"Kok mendadak banget?" Hanni bertanya padaku; tangannya dengan lihai melipat baju dan celana yg ia habis setrika.
"Iya, tuntutan kerja, mau gimana lagi sayangku." Balasku lembut sambil mendekapnya erat dari belakang, membubuhi leher dan bahunya dengan kecupan. Hanni terlihat lebih cantik dan seksi dengan baju off shoulder yang memamerkan bahu mungilnya membuatku gagal fokus ketika kita menonton tadi. Walaupun sudah ratusan kali aku melihatnya menggunakan baju kurang bahan-- bahkan tanpa helai benang pun-- aku masih terpesona akan visualnya yang terkesan imut dan seksi.
"Kamu baru aja pulang Jii, kantor emang ga ngasih karyawan lain buat dikirim ke Jepang?"
"Hmmm, harusnya yang berangkat itu pak Chandra tapi beliau ga bisa." Balasku masih sibuk mengendus wangi lehernya.
Hanni memindahkan baju yang telah ia lipat ke dalam kotak lalu memindahkannya ke bawah, membuatku melepas sejenak tubuhnya yang sedikit membungkuk lalu lanjut memeluknya lagi, "kenapa ga bisa?"
"Istrinya lagi hamil, ga mau ditinggal." Jelasku sesingkat mungkin.
Hanni menoleh menatap wajahku yang dekat, "kamu bilang hal yang sama coba ke atasan kamu kalo aku ga mau ditinggal," aku tergelak merespon balasannya.
Ia hanya mendengus dan melanjutkan kembali kegiatannya.
"Emang kamu hamil?" Pertanyaanku membuat bibirnya mengerucut lucu.
Aku melanjutkan, "gak bisa gitu dong sayang, kalo aku nolak aku takut nama aku jadi buruk di perusahaan. Nanti di cap lalai sama tugas."
"Tapi, ini Jepang Minjii. Jepang."
"I-iyaa.. abis mau gimana lagi sayang," aku mengelus pinggangnya; mencoba menenangkan emosi yang nampak menggebu.
Hanni mengurut kerutan hidungnya; ia menghela napas pelan lalu mengelus lenganku yang masih berada di perutnya.
"Can I go with you? Just in case you can't fall asleep," tuturnya.
"Hmm, we'll talked about that later." Bisikku sambil terus mengendus perpotongan lehernya, perlahan tanganku meraba ujung bajunya; menyusupkan jemari hingga menyentuh perut telanjangnya. Aku tersenyum puas melihat Hanni perlahan menutup mata; menikmati ciuman dan elusanku di tubuhnya, sesekali ia bergidik geli saat napas hangatku menyapa kuping, desahan lirih terdengar saat aku mulai menggigit mengulum cuping mungilnya.
Baju yang tengah ia lipat dihiraukan, tangan kanannya meremas punggung tanganku yang berada di dalam bajunya; meremas payudara yang masih tertutup bra, terasa sangat pas di genggamanku. Hanni sempat protes karena kegiatannya terganggu, namun ku balas dengan geraman tak sabar lalu membalikkan tubuhnya menghadapku. Wajahnya merona dan suhu badannya sedikit panas, begitupun aku.
Aku menghimpit tubuhnya dengan keras hingga ku lihat beberapa baju yang belum ia setrika berjatuhan ke lantai. Namun aku berinisiatif untuk menutupnya terlebih dahulu hingga baju dan ironing board tersebut masuk kembali ke dalam lemari.
"S-sayang, aku selesaiin baju dulu," ia sedikit melenguh sambil menahan dadaku; memberi sinyal untuk berhenti mengecupnya. Tubuhnya terus bergerak mundur membuatku cukup kesal.
Aku tak mengindahkan perkataannya. Dengan sedikit kasar membopongnya ala koala yang ditanggapi menjeritnya Hanni karena terkejut, lengannya melingkar sempurna di sekitar leherku; refleks. Aku terkekeh lirih mendengar jeritannya, lucu. Batinku.
Aku menarik langkah panjangku menuju kamar sembari terus menatap wajah-- bibirnya yang mungil.
Cup
Menempelkannya sepersekian detik.
Cup
Cup
Beberapa kali hingga ku akhiri dengan menggigit nakal bibir bawahnya yang ia respon desisan lirih.
Pintu kamar terbuka sedikit kasar karena ku tendang tadi, lalu menutupnya dengan tumit.
Aku tidak langsung merebahkan Hanni di kasur, namun ku senderkan punggungnya di tembok tepat di sebelah kasur.
Setelahnya hanya suara sesapan dan decakan antar lidah yang menggema di seluruh ruangan. Tubuhnya bergerak tak nyaman di depanku, ia melepas ciumannya setelah dirasa butuh asupan udara.
Hanni menengadahkan wajahnya saat aku mulai mendekati lagi bibirnya; mengajaknya untuk berciuman mesra namun yang ku sesap hanya leher jenjangnya.
Ia menahan desahannya, entah karena jilatan dan kecupan di lehernya atau karena kewanitaannya yang terasa panas yang terus menggesek perutku dari balik baju dan celana yang masih dipakai.
Dengan sengaja aku menaik turunkan tubuhnya yang masih berada di gendonganku; agar bagian bawahnya dengan jelas menggesek bagian perut bawahku, "haahh, sayang k-kamu gak pegelhh?— M-Minjii.."
Ia berbicara pasrah sembari mengeratkan kakinya yang melingkari pinggangku; mencoba mencari kenikmatannya sendiri.
Ternyata perkataan 'dia' benar, masih banyak yang harus dicoba dan itu tidak harus selalu di atas kasur.
"Eemmhh, aku— Jii j-jangan di sini." Pintanya terkesan memohon saat aku mulai melucuti perlahan celananya dengan posisi yang cukup sulit untuk sekedar ia bergerak; aku masih menghimpitnya di antara tembok.
"Sshhhh," aku mencoba meredam suaranya.
Aku tahu Hanni peduli padaku, ia hanya takut aku mengalami sesuatu karena mengangkatnya terlalu lama yang nanti mengakibatkan pegal atau cedera pada salah satu uratku. Come on man, no offense tapi Hanni adalah wanita paling mungil yang pernah aku temui. And the prettiest, of course.
***
Author's pov
(Keesokan harinya)
"Koper kamu aku simpen di sebelah lemari," ujar Hanni sambil merapihkan baju miliknya ke dalam koper. Yah, akhirnya Hanni ikut serta dalam dinas keluar negerinya Minji.
"Hmm, nanti kamu dianterin Sullyoon ya ke bandaranya." Ucap Minji, ia sibuk dengan ponselnya.
Hanni berhenti sejenak dari kegiatannya, "kenapa ga bareng kamu?"
"Aku ada perlu sebelum berangkat," Minji nampak tersenyum lirih menatap ponselnya yang masih menyala.
"Yaudah, aku ikut." Hanni tetap pada pendiriannya untuk bisa berangkat bersama istrinya.
"J-jangan, kita bakalan ketemu di bandara kok."
Hanni mengernyit heran, wanita tersebut hanya menelan umpatan dan perkataan yang menyorakkan bahwa ia tak setuju dengan keputusan istrinya. Tapi Hanni memilih menarik napas lalu membuangnya kasar,
"terserah," pada akhirnya hanya perkataan tersebut yang terlontar.
Wanita yang tengah duduk di sofa kecil dengan ponsel di genggamannya nampak mengintip sang istri yang membelakanginya; masih sibuk melipat baju dan koper di depannya. Minji nampak menggigit bibir bawahnya gugup setelah melihat ponselnya yang entah menunjukkan gambar apa, lalu ia menatap Hanni dan ponselnya bergantian kemudian menggelengkan kepalanya lirih.
Setelah dirasa selesai semua, Hanni menyimpan koper miliknya dan milik Minji di ruang tamu dekat sofa. Besok adalah keberangkatannya ke Jepang bersama Minji. Bisa dibilang ini merupakan perjalanan jauh pertamanya bersama sang istri, Hanni merasa takut dan senang sekaligus.
Senang karena Jepang merupakan salah satu negara yang ia sangat ingin kunjungi. Negeri sakura tersebut mengalihkan perhatiannya daripada negara lain, selain karena orang di sana ramah, Hanni merasa Jepang adalah destinasi yang pas untuk dikunjungi di musim gugur.
Namun ada alasan yang membuat perasaan excitednya itu menjadi terhalang, ialah istrinya, Minji. Ia merasa Minji menyembunyikan sesuatu di belakang mereka, gelagatnya benar-benar aneh siang tadi. Tapi sekali lagi, Hanni menegaskan pada dirinya sendiri bahwa Minji bukan orang seperti yang pikiran buruknya bilang.
Hari sudah menjelang tengah malam, beberapa lampu di pinggir jalan menyinari sebagian jalanan, para satpam keamanan mulai berganti shift dan berkeliling perumahan guna terhindarnya komplek dari niat negatif.
Keadaan jalanan yang mulai sepi dari hilir mudik kendaraan, terlihat hanya satu dua mobil yang melewat karena waktu menunjukkan sudah hampir tengah malam yang menandakan waktunya beristirahat. Hanni yang seharusnya tidur lebih cepat malam ini, ia sedari tadi malah sibuk menunggu seseorang.
Minjinya belum pulang sedari tadi, padahal Minji mengatakan akan pulang cepat, tapi hingga pukul 11 malam, tak ada tanda-tanda istrinya pulang.
Hanni mendudukkan dirinya di sofa ruang tamu setelah hampir 30 menit ia berjalan bolak-balik di depan tv dengan cemas, sedari tadi ponsel di tangannya tak ia lepas; menunjukkan roomchat bersama Minji, tertera terakhir terlihat wanita tersebut membuka roomchat mereka pada pukul 8.20 malam.
Wanita dengan setelan piyama beruang berwarna biru itu merebahkan kepalanya di sandaran kursi. Rasanya usahanya menelepon sang istri sangat sia-sia, Hanni sudah mencoba telepon seluler biasa tapi tetap tak mendapat jawaban, yang ia dapat hanya suara operator bahwa nomor istrinya sedang tak aktif.
Perlahan kelopak matanya tertutup. Ia tak kuat, perasaan cemas dan khawatir tersebut berangsur hilang karena sekarang rasa kantuknya mengambil alih.
Ia hanya bisa berdoa semoga istrinya tak mengalami hal buruk saat menyusuri jalan pulang.
Tbc.
yamaap atu klo alurnya makin aneh 😔 segimana berjalannya aj deu awoajakwkka
cu next chap