaki itu.
"Masukan saja ke jadwal makan siang hari ini. Saya yakin mereka cuma mau pamer kemesraan di depan saya. Menyebalkan."
Kirana melirik sekilas mendengar gerutuan lelaki itu. "Mas masih mencintai Mbak Silvana, kenapa nggak berusaha mengejarnya kembali? Bukannya pertunangannya dengan Pak Raja semata-mata karena bisnis?" tanya Kirana tanpa melepas tatap pada layar tabletnya.
"Raja mungkin menganggap begitu, tapi tidak dengan Silvana. Wanita itu benar-benar menyukai Raja. Dari dulu dia mengejar lelaki itu, dan mengabaikan saya."
Kirana menghela napas panjang dan menyimpan kembali tabletnya ke dalam tas. Dua lengannya lantas bertumpu di atas meja.
"Mau saya bantu mendapatkan Mbak Silvana?" tanya Kirana, meskipun tidak yakin.
Dalam hati, dia berharap Gama menolak tawarannya.
Gama menarik sudut bibir, meremehkan. "Memang apa yang bisa kamu lakukan?"
"Membuat Mbak Silvana jatuh cinta sama Mas, mungkin."