Sorotan dari para tamu undangan maupun orang-orang yang berada di ruang yang sama dengan kami saat ini sedang mengarah pada sepasang pria dan wanita yang tengah berjalan ke arah panggung kecil tepat di sebelah orang tuaku. Mereka adalah Peter dan Katherine si wanita bergaun hitam itu. Keduanya berdiri berdampingan diatas panggung, benar-benar terlihat serasi. Saudarinya Winter, wanita yang turun bersamanya itu juga kini bergabung bersama kedua orang tuanya.
"Malam ini aku Luke Owen ingin mengumumkan kepada kalian bahwa putri pertamaku Katherine dengan Peter putra pertama dari rekan setiaku Chris dan Margot Stewart secara resmi akan bertunangan malam ini"
Kalimat yang diutarakan oleh seorang pria mapan bertubuh tegap penuh wibawa itu sungguh membuat suasana di aula besar yang sedang kami pijak ini sedikit ricuh. Beberapa dari mereka sungguh menunjukkan wajah tak terduganya. Aku melirik kedua orang tuaku yang ada di depan sana, ekspresinya terlihat amat bahagia.
Peter dan Katherine, wanita itu-ah, lebih tepatnya wanita yang akan menjadi tunangannya itu kini berdiri diatas panggung saling berhadapan. Semua atensi kembali mengarah pada mereka. Peter memegang dan mengangkat jemari wanita itu dengan lembut. Dia benar-benar seperti seorang pria sejati.
Seorang asisten kemudian hadir membawakan sebuah kotak hitam. Peter membuka kotak itu mengambil benda yang telah disiapkan secara khusus olehnya, sebuah kotak berisi cincin mewah dengan ukiran artistik serta batu permata ruby yang melengkapi keindahannya.
Mereka saling memandang. Peter dengan penuh keberanian lalu memasangkan cincin tersebut pada jari manis milik wanita itu. Warna cincin itu terlihat senada dengan kalung yang sedang digunakannya. Semua orang kemudian bersorak dan bertepuk tangan. Tak terkecuali kami yang juga melihat aksi itu tak jauh dari meja kami berada.
⛧•˖⁺‧₊˚♡˚₊‧⁺˖•˖⁺‧₊˚♡˚₊‧⁺˖•⛧
Alunan musik klasik dari pertunjukan orkestra kembali mengiringi ballroom yang kini dipenuhi orang-orang yang sedang berdansa. Peter dan Katherine juga berdansa di tengah-tengahnya. Mereka sangat bersinar. Banyak gadis bangsawan dari kalangan manusia menatapnya iri. Mereka berbisik-bisik menggosipkan sesuatu yang tidak bisa dinyatakan benar atau tidaknya hak tersebut.
"Wanita itu benar-benar seperti seorang dewi. Kau pun berpikir begitu kan, Ethan" ungkap Danielle tiba-tiba. Dia terlihat begitu santai malam ini.
"Kau tak ikut berdansa?" tanyaku
"Kau sendiri?"
Aku tertawa kecil. Hanya aku dan dirinya yang tak ikut berdansa. Sarah, Emma, Matthew sedari tadi sudah pergi berdansa dengan para bangsawan lainnya.
"Menurutmu, apa hal ini bisa diterima oleh mereka?"
"Aku tak tahu. Bisa iya bisa juga tidak"
"Aku harap tidak akan terjadi keributan"
Aku mengangguk-angguk kecil kemudian menghadap kearahnya, menundukkan tubuhku sedikit dan mengulurkan tanganku.
"Apakah kau mau berdansa denganku, Nona?"
Danielle tersenyum membalas uluran tanganku. Menjawab permintaanku, "dengan senang hati, Tuan"
Kami bergabung diantara kerumunan lainnya dan ikut berdansa bersama. Kulihat Peter dan Katherine sudah tak berdansa. Mereka kini bersama orang tua kami yang saling berbincang dengan para tamu lainnya. Disebelahnya adapula Winter. Namun, satu-satunya yang paling diam hanyalah wanita itu, Katherine.
"Aku kasian dengannya, kudengar dia lama absen dari beberapa pertunjukkan karena mentalnya sedang bermasalah"
"Hei, jangan keras-keras dia bisa mendengarnya"
"Siapa yang akan menyangka posisi wanita arogan itu sekarang benar-benar tersingkirkan oleh adiknya sendiri"
"Aku juga pernah mendengar dari beberapa kenalanku kalau dia pernah berkali-kali mencoba bunuh diri karena patah hati"
"Dia pasti sedang dikutuk"
"Ucapanmu jahat sekali!"
Hahaha
Perbincangan antar gadis bangsawan yang sejarak lebih dekat dari tempat Katherine dan Peter berada itu terdengar jelas di telingaku meski mereka sedang berbisik sekalipun. Aku yakin kata-kata itu sedang ditujukan untuk Katherine.
Mataku kemudian menangkap wanita itu, ia terlihat tertekan dan membalikkan tubuhnya pergi meninggalkan Peter dan orang-orang di sekitarnya. Aku menghentikan langkah dari tarianku dengan Danielle. Dia menatapku bingung.
"Maaf, Danielle. Aku harus pergi" bisikku
"Ada apa?"
"Aku merasa sangat mual. Mungkin karena aroma manusia yang memenuhi ruangan ini"
"Apa kau ingin pulang?" Danielle menggenggam bahuku dia terlihat begitu khawatir.
"Aku hanya tak tahan dan perlu keluar sebentar untuk menghirup udara segar"
"Mau kutemani?"
"Tak perlu, bergabunglah bersama ibu dan ayah. Mereka pasti mencarimu, aku tak akan lama" aku dengan lembut menolak penawaran Danielle.
"Baiklah, hati-hati" balasnya, ekspresinya masih menatapku cemas.
⛧•˖⁺‧₊˚♡˚₊‧⁺˖•˖⁺‧₊˚♡˚₊‧⁺˖•⛧
Aku menaiki tangga menelusuri tiap ruangan mencari-cari keberadaan wanita itu sampai akhirnya aku menemukannya di sebuah teras balkon tengah memandangi langit seorang diri.
Malam ini langit sungguh tak menunjukkan bintang-bintangnya. Segumpalan awan juga mencoba menutupi cahaya bulan yang sedang memancarkan sinarnya. Di bawah langit yang kelabu itu dia meneteskan air matanya.
Melihat dirinya yang mencoba menahan isakkan tangisnya menggunakan kedua tangan membuat diriku ingin melangkahkan kakiku untuk mendekatinya. Namun, sisi lain dari diriku seolah mengatakan agar aku tak mendekatinya.
Aku hanya bisa berdiri memandanginya dibalik sebuah patung kuda yang menghiasi kedua pintu balkon, menemani dirinya sampai tangisannya memudar.
Angin bertiup halus menghembuskan udaranya yang segar. Membawakan aroma yang cukup familiar di hidungku.
Aroma ini!?
"Keluarlah"
Suara wanita itu tiba-tiba mengejutkanku. Aku ketahuan.
Dia segera menghapus air mata yang membasahi pipinya itu dan berbalik mengarahkan pandangannya ke patung kuda tempatku sedari tadi bersembunyi.
"Aku tahu sejak tadi kau ada disana!"
Aku menunjukkan diriku dan tersenyum mencoba bersikap santai.
"Aku tak menyangka bintang utama pesta yang merupakan seorang wanita penuh prestasi dan terkenal itu akan melarikan diri dari aula pesta dan kini menangis di tempat seperti ini" ujarku terus terang
"..."
Dia hanya diam seolah tak peduli dengan ucapanku barusan. Aku melangkahkan kakiku mendekatinya.
"Akhirnya aku menemukanmu, Nona Ksatria" bisikku
Wanita itu terheran sejenak seperti sedang berpikir lalu matanya sedikit membulat. Dia mundur beberapa langkah dan dengan cepat mengacungkan sebuah belati kecil yang entah dari mana asalnya dia dapatkan itu.
"Apa kau adalah salah satu dari makhluk yang mengincarku kemarin"
Seperti sebuah peristiwa yang terulang kembali. Kalimatnya mengingatkanku akan malam itu, dimana aku bertemu seseorang yang diburu oleh beberapa makhluk dan tersesat di tengah hutan. Aku sudah menduganya, bau dari makluk itu, setengah vampir-setengah manusia, aroma memikatnya persis seperti wanita yang sedang berdiri di hadapanku ini.
"Ternyata benar-benar dirimu. Selain tak melihat wajahku ternyata kau tak bisa mengenali suaraku, yah"
Alisnya berkerut, matanya menatapku tajam seolah siap menerkamku.
"Aku tak ingin berurusan denganmu, tolong pergilah"
Hhh...
Aku menghembuskan napasku berat. Aku melangkahkan kakiku mendekatinya menatap pemandangan malam disekitar, menyenderkan diriku pada pagar balkon dan berdiri disampingnya yang masih mengarahkan senjatanya itu padaku.
"Mengacungkan sebuah belati kearahku, apa ini caramu membalas budi setelah aku menolongmu pada malam itu bersembunyi di sebuah lembah?"
Kata-kataku sukses membuatnya tertegun. Sorot mataku bisa melihatnya perlahan menurunkan senjatanya.
"Ah, ternyata kau vampir itu rupanya"
Aku menaikkan alis dan bahuku sebagai tanggapan dari ucapannya. Dia mengatupkan kedua bibirnya, beralih memandang taman bunga dibawah.
"Apa yang kau lakukan disini" suaranya mengecil.
"Tentu saja aku diundang secara terhormat hadir di pesta ini, kau pasti tahu kan perayaan tahunan bangsa kami"
"Lantas, mengapa kau hanya diam disana sejak tadi. Aku tahu kau sedang mengawasiku" lirihnya
"Hanya kebetulan saja melihatmu"
"Kau pasti melihatnya tadi, apa kau kini juga berniat menertawakanku"
Jari-jarinya yang lentik mengetuk-ngetuk pagar yang ada dihadapan kami. Ekspresinya tak berubah sama sekali, dingin dan datar. Seolah sudah terbiasa dengan hal seperti itu.
"Aku tak tertarik membuang-buang waktu hanya dengan hal tak berguna seperti itu" jawabku tegas
"Haruskah aku senang mendengarnya?"
"Itu terserah pada hatimu"
Kami kemudian saling terdiam. Semburan angin pelan kembali menyentuh kulit kami, membuat beberapa surai wanita itu juga sedikit menutupi matanya. Tanganku seketika bergerak menyentuh rambut-rambut kecil yang menghalangi pandangannya itu. Menyisirnya pelan kebelakang telinganya menggunakan jemariku.
Ia sedikit terkejut, mata kami saling bertatapan. Aku pun tak bisa melepaskan pandanganku pada kedua bola mata indahnya. Segera kulepaskan tanganku yang kini menyentuh daun telinganya itu setelah dia mencoba untuk menepis tanganku.
"I-itu, ah maaf aku tak sengaja"
Tubuhku terasa gugup. Aku menggaruk-garuk leher belakangku yang tak terasa gatal. Dia masih menatapku keheranan.
"Sepertinya pesta dansanya belum berakhir, kalau begitu aku harus kembali"
Aku melangkah pergi menjauhinya. Tapi tak sampai menuju pintu, langkahku terhenti sejenak.
"Ada satu hal," pikiranku tiba-tiba menuntut diriku untuk mengatakan sesuatu lalu membalikkan badanku. Mengungkapkan hal yang mungkin akan sedikit menghiburnya.
"Jika apa yang mereka katakan itu membuatmu begitu tertekan jangan pernah menahannya, itu hanya akan semakin menyakitimu"
⛧•˖⁺‧₊˚♡˚₊‧⁺˖•˖⁺‧₊˚♡˚₊‧⁺˖•⛧
"Kau dari mana saja?" tanya Emma
"Aku hanya keluar sebentar tadi"
"Astaga, aku mencarimu kemana-mana. Yang lain sedang menunggu, Danielle bilang kau sedang merasa tak enak badan. Apa kau sudah merasa baikan sekarang?"
"Aku tak apa sungguh, aku hanya tak sanggup jika terus menghirup aroma mereka"
"Tolong bertahanlah sebentar lagi"
"Ada apa?"
"Ibu dan Ayah ingin kita bertemu dengannya"
"Siapa?"
"Tentu saja Katherine"
Bertemu dengannya lagi, setelah baru saja aku meninggalkannya. Oh, demi apapun ada apa denganku hari ini.
"Ayo, mereka menunggumu. Kami sudah bertemu dengan Nickholas dan Winter. Mereka juga sedang mencari Katherine"
"Ya, baiklah"
Kami berdua segera menuju tempat yang di maksud Emma. Kali ini aku bisa merasakannya, meski tak terlihat oleh mata telanjang, tapi kami sedang diawasi. Ada sepuluh, ah tidak, lebih dari itu. Keluarga Owen ternyata tak main-main, mereka sangat berhati-hati. Sepertinya Emma memang sudah tahu akan hal ini, ia tak ragu sekalipun.
Di depan sana ada keluargaku bersama pasangan Luke dan Thea. Adapula anak laki-laki mereka, Nicholas, tapi aku tak melihat kedua anak perempuannya. Mereka tengah berbincang-bincang, kemudian mata mereka mendapati kehadiran kami.
"Ethan, kemarilah" panggil Ibu
Mereka menyambutku dengan hangat. Aku pun menunjukkan rasa hormatku. Ibu memperkenalkanku pada Nicholas. Kami hanya bicara seadanya sampai kedua putri mereka datang.
Winter memandangi kami dan tersenyum ramah, dia yang pertama menyapa kami. Aku tak tahu apa yang dilakukan Katherine tapi dia hanya diam, bahkan sejak datang dia tak pernah sekalipun melihat ke arah kami.
"Sapalah mereka" bisik Winter padanya.
Katherine menoleh ke arah kami dengan terpaksa. Dia menganggukkan sedikit lehernya tanpa berbicara sepatah katapun pada kami. Mata kami bertemu. Aku berusaha bersikap biasa seolah kami tak pernah bertemu sebelumnya. Tanpa berpikir panjang aku berinsiatif memperkenalkan diriku padanya. Memajukan selangkah kakiku dan menundukkan tubuhku sembilan puluh derajat.
"Dengan rasa hormat, izinkan aku memperkenalkan diriku, Lady Katherine"
Kuulurkan tanganku kananku, dia pun membalasnya dengan segan lalu kukecup singkat punggung tangan hangat miliknya itu.
"Salam kenal, aku Ethan Griffin Stewart"
Aku melirik ke arahnya. Sekali lagi mata kami bertemu.
˖⁺‧₊˚♡˚₊‧⁺˖