Hari-hari berlalu cepat, perkuliahan mulai kembali aktif setelah libur beberapa minggu. Kini, Shankara dan Amaya tengah duduk bersebelahan di perpustakaan fakultas. Tampak gadis bercelana kain longgar warna abu-abu tua di sana sibuk dengan buku yang bersebalahan dengan laptop, lalu sesekali melirik pemuda yang sudah hampir sepuluh menit terus menatapnya tanpa mengatakan apa-apa dengan alis saling bertautan.
Amaya mengambil pena, menyentuh dahi Shankara dengan ujung belakang benda itu. Dia menjauhkan lagi alat tulis tersebut, kemudian menopang sebelah wajah dengan tangan kiri.
"Kamu mikirin sesuatu?" tanyanya.
Sambil mengalihkan pandangan ke kanan, Shankara menggaruk pipi menggunakan kuku telunjuk. "Hm, cuma hal yang enggak penting," jawab pemuda itu.
"Apa? Kamu bisa kasih tau saya." Amaya kembali duduk tegak, kemudian berhadapan langsung dengan si lawan bicara.
Shankara memajukan sedikit bibir, kemudian meringis kecil. "Kamu kayaknya enggak bakal suka ini."
Karena mendengar pernyataan itu, Amaya sedikit memiringkan kepala. "Emangnya apa?"
Usai menghela napas, Shankara menatap lagi wajah sang kekasih. "Kamu tau, Amaya, aku dengar dari Bima dan Dion, kalo orang yang udah pacaran biasanya punya panggilan. Aku juga sering lihat di film yang aku tonton atau komik yang kadang aku baca di rumah Bima."
Shankara menunduk, memandang tangan Amaya yang berada di ujung meja. Dia mengetuk-ngetuk pergelangan ramping itu dengan telunjuknya beberapa kali. "Aku pikir, enggak ada salahnya untuk kita punya panggilan yang begitu juga. Mungkin, kayak, 'sayang', 'honey', atau apa pun yang kedengaran imut."
Suara tawa tertahan Amaya terdengar. Meski pelan, tetapi karena suasana perpustakaan sepi, benar-benar membuat Shankara kembali menatap gadisnya tersebut dengan memicingkan mata tidak senang.
"Kita bukan anak SMP lagi," ujar Amaya seraya mengusap ujung mata kanan.
"Tapi, aku mau kita punya itu. Kamu enggak suka?" Shankara bersikeras.
"Bukan enggak suka, tapi saya pikir itu terlalu kekanakan." Amaya menarik tangan, menjauh dari telunjuk Shankara, kemudian meraih jari sang kekasih agar kembali mendekat. "Kamu marah?" tanyanya, lantas menggenggam jemari yang lebih besar di sana.
Shankara menaikkan kedua bahu sebentar. "Mungkin sedikit," sahutnya.
"Memangnya kamu mau panggil saya apa?"
Pertanyaan Amaya berhasil membuat Shankara menatap gadis itu penuh minat, bahkan sampai membalas genggaman tangan dari sang kekasih.
"Ay. Aku pengen banget panggil kamu Ay. Gemes banget, 'kan? Jadi kayak lebih imut gitu. Cocok sama kamu," jawab Shankara semangat.
"Ay?" Amaya bergumam pelan.
"Nama kamu Amaya, jadi cocok dipanggil Ay. Ditambah anak jaman sekarang biasanya sebut pacar mereka dengan sebutan, 'ayang' yang artinya itu sayang. Menurut kamu gimana?" Shankara menjelaskan dengan sebelah telunjuk terangkat.
Amaya tersenyum, sedikit lebih lebar dari beberapa waktu lalu sampai kedua lubang kecil di bawah bibirnya terlihat jelas. "Kamu suka panggilan itu?"
"Kamu?" Shankara balik bertanya.
"Kalo kamu suka, itu udah cukup buat saya," balas Amaya.
Shankara menggulung bibir ke dalam, menahan senyum yang hampir merekah karena merasa sangat kegirangan sekarang. Dia bahkan mengalihkan tangan yang bebas untuk menutup telinga salah satu telinganya yang terasa memanas.
"Kamu punya panggilan yang cantik untuk saya," komentar Amaya, kemudian menarik tangan yang memegang pena ke bawah dagu.
"Kamu juga boleh panggil aku apa pun yang kamu suka," celetuk Shankara.
Sambil memutar bola mata ke atas, Amaya mengetuk-ngetuk benda di tangan ke sisi wajah. Namun, gerakan itu berhenti kala tangan Shankara menahan pena untuk terus mengenai kulit putih kekasihnya.
"Jangan terlalu berpikir," ujar Shankara, lantas menarik pena, dan meletakkannya ke meja.
Amaya agak mengerutkan bibir, melihat wajah orang di depannya dengan sangat lama. "Saya tau."
"Apa?" tanya Shankara antusias sampai menggeser kursi lebih mendekat ke arah si lawan bicara.
"Sun, saya suka sebutan itu," jawab Amaya yang berhasil membuat Shankara mengerutkan kening.
"Itu kedengeran enggak ada bedanya dengan cara kamu biasa panggil aku."
"Beda, ini Sun, matahari dalam bahasa inggris. Bukan Shan yang biasanya," jelas Amaya. "Saya tetap panggil kayak biasa, sih. Tapi, saya bakal pakai sebutan Sun matahari ini untuk nama kontak kamu di ponsel saya."
Shankara mengangguk beberapa kali, kemudian bertanya, "Kenapa sun?"
"Saya enggak begitu pintar cari sebutan, tapi saya pikir itu cocok untuk kamu, Shan. Karena di mata saya, kamu kelihatan kayak matahari yang terang."
Binar di mata indah pemuda itu berubah, lebih bersinar, tetapi menyiratkan emosi haru yang cukup besar dari sana. Pada menit selanjutnya, Shankara tersenyum, sangat lebar hingga mata hampir tertutup, dia meraih, mengelus punggung tangan Amaya dengan ibu jari sambil menatap jemari mungil di meja tersebut, lantas memandang lagi sang pemilik.
"Apa aku udah cukup hangat untuk jadi matahari kamu?" tanya Shankara dengan mengedipkan sebelah mata, kemudian terkikik pelan ketika Amaya memukul bahu bidangnya.
***
Shankara mencebikkan bibir, merasa bosan karena Amaya terus saja mengabaikannya sebab terlalu sibuk dengan tugas yang baru saja diberikan dosen beberapa jam lalu. Sekarang, pemuda itu ingin makan siang bersama sang kekasih, ditambah mata kuliah juga sudah tidak ada, tentu saja Shankara ingin menghabiskan waktu bersama Amaya sebelum hari mulai gelap.
Namun, nyatanya, semua keinginan itu sirna kala Amaya malah mengajak Shankara untuk pergi ke perpustakaan di pusat kota. Hal tersebut membuat pemuda pemilik rambut legam geram, mengingat sudah hampir dua jam lamanya mereka di sana, tetapi sang kekasih masih terlihat begitu sibuk.
"Kamu enggak ngerjain tugas kamu?" tanya Amaya tanpa menoleh ke kanan.
"Udah kelar. Kamu sendiri kenapa enggak selesai-selesai?" Shankara balik bertanya.
"Ngerjain punya orang. Lumayan buat jajan uangnya," balas Amaya, lagi, tanpa melihat ke si lawan bicara.
Shankara mengembuskan napas secara kasar, bahkan orang di sampingnya sedikit tersentak kala angin menerpa anak rambut yang tidak ikut terikat ke atas. Pemuda itu mengetuk-ngetuk laptop di meja yang sudah tertutup rapat sambil melihat Amaya yang sama sekali tidak terganggu fokusnya sejak mereka mulai duduk di sana.
"Kita udah mulai pacaran sebulan lebih, tapi kamu selalu enggak punya waktu untuk kencan. Kamu sadar itu, Ay?" Shankara menarik lengan blus hitam polos yang dikenakan sang kekasih.
Setelah menghentikan pergerakan jari pada papan ketik laptop, Amaya mengalihkan atensi penuh ke arah Shankara. Dia meraih tangan yang lebih besar itu, membawa ke meja, kemudian menatap sang pemilik. "Maaf, Shan, saya terlalu sibuk semenjak semester enam ini dimulai. Baik di kedai ayam, toserba, maupun kampus. Semuanya jadi sedikit lebih rumit untuk diatur bagi saya."
"Tapi, aku enggak minta banyak, mungkin dalam satu atau dua minggu untuk kita pergi jalan-jalan bareng di sela-sela kesibukan kita," sahut Shankara dengan intonasi cukup rendah.
Amaya membuka topi hitam milik Shankara karena benda itu menutupi pandangannya dari wajah sang kekasih saat menunduk sejenak beberapa waktu lalu. "Setengah jam lagi, oke?"
Karena melihat Shankara yang membuka mulut, Amaya kembali berkata, "Kasih saya setengah jam untuk selesain ini, tinggal satu lagi. Setelahnya, kita bakal pergi kencan, kemanapun yang kamu mau. Gimana?"
"Cuma setengah jam, 'kan?" tanya Shankara yang dijawab anggukan oleh Amaya.
"Janji?" ujar pemuda itu lagi, kali ini dengan jari kelingking yang diangkat.
"Janji," sahut Amaya dan mengikat jari yang lebih besar tersebut dengan miliknya.
.
.
.
Ternyata udah sampai sejauh ini, yaa, enggak kerasa 🤭
Kalo Amaya dipanggil Ay, dan Shan itu Sun. Para pembaca di lapakku itu Kuaci 🥰
.
Mau tanya nih, panggilan sayang kalian sama pacar kalian apa? 🌚
.
Selamat beristirahat teman-teman, aku harap kalian terus dianugerahi hal-hal yang sangat baik. 😗♥️
.
Terima kasih sudah membaca, jangan lupa tinggalkan jejak 😆