Jangan lupa vote dan comment ya.
Semoga part ini ada feel ya.
Selamat membaca!
***
Galang mendudukan diri di ruang tamu. Terlihat Ken dan Tobi sementara bermain kartu. Ada Ken, karena semalam Ken menginap di rumah Galang. Maklum saja, Ken dan Galang sedekat itu. "Yaelah Lang, muka lo masih kayak begitu aja." Ujar Ken.
"Gue udah lama nggak pantun ya?" Tanya Tobi sambil tertawa.
"Sikat." Ujar Ken menimpali, kemudian tertawa.
Tobi menatap Ken dan Galang berganti-gantian. "Minum sekoteng pake kue cucur. Gue ganteng, tapi kok lo ancur?"
Ken menepuk bahu Tobi. "Heh. Pantun lo nggak nyambung tau."
Tobi tidak terima. "Eh Kendedes. Lo yang kurang ilmu. Pantun itu ada yang dua baris, ada yang empat baris ya. Selama akhirannya a-b-a-b, itu termasuk pantun. Pantun gue nyambung kok, akhirannya sama."
Ken mengerutkan alisnya. "Tapi tadi akhirannya bukan a-b-a-b?" Tanya Ken.
Tobi menepuk dahinya. "Ya amsyong. Itu namanya sajak. Akhirannya sama. Ada polanya, tapi bukan semerta-merta akhirannya harus terpaku di a atau b. Lo sekolah dimana sih? Kasian amat tu sekolah punya murid modelan begini. Makanya sekolah di tempat gue, biar pinteran dikit."
"Enak aja lo, gue pinter kali. Gue sebenernya tau kok. Maksud gue pantun lo nggak nyambung sama kondisi saat ini. Nggak revalen." Ujar Ken.
"Jiah, bukan revalen kali." Tobi menertawakan Ken. Kemudian berucap, "Yang bener itu, revelan."
Ken mengangguk. Tobi tertawa kemudian terdiam, "Tapi kok ada yang aneh ya? Lang, bener kan ya Lang? Revelan kan? Yang ada sangkut-pautnya gitu loh."
Galang berdecak. Punya temen deket kok gini amat ya? "Dua-duanya salah. Yang bener RELEVAN." Teriak Galang.
Dering telepon membuat Galang mengalihkan atensinya pada handphone. Galang mengangkat malas telepon tersebut.
"Kenapa?"
"Kok lo nangis?"
"Tristan kenapa?"
Galang menghembuskan nafasnya berat. "Iya, gue bantuin. Nggak usah nangis. Lo juga nggak usah kemana-mana. Tunggu kabar aja dari gue."
Telepon itu diputus sepihak. Galang meletakan kedua tangannya di dahi lalu menyisir ke bagian rambut.
"Tadi Nayla ya Lang?" Tanya Tobi melirik Galang sekilas.
Galang mengangguk. "Iya. Ken ikut gue yuk." Galang kemudian berdiri mengambil jaketnya.
"Buset mau kemane Lang?" Tanya Ken. Ia ikut berdiri dari kursi.
Tobi juga berdiri. "Sekate-kate lo berdua. Kan lo tau Lang di sini bertiga. Kenapa lo cuma ajaknya si Kendedes sih? Gue gimana?"
"Ssst. Urusan negara."
Terdengar lolongan serigala. Ken dan Galang saling tatap. Tobi ketakutan. "Kok ada lolongan serigala siang-siang begini sih? Gue di rumah aja deh. Lo berdua aja yang pergi." Tanya dan usir Tobi.
Ken dan Galang bergegas keluar dari rumah Galang dan melesat ke hutan.
***
"Lo senyam-senyum mulu, jadi curiga gue."
Rey ikut duduk di samping David.
David melirik Rey. "Bagus dong? Kan lebih baik senyum. Kata orang, senyum itu ibadah kan?"
Rey mengangguk. "Ya tapi aneh aja sih. Lo nggak lagi jatuh cinta kan?"
"Ngaco lo. Nggak usah aneh-aneh deh. Sejauh ini gue masih fokus kok sama misi itu."
Rey mengangkat kedua bahunya. Ia berdecak. "Kita liat aja kedepannya kayak gimana. Semenjak pindah ke sini, lo jadi lebih ceria. Lo kayak punya alasan dibalik senyum itu. Gue jadi takut deh." Rey bergidik ngeri.
David menyangkal. "Nggak usah geer. Kalo pun gue jatuh cinta, ya gue milih-milih lah. Gue nggak se desperate itu buat sikat yang sesama jenis." Ujar David kemudian menatap Rey dari atas sampai bawah.
"Anjir. Eh, sejauh ini lo masih aman kan?" Tanya Rey memastikan.
"Perempuan yang waktu itu nolongin gue, dia sadar kalo gue serigala."
Rey mengerutkan alisnya. "Dia pernah liat lo berubah jadi serigala? Apa gimana?"
David menggeleng. "Sejauh ini, nggak pernah. Katanya dia cuma tau dari aroma gue aja."
"Gue jadi makin yakin, kalo ada sesuatu dalam dirinya dia." Ujar Rey mantap.
"Itu pasti. Tapi gue yakin kok, dia nggak akan jadi ancaman buat kita. Dia vampire yang baik."
"Kayaknya dia gebetannya Galang." Lanjut David.
Rey berdiri. "Serius lo?"
David ikut berdiri. "Iya. Dia deket banget sama Galang. Ken juga bilang kayak gitu. Meskipun akhir-akhir ini, gue jarang liat mereka bareng. Mungkin lagi marahan."
Suara lolongan serigala membuat David dan Rey saling tatap. Lolongan serigala di siang hari? Tentu ada sesuatu yang penting. Keduanya melesat menuju hutan, sumber suara itu.
***
Thea menggigit bibir bawahnya. Sedari tadi ia mondar-mandir menunggu kepulangan Tristan. Seluruh Keluarga Agra juga demikian. Mereka duduk menunggu di ruang tamu.
Digo memijat pelipisnya pelan. "Harusnya Tristan udah balik."
Thea tersentak begitu mendengar lolongan serigala. Seluruh Keluarga Agra saling bertatapan.
Liora panik. "Ada apa ini ayah? Kenapa ada lolongan serigala di siang hari?"
"Lolongan serigala itu seperti menandakan sesuatu." Ucap Yasha.
Thea mengangguk. "Iya. Nggak biasanya ada lolongan di siang hari. Biasanya di sore menuju malam hari. Pasti ada yang nggak beres."
Agra berdiri. "Lolongan itu suatu pertanda, tapi ayah belum tau pasti apa maksud dari lolongan itu. Tapi sumber suara dari lolongan itu, ada dari kawasan bangsa serigala."
"Itu berarti kita nggak bisa ke sana untuk ngecek ayah? Karena sumber suara itu di kawasan bangsa serigala, dan kita harus melewati perbatasan nantinya?" Tanya Thea memperjelas.
Agra mengangguk.
***
Galang, Ken, David, dan Rey sampai bersamaan ke lokasi yang menjadi sumber suara lolongan itu. "Ada apa ini?" Tanya Galang.
Seorang perempuan juga tiba di lokasi itu. "Kalian di sini juga?"
"Aurel." Ujar mereka serempak.
"Ini sebenarnya ada apa?" Tanya Aurel heran. Ia ikut terganggu dengan lolongan serigala itu.
"Kita juga belum tau." Jawab David.
"Tapi kok ada bau yang aneh di sekitar sini?" Tanya Rey, karena ada bau yang menganggu indra penciumannya.
Ken mengangguk. "Ini, ini bukan bau serigala."
Semua berbalik dan melihat ke semak-semak, kemudian mendekat. Mereka terkejut mendapati seorang laki-laki dalam posisi tengkurap. Laki-laki itu tertutupi oleh semak-semak di sekitar.
"Gue kayaknya kenal." Ujar Ken.
Galang menatap Ken. "Nggak usah ngaco."
"Beneran Lang, ini kayak kakak ipar kita. Tristan."
Deg
Galang membalikan posisi yang awalnya tengkurap itu menjadi terlentang. Ia mendadak pucat pasi. Ia menatap Ken, ucapan laki-laki itu benar. "Ken." Galang mendadak takut, nafasnya memburu.
Aurel menutup mulutnya. Ia mengenal laki-laki yang terbujur kaku di hadapannya ini. "Lang, Ken." Ujar Aurel tidak percaya.
"Kalian kenal?" Tanya Rey.
Galang mengangguk. Ken berucap, "Iya, ini temen sekolahnya Galang. Sekaligus kakak ipar gue, Galang sama Aurel."
"Eh maksudnya calon kakak ipar." Ralat Ken.
Rey mengerutkan alis kemudian tertawa. Ken memang kocak, bisa-bisanya bercanda dalam situasi seperti ini. David tampak berpikir. "Tristan ini, kakaknya Thea kan?"
Aurel mengangguk. "Iya. Tristan anak pertama di Keluarga Agra. Ini, ini bukan karena perbuatan serigala kan? Tristan masih selamat kan?"
Galang menggeleng lemas. Suaranya tercekat. "Tristan udah nggak tertolong."
Ken dan Aurel menggeleng prihatin. "Nggak mungkin, Lang." Sentak Aurel. Mungkin, karena Aurel perempuan, ia lebih perasa dibanding yang lain. Ia tau seberapa Keluarga Agra saling menyayangi satu dengan yang lain. Hal ini tentu akan menjadi pukulan bagi Yasha.
"Tapi menurut gue, nggak ada luka luar maupun luka dalam yang menunjukan bahwa kematian Tristan ini karena perbuatan bangsa serigala. Gue yakin ini bukan ulah bangsa serigala. Karena gue nggak bisa mencium jejak itu." Ucap David mantap.
Galang teringat, Thea sempat bilang bahwa Tristan pergi ke istana Venossa. "Sepertinya ini perbuatan Venossa."
Semua mengerutkan alisnya. "Kenapa?" Tanya Rey.
"Adiknya Tristan pernah bilang bahwa beberapa hari lalu, Tristan pergi menemui Venossa. Mungkin ada hal yang memicu kemarahan Venossa, sehingga membuat Venossa menghabisi Tristan." Jelas Galang prihatin.
"Kita nggak mungkin bawa dia ke rumah Keluarga Agra kan, Lang?" Tanya Ken khawatir. Ia takut terjadi salah paham, dan ia tidak sanggup melihat kesedihan Liora.
"Tapi menurut gue, kita harus bawa dia ke rumahnya. Kalian dekat kan dengan mereka? Kita nggak mungkin biarin dia di sini dan jadi santapan serigala-serigala. Gue duluan ya, masih ada urusan lain." Saran Rey sebelum melesat pergi.
"Kita antar Tristan ke rumah Keluarga Agra." Tutup Galang, kemudian mengangkat Tristan dibantu oleh Ken dan David.
***
"Tristan. Itu pasti Tristan, ayah." Ucap Digo antusias.
"Tapi gue mencium aroma bangsa serigala." Jujur Thea yang diikuti anggukan oleh Yasha dan Liora.
Agra berjalan mendahului, disusul oleh Thea, Digo, Yasha dan Liora.
Agra membelalak mendapati Tristan terbujur kaku. Ia melirik David, sebelum kembali mengalihkan pandangannya pada Tristan. "Tristan. Anakku." Suaranya tercekat, ia meluruh ke lantai.
"Ayah." Panggil Thea, Yasha, Liora dan Digo. Yasha dan Digo menyanggah tubuh Agra. Agra tentu tidak pingsan, hanya saja ia lemas.
Banyak pertanyaan yang muncul, tapi yang terucap justru, "Tolong bawa masuk ke dalam." Ujar Thea lirih.
Usai membaringkan Tristan; Galang, Ken, David dan Aurel menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Untuk kali ini, Agra tidak menyalahkan bangsa serigala, karena Agra tau ini adalah perbuatan Venossa.
"Turut berdukacita." Ujar Galang pada Keluarga Agra.
Ucapan itu tidak digubris oleh semuanya, karena semua masih dalam keadaan berduka dan diliputi kesedihan mendalam.
Galang mendekat ke arah Thea. "Gue tau lo kuat." Thea hanya mengangguk. "Makasih."
Ingin sekali Galang merengkuh gadis itu dalam pelukannya, untuk memberi kekuatan. Tapi ia sadar diri, hubungan keduanya belum baik.
Aurel mendekat ke arah Thea. Thea memeluk Aurel seolah menyalurkan rasa sakitnya. Aurel mengusap kepala Thea. "Lo pasti bisa. Semoga masih ada harapan buat Tristan."
Sesudah itu, David mendekat mengulurkan tangannya. "Gue turut berdukacita ya. Kalo lo butuh apa-apa, pasti gue bantuin kok."
Thea mengangguk. Ia mengusap air matanya, lalu menyambut uluran tangan itu. "Makasih ya."
Interaksi Thea dan David rupanya cukup mengusik Galang. Ia terlihat tidak nyaman.
Agra menatap wajah damai itu. "Kita kehilangan Tristan."
Digo mengepalkan tangannya. Ia menonjok tembok. "Venossa harus mati. Dia harus tanggung jawab sama semuanya ini."
Agra merengkuh Digo. "Cukup Digo. Belum saatnya. Liat Tristan, kita harus menguburnya dengan peti mati dan meletakannya dalam lemari es."
Thea menggeleng. "Nggak. Nggak mungkin ayah. Tristan masih hidup. Dia cuma terluka ayah. Jadi jangan perlakukan dia seperti orang mati." Teriak Thea.
Galang mengalihkan pandangannya dari pemandangan itu.
"Tristan, bangun." Teriak Liora sambil menggoyang-goyangkan tubuh Tristan.
Ken menatap ke arah lain. Teriakan itu mengusik hatinya.
Yasha merangkul Thea dan Liora. "Iya, Tristan masih hidup. Dia nggak mungkin mati secepat ini." Sangkalan dari Yasha membuat Aurel menggelengkan kepalanya. Aurel menatap langit-langit rumah itu.
"Dia kakak yang kuat, dia nggak mungkin mati secepat ini." Ucap Thea kemudian menghapus air matanya.
Sangkalan demi sangkalan terdengar di rumah itu. Air mata mengiringi kepergian pria berwajah teduh itu.
Thea mendekat dan mengusap wajah Tristan. "Selama lo belum jadi debu, gue yakin lo masih punya harapan Tristan. Mending lo bangun sekarang. Bangun Tristan." Teriak Thea.
Digo merengkuh Thea ke dalam pelukannya. "Lo tenang, oke? Kita cari jalan keluarnya sama-sama."
Thea menggeleng. "Gue nggak bisa Digo. Gue nggak mau kehilangan Tristan." Thea memberontak dalam pelukan Digo, tapi Digo justru mengeratkan pelukannya.
Liora ikut merengkuh Thea dan Digo, begitu juga dengan Yasha. "Kita kuat." Yakin Yasha.
Agra bergabung. Merengkuh dan memberi kekuatan. Semua terasa begitu nenyesakkan.
Cukup sudah, Aurel tidak bisa lagi menahan air matanya. Ia menangis, tapi dengan segera menghapus air matanya.
Galang menutup matanya. "Ken, lo di sini aja dulu. Bantu-bantu. Gue mau ke rumah Nayla sebentar. Mau kasih tau Nayla sama Sisi. Nanti gue balik lagi." Kemudian Galang melesat pergi.
"Gue akan cari cara Tristan, gue akan lakuin apapun, supaya lo bisa hidup lagi. Gue janji itu." Ucap Thea mantap.
Setelah pelukan keluarga itu, Ken menepuk bahu Liora menyalurkan kekuatan. Begitu juga dengan Aurel yang terus berada di sisi Yasha.
***
find me on tiktok : @catatanalina
Thank you all!