When The Darkness Calling Back

By VarshaAruna

118K 8.1K 1K

Sekuel Between Dark And Light 'Selamanya... kau adalah milik Bayangan Kematian' Seroja menata kembali hidupny... More

Prolog
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Epilog
Gift Part
Kekasih Kematian
My Fallen Angel
Brotherhood
The Days Without You

Chapter 23

2.8K 213 26
By VarshaAruna

Warning 21+

Lucca merasakan kegelapan menyekapnya. Tubuhnya terasa melayang-layang. Beberapa saat kemudian, ia merasakan kakinya berpijak pada sesuatu yang dingin. Kelopak matanya terbuka perlahan, warna putih mulai menyerbu pandangannya. Ia menyadari dirinya berada di hamparan salju, entah dimana tepatnya.

Matanya mulai menangkap sosok seseorang. Itu Damian, mengenakan pakaian putih polos dan menatap ke arah lain. Pria itu menoleh pada Lucca seakan sadar diperhatikan. Bibir pria itu tersenyum, bukan senyum lebar atau menggda yang biasa diperlihatkannya. Itu sebuah senyum sedih, senyum yang tak cocok untuk pria menawan itu.

Rasa takut mulai merambati hati Lucca. Apa itu pertanda bahwa pria itu akan meninggalkannya? Sebuah perpisahan?

Seolah menjawab pertanyaan Lucca, sebilah pedang menembus dada Damian dari belakang. Lucca menjerit ngeri dan hendak berlari mendekatinya, namun sesuatu yang kasat mata menghalanginya langkahnya. Wanita itu hanya mampu menggedor dinding tak kasat mata itu, menangis tak terima saat melihat pria yang dicintainya sudah berlumuran darah dan jatuh begitu saja di tumpukan salju.

Saat itulah Lucca melihat sosok bertudung hitam yang menusuk Damian menyeringai sadis.

Mata Lucca sontak terbuka lebar. Ia segera mengangkat sebagian tubuhnya yang terbaring di sisi ranjang Damian. Pria itu masih terbaring lemah, bernafas dan tak berlumuran darah. Lucca menghela nafas lega seraya menggenggam erat tangan pria itu. Ia baru menyadari ada seseorang di sisi lain ranjang Damian. Itu Lotus, sedang membaca sebuah novel dengan suara seperti pendongeng.

…Sejenak, Leo membayangkan bagaimana Michaelangelo bekerja di atas balok-balok kayu yang disusun membentuk anak tangga. Memindahkan lukisan dari sketsa di atas kertas ke dinding langit-langit yang luas. Debu yang melekat mungkin saja jatuh menghujani matanya ketika sedang bekerja…

“Kau… baru datang?” tanya Lucca hati-hati. Dia tahu wanita itu membencinya karena selama ini tak pernah menyapanya.

…No victory without suffering. Pantas sekali jika pembuat dan mahakarya yang dibuatnya tetap dikenang sepanjang masa…” Wanita itu memberikan sisipan buku di halaman yang dibacanya sebelum menutup buku di tangannya. Mata hitam kebiruannya menatap tepat ke mata hijau emerald Lucca dengan dalam. “Cukup lama.”

Tak tahan – sekaligus tak berani – menatap mata itu lama-lama, Lucca memilih untuk menatap wajah tidur Damian. Begitu pucat, dingin, namun damai. Seolah alam mimpi terasa lebih memikatnya dibanding dunia nyata.

“Lotus, aku…”

“Panggil saja Seroja. Itu namaku.”

Lucca tersentak kaget dan menoleh tidak percaya. Tapi wanita itu tidak balas menatapnya, malah menatap wajah Damian. Berbagai pertanyaan menyerbu pikiran Lucca. Seroja alias Ageha? Jadi selama ini pengawal pribadi Damian adalah cinta pertamanya sendiri? Apakah pria itu tahu?

“Dia baru tahu identitasku setelah memergoki Anda berpelukan dengan mantan kekasih Anda,” ujar Seroja seolah menyadari pikiran Lucca. “Emosi membuatnya kacau dan itulah yang membuatnya memperkosaku dengan brutal. Dia merasa tidak terima dikhianati oleh wanita yang disayanginya.”

“Tapi tidak seharusnya dia berlaku seperti itu…”

“Dia seorang pemimpin dalam kelompok mafia, madame. Saat dia tahu ada yang mengkhianatinya, dia pantas memberi hukuman. Tapi… bagiku tidak sepenuhnya begitu. Dia masih belum bisa mengendalikan emosinya jika itu berhubungan dengan perasaan. Karena dia…”

Lucca terdiam saat Seroja menceritakan sosok Damian yang sebenarnya, ikatan darah antara Damian dan Seroja, kehidupannya yang kosong, peran Seroja sebagai pengawal sejak masih kecil. Ia terkejut, tidak percaya, dan sedih. Mereka kembali terdiam cukup lama saat Seroja menyelesaikan ceritanya. Lucca tak tahu harus mengucapkan atau melakukan apa. Secara naluriah, ia mengenggam tangan besar yang dingin itu lebih erat.

“Perasaannya kepadamu begitu meluap-luap,” Seroja mulai memecah kesunyian, menghilangkan nada formalnya, “Para wanita yang datang sebelum dirimu, bahkan termasuk aku, hanyalah pengalih perhatian. Ketertarikan semata. Terlepas dari kekejamannya, tidakkah kau menyadari sikapnya yang tulus hanya padamu? Kecemasannya yang berlebihan? Cinta dan perhatiannya?”

Lucca menyadarinya, namun ego yang terlalu tinggi memaksa untuk mengabaikannya. Saat Seroja meninggalkan ruangan karena mendapat panggilan di ponselnya, Lucca mengangkat tangan Damian, mengecupi buku-buku jarinya.

“Maafkan aku…” bisik Lucca parau karena menahan perasaan dan air matanya yang membendung. “Maafkan keegoisanku. Maafkan ketidak pedulianku. Maafkan keterlambatanku menyadari perasaan ini. Aku mungkin gila mengatakan ini… tapi aku memaafkanmu. Aku memaafkanmu karena aku mencintaimu. Bukan karena rasa bersalah dan kasihan tapi karena kau membutuhkanku. Dan aku menyadari bahwa aku juga membutuhkanmu…

“Bangun, Damie. Bukankah kau menginginkan kesempatan kedua? Bagaimana bisa kita memulainya dari awal jika kau tidur begini? Apa kau sudah tidak mencintaiku dan lebih memilh dunia mimpimu? Apa kau sudah lenyap karena mimpiku tadi…”

Ucapan Lucca terputus karena suaranya makin tercekat, seiring dengan air matanya yang tumpah ruah di pipinya. Wanita itu memeluk tubuh Damian, meletakkan kepala di bahu lebar itu. Saat itulah ia tak sadar ada setetes air mata bergulir jatuh dari sudut mata Damian.

*_*_*

Seroja menepikan maybach hitam yang dikendarainya di depan rumah danau bernuansa kayu, salah satu rumah menyepi milik Damian. Liam menelponnya untuk segera datang ke tempat itu setelah Michael dan Gabrielle tiba di rumah sakit. Pria itu bilang akan mendiskusikan tentang pemindahan Damian ke salah satu propertinya yang dijaga ketat oleh para pengawal. Selain itu, ada juga anggota baru yang akan menggantikannya menjaga Damian selama kehamilannya. Seroja bisa menebak kalau itu pasti desakan dari Nue, wanita itu sangat menyukai anak-anak.

Sambil melangkah pelan menuju rumah, Seroja bertanya-tanya dalam hati seperti apa anggota baru itu. Pria atau wanita? Sebaya atau lebih tua? Normal atau abnormal? Ia benar-benar penasaran. Dengar-dengar, si anggota baru inilah yang bertanggung jawab atas kematian hakim brengsek di Marseille yang selalu menerima suap. Tugas pertama sekaligus uji kelayakan, batin Seroja saat mengetuk pintu depan.

Pintu itu terbuka, Nue muncul di baliknya dengan senyum yang tak pernah pudar. “Tumben tidak menyelinap dari jendela?”

“Untuk apa menyelinap? Suara mobil yang kukendarai sudah pasti terdengar oleh kalian di dalam, kan?”

Nue terkekeh sambil menggeser tubuhnya agar Seroja bisa masuk. Setelah menutup pintu, Nue membawa Seroja masuk ke ruang makan. Di sana sudah ada Rangda yang sibuk melakukan misi favoritnya : melahap habis sepiring spageti. Di sampingnya ada Rebecca yang sedang menyesap teh dengan feminim dan Liam meneguk kopinya yang masih mengepulkan uap panas. Tidak ada tanda-tanda kehadiran si anggota baru.

“Kau bilang ingin mengenalkan anggota baru. Mana?” ujar Seroja sambil menyambar biskuit cokelat di tangan Rebecca dan menggigitnya tanpa memperdulikan tatapan dongkol Rebecca.

“Di atas. Sedang melihat pemandangan. Dia akan menggantikanmu menjaga Damian.”

“Kau sudah mengatakannya di telepon tadi. Yang jadi pertanyaan bagiku adalah… kenapa dari sekian banyaknya anggota yang kita punya kau malah merekrut orang baru? Silvar, Michael atau Rebecca bisa saja melakukannya karena kemampuan kami sebanding.”

“Tidak. Tidak ada yang bisa sebanding denganmu kecuali Damian dan orang ini.” Liam meletakkan cangkir saat melihat dahi Seroja mengerut bingung. “Dia terlatih untuk melindungi orang, hal yang sudah mendarah daging dari keluarganya. Seperti halnya kau dan Black Mask. Lagipula dia memiliki satu persamaan denganmu mengenai Damian. Kedekatan, ikatan.”

Seroja merasakan punggungnya berkeringat. Kedekatan? Seroja memiliki dugaan kuat. Setahunya, yang berhasil mendekati Damian selain Seroja hanyalah…

Dugaan Seroja makin kuat saat ia mendengar suara langkah menuruni tangga di belakangnya. Ia ingat suara langkah itu, ia ingat siapa pemilik suara langkah itu. Seroja tak ingin mempercayai dugaannya. Tapi saat kepalanya mendongak tanpa kehendaknya dan menatap sosok tinggi yang berdiri di anak tangga, dugaan itu benar-benar menyentaknya setara tinju fisik di rusuknya.

Itu Desna.

Berdiri santai sambil menatap dengan mata coklat gelap favoritnya.

Yang kini telah diwarnai kematian setipis kabut.

“Apa maksudnya ini?” geram Seroja pada Liam.

“Kau tentu tahu apa maksudnya sejak aku mengirim Silvar untuk mengantarkan kunci pemberian ayahmu.” Liam menautkan jemarinya di atas meja. “Kami sudah memutuskan untuk menjadikannya sepertimu.”

“Kau tidak bisa menyeret keluargaku sendiri tanpa sepengetahuanku, old man!”

“Ini keputusanku.”

Seroja menoleh pada Desna yang melangkah memasuki ruang makan. Mata hitam kebiruannya menatap garang pria itu bagai predator. “Keluar!”

Tidak ada seorang pun yang berpikir bahwa perintah itu ditujukan pada Desna. Semua yang berada di ruang makan berhambur tergesa meninggalkan tempat itu, membiarkan sepasang suami istri tersebut saling berhadapan dengan meja makan di antara mereka.

“Tidak bisakah kau bersabar?” Seroja memulai pembicaraan setelah kesunyian menyekap mereka. “Aku sudah pernah katakan padamu aku tidak akan membiarkanmu masuk dalam dunia ini. Aku akan keluar setelah urusanku beres lalu menjalani hidup bahagia selamanya bersamamu!”

“Dan menunggu lebih lama lagi? Dengan resiko kehilanganmu?”

“Jadi kau tidak percaya aku bisa menjaga diriku sendiri? Aku sudah mengenal dan menjalani kehidupan ini sejak usia kanak-kanak. Aku bisa mengatasi…”

“Persetan selama apa kau menjalani kehidupan itu!” potong Desna sambil menggebrak meja dan mencondongkan tubuhnya.

Seroja bungkam saat menatap wajah Desna yang penuh dengan bermacam-macam ekspresi. Frustasi, kecewa, marah. Seroja sadar dia terlalu egois untuk mengatasi dendamnya sendiri. Kematian ayahnya, adiknya, sahabat-sahabatnya. Dia tidak ingin kehilangan satu lagi orang yang berharga baginya. Suaminya…

“Desna, dengarkan aku…”

“Tidak! Kau yang dengarkan aku!” potong Desna penuh amarah. “Apa kau tahu apa yang kurasakan setelah melihatmu terjun ke jurang? Lalu setelah kau mengirim pesan garis mawar itu? Apa kau tahu?! Setiap menit, setiap detik, bahkan setiap helaan nafasku, aku selalu memikirkanmu. Saat aku membayangkanmu berdiri tegak menantang maut di hadapanmu, aku terhimpit rasa takut dan harga diri. Pernahkah kau berpikir tentang perasaanku itu?”

Kediaman Seroja membuat Desna kembali melanjutkan. “Manusia memang mudah membuat rencana. Kau bisa saja berencana keluar dari Death Shadow setelah menghancurkan Casa Diablo, tapi aku yakin kau tidak bisa melepas sepenuhnya kehidupan yang sudah kau jalani sedari kecil. Aku tahu kau tidak pernah merasa terpaksa melakukan semua latihan berat dan pekerjaanmu karena rasa cinta pada ayahmu begitu besar. Kenapa kau tidak bisa membiarkanku melakukan hal yang sama terhadapmu?”

“Karena kau lebih berarti dari apapun di bumi sialan ini!”

“Itu jawaban yang tidak adil, Seroja!”

Mereka berderap cepat meninggalkan ruang makan, mengabaikan orang-orang yang mencuri dengan pertengkaran mereka. langkah mereka mulai melamban saat kaki mereka sudah mencapai tepi danau yang jaraknya lumayan jauh dari rumah itu. Seroja masih memunggungi Desna, memeluk dirinya sendiri demi menguatkan perasaannya alih-alih angin dingin yang berhembus.

“Kau tidak berhak membahayakan dirimu sendiri. Bahkan tidak memberitahuku. Aku tidak bisa menerimanya.” Seroja mengusap wajahnya kasar lalu menjatuhkan tangannya. “Setidaknya kau bisa memberitahuku, membicarakannya denganku…”

“Aku minta maaf karena tidak memberitahumu.”

Seroja membalikkan tubuhnya, melihat Desna berdiri sambil menyurukkan kedua tangannya dalam saku celana. “Permintaan maaf diterima. Bagaimana dengan Raini dan Atila? Kau akan mengalihkan hak asuh mereka pada Shirou-niisan, kan? Mereka tidak tahu apa-apa…”

“Sayangnya mereka sudah tahu, Seroja. Raini bahkan tahu siapa kau meski belum sepenuhnya. Dia dan mendiang pak Yana sadar karena selalu menjadi partner latih tandingmu. Lagipula, kelihatan Raini diincar oleh orang-orang haus darah itu. Kurasa dia menjadi target yang sama seperti halnya sahabat-sahabatmu.”

Perut Seroja melilit mendengar kabar itu. Dia tidak menyangka Casa Diablo masih mengincar orang terdekatnya. “Tapi mereka sudah menemukanku. Jadi perhatian mereka sekarang pasti teralih padaku, kan?”

“Ya.” Semoga saja, batin Desna berharap. “Jadi… apa kau sudah siap bercerita? Mulai dari usaha kaburmu dari penjara, hal yang kau lakukan setelahnya dan…” Tatapan Desna jatuh ke perut Seroja. “…tentang mereka.”

Refleks Seroja meletakkan tangan ke perutnya seolah melindungi. Setelah susah payah meneguk ludahnya, Seroja menceritakan semua yang dialaminya tanpa terlewat sedikit pun. Bahkan ketika sampai pada bagian pelecehan Damian, Seroja menceritakannya bukan sebagai korban tak berdaya yang butuh dikasihani. Dia tidak menunjukkan sedikitpun rasa takut akan trauma yang kembali muncul. Seroja yang melihat rahang Desna mengeras setelah ia menuntaskan ceritanya hanya bisa menunduk.

“…Aku tahu kau kecewa, atau mungkin malah membenciku. Karena… karena aku tidak bisa menjaga anak kita, janji kita. Mungkin kau juga tidak menerima mereka tapi… aku mohon dengan sangat padamu, biarkan mereka hidup. Aku tidak sanggup untuk melenyapkan mereka. Aku…”

Ucapan Seroja terhenti saat tangan Desna mendarat di pipinya. Sebuah tepukan keras, namun bukan tamparan. Seroja menengadah menatap tepat ke mata Desna yang menatapnya kecewa, membuat hatinya tercabik-cabik.

“Aku memang kecewa padamu, Seroja.” Desna menguatkan hatinya saat melihat air mata mulai membendung di pelupuk mata Seroja. Wanita itu harus tahu rasa sakit di hatinya. “Aku berusaha keras menjaga diriku dari wanita lain dan kau membiarkan dirimu dijamah pria yang tak lain adalah sahabatku sendiri. Itu menghancurkan hatiku hingga berkeping-keping. Tapi aku teringat satu hal yang kemudian menyadarkanku. Kau pernah trauma pada Lucas dan Damian memiliki wajah serupa dengan pria itu. Kau yang belum mengatasi trauma itu sepenuhnya tentu merasa ketakutan. Meski kau tadi bercerita seolah kau tidak merasakan apapun, aku tahu kau sangat ketakutan. Dan aku bersumpah tidak akan memaafkan Damian sebelum menghajarnya sampai puas.

“Mengenai kandunganmu, jangan berpikir aneh-aneh. Kau pikir aku tega menyuruh istri yang kucintai – yang pernah mengalami keguguran – untuk melakukan aborsi? Mereka mungkin berasal dari benih Damian. Tapi mereka tumbuh di rahimmu dan kau adalah wanitaku. Milikku. Artinya… anak-anak ini adalah anakku juga. Anak kita.”

Seroja tak lagi menahan air matanya ketika tengan besar Desna mendarat di perutnya, menyalurkan perasaan hangat yang menenangkan. Bahu wanita itu terguncang hebat oleh isak tangisnya. Ia meraih tangan itu, meremasnya penuh perasaan seraya mengucapkan dua kata dengan susah payah, “Terima… kasih…”

Desna tersenyum lembut. Tangannya yang lain menyeka air mata yang mengalir deras di kedua pipi Seroja. Wanita itu tentu sudah menanggung beban berat sendirian selama mereka terpisah. Kini Desna tidak akan wanita yang dikasihinya itu berjuang sendirian. Desna berlutut di hadapan Seroja, mengecup perut ratanya lalu menempelkan telinganya.

“Hai, kiddo. Kenalkan, aku ayah kalian. Meski bukan ayah kandung, aku akan menyayangi kalian sepenuh hati. Aku janji.”

Seroja tertawa kecil mendengar Desna mengajak bicara kandungannya yang masih kecil. Ia memeluk kepala pria itu dan mengusap rambutnya gemas. Setelah cukup lama dalam posisi itu, Desna menyadari Seroja terlihat mengantuk. Pria itu teringat ucapan wanita bernama Nue kalau Seroja mudah sekali mengantuk. Itu sama seperti saat kehamilan pertama Seroja yang terlambat mereka ketahui.

Desna membimbing Seroja menuju salah satu pohon rindang di dekat danau, mendudukkan wanita mungil itu di pangkuan lalu memeluknya dengan erat sambil menyandarkan punggung tegapnya ke batang pohon.

“Aku masih belum memaafkan Damian. Setidaknya sampai aku menghajarnya. Aku tidak akan mengurungkan niatku itu meski kau menahanku,” gumam Desna penuh janji.

“Aku tidak akan menahanmu. Tapi bolehkah aku minta satu hal?”

“Katakan.”

“Tolong titip satu tendangan keras di selangkangannya. Tapi jangan sampai dia mandul. Aku tidak ingin di masa depan dia berusaha mengambil salah satu dari anak kita hanya karena tidak bisa punya anak. Itu seperti drama televisi.”

Desna terkekeh mendengarnya. Ia mengecup lama puncak kepala Seroja lalu membalas, “Akan kuberikan tendangan itu di akhir. Pasti.”

*_*_*

Seroja merasakan tangan yang dirindukannya menjelajahi setiap inci lekuk tubuhnya saat belum sepenuhnya terjaga. Wanita itu merespon dengan melenguh malas dan merapat ke pelukan Desna. Ia senang ketika mendengar tawa pelan pria itu dan kecupan lembut di pelipisnya. Matanya terbuka perlahan, kini semua panca indra dan pikirannya hanya tertuju pada Desna. Wajah tampan dengan senyum menawan, aroma tubuh khas yang bercampur dengan parfum cengkehnya, sentuhan kulit yang terasa kasar dan lembut di saat bersamaan, bisikan erotis yang memenuhi telinganya, lalu rasa pria itu saat bibir mereka bertemu dan lidah mereka saling bertautan.

Ia tidak memperdulikan berapa lama ia tertidur tadi, sejak kapan ia berpindah tempat ke kasur empuk, dan kemana perginya manusia-manusia menyebalkan yang menjerumuskan suaminya. Pikirannya hanya tertuju pada Desna, menanti apa yang akan dilakukan pria itu selanjutnya ketika bibir pria itu meninggalkan bibirnya. Ujung-ujung jari menyentuh kulitnya, lidah yang basah mulai menjilat, bibir tipis yang lembut mulai menggesek, semua itu membuat Seroja tak sanggup menahan erangannya.

Sesuatu yang keras menekan pahanya dan Seroja yakin itu bukanlah ikat pinggang Desna. Seroja menyusupkan tangannya ke dalam baju pria itu, menelusuri otot keras di punggungnya. Desna mengangkat kepalanya, menatap dengan matanya yang mulai berkabut lalu memanggil namanya dengan suara serak yang sarat akan gairah. Seroja membalas dengan senyum lembut dan mengelus pipinya.

“Aku merindukanmu,” bisik Seroja dengan suara parau.

Ya, Seroja merindukannya. Di malam-malam ketika ia harus tidur sendirian, ketika mimpi buruk mengganggu tidurnya dan tidak ada tubuh suaminya untuk dipeluk demi menguatkan diri. Dan ketika tubuhnya berhasrat, ia harus puas dengan jarinya sendiri. Kini Desna berada di hadapannya, terbukti dari bobot tubuhnya yang menimpa tubuh Seroja, rasanya sungguh membahagiakan.

“Aku pun merindukanmu,” balas Desna yang kemudian mencium kening Seroja dengan dalam dan lama.

Seroja memejamkan mata, meresapi ciuman penuh perasaan itu. Ia kembali membuka mata ketika pria itu melepas ciumannya. Mereka saling bertatapan seolah mampu berbicara hanya dengan tatapan mata. Ketika sudah saling mengerti, Desna mengangkat tubuhnya. Pria itu membuka kancing kemejanya, sesekali ia melirik Seroja, melihat tatapan wanita itu sedang menantinya.

Susah payah Seroja meneguk ludahnya saat kemeja itu sudah terlepas dan jatuh ke lantai. Tubuh Desna masih sempurna, bahu lebar, lekukan otot tangan yang pas, dada bidang dan otot perut yang tercetak sixpack. Jantung Seroja berdetak tak karuan kala Desna kembali melucuti sisa pakaiannya. Tiba-tiba saja Seroja merasa malu seperti perawan yang hendak dibobol di malam pertamanya. Ia masih terbaring dengan pakaian lengkap sedangkan Desna sudah telanjang sempurna.

Desna membuka pakaian Seroja perlahan, takut tindakan tergesa sedikitpun bisa melukai tubuh mungil nan rapuh itu. Ketika kulit tubuh wanita itu terpampang jelas, Desna mendaratkan ciuman lembut. Tenggelam dalam cita rasa Seroja, ujung-ujung jemarinya kembali menyusuri lekukan samar tubuh istrinya hingga wanita itu mendesah dan gemetar. Wajah Desna mendongak, mengamati dengan bahagia wajah Seroja merona.

“Cantik sekali…”

“A-aku tidak cantik. Tubuhku penuh luka.”

Seroja melihat Desna mengamati tubuhnya. Seharusnya tidak ada lagi bekas-bekas luka di tubuhnya, jika saja ia tidak mengalami insiden yang membuatnya harus terlempar dari lantai dua oleh Lucca. Seroja menjerit kaget saat merasakan tangan Desna meremas kedua payudaranya.

“Agak besar dan kencang dari yang kuingat,” gumam Desna takjub. “Apa kehamilan mempengaruhi bentuk tubuhmu?”

Alih-alih menjawab, Seroja justru mengerang karena ibu jari dan telunjuk Desna tak henti mengeksploitasi putingnya. Erangannya makin keras ketika mulut Desna mulai mengambil alih. Wanita itu meremas rambut Desna gemas, siksaan yang ia terima membuat pusat gairahnya berdenyut dan basah. Terlalu fokus pada jilatan Desna di payudaranya membuatnya tak sadar tangan Desna yang bebas sedang sibuk melucuti celananya. Ia baru sadar saat tangan Desna menyentuh pangkal pahanya yang lembab, tanda bahwa ia sudah siap.

“Lepaskan sekarang, sayang. Lepaskan…”

Seroja mengerang pelan sekaligus menyerah tanpa daya. Desna selalu membuatnya merasa cantik, merasa lengkap dan utuh. Ketika pria itu menyatukan dirinya, Seroja merasakan pandangannya buram oleh air mata.

“Tidak.” Desna merasakan tubuhnya gemetar. Sebagian karena nikmat yang dirasakan kejantanannya, sebagian lagi karena cemas melihat air mata mengalir dari sudut mata istrinya. “Tidak. Jangan menangis, Serojaku.”

“Sstt.” Telunjuk Seroja menempel di bibir tipis suaminya. “Aku merasa begitu sempurna. Tidakkah kau merasakannya, Aingeal-ku?” Kini tangan Seroja menangkupkan wajah Desna, membiarkan air mata mengalir. “Kau melengkapiku. Kau membuatku merasa cantik. Kau membuatku bersyukur terlahir sebagai wanita.”

Mereka bergerak bersamaan, memenuhi udara dengan erangan dan desahan, meluncur bersama ke puncak. Setelahnya mereka berbaring dengan tenang, memeluk satu sama lain. Ketika merasakan lengan Seroja mulai melemah dan meluncur dari tubuhnya, Desna sadar istri mungilnya sudah terlelap. Pria itu mendekap istrinya lebih erat, menjadikan lengannya sebagai bantal, lalu mengecup puncak kepala wanita itu seraya berbisik pelan,

“Kaulah yang melengkapiku.”

*_*_*

Desna terbangun satu setengah jam kemudian, tanpa Seroja dalam dekapannya. Matanya menatap sekeliling sejenak sebelum meraih pakaiannya yang berserakan di lantai lalu menyeret langkahnya ke kamar mandi. Puas menyegarkan diri di pancuran air hangat, Desna segera mencari Seroja hanya dengan mengenakan jubah mandi.

Ia mendapati Seroja di dapur, memunggunginya karena sibuk menyiapkan makanan. Wanita itu hanya mengenakan baju yang sama dengan handuk melilit di pinggangnya dan sebuah celemek. Jika saja tubuh mungil itu hanya mengenakan celemek hingga bagian belakangnya terekspos sempurna, Desna yakin air liur langsung menetes di sudut bibirnya.

Desna melangkah cepat ke punggung Seroja, memeluknya dari belakang hingga wanita itu terkesiap. Bibir Desna mulai bergerak di tengkuk dan bahu Seroja, tangannya menyusup masuk membelai perut rata Seroja.

“Sayang…” Seroja mendesah pelan saat jari lincah Desna mulai menyentuh putingnya. “…suamiku sedang tidur di lantai atas.”

“Campakkan saja dia.” Desna membalas candaan itu sambil meremas payudara Seroja dengan gemas.

Seroja tertawa, lalu mematikan api kompor yang sudah selesai merebus spageti. “Dengan senang hati.”

Seroja membiarkan Desna menguasai tubuhnya, membuatnya hanya mampu mengerang nikmat dan meremas konter dapur di hadapannya. Ia tak peduli saat handuk yang kenakannya meluncur jatuh ke lantai hingga bokongnya terpampang. Tangan Seroja terjulur ke belakang, meraih kepala Desna dan mengarahkan bibir pria itu pada bibirnya.

Kali ini tak ada kelembutan. Hanya kebutuhan mendesak untuk meraih kepuasan. Desna yang merasakan Seroja terbuai oleh ciumannya menyibak sedikit jubah mandinya lalu memasukkan ereksinya ke liang Seroja tanpa peringatan. Seroja berjengkit kaget hingga ciumannya terlepas. Pinggang Seroja spontan melengkung indah.

“Desna…” rengek Seroja dengan wajah dipenuhi gairah. “…pelan-pelan.”

“Seperti ini?” tanya Desna sambil bergerak pelan.

“Tidak! Ahn! Desna! Tidak sepelan ini!” jerit Seroja frustasi.

“Kau terdengar seksi dengan suaramu yang putus asa itu,” goda Desna sambil mencium leher Seroja kuat-kuat agar meninggalkan bekas.

“Lebih cepat. Please…”

Desna terkekeh mendengar rengekan Seroja seperti anak kecil yang meminta mainan. Tak ingin menyiksa istrinya lama-lama, Desna pun kembali bergerak. Ketika mereka mendapatkan pelepasan, mereka saling memanggil seiring orgasme yang merambati tubuh mereka. Desna merengkuh Seroja erat dengan sebelah tangan sedangkan tangan yang lain menopang diri di konter dapur.

Desna mengusap rambut Seroja yang sedang menyandarkan punggung ke dada bidangnya. Dipikir-pikir kalau melihat tubuh Seroja yang mungil, Desna jadi merasa seperti om-om hidung belang yang melakukan pelecehan pada anak di bawah umur. Tapi, mengingat usia mereka yang terpaut sepuluh tahun, Desna memang pantas masuk kategori om-om.

“Kau membuatku harus mandi lagi,” gerutu Seroja.

“Maaf.” Desna tersenyum tanpa rasa bersalah. “Ayo, kita mandi lagi!”

“Ronde selanjutnya maksudmu?”

“Ah, kau selalu mengerti pikiranku.”

Pervert!

Setelah mereka kembali membersihkan diri – dan ronde tambahan, mereka mulai makan siang. Meski waktu lebih tepat menunjukkan sore hari.

“Kemana Liam, Nue, Rebecca dan Rangda?”

“Mereka pergi saat aku memindahkanmu ke kamar. Liam dan Nue akan menyiapkan pengawalan untuk membawa Damian ke salah satu propertinya.” Desna menyuap gulungan spageti di garpunya, mengunyahnya sebentar lalu menelannya. “Mereka baik dan menyenangkan.”

“Hm?”

“Orang-orang itu. Liam, Nue, dan yang lainnya. Mereka memang memiliki aura kematian yang dingin dan kemampuan hebat yang tersembunyi. Tapi mereka – maksudku kalian, memiliki ikatan seperti keluarga. Saling memperhatikan satu sama lain.”

“Aku tidak yakin kau masih berpendapat begitu setelah mengenal mereka selama setahun yang rasanya seperti seumur hidup.”

Desna terkekeh mendengar ucapan Seroja. Wanita itu terdengar seolah hendak mengucapkan gerutuan tapi yang terucap malah gumaman sayang.

Desna mendengar banyak cerita dari Nue sejak ia memutuskan untuk bergabung dengan Death Shadow ketika berhasil mengenali Seroja di rumah sakit dan menemui Silvar. Seperti apa Seroja di masa kanak-kanak, memperlihatkan foto-foto menggemaskannya, bahkan bercerita saat Seroja mengalami amnesia dua kali di usia delapan dan sembilan belas tahun.

Bergabung dengan Death Shadow memang hal mengerikan. Menjadi pembunuh berdarah dingin, mengantarkan kematian, menciptakan dendam, membahayakan semua orang terdekat, batin Desna mengamati Seroja yang kembali melahap makanannya. Tapi… mungkin tak seburuk yang kedengarannya.

=====================================================

Gagal bikin adegan action karena diganggu tuyul cebol. Sepertinya bakal Aru buat di chapter selanjutnya aja T_T

Readers Aru tercinta!! Aru persembahkan cerita khusus Seroja dan Desna. Kira-kira feelnya dapet ngga? Maaf ya ada adegan erotis. Habis baca novel In Death Series. Kangen abang Roarke dan Eve.

Seperti biasa, Aru tunggu vote dan comment kalian.

Love u all!!!

:* :* :*

Continue Reading

You'll Also Like

168K 17.1K 43
Kalok luu suka, vote nya jangan sampe ketinggalan. Neken bintang gak bakal mutusin urat nadi luu! ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ Haechan tak secerah ketika b...
761K 69.4K 50
{Rilis in :1 February 2021} [Fantasy Vampire series] Ivylina terjebak di sebuah Museum kuno di negara Rumania dan terkunci di kamar yang penuh dengan...
1.3M 35.5K 8
Di balik dunia yang serba normal, ada hal-hal yang tidak bisa disangkut pautkan dengan kelogisan. Tak selamanya dunia ini masuk akal. Pasti, ada saat...
545K 88.7K 30
✒ 노민 [ Completed ] Mereka nyata bukan hanya karangan fiksi, mereka diciptakan atau tercipta dengan sendirinya, hidup diluar nalar dan keluar dari huk...