Sebelum baca, ada baiknya follow wattpad Holi dulu, biar ada notifikasi masuk. holipehh28
Absen dulu? ➡️
Novel HUSHAQILLA
Open PO mulai
07 September 2023
di penerbit Grassmedia
Siap War Novel HUSHAQILLA??
PO Hanya 120 Menit
Jam 19.00 - 21.00
Stok Terbatas!
-HAPPY READING-
****
"Lo bilang sama Qilla, lo udah ada donor? Terus lo mau transplantasi ginjal di rumah sakit singapore?" Tanya Bargas. "Gue dengar dari bang Iqbal, kemaren dia bilang sama gue."
"Iya," Jawab Husain.
"Tapi, kan, lo belum nemuin donor yang tepat buat lo, belum ada yang cocok, kan?" Bargas bertanya lagi.
Bargas saat ini memang sedang di ruang rawatnya Husain, semenjak mengetahui penyakit Husain, Bargas jadi lebih sering menemani Husain di rumah sakit, hatinya tiba-tiba tersentuh akan kebaikan Husain dan jalan pikiran Husain yang menurutnya dewasa.
Husain juga sering mengingatkan Bargas agar berlapang dada tentang kematian Rafto, serta kakeknya yang masih membandingkan dirinya dengan mendiang Rafto.
Husain mengangguk. "Saya cuma gamau Qilla kepikiran, kalau saya belum juga nemuin donor yang cocok."
"Itu lo namanya bohong Husain!"
"Saya nggak sanggup lihat Qilla nangisin saya lagi, jadi terpaksa saya bohongin Qilla."
"Katanya lo paham agama, tapi bisa-bisanya lo bohongin Qilla! Otak lo dimana?"
Husain diam.
Husain bahkan tidak membela dirinya sendiri, ia paham kalau ia salah, ia mengakui kesalahannya karena sudah membohongi Qilla berkali-kali.
Tapi, apakah Husain salah jika ia tidak mau melihat Qilla semakin menangisi dirinya?
"Saya akan tetap ke Singapore, temen saya ngerekomendasiin rumah sakit yang menjalani pengengobatan gagal ginjal tanpa harus transplantasi ginjal."
"Tapi, lo lagi dalam masa pengobatan di Indonesia Husain!"
"Saya tahu, tapi ini jalan satu-satunya untuk saya bisa sembuh tanpa harus transplantasi."
"Tapi, emang lo yakin cari ini berhasil? Emang kayak gimana pengobatannya?"
"Saya juga gatau. Tapi, katanya kalaupun saya harus transplantasi ginjal, disana lebih cepat prosesnya."
"Kalau gitu sama ajakan lo harus tetap transplantasi ginjal?" Tanya Bargas.
"Seengaknya dengan saya transplantasi di Singapore, saya nggak harus liat Qilla nangisin saya, rasanya sakit banget Gas, ngeliat orang yang kita sayang nangis gara-gara kita."
"Tapi kan, Qilla nangis bukan karena lo nyakitin dia, tapi karena lo sakit." Ujar Bargas. "Gue nggak bisa ngelarang lo, kalau menurut lo kepergian lo ke Singapore itu pilihan yang terbaik , gue cuma bisa doain lo dari sini."
"Saya cuma minta satu hal sama kamu, saya mau nitip Qilla, jagain Qilla kalau saya pulangnya nggak sesuai janji saya saya sama Qilla."
"Lo harus tepatin janji lo sama Qilla, Sen."
"Insyallah." Ucap Husain. "Gimana hubungan kamu sama Dini?"
Tiba-tiba Husain membahas perihal Dini. Ya, Bargas sedikit menceritakannya pada Husain, mengenai Dini yang ternyata sudah lama menyukainya.
"Gue masih bingung." Balas Bargas. "Jujur gue udah nggak mau lagi buat buka hati gue, tapi entah kenapa gue juga gamau Dini sama cowok lain."
"Tanpa sadar itu kamu udah ada rasa sama Dini." Husain tertawa palan. "saya nggak ngasih saran sama kamu buat pacaran, tapi kalau kamu beneran mulai ada rasa sayang sama Dini, coba aja ajak dia taaruf, saling mengenal lebih jauh satu sama lain." Usul Husain.
Bargas diam.
Apakah ini sudah saatnya Bargas mencoba untuk membuka lembaran baru dengan perempuan yang mencintainya dengan tulus?
Ya, Dini bahkan tidak pernah meminta balasan untuk dicintai Bargas, ia memendam rasa tanpa rasa benci pada Bargas, bertahun-tahun tanpa adanya kepastian akan timbal balik perasaan Bargas padanya.
"Gue kayaknya harus balik, lo gapapa sendirian?" Tanya Bargas pada Husain.
Karena memang Qilla udah boleh pulang , Iqbal mengantarkannya, jadi hanya tinggal Husain sendirian yang kebetulan ada Bargas yang menjenguknya.
"Gapapa, Hati-hati, Gas. Tapi, jemput Dini dulu, kan?"
"Iya, kesian dia ada kerja kelompok pulangnya sore," Jelas Bargas.
"Yaudah, langsung ajak taaruf aja," Ledek Husain.
"Bisa aja lo, pamit ah gue, Assalamu'alaikum." Pamit Bargas.
****
Bargas menjalankan mobilnya dengan kecepatan yang sangat pelan, sesakali ia melirik ke arah kaca spion untuk melihat wanita yang ada disebelahnya.
Ya, disebelah Bargas ada Dini, ia memang sering antar jemput Dini sekarang, entah mengapa rasa nyaman itu tiba-tiba muncul dalam benaknya Bargas. Hingga akhirnya, Bargas mulai mencoba membuka hatinya untuk Dini.
Namun, tiba-tiba perkataan Husain terlintas di kepalanya.
Apakah ini adalah waktu yang tepat untuk menjalin hubungan lebih dari teman dengan Dini?
Apakah Menikahi Dini adalah jawaban dari doa-doa nya selama ini?
Bargas memberhentikan mobilnya di pinggir jalan.
"Kenapa?" Tanya Dini, ia merasa aneh dengan Bargas yang tiba-tiba memberhentikan mobilnya.
"Gue nggak pandai merangkai kata, gue juga nggak tau gimana caranya buat ngungkapin apa yang ada dikepala gue, tapi gue--gue--"
"Kenapa?" Tanya Dini, memotong ucapan Bargas.
"Nikah sama gue, ya?"
Dini membukatkan matanya, sesaat setelah mendengar kata-kata yang keluar dari mulutnya Bargas.
Apakah ini sungguhan?
Apakah Bargas benar-benar akan menikahinya?
"Mau ya, nikah sama gue?" Tanya Bargas untuk yang kedua kalinya.
Dini menutup mukanya dengan kedua tangannya, seraya menganggukan kepalanya.
Mendengar jawaban Dini, Bargas memeluk Dini. "Makasih, udah sabar banget sayang sama gue selama itu, makasih udah mau nerima gue disaat seharusnya lo udah nyerah sama gue, makasih buat segala hal yang gue sendiri susah ngungkapinnya. Tapi, lo harus tahu Din, tanpa gue sadarin ternyata gue juga sayang sama lo."
Dini berdeham pelan. "Nikahin dulu gasii, baru boleh pelukan?"
Mendengar Dini bertanya seperti itu, Bargas segera melepas pelukannya, ia menundukan pandangannya sembari terkekeh pelan.
"Maaf, engga sengaja beneran deh."
"Jadi, kapan mau nikahin aku?" Tanya Dini.
"Besok juga aku siap." Bargas melebarkan senyumnya, tapi dengan wajahnya yang masih tidak berani menatap Dini. Ya, ia seperti sedng salah tingkah.
"Nunggu kita lulus aja, ya, Gas?" Usul Dini.
Bargas mengangguk pelan. "Kapan pun kamu siap, aku akan tetep menunggunya."
"Geli gak sii bahasanya aku kamu?" Dini tertawa pelan.
"Biar romantis."
Dini menggelengkan kepalanya. "Tapi, Makasi ya Gas, udah nyoba sayang sama aku, udah mau nikah sama aku."
"Makasi juga udah bertahan sampai sejauh ini." Bargas tersenyum.
Melihat Bargas tersenyum, Dini juga ikut tersenyum.
Dini mencoba untuk berpositif thinking, jika Bargas memang mau mencoba membuka perasaan untuknya. Walaupun, pikirannya masih memikirkan akan kedepannya nanti Bargas hanya menjadikannya pelarian semata.
Tidak!
Dini tidak boleh berpikiran seperti itu, ia percaya nantinya pemilik alam semesta akan menyatukannya dengan Bargas dalam ikatan cinta yang suci, pernikahan. Dan Dini percaya, itu pasti atas dasar cinta yang disertai dengan ibadah.
****
Qilla dan Iqbal sudah sampai di rumah, mereka tidak hanya berdua ada Adis yang juga ikut mengantarkan Qilla pulang dari rumah sakit.
Baru saja sampai di rumah Adis sudah berjalan ke arah darpur, ia membuatkan teh hangat untuk Iqbal dan Juga Qilla.
Adis membawakan dua teh hangat tersebut kemudian duduk disebelahnya Qilla.
"Makasih ya Dia, selama gue di rawat lo selalu ada buat gue," Ujar Qilla.
"Ya, kan, lo sahabat gue. Emang udah seharusnya gue jagain lo, nemenin lo juga," Ujar Adis.
"Lo nggak mau jadi kakak ipar gue, Dis?" Tanya Qilla yang membuat Adis batuk tersedak.
Iqbal menyodorkan teh hangatnya pada Adis. "Di Minum dulu."
Adis menatap Iqbal, ia tersenyum melihat Iqbal yang sikapnya masih sama saat pertama kali ia bertemu, selalu siap siaga disaat ia lagi kenapa-napa, termasuk tersedak seperti ini.
Apakah Adis salah kalau ia menganggumi sosok Iqbal?
Adis memang di kenal playgirl, ia beberapa kali suka ganti-ganti pasangan, tapi sungguh hatinya ada pada Iqbal, karena sama cowok lain ia tidak pernah serius, karena Hatinya ada pada Iqbal.
"Bang, nikahin Adis aja nggak sih?" Saran Qilla. "Biar gue ada temennya"
"Terus nanti mama tinggal sama siapa kalau gue nikah?" Tanya Iqbal.
"Yaudah lo kan tinggal ajak istri lo tinggal di rumah, lagian rumah kita sebelahan, jadi gue ada temennya."
Iqbal mengusap wajah Qilla pelan. "Lo pikir nikah gampang? Iya, kalau Adis nya mau nikah sama gue, kalau engga?"
"Mau bang, gue mau nikah sama lo," Jawab Adis dengan antusias.
Membuat Qilla melirik Adis. "Oh iya, lo kan, emang suka sama abang gue ya, kan, Dis?"
"Qil!" Adis menatap Qilla dengan tatapan tajamnya sembari menahan mulutnya untuk tidak berkata kasar.
"Bang Iqbal, Adis udah suka lama sama lo, nikahin Adis, ya?" Pinta Qilla pada Iqbal.
Sedangkan Adis hanya menutup wajahnya yang malu akibat ulah Qilla. Ya, bagaimana Adis tidak malu?
Adis memang menyukai sosok Iqbal, tapi apa harus Qilla mengatakan hal sejujur itu pada orang yang disukai oleh Adis.
"Beneran itu Adis?" Tanya Iqbal.
Sumpah, urat malu Adis sepertinya sudah kelalang copot, ia bahkan mengalihkan pandangannya, sehingga tak lagi menatap wajahnya Iqbal.
"Kalau kamu beneran suka sama saya, nanti saya kirimin proposal tentang saya, kamu baca dulu tentang saya, ya, intinya kita taaruf, nanti saya cariin perantara buat kita."
Deg!
Apakah Iqbal benar-benar mengatakan hal itu?
Detak jantung nya seakan berdetak lebih cepat dari biasanya, bahkan ia tidak bisa mengontrol senyumannya yang semakin mengembang.
Adis menundukan pandangannya. "Iya bang, saya suka sama bang Iqbal, saya pamit dulu, saya mau bikin proposal juga tentang diri saya, nanti proposalnya saya kirim sama Qilla, Assalamu'alaikum."
Adis memutuskan untuk pulang, karena sudah tidak kuasa lagai menahan malu yang luar biasa.
Sedangkan Qilla hanya tertawa bahagia, karena akhirnya ia akan melihat Iqbal menikah.
"Janji sama gue, lo jangan pernah nyakitin Adis!" Ucap Qilla selepas kepergian Adis dari rumahnya.
"Insyallah, engga."
Mungkin ini sudah saatnya Iqbal berumah tangga.
Iqbal memang belum menyukai Adis, apalagi menaruh hatinya pada Adis, tetapi ia percaya dengan adanya pernikahan, rasa sayang akan tumbuh sendirinya dengan diiringi ibadah. Karena sejatinya pernikahan adalah ibadah.
"Lo gimana soal Husain?" Tanya Iqbal tiba-tiba. "Lo sekarang udah tau kan penyakitnya Husain."
"Gue percaya dia engga akan ninggalin gue bang." Qilla tersenyum. "Lagian kata Husain, dia udah dapet donor, bentar lagi mau operasi."
Iqbal Diam.
Sebenarnya Iqbal tahu jika sampai saat ini Husain belum juga mendapatkan Donor Ginjal.
Tapi, apakah Iqbal harus mengatakan yang sejujurnya pada Qilla?
Iqbal mengelus rambut Qilla pelan. "Harus tetep Do'ain Husain, apapun yang terjadi kedepannya jangan di tinggalin ibadahnya, harus bisa ikhlas ya?"
"Kok lo ngomongnya gitu sih, bang? Lo ngga percaya Husain bisa sembuh?"
Iqbal tidak menjawab, ia hanya mengangguk pelan sembari tersenyum tipis.
"Bang..." Qilla menatap Iqbal, ia seperti melihat jika iqbal sedang menyembunyikan sesuatu darinya.
"Insyallah, Husain pasti sembuh," Kata Iqbal.
Bersambung...
1k komen + 1k vote
Untuk double up!
SPAM NEXT ➡
SPAM UP ➡
Novel HUSHAQILLA
Open PO tanggal 07 September
Di Penerbit Grassmedia
PO hanya 120 Menit
Jam 19.00 - 21.00 WIB
STOK TERBATAS!
Follow instagram penerbitnya, ya
Follow instagram Holi juga, ya
Follow instagram Rp HUSHAQILLA, ya
With Love, Holipehh💛🐣