Amicia bingung menatap Avery yang hanya berdiri di sana dengan handuk melilit di tubuhnya. "Apaa, Ryy??"
"Ini... Aku mendadak kangen..."
"Avery, ahh!!! Sumpah ya bikin panik aja, sih!!!"
Gadis itu tertawa dan menarik Amicia untuk ikut masuk ke dalam kamar mandi. Tak lupa, pintunya pun ia kunci.
"Apa sih??? Kok aku malah ditarik masuk??? K-kamu udah 'kan mandinya???" Jujur saja, kepanikan gadis itu yang semula berubah kesal, kini berubah menjadi gugup.
"Udah, kok!" Kedua tangannya bertengger pada pinggang gadis itu. Ditatapnya dengan lekat Amicia tanpa kedip.
"Kamu ini lagi kenapa, sih...?" Ingin rasanya Amicia memejamkan matanya.
"Lagi kangen. Semalem gak sama kamu aja aku udah kangen banget."
"Tapi kan kita udah ketemu lagi sekarang."
Bibirnya mengerucut kesal, "Pokoknya kangen!"
Melihat itu, Amicia pun langsung mengecup bibir itu agar kembali membentuk senyum. "Masih kangen gak?"
Avery mengangguk.
"Muah muah mmmmuah!"
Gadis itu tertawa saat mendapat serangan kecupan secara bertubi-tubi di bibir serta seluruh wajahnya.
"Muah! Mmmm??!!" Namun saat kecupan terakhir Amicia layangkan pada bibir Avery, kepalanya langsung ditahan sehingga kecupan itu berubah menjadi ciuman dalam. Matanya kini melotot karena terkejut. Tangannya sampai menepuk-nepuk pelan gadis itu agar tidak gegabah seperti ini.
Avery pun melepaskan pagutan mereka sembari menyunggingkan senyuman. "Manis kayak biasanya." Gadis itu kini menjilat bibirnya sendiri dengan mata yang tertuju pada Amicia.
"Kamu ih! Udah cepet selesain lagi mandinya aku ambilin baju dulu!" Tangannya membuka kunci pintu dan memutar knop tersebut.
"Dibilang udah selesai mandi..."
"Mandi lagi, mandi lagi!"
Ceklek!
Kakinya hendak melangkah keluar dari kamar mandi. Namun, ia kembali masuk saat aksesnya keluar tertahan oleh seseorang yang berdiri di sana.
"Kalian ngapain?"
Kedua gadis itu langsung berdiri kaku di tempatnya. Dengan segera Amicia memaksa keluar dari sana dan langsung menutup pintu karena kondisi Avery yang hanya memakai handuk.
"Kok pertanyaan gue gak dijawab, Cia?"
Gadis itu hanya bisa menunduk, enggan melihat ke arah lelaki itu.
"Amicia."
Ceklek!
Avery keluar dari kamar mandi dengan terburu-buru dan memakai kembali seragam sekolahnya. Gadis itu masih membulatkan mata lantaran terkejut dengan kehadiran orang ini. "L-lo ngapain ke sini, Mar??"
"Kayak biasa. Mau main." Lelaki itu hanya menggendikkan bahunya dan merespon dengan ucapan yang terkesan datar. Tidak seperti biasanya. "Sorry kalo gue main masuk. Biasanya juga lo suruh gue kayak gitu kalo lagi ke sini 'kan, Ry? Apalagi, pintu kamar lo tadi kebuka lebar." Ia tatap kedua sahabatnya secara bergantian. "Gak ada yang mau jawab pertanyaan pertama gue?"
"...."
"Okay, mungkin gak ada yang salah buat kaum perempuan sekedar mandi bareng (?) Tapi gue gak ngeresain 'sekedar' itu dari lo berdua."
"Lo mikir apa sih..." Avery bersuara lagi.
Lelaki itu kini tersenyum simpul. "Dibilang kurang peka, sebenernya gue gak gitu. Lama-lama, cukup aneh bagi gue ngeliat kalian jadi bener-bener sedeket itu. Panggilan sayang dari Avery buat Amicia pun, walau banyak perempuan pake di luar sana, tapi kalo kalian yang pake gue bisa ngerasain perbedaannya. Sebenernya, salah kalo kalian nganggap gue gak sadar sesuatu. Gue cuma berusaha nganggap ini hal wajar karena kalian sama-sama perempuan. Berbagi kasih sayang sampe segitunya, manggil sayang, manja-manjaan, wajar banget menurut gue buat dua orang sahabat perempuan. Tapi, kayaknya enggak buat kalian."
Amicia semakin menunduk sembari memainkan jarinya. Perasaan gadis itu benar-benar gelisah. Ketakutannya selama ini tentang bagaimana respon Amarnath nanti, sungguh membuatnya takut.
"Awalnya gue mikir, kok kalian doang yang deket, gue gak diajak. Ternyata emang hubungannya cuma cukup buat dua orang. Hubungannya udah beda sekarang."
"Kita masih sahabatan, Mar... Kayak biasa..." Avery berusaha menjelaskan.
"Iya, tapi gak kayak biasa. Coba sekarang kalian yang ngomong. Gue gak mau nebak-nebak, takut ada yang salah." Lelaki itu pun duduk di sisi ranjang dengan kedua lengan yang bertumpu pada kedua lutut. Badannya condong ke depan dengan tatapan yang mengarah pada kedua sahabatnya itu.
Perlahan, Amicia menggerakkan kepalanya, menatap Avery di sana yang masih berdiri di dekat pintu kamar mandi.
Avery pun akhirnya menghela nafas, menggerakkan sedikit kepalanya seolah menyuruh Amicia untuk maju mendekati lelaki itu. Begitupula dirinya yang mengikuti di belakang. "Mar." Ia tatap Amarnath dengan perasaan penuh sesal. "Gue sama Amicia emang saling suka dan maaf kalo kita gak pernah bilang." Akhirnya kalimat itu benar-benar ia ucapkan.
Kini, Amarnath yang menghela nafas setelah mendengar penuturan gadis itu. "Alasan kalian gak bilang itu apa?"
"Waktu itu lo kan sempet confess ke gue jadi..." Amicia yang akhirnya bicara, sepertinya tak sanggup untuk melanjutkan kalimatnya.
"Jadi, kita gak mau bikin lo sakit hati gara-gara ini." Akhirnya, Avery yang melanjutkan. "Amicia nolak lo karena selain dia gak suka sama lo, ya karena ada orang lain yang dia suka. Gue." Tangannya terkepal erat. "Kita...kita beneran gak tau harus gimana, Mar... Kita gak mau bikin lo sakit hati, jujur aja. Makanya kita tutupin ini dan jalanin semuanya seolah kayak biasanya walaupun ternyata...lo mulai ngerasa ada yang beda. Kita sempet janji buat gak akan ngasih tau ini ke lo sampe kapanpun, karena kita gak siap sama respon lo nanti. Tapi, siapa yang tau kalo akhirnya kita bakal ngasih tau ini pake cara kayak gini. Gue gak akan membela diri karena gue tau, gue salah. Gue tau lo suka sama dia, tapi mungkin lo bakal nganggap gue jahat karena rebut orang yang lo suka itu. Gue minta maaf berkali-kali pun gak bakal ada gunanya..." Tetes demi tetes air mata jatuh dari pelupuk mata Avery.
Amarnath pun bangkit dari duduknya dengan mata yang memerah. Tidak ada air di sana, namun kedua gadis itu dapat melihat sorot mata yang kecewa dari sana. "Kalo gue suka sama Amicia, tapi Amicia suka sama lo begitupula lo yang suka sama Amicia, gue bisa apa? Okay gue paham kalian nutupin ini buat jaga perasaan gue, tapi gue sendiri gak bisa bilang kalo akhirnya sekarang kalian gagal jaga perasaan gue." Lelaki itu tersenyum, "Tenang aja, gue gak anggap lo ataupun Amicia sebagai orang jahat. Kalian tetep sahabat gue. Cuma...izinin gue buat pergi dulu sekarang. Jangan ketemu gue dulu sampe beberapa hari kedepan. Ya?"
"Tapi, Mar..." Avery berusaha menahan. "Ingin bicara lebih banyak lagi agar lelaki itu bisa mengerti.
"Kita ketemu lagi setelah gue bilang, iya. Tolong, bisa?"
Gadis itu menatap Amicia sekilas. Yang ditatap nampak sudah mengeluarkan cukup banyak air mata.
"Gue pergi dulu bentar." Dan lelaki itu pun mulai melangkahkan kakinya meninggalkan kamar gadis itu beserta rumahnya. Ia benar-benar pergi dan mereka sengaja tidak mengejar. Mungkin untuk saat ini, biarlah Amarnath sendiri dulu.
Bertepatan menghilangnya sosok lelaki itu, Amicia pun langsung menangis kencang.
Avery dengan sigap menahannya walau kini dirinya pun ikut menangis.
"Ketakutan kita beneran kejadian, Ry... Aku berharap tadi itu cuma mimpi, tapi ternyata bukan..."
"Gimana lagi? Pasti lambat laun Amar bakal tau walaupun kita berusaha buat nutupin segimanapun..."
***
"Loh, Mar. Kok kamu udah pulang lagi? Gak jadi ke rumah Avery? Katanya mau ngajak dia sama Amicia keluar." Wanita itu bingung melihat Amarnath yang berjalan menuju kamar dengan langkah cepat. "Amar?"
"Maaf, Mah. Jangan ganggu aku dulu ya sampe besok. Kalo Papa pulang, bilang aja aku lagi gak di rumah. Maaf aku gak bisa bantu Mama dulu."
"Papa gak akan pulang..."
Lelaki itu menghentikan langkahnya.
"Dia ditahan."
***
Next