Mobil Everest baru saja tiba di rumah. Seorang penjaga membukakan pintu mobil untuknya.
"Yang aku minta sudah kau lakukan?"bicara di telepon sambil berjalan masuk rumah.
"Sudah tuan. Akan ku kirimkan datanya padamu."sahut orang di panggilan itu yang tak lain merupakan asisten Fadil.
"Di mana dia?"seru Everest, matanya melirik pada seorang pelayan yang di temui di dekat tangga. Beberapa saat pelayan itu terdiam dan berfikir. Ia tak tahu maksud dia yang ditanyakan tuannya. Ahh...!! Ia tersentak sendiri.
"Oh... Tuan Qin! Dia sedang pergi ke luar. Tak lama setelah tuan pergi. "kata pelayan itu. Alis Everest berkerut.
"Pergi ke luar? Sejak pagi hingga kini belum kembali?"Everest melirik jam tangannya, waktu menunjukkan pukul 9 malam setempat.
"Benar."
"Apa dia mengatakan sesuatu? Emm... Seperti memberitahu akan pergi ke mana? Dan dengan siapa dia akan pergi, begitu?"
"Tidak ada. Tuan Qin tidak mengatakan sesuatu. Dia langsung pergi begitu saja."ujar pelayan itu menggelengkan kepala.
"Ohh."sahut Everest singkat. Kemudian melengos pergi menaiki tangga menuju ruangannya.
Si pelayan menatap punggung Everest nampak bingung. Tidak seperti tuannya yang dingin. Mengapa ia sekarang menjadi sangat penasaran dengan tuan Qin. Aneh, batinnya.
Rupanya yang pelayan itu rasakan asisten Fadil pun merasakan. Ia ikut merasa aneh mendengar percakapan tuannya yang bertanya soal Qin pada pelayan rumah. Bukannya dulu tuannya ini masa bodoh terhadap Qin. Tetapi, mengapa sekarang terdengar perhatian?
Ya Tuhan! Apakah selama tidak ada dirinya bos-nya ini telah dicuci otaknya oleh si mesum mata keranjang itu?!
Secara spontan asisten Fadil menutup mulut dengan tangan sementara otaknya berimajinasi ke sisi lain.
"Oh my god. Jangan sampai itu terjadi."
"Apa yang kau bicarakan? Jangan sampai itu terjadi? Apa maksudmu?"pekik Everest yang mendengar monolog sang asisten di telepon. "Apa kau berfikir agar aku tidak boleh membongkar kejahatan yang mereka lakukan itu maksudmu, benar?!"
"Ah! Bos, anu... Tidak. Bukan begitu maksudku. Aku... Aku benar-benar berharap kejahatan mereka terbongkar, sungguh."ujar asisten Fadil gugup. Sementara hatinya memekik sial.
"Apakah aku harus percaya padamu."ucap Everest datar. "Lalu apa maksud ucapan mu itu?"
"Aku hanya berfikir terjadi sesuatu antara dirimu dengan si bencong mesum itu hehehe."ucap asisten Fadil tertawa renyah.
"Fadil!"sontak Everest langsung menggertakkan giginya.
"Hehehe, maaf, bos. Sorry! Aku terlalu banyak berfikir, hehehe."
"Humph! Mulai hari ini kau ditugaskan lembur selama seminggu Jika tidak gajimu aku potong."
"Apa? Lembur lagi? T-tapi bos, aku 'kan sedang menjalankan tugas di luar kota. Dan, aku juga sudah meminta maaf padamu. Apa kau tidak kasihan padaku, huhuhu...! "sahut asisten Fadil sedih.
"Masa bodoh. Aku tidak peduli. Itu masalahmu."
"Ayolah, bos. Jangan terlalu kejam kepadaku. Kau tahu aku ini—"
"Jika kau tak mau berhenti bicara, dua bulan akan ku buat kau lembur tanpa bonus."potong Everest kejam.
"Ah tidak, tidak, tidak bos! Aku sudah mengunci mulutku. Seminggu adalah yang sempurna dan benar ....."
Sementara asisten Fadil sibuk bicara dalam merayu Everest agar menarik kembali ucapannya yang menyuruhnya untuk lembur selama dua bulan, lelaki itu malah tak menghiraukan. Atensinya beralih pada sesuatu yang lain. Deruman suara mobil berhenti di depan gerbang alasannya beralih. Everest menajamkan penglihatannya, posisinya yang berada di balkon kamar lantai dua dan kondisi malam yang gelap membuatnya tak bisa melihat dengan jelas siapa pemilik mobil itu.
Meski remang-remang, Everest dapat memastikan jika mobil itu adalah milik asisten pamannya. Dugaan Everest benar, lelaki tinggi dengan potongan rambut short comb-over keluar mobil dan berjalan mengitari bagian depan mobil ke arah pintu penumpang.
"Mau apa dia berhenti di situ."gumam Everest.
"Bos, kau bicara padaku?"
Tidak Everest respon. Everest lebih fokus memperhatikan asisten pamannya yang menghentikan mobil di depan rumah.
"Qin?!"sedikit terkejut Everest melihat Qin keluar dari mobil yang Rozie bukakan. Seketika pagar balkon digenggam erat olehnya. Matanya menatap nanar kedua orang itu dengan rahang mengatup, kesal.
"Qin??? Ada apa dengan nama itu?"Seru asisten Fadil. Namun Everest tak menanggapi.
"Fadil, cari tahu apa yang Qin lakukan seharian ini. Dengan siapa dia bertemu, tempat apa sajakah yang dia kunjungi. Aku mau informasinya sekarang juga. Setelah itu, kirimkan secepatnya kepadaku."titah Everest.
"Qin? Kenapa kau sangat membutuhkan informasinya? "
"Lakukan saja yang aku katakan."setelahnya Everest memutuskan sambungan telepon lalu masuk kamar dengan wajah suram.
Di sisi lain, Qin terlihat bersemangat sekali, wajahnya pun terlihat cerah. Entah apa yang membuatnya begitu senang hari ini. Qin menyunggingkan senyum pada pria jangkung berwajah poker di depannya itu sangat manis.
"Hup! Terima kasih atas tumpangannya. Kau sangat baik sekali mau mengantarku pulang. Kalau begitu, aku masuk. Sampai jumpa."ucap Qin, melewati.
"Aku harap kau dapat mempertimbangkan tawaran tuanku."cetus Rozie datar.
Qin berhenti, menyunggingkan senyum lalu berbalik badan.
"Boleh saja. Jika dia tidak keberatan mempertimbangkan yang aku minta. Anggap saja ini sepadan dengan resikonya."ucap Qin santai.
Rozie langsung terkekeh begitu mendengarnya.
"Hanya anjing yang bisa menjilati sepatu tuannya."imbuh Qin, sinis. Rozie mendelik tajam. "Sudahlah, aku mau masuk, di luar sangat dingin dan banyak nyamuk."
"Cih! Aku harap Everest tidak menarik pelatuknya saat kau membuka pintu."sinis Rozie.
"Orang yang sudah merasakan kematian tidak akan takut mati. By the way, terima kasih peringatannya."
Rozie seketika dibuat terdiam dengan kalimat yang dilontarkan oleh Qin, ia menatap punggung pria aneh itu masuk halaman rumah. Menggelengkan kepala kemudian masuk mobil dan pergi.
"CK, apa karena dia beruang bisa memperbudak ku seenaknya. Dasar tua bangka kikir."gerutu Qin, membuka pintu rumah.
"AAAAAA!!! Astagaaa!!"Qin terkesiap saat membuka pintu ditodongkan sebuah pistol tepat ke arah keningnya.
Pistol berkaliber 9x19 yang Everest arahkan membuat jantung Qin tak henti-hentinya berdetak, ditambah ekspresi datar Everest membuat sekujur tubuhnya keringat dingin.
Qin meneguk saliva-nya kasar. Ucapan pria tadi tepat sasaran, kepulangannya benar-benar disambut sebuah pistol oleh Everest.
"Ngg... Itu pistol beneran ya? Bukan mainan 'kan?"
"Biar ku pastikan. Mainan atau bukan."tutur Everest menarik slide kemudian kembali diarahkan pada Qin.
"Eh eh! Jangan, jangan, jangan. Aku tidak mau mati, aku masih ingin hidup. Aku ini bukan papan target tembak tahu."kata Qin, ngenes.
"Ada tiga jenis orang yang ingin aku bunuh. Pertama, dia musuhku. Kedua, orang yang menjijikkan. Dan yang ketiga... Aku tidak suka melihatnya. Sedangkan tiga-tiganya ada padamu."terang Everest datar tanpa menggeser posisi pistolnya. Qin terperangah.
"Kita bukan musuh. Kita teman, friends, bestie bestie hehehe...!"
Everest terbahak. "Seriously? "Qin mengangguk. "Hahaha jangan bercanda. Kau bukan siapa-siapa aku. Lagipula aku benci melihatmu, huh!"ucap Everest ketus sembari menarik pistol lalu berjalan meninggalkan.
Qin terdiam dengan mata cengo melihat lelaki yang sudah melenggang pergi dari hadapannya itu. Qin berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepalanya pelan. Ia menjadi tak habis pikir dengan sikap aneh Everest. Kadang-kadang sangat tak terduga yang membuat was-was seperti setan. Kadang kala bila sedang baik... Baiknya melebihi malaikat?! Emang dasar psikopat gila, gerutunya.
*****
"Pergi ke mana?"
Qin terlonjat keget mendengar suara itu dengan langsung menoleh, yang mana di situ di ambang pintu Everest berdiri memampang wajah datar melihatnya.
"Apa?"
"Aturan rumahku masih berlaku, tidak sepatutnya kau melanggar dengan seenaknya."tegas Everest.
"Apa? Aku tak merasa melanggarnya. Apa tidak boleh aku keluar rumah? Ayolah, yang benar saja. Peraturanmu itu terlalu kolot. Lagipula hal itu tak tercantum dalam kontrak kerjaku. Jadi sah-sah saja aku keluar rumah, toh, itu bukan urusanmu juga, hmm!"sahut Qin tak mau kalah. Moodnya seketika rusak menjadi jengkel.
Everest menggertakkan gigi, tidak suka dengan omongan Qin.
"Memang pantas dikatakan pria sensitif, kau sangat menjengkelkan. Sepertinya kau sangat ketakutan aku keluar rumah untuk membagi informasi rahasiamu kepada musuhmu, benarkan? Jika mau sudah aku laku..kaan ah!"Qin tersengal secara tiba-tiba Everest mencengkeram lehernya yang otomatis membuat tubuhnya menabrak dinding dengan kasar.
"Kau bilang apa?! Ayo bicara! BICARA!!!"
"A-apa yang kau lakukan...! Lepaskan aku. Aku tidak bisa bernafas aag! Ini sakiiiit!!"jerit Qin. Tapi tak diindahkan oleh Everest, ia seperti sudah kalap mata. Seperti yang dilihatnya hanyalah kebencian dan emosi. Qin tidak tinggal diam, ia turut berontak hanya saja usahanya sia-sia, sebab kekuatan Everest jauh diatasnya. Qin pasrah.
"Aku tidak suka dibantah! Kelakuanmu yang seperti ini aku membencinya!"
"Dasar gila. Lepaskan akuu argh!!"
Everest tersentak, ia tertegun ketika melihat sepasang mata lemah di depannya seperti memohon iba. Entah apa yang terjadi Everest merasakan perasaan bersalah telah melakukannya. Kilatan emosi di kedua matanya meredup seiring dengan tangan yang perlahan bergerak melepaskan. Akhirnya Qin dapat bernafas lega meski batuk-batuk, lehernya juga terasa sakit bekas cengkeraman itu. Melihat itu Everest mundur tiga tindak ke belakang dan pergi. Namun tiba-tiba menghentikan langkah.
"Do not do it. You will be lost! I promise!"ucapnya sebelum mengambil langkah untuk pergi.
"Masa bodoh! I don't care!"Blam! Sahut Qin sembari menutup pintu dengan keras. Lalu berjalan menghampiri cermin. Terlihat jelas lehernya yang memerah.
"Sialan. Lelaki itu hampir saja membunuhku. Benar-benar menakutkan, tak bisa dianggap remeh. Argh! Humph! Menjengkelkan sekali! Aduh. Aww! Sakit. Bedebah gila."
Sambil bersungut-sungut Qin mengoleskan krim luka di lehernya yang memerah dan berteriak karena sakit.
Sementara si kamar itu Everest berdiri menghadap wastafel dengan sepasang mata menatap kedua telapak tangannya. Ia tak percaya akan terbawa emosi dan melakukan hal gila seperti tadi. Mungkin jika Qin seorang laki-laki sudah tamat riwayatnya saat itu juga. Akan ada kematian di rumah ini.
"Sialan!"
Ting!
Handphone di meja bergetar saat menerima notifikasi pesan.