DIKEJAR-KEJAR BOCAH!(End)

By wdri_07

2.7K 1.4K 469

⚠️sebelum membaca follow dulu yuk!!⚠️ -TAMAT- PART LENGKAP!! ⚠️AREA UNTUK SEMUA KALANGAN ⚠️ sinopsis: Dibal... More

BAB 1 (dikejar-kejar bocah)
Bab 2 (balas dendam)
BAB 3(kejadian memalukan)
BAB 4(meriang)
BAB 5(makan-makan satu kampung)
BAB 6(jambu biji)
BAB 7(sakit demam)
BAB 8(pergi ke sawah)
BAB 9(semuanya berbeda?)
BAB 10(Ulang tahun?)
BAB 11 (POV.FATIH)
BAB 12 (masalah datang?)
BAB 13 (masalah sedikit terselesaikan)
BAB 14 (Kedatangan pak David?)
BAB 15 (masalah selesai)
BAB 16 (Sebenarnya ada apa?)
BAB 17 (tingkah Haikal)
BAB 18 (Haikal meninggal?)
Bab 19 (Kecelakaan?)
BAB 20 (keluar dari kantor)
Bab 21 (Hilang ingatan?)
BAB 22 (POV. FATIH)
BAB 23 (Menantu?)
Bab 25 (Romantis di pagi hari)
BAB 26 (TAMAT)
BAB 27 (Extra part)
cerita baru!!
info
info Sequel cerita kedua!

BAB 24 (menyakiti dua hati?)

69 40 33
By wdri_07

pembaca Goib!
Tinggalkan vote atau komentar.

Sudahkah bersholawat hari ini?
'Allahuma sholli ala Muhammad, Wa ala ali Muhammad'

BISMILAH SEMOGA SUKA 💗

"Secara tidak langsung, kau menyakiti dua hati sekaligus."
-Muhammad Al-Fatih

Happy reading!!

*********

Siang ini pukul jam satu siang, aku tengah berada di dalam rumah Haikal. Pagi tadi bocah itu sudah di perbolehkan pulang dari rumah sakit.

Aku menghela napas panjang, aku tidak sendirian di sini. Lebih tepatnya aku di temani oleh segerombolan bocah-bocah yang sedang menjenguk Haikal temannya.

Posisi kami saat ini berada di ruang tamu, dengan Haikal yang tengah tiduran di lantai dengan di alasi kasur kecil.

"Tante Sya! Haikal, pengen deh ngemil," ujarnya tiba-tiba.

Aku yang mengerti hanya mengangguk kemudian mengambil beberapa bungkus snack untuk bocah itu.

"Bukan ngemil itu Tante Sya! Tapi--"

"Ngemilikin Tante Sya, sepenuhnya." Lanjutnya terkekeh.

Aku mencebikkan bibirku kesal, "Dasar bocah! Beraninya baperin doang," gerutuku menahan kesal.

"Tante Sya, mau tahu enggak? Badan Azam tuh selalu gemeteran tahu, kayak gempa, kalau lagi deket sama Tante Sya." celetuk Azam di sebelahku.

"Sana, jangan deket-deket Tante! Nanti kamu gemeteran terus lagi!" sungutku kesal.

"Bercanda Tante! Hehe," cengengesnya di sertai cengiran jahil.

Aku beralih menatap ke arah Haikal. "Dua hari sakit, Badan kamu kurusan, Kal." ujarku memperhatikannya.

"Orang kurus itu setia," jawabnya dengan memasang wajah tanpa dosa, membuatku refleks melotot ke arahnya.

"Gak jelas kamu, Kal." sahut Iyan mengomentari.

Aku hanya bisa memijit pelipisku pening melihat tingkah bocah-bocah itu. Semakin hari, semakin mengada-ada.

"Napas aku kok sesak, ya?" sahut Davi tiba-tiba.

"Kenapa tiba-tiba?" tanyaku refleks khawatir dengan keadaannya.

"Karena separuh napasku, ada di Tante Sya!" seru Davi dengan senyum mengembang.

Jiakkh!!!

Cape aku, cape! Di gombalin bocah terus.

"Bisa saja kamu Dav!" kekeh Haikal tertawa melihat tingkah teman-temannya yang sangat receh termasuk dirinya.

"Tante Sya! Mukanya kok kayak orang susah?" celetuk Adam, membuatku yang mendengarnya refleks memelototinya.

"Susah, bagaimana heh?!" dengusku sambil berkacak pinggang memandangnya.

"Susah di lupain!"

Brugh!

Tubuhku tiba-tiba saja melemah setelah mendengar penuturan terakhir dari bocah itu. Sepertinya, tubuhku sudah sangat lelah menanggapi hal random yang mereka lontarkan.

"Tante Sya! Kenapa?" tanya mereka serempak.

"Ck, enggak lihat? Ini tuh, lagi pingsan aneh!" decakku kesal dengan mata terpejam, posisiku saat ini tengah tertidur di lantai yang sudah beralas tikar.

"Gawat!! Panggil dokter woii!!" teriak Haikal lantang.

Aku melotot mendengar teriakkan bocah itu, refleks badan yang sempat lemas tadi langsung berenergi kembali bangkit dari posisi tidur.

"Lho? Gak jadi pingsan Tante?" tanya Adam dengan polosnya.

Astaga! Kenapa bocah-bocah itu sangat menyebalkan!

Aku hanya bisa menghela napas jengah. Jika aku terlalu lama di sini, bisa menyebabkan lambungku kambuh. Sebab, gombalan mereka itu bikin aku mual, tambah laper juga.

"Allhamdulilahh, Tante Sya, enggak jadi pingsan!" timpal Iyan dengan senyum manisnya.

"Haikal, khawatir tahu sama Tante Sya!" adu Haikal kemudian menyenderkan punggungnya pada dinding.

Kepalaku mengangguk-angguk mengiyakan setiap ucapan mereka.

Asli!! Lambungku sepertinya kambuh, gara-gara mendengar gombalan maut dari segerombolan bocah-bocah tengil itu.

"Tante Sya pasti keturunan dengan genetik Jawa, ya?" tanya Azam di dekatku.

"Bukan, aku Sunda."

"Pantes! Tante adalah Jawaban dari doa-doaku,"

Mataku mengerjap tidak mengerti, "Sunda Zam, sunda! Wes-wes terserah kamu lah, pusing kepala Tante jadinya!" sahutku pasrah.

Nyerah aku, kalo udah berurusan sama mereka!

"Tante Sya, Haikal tahu kita gak seumur, tapi bolehkan seumur hidup sama Tante Sya?" lontar Haikal dengan wajah tengilnya.

"Bicara apa, kamu tadi Haikal?" sahut seseorang tiba-tiba datang.

Aku menoleh ke arah depan pintu rumah, sesosok laki-laki tegap berdiri di ambang pintu. "Mas Fatih?" panggilku pelan.

"Haikal, enggak bicara apa-apa serius!" kilah Haikal bocah itu menyengir lebar pada pria yang sudah ada di hadapannya.

"Jangan godain Tante Nasya terus, Haikal." tegur Mas Fatih duduk di sebelahku.

"Nasya? Kamu tidak kenapa-napa 'kan, selama saya pergi ke apotek?" paparnya bertanya, kepalaku menggeleng pelan bahwa aku baik-baik saja.

Hanya saja ... perutku sangat mual dengan gombalan maut bocah-bocah itu padaku.

"Mas Fatih, kok khawatirnya sama Tante Sya doang! Sama Haikal enggak khawatir?" ujarnya dengan bibir cemberut , kedua tangannya bersidekap dada.

Mas Fatih terkekeh kecil mendengar penuturan adiknya, "Mas, khawatir kok!" Kekehnya tertawa.

"Ummi sama Abi, ke mana Kal?" tanya Mas Fatih melihat sekeliling ruangan.

"Ummi sama Abi, ikut kajian di masjid," jawab bocah itu.

Mas Fatih mengangguk mengerti kemudian beralih menoleh menatapku. Aku menelan ludah gugup, kenapa pria itu harus menatapku dengan intens begitu.

"Nasya?"

"I-iya, Kenapa Mas Fatih?"

"Malam nanti, saya ingin menunjukkan sesuatu padamu? Jadi mau 'kah, kamu ikut dengan saya nanti?"

Aku mengangguk, "Mau," jawabku pelan.

"Haikal, enggak di ajak?" sahut bocah itu dengan bibir mengerucut lucu.

Aku dan Mas Fatih saling pandang, kemudian mengangguk sambil tersenyum.

"Enggak!!" ucapku serempak dengan Mas Fatih.

Setelah itu kami sama-sama tertawa melihat wajah cemberut yang Haikal tampilkan pada kami berdua.

"Yaaa ... kasian Haikal!" ledek teman-temannya menyoraki Haikal dengan gamblang.

***********

Malam harinya aku tengah menunggu ke datangan Mas Fatih dengan duduk di kursi teras rumah.

Sesekali netraku melirik jam tangan yang melingkar dipergelangan tangan kiriku. Bibirku menyunggingkan senyum tipis, melihat jam tangan yang saat ini kupakai adalah hadiah dari Mas Fatih waktu diriku berulang tahun.

"Mas Fatih, kok lama banget ya," gumamku dengan bibir mengerucut.

Tiba-tiba terdengar suara decitan klakson mobil, membuatku mengalihkan pandangan. Mataku berbinar dengan senyum mengembang, ketika melihat mobil yang sudah tidak asing lagi bagiku muncul kemudian berhenti di rumahku.

Seorang pria berjas keluar dari mobil itu. Mataku memincing, itu bukan seseorang yang tengah kutunggu. Senyum yang menghiasi bibirku kini memudar.

Pria itu mendekatiku, aku membuang muka ketika mataku bersitatap dengannya. Aku terus menggerutu, kenapa  pria menyebalkan itu datang ke sini.

"Assalamualaikum, Nasya?" salamnya setelah berada di hadapanku.

Aku menjawab dengan sedikit malas, "Waalaikumsalam," balasku masih dengan posisi duduk.

Sesekali mataku melirik ke depan rumah, menunggu kedatangan Mas Fatih. Tetapi, aku takut jika laki-laki itu salah paham dengan kedatangan Pak David di rumahku.

"Hm, sepertinya kamu sedang menunggu seseorang?" tebaknya membuatku langsung mengangguk.

"Baiklah, apa kedatangan saya mengganggu?" tanya pria itu.

Aku menghela nafas gusar, lalu menatap balik pria itu. "Pak David, ada apa ke sini?" tanyaku balik.

"Bunda sedang sakit," jawabnya pelan.

"Lalu urusannya dengan saya apa, Pak David?" tanyaku lagi dengan nada jengkel.

Pria itu terdiam sejenak sebelum kemudian kembali berucap. "Bunda, ingin bertemu denganmu malam ini," beritahunya dengan raut penuh harap menatapku.

Aku menggeleng, "Saya sibuk, nanti besok siang saja!" ucapku dengan nada ketus.

"Please! Nasya! Kali ini saja, bujuk Bunda saya untuk mau melakukan operasi besok pagi,"

"Saya mohon ...," lanjutnya lagi dengan memasang wajah memelas.

Tubuhku terpaku mendengar ucapannya, pikiranku menjadi bimbang. Aku takut, Jika aku ikut dengan Pak David malam ini. Bagaimana dengan Mas Fatih?

Aku takut melukai perasaan dari keduanya, pikiranku bimbang tidak bisa memilih salah satunya.

"Bagaimana, Nasya? Kamu mau ikut 'kan, dengan saya?" tanya Pak David kembali memastikan.

"Saya harus ijin terlebih dahulu," sahutku bangkit dari kursi.

"Baiklah, ijin terlebih dahulu kepada kedua orangtua kamu. panggil ia keluar, saya ingin bertemu dengannya juga," ujarnya tersenyum.

"Tidak, saya harus meminta ijin terlebih dahulu pada Mas Fatih,"

"Kenapa, harus ijin kepadanya?" tanyanya heran, seperti menahan kesal ketika aku menyebut nama Mas Fatih.

"Assalamualaikum,"

Saat mulutku hendak menjawab pertanyaan Pak David, suara salam terdengar jelas dari arah belakang Pak David.

Aku menoleh ke arah sumber suara, "Mas Fatih?" panggilku terkejut dengan kedatangannya.

Aku memandang pria itu dengan pandangan kagum, Bagaimana tidak? Mas Fatih, memakai baju Koko putih dengan sarung hitam yang ia selalu gunakan, tak lupa peci hitam yang sudah bertengger di kepalanya.

MasyaAllah Imamku!

"Kamu belum jawab salam saya, Nasya." ujar Mas Fatih sambil menghampiriku.

"M-maaf, waalaikumsalam Mas Fatih ...," jawabku sedikit gugup.

"Baiklah, apa kamu sudah siap? Mari kita berangkat!" ajaknya sambil menggenggam tanganku erat.

Aku tersentak dengan perlakuan pria itu, apa Mas Fatih tidak melihat keberadaan Pak David? Yang tengah mematung memandang ke arah kami berdua.

"Nasya, saya mohon? Ikut dengan saya, malam ini saja." pinta Pak David lagi.

Mas Fatih menolehkan kepalanya menatap Pak David. "Nasya, harus ikut saya malam ini." tekan Mas Fatih dengan tegas.

Aku hanya bisa menghela nafas gusar, sepertinya tidak ada pilihan lain, aku akan ikut dengan Pak David malam ini.

"Mas Fatih? Maaf, Nasya harus ikut Pak David malam ini." tuturku tertunduk.

Keningku mengernyit, kenapa tidak ada sahutan dari pria itu, kepalaku terangkat ragu menatap pria itu yang tengah memalingkan wajahnya dariku.

"Mas Fa--"

"Pergilah," selanya memotong ucapanku.

Kepalaku mengeleng pelan dengan air mata yang sudah mengembun. Apakah dia marah? Tidak, jangan sampai.

"Kamu boleh pergi, asal saya ikut!" lanjutnya lagi, membuatku terkejut.

Senyumku mengembang mendengar ucapannya lagi. Baiklah, semoga saja Pak David mengijinkan Mas Fatih untuk ikut, bersamanya.

"APA? kenapa, kamu harus ikut juga?" ujar Pak David menyahut seperti tidak terima.

Mas Fatih terkekeh kecil memandang ke arah Pak David, "Kenapa? Apa ada masalah? Masih mending saya ijin kan, dari pada tidak sama sekali!" ujar Mas Fatih tegas.

Pak David mendengus kesal, "Baiklah, ayo Nasya! Mari masuk ke dalam mobil saya," ajaknya kemudian melangkah lebih dahulu.

"Tidak! Nasya, hanya boleh pergi mengunakan mobil saya!" tekan Mas Fatih cepat.

Aku hanya bisa pasrah mengikuti langkah pria yang tengah menggenggam tanganku erat.

*********

Saat ini aku sudah berada di dalam rumah sakit, di depan pintu ruangan ber- cat putih tempat Bundanya Pak David di rawat.

Tanganku mulai mencekal handle pintu ruangan itu, dengan perlahan aku membuka pintu itu.

Aku dan Mas Fatih masuk ke dalam ruangan itu, di dalam sana sudah ada Pak David yang tengah mencoba membangunkan Bunda Putri.

"Bunda, lihat, ada Nasya. lagi jenguk Bunda." ucap Pak David tangannya menunjuk ke arahku.

Mata Bunda Putri melirikku, bibir wanita itu terangkat menerbitkan senyum sumringah.

"Nasya? Bunda, boleh peluk kamu?" pintanya membuatku langsung mengangguk.

"Kemari lah," titahnya.

Aku menoleh pada Mas Fatih, menatap pria itu untuk meminta persetujuan. Mas Fatih yang sepertinya paham dengan lirikanku, seketika ia langsung mengangguk sambil mengembangkan senyumnya.

Aku tersenyum kemudian berjalan menghampiri wanita berambut coklat itu, yang tengah terbaring di ranjang rumah sakit.

Tanpa aba-aba tubuhku sudah di rengkuh oleh wanita paruh baya itu, hatiku terenyuh melihat keadaannya sekarang.

Aku bisa sangat merasakan saat tangannya mulai melepaskan pelukannya."Bunda, kenapa bisa sakit begini?" tanyaku ketika pelukannya sudah terlepas.

"Bunda, juga tidak tahu. Tiba-tiba saja pagi tadi, Bunda mengalami sesak nafas yang sangat-sangat sesak, sampai-sampai di rumah sakit, bunda ternyata harus di operasi." jelas Bunda Putri.

"Cepat sembuh Bunda," ucapku sambil mengelus punggung tangan kanannya.

"Bunda, David sudah membawa Nasya sekarang? Jadi besok mau kan, bunda untuk melakukan operasi?" bujuk Pak David.

"Bunda, harus mau di operasi, supaya Bunda kembali sehat oke?" timpalku menyemangatinya.

"Bunda, mau di operasi. Asal Nasya, mau menjadi menantu Bunda!"

Deg!

Tubuhku terpaku mendengar permintaannya, tanpa sadar tubuhku berjalan mundur kebelakang. Aku bisa sangat merasakan saat punggungku bertubrukan dengan dada bidang seseorang.

"Nasya, saya mohon? Jangan mau menuruti permintaan wanita paruh baya itu, saya merasa itu jebakan." bisik Mas Fatih di telingaku.

Aku mengangguk kemudian berdiri di samping pria itu.

"Nasya, bagaimana? Kamu mau kan, menjadi menantu Bunda?" pintanya lagi menatapku penuh harap.

"N-nasya, enggak bisa Bunda." selorohku menatapnya sendu.

"T-tapi, Kenapa?"

"Nasya, itu istri saya Tante!" sentak Mas Fatih tiba-tiba menyahut.

"A-apa?" lirih Bunda Putri dari raut wajahnya ia seperti sedang syok mendengar ucapan Mas Fatih.

"Bunda, Nas---"

"M-maaf kan, Bunda. B-bunda tidak tahu," potong Bunda Putri terdengar menahan sesak.

"Nasya? Bolehkah, saya berbicara berdua denganmu kali ini saja." pinta Pak David dengan raut wajah yang sulit aku gambarkan.

"Tidak bisa!" sela Mas Fatih lalu merangkul pinggangku posesif.

"Mas Fatih? Boleh ya, kali ini saja?" pintaku menatapnya lekat.

"Tapi---"

Jari telunjukku sudah lebih dulu menempel pada bibirnya yang tengah berbicara, bibirku mengulum senyum tipis, melihat pipi Mas Fatih yang sudah memerah bak kepiting rebus.

"Mas Fatih? Boleh, ya? Kali ini saja," bujukku lagi, lalu menjauhkan jariku dari bibirnya.

Mas Fatih terlihat menghembuskan nafasnya kasar, kemudian ia berdehem setelah itu mengangguk.

"Tapi, saya ikut!" sahutnya sambil menggenggam tanganku.

Aku hanya bisa mengangguk pasrah, lalu menoleh ke arah Pak David yang tengah membuang muka dari kami, begitupun Bunda Putri yang tengah menatap ke arah lain.

"Mari ikut saya keluar Nasya," kata Pak David, pria itu sudah lebih dulu melangkah keluar.

Sebelum aku keluar ruangan ini, mataku melirik ke arah Bunda Putri yang tengah melamun ke arah lain.

"Bunda? Semoga cepat sembuh," imbuhku berbicara pada wanita yang tengah terbaring di atas brankar.

Hatiku sedikit sakit, ketika tidak ada jawaban dari wanita itu. 'Maaf, Bunda.' ucapku dalam hati.

"Mas Fatih, ayo!" ajakku pada pria di sebelahku.

"Hmm,"

Aku keluar dari ruangan itu dengan Mas Fatih yang masih terus setia menggenggam tanganku erat.

"Mas Fatih, lepas dulu genggamannya! Pak David, sudah menunggu di sana lihat." ucapku sambil menunjuk ke arah Pak David yang tengah berdiri mematung menungguku yang tak jauh dari tempatku berdiri.

"Saya, akan pantau kamu dari sini!" balasnya dengan nada sedikit ketus.

Aku terkekeh kecil lalu ijin untuk berbicara sebentar dengan Pak David.

Aku berjalan cepat menghampiri mantan Bos ku itu, sesampainya di sana ia terlihat mengusap kedua matanya menggunakan tangan.

"Pak David?" panggilku saat sudah berada di hadapannya.

Pak David menerbitkan senyum tipis lalu tangannya seperti sedang merogoh sesuatu di kantong celananya.

Keningku mengernyit heran, ketika pria itu mengeluarkan kotak kecil berbentuk love ke hadapanku.

"Kotak ini, berisi cincin yang sudah di pilihkan Bunda untuk seseorang yang telah mengisi hati saya. Tapi, kenyataan pahit harus saya terima, setelah tahu, jika seseorang itu sudah memiliki seorang pria yang di cintai nya."

"Apakah, cinta saya bisa di sebut? Cinta bertepuk sebelah tangan?" sambungnya kemudian tertawa sumbang.

Lidahku kelu tidak bisa menjawab apa-apa, hatiku bisa sangat merasakan sakitnya, yang tengah Pak David rasakan.

"Nasya, kau tahu? Saya menyukaimu dari awal, saat kamu melamar pekerjaan di perusahaan saya. Saya, juga tidak tahu kenapa? Saya bisa jatuh hati padamu yang sangat tiba-tiba bukan?" tanyanya menatapku dengan tatapan sendu.

Aku memalingkan wajahku ke arah lain, mataku tidak kuat bersitatap dengan pria itu. Rasa nyeri menjalar ke ulu hati, bibirku bergetar menahan sesak pada dada.

"J-jangan m-menangis," lirihku padanya, mencoba memberanikan diri menatap Pak David yang sudah berkaca-kaca.

"Pak David? M-maafin Nasya," ucapku pelan.

"Sakit, Nasya! Ini sakit banget," keluhnya sambil tangannya menepuk dada sebelah kirinya berkali-kali.

Kepalaku mengeleng cepat dengan tangan mencoba menggapai tangan kekar pria itu yang tengah memukul dadanya berkali-kali.

Air mata yang sudah menggenang di pelupuk mata kini mulai tumpah perlahan, "Ja-jangan di pukul terus, itu akan menambah sakit!" ucapku terisak sambil memegangi tangannya yang sudah mulai berhenti memukul dadanya.

Tubuh Pak David merosot ke bawah lantai di iringi dengan benda yang terjatuh dari genggaman pria itu.

Tubuhku mengikutinya yang tengah terduduk di lantai untuk mencoba mengimbangi dirinya.

"Don't cry!" pinta Pak David dengan jemarinya mulai menghapus air mataku.

"Pak David, juga! Jangan menangis!" pungkasku kemudian membalas menghapus air matanya.

***********

Disisi lain seorang pria yang sedari tadi melihat adegan itu hanya bisa menahan sesak di dalam dirinya.

Apa mereka tidak mengkhawatirkan dirinya? Satu kata untuk hatinya yang terluka, sakit! Itulah yang sedang ia rasakan.

Fatih mencoba untuk menahan gejolak emosi yang tiba-tiba saja muncul merasuki tubuhnya yang sangat kacau.

"Nasya? Tanpa kamu sadari, kau telah melukai kedua hati seorang pria sekaligus." lirih Fatih menatap pedih ke arah orang yang di cintainya tengah bersama dengan pria lain.

"Apakah ini, yang sempat kamu rasakan waktu saya lebih memilih untuk pergi meninggalkanmu, di acara yang sangat sakral kita untuk sekali seumur hidup," monolognya sendiri.

Tubuh pria itu merosot ke bawah, pikirannya menerawang jauh ke masa lalu. Masa-masa saat Nasya nya, sebelum kehilangan ingatannya.

"Allah... jadi ini adalah rasa sakit yang sempat istriku Nasya, rasakan?" lirihku dengan air mata yang sudah merembes keluar dari pelupuk mata.

************

Tiba-tiba saja aku teringat dengan seseorang yang tengah menungguku sedari tadi, tubuhku menegang kaku, lalu mulai menjauhkan diriku dengan Pak David.

Aku menoleh ke arah Mas Fatih yang tengah duduk di lantai dengan wajah tertunduk.

Aku menggeleng cepat lalu beralih menatap wajah Pak David yang sudah sembab, "Pak David, maaf. Nasya, ijin pergi," pamitku kemudian bangkit berjalan menuju seseorang yang sangat kucintai.

"Mas Fatih," lirihku menyebut namanya saat sudah berada di dekat pria itu.

Wajah Mas Fatih mendongak menatapku sayu, setelah itu ia bangkit dari duduknya lalu berdiri tegap.

"Kita pulang!" ujarnya lalu berjalan mendahuluiku.

Dadaku menahan sesak melihat perilakunya yang berbeda, ini semua memang salahku. Aku telah menyakiti dua hati sekaligus, pikiranku terus berkecamuk dalam diam.

"Mas Fatih, tunggu!" sahutku sedikit berlari kecil ke arah pria itu.

Bruk!

Tubuhku menubruk punggung pria itu, membuat langkah pria itu terhenti. dengan sengaja aku memeluknya erat dari belakang, lalu membenamkan wajahku di belakang punggungnya.

"Mas Fatih, maafin Nasya!" racauku terisak di balik punggungnya.

Untung saja lorong rumah sakit ini sudah sangat sepi pada malam hari tepatnya pada pukul 22:03.


Mas Fatih tiba-tiba saja membalikkan tubuhnya menghadapku, dan pria itu malah membalas pelukanku.

Pelukan ini sangat nyaman bagiku yang baru pertama kalinya memeluk seorang pria dengan waktu yang sangat lama. Aku bisa sangat merasakan tubuh Mas Fatih bergetar hebat, wajah pria itu di benamkan di ceruk leherku yang tertutup hijab.

Sudah cukup lama ia kemudian melepaskan pelukannya perlahan, lalu tanpa aku duga ia mengecup sangat lama pucuk kepalaku. Mataku terpejam menikmati desir aneh menjalar di seluruh tubuh.

"Saya mohon, jangan penah berniat untuk meninggalkan saya! Kecuali, hanya maut yang dapat memisahkan kita. Tapi, aku berdo'a semoga aku terus bersamamu selamanya sampai dunia akhirat nanti,"

Aku mengangguk terharu, "Bantu Nasya untuk mengingatkan kembali kejadian itu. Nasya, janji tidak akan pernah marah dengan Mas Fatih." ungkapku pelan sambil mengulas senyum manis.

Mas Fatih hanya mengangguk, "Ayo, kita pulang. saya takut kedua orang tua kita, mengkhawatirkan keadaan kita yang belum segera pulang," ajaknya kemudian mengandeng tanganku.

"Ayo!!" seruku bersemangat.

Bersambung....

"Menjadi Fatih memang sakit, tapi lebih sakit menjadi David."
-wdri_07

Terimakasih sudah membaca cerita ini!
Jangan lupa tinggalkan jejak!



















Continue Reading

You'll Also Like

3.3K 371 2
[SHORT STORY - EBOOK ONLY] Lisa tidak pernah menyangka akan mendengar kata 'putus' keluar secara mendadak dari bibir kekasihnya yang teramat dia cint...
1.5M 4.7K 23
21+ Ria, seorang ibu tunggal, berjuang mengasuh bayinya dan menghadapi trauma masa lalu. Alex, adik iparnya, jatuh hati padanya, tetapi Sheila, adik...
2.6K 298 43
KANG PLAGIAT MINGGIR! DI LINDUNGI UNDANG-UNDANG. DENDA DAN UU MASIH BERLAKU! CAMKAN! MAU DIPENJARA?! #REVISI GA DIMASUKKAN WP YA! Kisah persahabatan...
1M 75.3K 56
"Seru juga. Udah selesai dramanya, sayang?" "You look so scared, baby. What's going on?" "Hai, Lui. Finally, we meet, yeah." "Calm down, L. Mereka cu...