31; Inikah Akhir Hidupnya?
•chapter thirty one; start•
"B-bang Asahi?"
Ibu jari selembut sutra dan sedingin ribuan es itu menyentuh pipi Jeongwoo untuk menyeka air mata yang sedari tadi tak berhenti mengalir. Menghadirkan suatu perasaan aneh yang berhasil menggetarkan raga Jeongwoo.
"Ini, bang Asa?" tanya Jeongwoo, lagi.
Pertanyaan itu dijawab dengan sebuah anggukan kecil. Namun justru Jeongwoo menggeleng pelan dengan air mata yang kembali mengalir deras,
"Bang Asahi udah nggak ada. Lo bukan Bang Asahi..."
"Jeongwoo... Ini gue, Asahi..."
Asahi ada dihadapannya? Apakah ini sebuah mimpi indah untuk Jeongwoo? Atau hanya sebatas halusinasinya saja?
Sesosok itu memang mirip dengan Asahi yang ia kenal. Namun kulitnya jauh lebih pucat dengan retakan kebiruan di sekujur tubuhnya yang menambah kesan menyeramkan. Tak lupa bagaimana sebuah lubang menganga berada di tengah perutnya.
Jeongwoo menyadari ada retakan di seluruh bagian kepala sesosok ini. Sebagaimana Asahi mati 10 tahun yang lalu, kepala pemuda itu dihancurkan tanpa sisa.
"Bang..." tangis Jeongwoo masih berbaring lemah di atas lantai yang dingin ditemani air matanya.
"Jangan nangis sekarang... Ini belum selesai, Jeongwoo. Lo harus kuat, Junkyu butuh Lo. Lo nggak mau kehilangan dia 'kan? Ayo, lari! Samperin dia! Selamatin dia seperti yang Lo mau, Jeongwoo!"
"Kejadian 10 tahun lalu jangan sampe keulang lagi. Udah cukup gue yang jadi korbannya..."
Sesosok yang memperkenalkan diri sebagai Asahi itu terlihat menitihkan air matanya yang berupa cairan berwarna merah. Tersenyum manis bersirat penuh kesedihan yang begitu besar. Asahi menggeleng pelan,
"Ini seharusnya enggak terjadi..."
Jeongwoo menangis tersedu-sedu, kenapa harus dirinya yang memiliki kehidupan seburuk ini? Kenapa harus dirinya yang mengalami semua ini? Apakah tuhan tidak tahu jika Jeongwoo tak akan kuat menahan semua ini?
"Ayo, Jeongwoo... Bangun! Lo nggak boleh lemah kayak gini! Mungkin dulu Abang Lo emang nggak bisa nolongin gue, tapi Lo pasti bisa buat nolongin Junkyu! Bangun, Jeongwoo!"
"Bang... Hiks, g-gue nggak bisa..." balas Jungwoo dengan tangis yang semakin deras.
"Kenapa? Kenapa Lo nggak bisa? Ayo, Jeongwoo! Gue yakin Lo bisa! Jangan lenjeh kek cewek begini! Ayo!" ujar Asahi dengan semangat menggebu-gebu.
"Hiks, g-gue nggak bisa... Badan gue nggak bisa digerakin lagi, bang..."
"Enggak, Jeongwoo! Lo itu bisa! Ini cuma sakit kepala! Ayo, Junkyu butuh Lo sekarang! Jeongwoo Lo bisa!"
Jeongwoo memejamkan matanya mencoba menetralkan nafas yang menyesakkan dada. Menahan rasa sakit kepala yang entah mengapa tak kunjung berakhir. Namun suara lembut tak nyata milik Asahi terus terdengar memenuhi ruangan ini.
"Jeongwoo, ayo bangun!"
"Lo bisa!"
"Apa harus gue dorong dulu biar Lo mau maju?!"
"Buruan bangun! Ini belom terlambat!"
"Jeongwoo!!!"
Jeongwoo meremas rambutnya begitu kencang, "Gue bisa!!!"
Dan kedua mata Jeongwoo terbuka, disana tidak ada siapa-siapa. Hanya ada dirinya dengan pintu yang sudah terbuka lebar di hadapannya. Seketika ruangan yang sebelumnya dipenuhi oleh suara Asahi menjadi begitu sunyi dan senyap.
"Bang Asahi?" panggilnya, namun sama sekali tak mendapat jawaban dari sang empu.
Apakah, Jeongwoo baru saja bermimpi?
Jeongwoo mencoba bangun, ia mengerjapkan matanya beberapa kali kala rasa pening itu tak lagi ia rasakan. Apa ini? Kedua netranya menyapu setiap sudut ruangan, disini hanya ada dirinya 'kan?
Bahkan, Jeongwoo sama sekali tak dapat merasakan keberadaan sesosok lain disana.
"Semua pada kemana?" gumam Jeongwoo seraya bengkit berdiri dan menepuk pantatnya yang sekiranya kotor.
"Ini g—"
Ucapan Jeongwoo terpotong kala ia melihat sesuatu berwarna hitam berjalan cepat melewati depan kamar. Ia menengok ke arah pintu, tidak ada siapa-siapa.
"Tapi, itu bukan setan..." gumamnya.
Tanpa pikir panjang, Jeongwoo segera berlari keluar.
•••
Tidak, ini bukan bel biasa. Melainkan sebuah bel yang berhasil membuat seluruh siswa disana bergetar hebat di dalam kamar masing-masing yang dikunci dari luar. Tak terkecuali Yoshi dan Junghwan yang diam sibuk memikirkan jalan apa yang sekiranya dapat mereka lakukan.
"Junghwan—"
"Jangan. Jangan ngomongin itu dulu, bang." potong Junghwan dengan wajah datarnya.
"Tapi—"
"Bang Jihoon udah mati." ujar Junghwan yang membuat Yoshi membeku seketika.
"A-apa?"
Junghwan mengangguk, "Mereka minta buat bunuh Bang Jihoon secepat mungkin sebelum dia sembuh dari koma..."
Yoshi meluruh, terduduk di atas lantai yang dingin tak percaya akan pernyataan yang baru saja diucapkan Junghwan. Air mata itu mulai mengumpul di pelupuk kala rasa takut menguasai dirinya,
"Lo tau dari mana?"
"Mereka."
"Kenapa?... Kenapa harus jadi gini?..."
Pandangan Yoshi memburam, rasanya sakit sekali. Ia tidak tahu banyak, namun tragedi 10 tahun lalu merupakan suatu rahasia umum. Suatu tragedi yang sangat ditakuti seluruh siswa disini.
"Doyoung..? Dimana dia?"
Junghwan tertawa lirih, "Sayangnya dia nggak bisa lolos, bang. Dia juga ketarik."
Tangan Yoshi mengepal erat, "Semua udah kesana 'kan?"
Junghwan terdiam sejenak sebelum mengangguk begitu pelan. Ditatapnya Yoshi yang mengarahkan pandangannya menuju pintu kamar. Junghwan paham, dan benar saja. Yoshi berlari ke arah pintu untuk mendobraknya hingga terbuka.
Yoshi balas menatap Junghwan, "Apa salahnya kita berjuang sekarang? Meskipun ini untuk yang terakhir kali."
Junghwan menatap dalam netra berkaca-kaca milik yang lebih tua.
#
"Bangun."
Dengan paksa tubuh Junkyu yang dililit oleh tali itu dibangkitkan dari posisi telungkupnya. Keadaan pria Kim itu sama sekali tidak baik-baik saja. Hampir diseluruh tubuhnya terdapat luka, entah itu kecil bahkan beberapa luka menganga yang masih mengeluarkan darah.
Junkyu kembali tumbang di atas lantai setelah mendapatkan sebuah pukulan di rahangnya. Ia terbatuk keras mengeluarkan darah segar di dalam senyuman mirisnya. Pandangannya yang sebelumnya buram itu kini semakin buram.
Yang bisa ia lihat hanyalah cahaya samar-samar entah dari mana. Dan juga aroma anyir darah yang tak pernah hilang.
"Ini balasannya kalo Lo mau jadi sok pahlawan. Udah dibilang jangan kepo, masih aja kepo. Lo punya telinga 'kan?" ujar seseorang itu dengan sarkas.
Junkyu tertawa mendengarnya. Tawa lirih yang justru terdengar menyakitkan. Diliriknya seseorang itu dengan tatapan penuh kecewa.
"Lo... Uhuk! Yang bu—nuh Jihoon 'kan?" pertanyaan itu terlontar dari bibir kering Junkyu.
Hyunsuk terdiam dengan wajah angkuhnya. Ia hanya menatap datar Junkyu yang tentu masih terbaring di atas lantai bersama banyak lilitan tali di tubuh sepupunya itu.
Junkyu tersenyum lebar, "Haha... Cinta macem apa—yang Lo kasih ke Jihoon, hah?"
"Lo itu... Cuma obses sama dia!"
Satu tendangan Hyunsuk berikan tepat di perut Junkyu yang semakin menambah sakit disana,
"Lo nggak tahu apa-apa!"
Junkyu terbatuk, "Gue, cuma mau—bilang... Hahhh, gue nitip s-salam buat ortu gue."
"B-bilang sama mereka... Makasih, dan maaf—dari g-gue..." lanjutnya bersama air mata yang mengalir begitu saja.
Junkyu tertawa miris menolehkan kepalanya untuk menatap jasad Jihoon dan Doyoung yang masih tak sadarkan diri,
"Hyunsuk... Gue, benci Lo... Lo bakal gue kirim ke—neraka!"
Hyunsuk diam, menatap sepupunya itu bersama bendungan air mata yang memenuhi netranya. Ia berlutut di hadapan Junkyu, membawa pria Kim itu untuk bangkit ke posisi duduk.
"Benci gue, bang. Ayo benci gue." lirihnya seraya memeluk Junkyu erat.
Junkyu tertawa keras meski air mata itu tak pernah berhenti mengalir, "Bangs*t Lo... Baj*ngan."
"Maaf..."
"Ayo, kita bawa mereka ke tempat itu." ujar salah seorang anggota keamanan kala memasuki ruangan itu.
Junkyu tersenyum pasrah,
inikah akhir hidupnya?
•chapter thirty one; finish•
jangan lupa tekan vote dan tinggalkan komentar di sepanjang jalan cerita
ikuti akun penulis untuk mendapatkan kisah menarik lainnya
Senin, 10 Juli 2023