RATA

By cygnusinthesky

70 4 4

Kalau ada lomba siapa yang terhebat dalam hidup, Jivana yakin tidak akan ada yang menang. Menurutnya, setiap... More

THE TRAUMA
MEETING AN OLD FRIEND
COMEBACK HOME

COMPLAINT

15 1 0
By cygnusinthesky

***
Play on your music
🎶 Good Days -
(SZA)🎶
***

Apa yang bisa diharapkan dari Nuraz Ekspedisi? Jaringan internetnya lambat, komputernya kuno, tapi Jivana sudah terlanjur nyaman di sini. Kalau tidak? Dia mungkin sudah kabur sejak dulu. Serius, kalau kalian cari kerja, lebih baik ikuti saran Raden, cari yang pasti-pasti saja. Kecuali kalau niatnya cuma buat isi waktu luang, bolehlah coba magang di sini. Selain fasilitas administrasi yang kurang memadai, sebenarnya tidak ada yang terlalu buruk di kantor ini.

Lokasinya strategis. Nuraz Ekspedisi cabang Bandung Selatan ada di ruko pinggir jalan raya. Kalau tidak punya motor pribadi, bisa naik angkutan umum, lebih murah dibandingkan ojek online. Di sekitar situ juga banyak pabrik tekstil, otomatis pedagang makanan juga bertebaran. Jadi, tidak perlu jauh-jauh keluar area hanya untuk cari makan. Masalahnya justru terlalu banyak pilihan makanan, kadang pusing sendiri mau makan apa.

Yang membuat Jivana heran sampai sekarang, kenapa karyawan di situ cowok semua? Kecuali dirinya, tentu saja. Wajar kalau kurir kebanyakan cowok, tapi di ekspedisi lain ada juga yang cewek. Partner adminnya saja cowok. Dia hanya bisa berharap suatu hari nanti ada yang melamar jadi kurir cewek, biar dia tidak sendirian sebagai perempuan di situ.

"Jiv, lo tau nggak, kemarin gue nganterin paket COD malah disodorin parang. Gede banget tuh parang, badan bapaknya juga gak kalah serem." Hadif, kurir paling berisik di kantor, tiba-tiba menghampiri mejanya, siap dengan cerita absurd terbaru.

"Muka lo kaya maling kali," jawab Jivana santai sambil melirik Hadif dari sudut mata.

"Ya kali anjir, muka solehah begini dibilang maling," protes Hadif sambil duduk di kursi depan meja, wajahnya penuh kekecewaan.

"Soleh kalo ada ah-nya, itu buat cewek," sahut Sahrul, partner kerja Jivana yang baru saja masuk kantor dua bulan lalu.

Hadif langsung melotot ke arah Sahrul. "Lo diem, lo gak diajak ngobrol!"

Jivana ikut memandang Hadif. "Mana coba solehnya?" tantangnya.

Hadif tersenyum lebar, memamerkan gigi putihnya yang rapi. Raut wajahnya sangat menyebalkan bagi siapapun yang melihat.

"Ah, gak ada soleh-solehnya tuh," komentarnya sambil menyipitkan mata, memperhatikan Hadif lebih detail.

"Lo lebih mirip koko Cina," lanjut Jivana sambil menjewer kepala Hadif dan menarik matanya supaya lebih sipit.

"Tuh, mirip, kan?" katanya sambil melirik Sahrul yang langsung mengangguk setuju.

"Ck, jangan gitu lah, Jiv." Hadif menepis tangan itu, mukanya langsung berubah kesal.

Jivana cuma bisa terkikik. "Idih, najis, baperan banget," cibirnya sambil kembali fokus mengerjakan laporan bulanan yang belum selesai-selesai.

"Lo ga khawatir sama gue, Jiv? Abis ditodong parang lho, bukan maen!" Hadif mulai ngoceh lagi, sementara perempuan itu mulai merasa bosan dengan ocehannya.

"Gue lebih khawatir sama paketnya. Lo apain tuh paket? Di sistem laporannya udah diterima," tanya dia menatap Hadif penuh kecurigaan.

"Ya, gue bayar, lah," jawab Hadif enteng banget.

"Anjir! Itu isinya iPhone, sepuluh juta! Lo gila, Dif?" Dia langsung tersentak, marah-marah.

Hadif memang seringkali nekat bayar paket COD orang lain, tapi kali ini nominalnya keterlaluan. Sahrul sampai ternganga mendengarnya.

"Gak apa-apa, duit bapak gue ini," jawab Hadif sambil cengengesan, gak jelas.

"Beneran gila," gumam Sahrul, dan kali ini setuju sepenuhnya dengan pendapat Jivana.

Hadif memang kurang waras. Bayangkan saja, bapaknya yang punya Nuraz Ekspedisi, perusahaan yang cukup besar dan punya beberapa cabang di Indonesia. Tetapi anaknya malah milih jadi kurir? Jivana gak pernah paham dengan cara berpikir cowok ini. Kalau bapaknya Hadif tahu, bisa-bisa diusir dari rumah.

"Kemarin aja pas lo bayarin panci emak-emak harga dua ratus ribu, bokap lo ngamuk, Dif. Sekarang sepuluh juta? Gak usah pulang lo sekalian," ujar Jivana, masih gak habis pikir.

"Kali ini enggak bakal marah si Tatang," jawab Hadif sambil nyebut nama bapaknya tanpa basa-basi.

"Kenapa beliau gak marah?" Dia semakin penasaran.

"Barangnya gue pake soalnya. Tatang marah kalo duitnya gue pake buat hal yang gak berguna. Panci emak-emak, siapa yang mau pake coba? Mubazir."

Hadif kemudian mengeluarkan iPhone hitam yang sudah penuh stiker harimau kebanggaannya.

"Buat emak lo lah, Bang. Emang ga ada?" cengir Sahrul, membuat Hadif langsung memasang muka galak.

"Iya gak ada, kenapa? lo mau ngasih emak baru?" jawab Hadif dengan kesal. "Lucu buat lo?" Tatapannya seakan mau menghantam Sahrul.

Jivana langsung mengalihkan pembicaraan sebelum Hadif makin sewot. "Dif, makan yuk? Bi Isah buka lagi," ajaknya, sambil segera bangkit dari kursinya dan menarik Hadif keluar kantor, sebelum terjadi baku hantam.

"Anjing tuh si Sahrul. Besok gue pecat dia!" omel Hadif, masih dengan tangan Jivana menghalau niatnya mencekik Sahrul.

"Sut ah, lo kalo laper mulutnya kotor," ujarnya menggandeng Hadif berjalan menuju warung penyetan Bi Isah.

Warung Bi Isah itu sudah jadi tempat favorit mereka, terutama sore hari menjelang Maghrib. Warungnya sempat tutup selama sebulan karena Bi Isah cuti melahirkan anak kedua. Masakannya enak dan dia buka lebih awal dibanding warung-warung lain yang baru buka jam tujuh malam.

"Assalamu'alaikum," Hadif mengucap salam seperti biasa, meski lagi kesal.

"Wa'alaikumsalam. A Aif, Teh Jipa, kumaha kabarna? Daramang?" tanya Bi Isah, menyapa mereka dengan ramah.

"Alhamdulillah sae, Bi. Bibi dan dede gimana?" jawab Jivana dengan logat sunda, ikut menyalami Bi Isah.

"Sae, Neng. Alhamdulillah dipasihan sehat sadayana."

Tanpa perlu diminta, Bi Isah langsung menyiapkan lele goreng untuk Hadif, ayam bagian paha atas untuk Jivana, lengkap dengan dua tahu dan tempe.

"Namanya siapa, Bi?" tanya Hadif, tersenyum bangga.

"Atthariq Al Hadif," jawab Bi Isah semangat. "Biar ganteng, pinter, soleh kaya A Aif," lanjutnya tersenyum bangga.

Hadif langsung memekik senang. "Denger, Jiv? Kata Bi Isah gue soleh!" serunya, dekat banget dengan telinga Jivana sampai berdenging.

"Soleh darimana, bapak lo Tatang!" jawabnya sambil teriak balik ke telinga Hadif.

Suasana mendadak berubah saat seorang lelaki lain masuk ke warung. Dia mengenakan kaos coklat dan langsung menyapa Bi Isah.

"Yang kaya gini dibilang ganteng? Ck, ck, ck, bibi lupa sama saya ya?" katanya dengan nada bercanda, sembari mengambil posisi duduk di sebelah kiri Jivana.

"Aih, Si ganteng! Udah pulang? iraha? Meni gak ada kabar beritana," ucap Bi Isah menyambut kedatangan lelaki yang memakai kaos coklat itu.

"Kemarin, Bi," jawabnya santai, sedangkan Jivana sedikit gugup karena berdekatan dengan orang asing.

"Ini ada hadiah buat dedenya," tuturnya memberikan paper bag ungu bergambar lucu, pas untuk hadiah anak bayi.

"Aduh A Arham makasih ya, repot-repot bawain buat dede," jawab Bi Isah, tapi tetap menerimanya tanpa malu berbeda jauh dengan intonasi suaranya.

Rupanya lelaki itu bernama Arham. Bi Isah menyambutnya dengan ramah seperti sudah saling kenal sejak lama. Hadif langsung sewot melihat kedatangannya.

"Ngapain lo ke sini? Ganggu momen aja," celetuk Hadif.

Arham hanya mengangkat bahu. "Lo liat ini apa?"

"Warung Penyet Bi Isah," jawab Hadif.

"Terus jualan apa?"

"Penyetan."

"Berarti gue ke sini mau ngapain?"

"Makan, lah."

"Nah, tuh. Lo tau," jawab Arham, enteng, membuat Hadif langsung manyun.

"Ah elah, kalah lagi gue." Hadif melengos begitu sadar apa yang tengah terjadi, sementara Jivana cuma bisa menatapnya kasihan karena sudah terjebak permainan kecil Arham.

Lelaki kaos coklat itu kemudian mengetuk meja tiga kali sambil menyerahkan handphone ke arah Jivana. "Bagi nomor," ujarnya tetap memasang gestur santai seakan bertemu dengan teman lama.

"Dif, bagi nomor katanya." Jivana reflek menggeser benda itu sampai dihadapan Hadif, langsung di tarik lagi sama yang punya sebelum Hadif sempat mengambilnya.

"Nomor lo, bukan dia. Gak penting dia mah," ujarnya lagi, menaruh handphone di tangan Jivana langsung.

"Buat apa?" tanya Jivana menatap curiga.

"Nanti juga lo tau," jawab Arham santai.

"Udah kasih aja, mau ngutang kali dia," ujar Hadif mulai mengambil nasi untuk Jivana dan untuk dirinya sendiri. Dia sengaja membiarkan Arham mengambil nasi sendiri.

"Oh, oke." Sedikit enggan, dia mengetik nomor teleponnya di handphone Arham.

"Tapi gue miskin, Dif."

Entah kalimatnya yang salah atau gimana, mereka berdua tiba-tiba kompak nengok ke arah Jivana. Padahal itu fakta, gadis ini gak punya apa-apa selain motor beat karbu yang sudah 5 tahun itu.

Sialan, gue disangka mau ngutang. - Arham.

Hahaha, rasain tuh. Muka lo gak cocok sih, Ham. Gak cocok jadi juragan. - Hadif.

Dua sahabat sehidup semati itu saling tatap dan berdialog dengan telepati di belakang Jivana yang sedang fokus memakan pecel.

***

Ekspresi Sahrul pas mau dicekek Hadif

Hadif makan penyetan

Cowo kaos cokelat yg dimaksud Jiva

Menu makan mereka bertiga

Continue Reading

You'll Also Like

240K 13.3K 27
dreamies jadi bayi? itulah yang terjadi ntah bisa dibilang keberuntungan atau kesialan bagi Hyung line gk pinter buat deskripsi langsung baca aja ...
100K 9.2K 40
Cerita fanfic ini akan fokus kepada kehidupan Hong Haein dan Baek Hyun Woo sebelum mereka menikah kembali, ketika menikah, dan setelah mereka menikah...
233K 23.5K 44
Jake, dia adalah seorang profesional player mendadak melemah ketika mengetahui jika dirinya adalah seorang omega. Demi membuatnya bangkit, Jake harus...
45.7K 5.9K 34
Tentang lika-liku kehidupan keluarga Aksena. Dilarang keras plagiat! High rank 1~haechan (28-9-2024) 1~haechan (01-10-2024)