-- typo's --
-----
"Kalau kata artikel yang papa baca di Facebook, kalau kita nanam pohon mangga dicampur rambutan bakalan keluar Jambu." Haekal dengan seksama menyimak.
Sedang Reyhan menatap malas dari kursi lain, dalam hati bertanya apakah tidak ada kegiatan berfaedah yang harus mereka berdua lakukan kecuali berdiskusi tentang artikel Facebook?
Lalu Ia menatap pada sekitar, Minggu pagi ini cukup tenang sebab Jean tidak membuat ide gila dengan membangun kandang ayam atau apalah di belakang rumah.
Namun sepertinya mereka kekurangan member, ditelisik lebih lagi sepertinya Reyhan memiliki 4 adik? Ah iya, si bungsu masih bergelung dalam selimutnya di Minggu pagi ini.
Kebiasaan Naufal, Minggu adalah hari untuk tidur. Tentang masalah seminggu lalu, sejujurnya masih belum usai. Amarah serta ego dari kedua pihak masih belum surut, sebaliknya —semakin menggebu dan ingin menang sendiri.
Keduanya tak ada yang mau mengalah, kata maaf dan damai belum ada di antara mereka. Namun profesional atas persaudaraan masih dijunjung tinggi, di dalam rumah mereka adalah saudara.
Sedang diluar, pihak Jean tentu membuat batas musuh pada kubu adiknya. Tidak, bukan pada adiknya, namun kubunya.
Kring kring
Jika telepon rumah berdering, tandanya ini bukan ide yang bagus. Bukan dari pekerjaan, atau mungkin... Orang asing? Tapi sesungguhnya, mereka yang menelpon sudah pasti orang asing.
Asing untuk keluarga Nicholas, namun familiar untuk Jean.
"Iya?"
"Jean Nicholas-nya, ada?"
Sial, Jean membawa nama Nicholas ke dalam tingkahnya kah?
"Mungkin salah sambung."
"Gak mungkin, ini udah di akurasikan sesuai data diri dia kok. Please... Kasih telepon ini ke dia."
Wanita, wanita itu memohon. Reyhan menjilat bibir bawahnya, menatap Haekal yang mengalihkan perhatian sang papa agar tidak mendengar percakapan Ia dengan 'mainan' Jean.
"Ada apa?"
"Pertanggung jawab-"
"Buat janji temu aja sama gua, di cafe 127 jam 3 sore besok."
Dan selalu seperti ini, jika bukan Reyhan yang menjawab maka Jean atau Haekal. Sudah ada peraturan tidak tertulis untuk selain mereka bertiga, tidak ada yang boleh menyentuh telepon rumah.
"Heh, lo bawa bawa nama Nicholas."
"Biasanya mereka sendiri yang nyari tau, anyway gua baru aja bikin puding." Jean datang dari arah dapur, membawa satu nampan berisikan puding hasil buatan tangannya sendiri.
Reyhan menghela nafas, membayangkan betapa kacaunya wanita tadi sedang Jean disini tengah tersenyum begitu lebar sebab berhasil membuat satu nampan puding.
"Mau gua kasih ke si dedek." Katanya dengan riang, berlalu begitu saja naik ke lantai atas.
Reyhan menghela nafas, sedikitnya Ia merasa lelah. Namun bukan hanya Jean, dirinya pun tengah dikejar pertanggung jawaban oleh beberapa wanita.
Tidak, Ia tidak membuat mereka hamil. Biarkan Ia dan tuhan saja yang tau.
"Ko, mau kemana?"
"Ngambil alat lukis?"
"Mau dijual gak? Kalau mau, uangnya papa minta."
Reyhan mendengus, "Uang banyakan papa kok minta ke anak."
Jeff mencibir, "PELIT!" Teriaknya.
———
"Nanaaa!! Abang bawa puding, abang buat sendiri ayo bangun."
Ketukan pertama dan kedua tak di gubris sang pemilik kamar, Jean tak mau mengerti meskipun Ia tau Naufal tengah marah. Pengawasan yang Ia buat untuk sang adik, semakin ketat.
Bahkan lebih ketat dari sebelumnya, Naufal tak dapat lagi memberontak. Naufal semakin terbelenggu saja, semakin terikat saja.
Para pekerja yang menjaga rumah semakin banyak, mencegah resiko Naufal untuk kabur. Bahkan Haekal 24/7 menjaganya disekolah, ada mata mata kepercayaan yang mengawasi.
Tak dapat keluar rumah, Naufal dibuat frustasi. Bahkan GPS di handphonenya selalu menyala, tidak dibiarkan mati barang sejenak. Sayangnya, Jeffrey belum begitu peka sebab akhir akhir ini sibuk di kantornya.
Naufal semakin terbelenggu.
"Adekk, buka dong sayang." Meski berujar demikian, Jean merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah kunci, kunci kamar Naufal.
Gelap, diliriknya kasur ada Naufal yang masih bergelung dalam selimut. Diletakkannya satu nampan puding itu di meja, langkah Jean mendekat.
"Na? Adek abang tersayang, hei?"
Disingkap dengan perlahan, niat membangunkan namun tak mau membuat sang adik terganggu. Jean terdiam membisu menatap wajah sang adik tampak begitu pucat, disentuhnya kening sang adik —panas.
Naufal demam tinggi.
Dengan panik Jean berlari keluar kamar, menuruni tangga dengan kaki yang lebar. "PAPA, KOKO, AA!! ADEK PANAS BANGET BADANNYA, KOKOOO!!" Disaat seperti ini, Reyhan lah yang dapat diandalkan.
-----
"Kenapa nggak mau dibawa ke rumah sakit sih?"
"Cuma demam, alay."
Haekal mendengus, namun tangannya dengan lihai menyuapi Naufal. Sesekali Haekal bersenandung, menyanyikan nada nada random yang ada pikirannya.
Naufal sendiri pikirannya entah pergi kemana, namun pada intinya adalah untuk kebebasan. Tak lama, Jeffrey muncul dari balik pintu kamar Naufal.
Jeffrey mencoba memahami arti tatapan si bungsu, namun melihat kode mata Naufal yang melirik ke arah Haekal, sudah dipastikan ada beberapa masalah yang harus dibereskan.
"A, coba kamu belikan papa Ice Cream." Haekal ingin sekali menolak, namun apa daya? Sesungguhnya dia lebih mementingkan uang jajannya, daripada sebuah rasa malas yang ada dihatinya.
Haekal mendengus, "Tapi bukannya masih ada ya di kulkas?" Tanyanya, berharap di iyakan. Namun Jeffrey menggeleng, "Ada, tapi kan coklat habis."
Sialan.
Mangkok berisikan bubur diberikan kepada Jeffrey, sebelum pergi dari sana setelah mencuri satu kecupan basah di pipi sang adik. Naufal yang ingin protes pun terlalu lemas, jadinya hanya mendelik tajam.
"Kenapa?" Setelah kepergian Haekal, Jeffrey membuka suara sembari menyuapkan satu sendok bubur yang ditolak.
"Sakit."
Kening Jeffrey mengkerut, memahami maksud dari kata sakit yang Naufal ucapkan. Tatapan Naufal sangat sayu, sedikit berkaca entah efek sakit atau hal lain.
Jeff menaruh mangkok berisikan bubur itu di atas nakas, lalu mendekat ke arah Naufal dengan tangan yang dilebarkan. Langsung saja si bungsu masuk ke dalam pelukannya, memeluknya dengan erat seakan pelukan ini adalah obat.
"Apanya yang sakit, adek? Bilang sama papa, biar papa usir sakitnya."
"Kepala, pusing."
"Pusing oh pusing, ayo cepat pergi. Nana anak baik, pusing jangan datang lagi~"
Naufal tertawa, Jeff menyanyi dengan nada lagu mana dimana anak kambing saya. Rasanya hangat, rasanya nyaman. Naufal sangat butuh, sesungguhnya teramat butuh.
"Apalagi, sayang?"
"Sakit, pa."
"Apanya sakit?"
"Hati Naufal."
Jeff terdiam untuk beberapa saat, "Coba bilang, bilang sama papa siapa yang bikin hati adek sakit."
Naufal mendongak, menatap papa nya dengan tatapan yang tak dapat diartikan. "Papa, maaf kalau misalnya Naufal ngga bisa menuhin ekspetasi papa. Maafin Naufal, kalau misalnya anak anak papa ngga bisa jadi apapun yang papa mau, maaf."
"Kenapa kamu bilang gitu?"
"Papa, Naufal itu sebenernya papa anggap apa? Kalian anggap apa?"
Posisi diubah, Jeff menyamankan posisi duduknya pun Naufal. Malah, Jeff menarik Naufal masuk ke dalam pelukannya, naik ke atas pangkuannya. Jeff mendekap si bungsu, permata yang Ia jaga sedari anak ini hadir ke dunia.
Anak anak Jeff adalah dunianya, namun Naufal adalah hidupnya. Jeff tidak mau lagi kehilangan, Jeff tidak mau lagi merusak. Naufal itu ibaratkan permata berbentu kaca yang mudah pecah, makanya dia harus bisa menjaga mati matian agar tidak hilang, tidak pecah.
Tapi sepertinya, permata dalam dekapannya ini telah retak.
"Sayang, kamu itu permatanya papa. Hidupnya papa, nafasnya papa, kalian anak anak papa adalah dunia nya papa. Alasan papa hidup dan bertahan di dunia ini, kalian adalah hal berharga bagi papa yang harus papa jaga.
Naufal, adek, sayang, putra ganteng-nya papa... Tau tidak, kalau papa sayaangg sekali pada Naufal? Papa juga sayaangg sekali pada Koko, Abang, aa, adek juga papa sayang sekali. Kalian itu harta papa, kalian itu segalanya buat papa. Nyawa pun bakalan papa kasih ke kalian, ke Naufal."
Naufal hanya bisa termenung, rasanya ingin sekali menangis. "Lalu Koko, Abang sama AA anggap adek apa?"
Sungguh, Jeff sama sekali tidak mengerti.
"Papa, adek itu bukan robot. Adek itu manusia, adek punya titik lelahnya. Adek juga bukan hewan peliharaan, yang harus nurut sama majikannya." Naufal tidak pernah menangis, tidak pernah mengutarakan apapun, dia selalu memendam emosinya.
Namun kali ini, Jeff dapat melihat emosi si bungsu yang mulai meluap. Memang tidak menangis, namun air mukanya sangat keras disebabkan emosi, matanya memerah entah menahan tangis atau mencoba menangis tetapi tidak bisa.
"Papa... Adek lelah, disini—" Naufal menunjuk lehernya, membuat gambaran seperti sebuah kalung "—kayak ada belenggunya, kayak ada talinya, ada rantainya. Naufal bukan anak SD atau SMP, Naufal juga bukan anak TK atau bahkan balita, Naufal 17 tahun papa."
"Naufal bukan bayi, Naufal bukan robot, Naufal bukan hewan peliharaan, Naufal bukan tahanan, Naufal bukan babu. Naufal itu Naufal, manusia dan juga punya rasa ingin bebas."
Bukan hanya Jeff yang tertegun, tapi Jean, Reyhan, serta Haekal pun sama tertegunnya di depan pintu. Naufal sakit, bukan hanya fisiknya, namun batinnya.
Tapi, apakah mereka sudah bertindak kejauhan? Mereka hanya.... Ingin melindungi Naufal.
Dunia terlalu kejam untuk sosok lembut seperti adiknya, dunia terlalu jahat.
.
.
.
Widih, kangen ga? Kepoin au di Twitter nya dong, sekalian di ig. Ada di Profil, cek aja wkwkwk.
*Aku pas lagi revisian laporan, tiba tiba dapet kabar NCT minus 3