Imperfect Honeymoon

By Sinderaraa

39.3K 2.1K 339

Zivana Ayudhia dan Ezra Ramadhoni adalah dua orang yang sama-sama menyimpan banyak rahasia di masa lalu dan h... More

Prolog
Bab 1 : Malam Pertama
Bab 2 : Serba Salah
Bab 3 : Rahasia
Bab 4 : Sengit
Bab 5 : Silent Mode
Bab 6 : Cemburu
Bab 7 : Batas Sabar
Bab 8 : Ingin Berhenti
Bab 9 : Belum Sepenuhnya Menerima
Bab 10 : Pikiran yang Rumit
Bab 11 : Help Me
Bab 12 : Terulang Lagi
Bab 13 : Penuh Sesal
Bab 14 : Titik Terang
Bab 15 : Tak Terarah
Bab 16. Benar Atau Salah
Bab 17 : Second Offer
Bab 18 : Terbongkar
Bab 19 : Wrong Way
Bab 20 : Feel Bad
Bab 21 : Silent Treatment
Bab 22 : Lonely
Bab 23 : Rejected
Bab 24 : Tersisih
Bab 25 : Kembali Bersatu
Bab 26 : Regret
Bab 27 : Bom Waktu
Bab 28 : Aku Selalu Ada
Bab 29 : Insecure
Bab 30 : Deal
Bab 31 : Surprise
Bab 32 : Apatis
Bab 33 : Terjebak Masa Lalu
Bab 34. Masih Tersimpan
Bab 35 : Masih Banyak Rintangan
Bab 36 : Bertolak Belakang
Bab 37 : Seseorang Yang Berbeda
Bab 38 : Terenggut
Bab 39 : Gelap
Epilog

Bab 40 : Seharusnya Seperti Ini (Selesai)

2.1K 53 8
By Sinderaraa

Kita tidak tahu pasti apa yang akan terjadi pada satu detik di masa depan dan kita juga tidak mungkin bisa mengubah sesuatu yang sudah terjadi di masa lalu. Baik buruknya, tergantung dari sudut mana kita menilai. Mau terpuruk atau bangkit, itu adalah pilihan.

Biarkan semua mengalir mengikuti arus tanpa harus memaksa berbelok arah. Yang patah mari perbaiki, yang hancur biarlah menjadi debu dan menemukan tempatnya sendiri.

Yang pertama terlihat saat mataku terbuka hanyalah langit-langit polos. Bintik-bintik kecil seolah menari di udara. Aku tidak tahu ini di mana karena otakku terlalu lamban untuk memproses semua yang tertangkap oleh mata.

Pikirku, apa aku sudah berpindah alam?

Aku ingin berteriak, tetapi tenggoroakan rasanya tercekat. Rahangku kaku, sangat sulit digerakkan. Semakin lama, tubuhku semakin terasa berat juga panas kian menjalar. Nyeri di tiap titik tubuhku membawa ingatanku kembali pada kejadian kemarin. 

Sandi. Bagaimana nasib laki-laki itu sekarang?

Perlahan, sayup suara mulai masuk ke telinga. Lantunan ayat suci mendamaikan suasana. Kulirik sumber suara lewat ekor mata yang belum mampu terbuka sempurna.

Wanita paruh baya yang telah merawatku itu tengah menggenggam tanganku seolah tak ingin terlepas. Infus yang menancap di nadiku tak sedikit pun membuatnya ngilu.

Aku berusaha menggerakkan buku jari yang tergenggam erat. Tidak berniat mengusik, hanya saja aku ingin Mama tahu kalau aku masih bernyawa. 

Dan berhasil, suara Mama seketika terhenti dan fokusnya pada kitab suci teralih padaku kini.

"Ziva?"

Suara lirih tertangkap telinga. Senyum yang mengembang berbaur dengan rasa haru yang membuncah. Binaran mata itu teramat jujur, selayaknya memandang oase di padang tandus.

"Kamu sudah sadar, Nak?"

"Va, ini Mama." Suara Mama lirih dan penuh dengan kehati-hatian, ia tidak ingin membuatku takut.

Aku hanya mampu tersenyum lalu seketika tangis Mama terlihat dari pelupuk mata. Sapuan tangan tak jua mampu menghentikannya. Biarkan saja, aku tahu Mama sekarang sudah bisa bernapas lega.

"Kamu sudah lima hari nggak sadar. Mama khawatir banget," ucap Mama yang kini membelai lembut wajahku.

"Mama juga rindu."

Aku menggeleng lemah sembari tersenyum dan kuyakin Mama bisa mengerti jika yang ingin kukatakan adalah aku baik-baik saja.

"Minum, Ma."

Akhirnya aku berhasil bersuara, pelan dan hampir tak terdengar.

Mama segera beranjak dari kursi menuju nakas yang ada di sudut ruang. Terlihat begitu banyak parcel buah, makanan kaleng juga berbotol-botol air mineral.

Mama kembali padaku dengan senyum yang masih terukir dan tentu juga dengan sebotol air mineral di tangannya. 

Dengan cekatan, Mama membantuku dan setelah tiga kali tegukan, aku berhenti dan kembali diam.

Aku tidak bisa berbicara banyak, hanya Mamalah yang menceritakan keluh kesahnya. Juga permintaan maaf yang sebenarnya tidak perlu terhatur dari mulutnya. Karena bagiku, ini semua murni kesalahnku.

"Maafin Mama sama Papa juga kakak kamu yang nggak pernah ngedukung apa pun mau kamu, Va."

"Mama sama Papa juga nyesel ngebiarin kamu ngelewatin penderitaan ini sendiri seolah cuma kami yang tersakiti."

Aku hanya bisa membalas genggaman tangan Mama lalu menggeleng agar tangis itu segera berhenti. Seolah paham, Mama segera menghapus air matanya dan tersenyum lagi.

Kubiarkan lantunan ayat suci kembali mendayu saat aku memilih untuk kembali menutup mata. 

Aku tidak tidur, hanya memikirkan entah harus bagaimana hidupku kedepannya. Trauma pelecehan kembali tertoreh, luka lama kembali menganga. Tidak tahu pasti bagaimana aku bisa sembuh dan kembali menjalani hidup. Rasanya, aku tak mampu untuk menatap dunia dan seisinya.

Lalu, bagaimana dengan Dhoni? Apa sekarang dia baik-baik saja? Sandi tentu tidak akan tinggal diam saat semua yang ia rencanakan sudah kacau balau.

Aku menarik napas panjang, menghilangkan sesak yang bersarang. Dengan tubuh yang terbujur kaku seperti ini, sangat tidak mungkin bagiku untuk kembali menerjang badai. Sangat mustahil, melewati pintu kamar rumah sakit ini saja aku belum mampu.

Dhoni, maaf. Tidak seharusnya kamu yang menjadi korban keegoisanku di masa lalu.

"Jangan mikir yang macam-macam, Va." Tangan hangat Mama menyapu air mataku yang berlinang.

"Mama, Papa sama Kak Bayu Insha Allah bakal bantu kamu keluar dari semua kesulitan ini."

"Semua akan baik-baik aja. Lebih baik fokus sama diri kamu sendiri. Kesembuhan kamu itu paling penting."

Ah, rasanya aku tidak sanggup. Aku juga sudah tidak punya semangat hidup. Untuk apa aku sembuh jika Dhonilah yang harus menanggung dosa-dosa yang sudah aku buat. Ini tidak adil.

Mataku masih terpejam saat kudengar Mama kembali meneruskan kegiatannya dan sepertinya Mama sedikit pun tak berniat bicara perihal Dhoni. Tentu, Mama juga sudah pasti bungkam soal Sandi.

Bagaimana keadaan laki-laki yang hampir merenggut harga diriku itu? Apa Kak bayu telah melaporkannya ke polisi?

Rumit. Jika saja mulutku bisa bergerak normal sudah barang tentu banyak pertanyaan yang terlontar.

Suara merdu Mama terhenti saat pintu kamar tempatku di rawat terbuka. Aku tak tahu siapa dan juga tak berniat menyapa. Membuka mata bagiku saat ini terlalu melelahkan.

"Sudah selasai salat subuhnya?" tanya Mama yang entah dengan siapa ia berbicara. Mungkin Papa atau Kak Bayu.

"Itu apa?" tanya Mama lagi.

Ada jeda beberapa detik sebelum yang ditanya menjawab. Sepertinya, sosok itu sedang berjalan mendekati Mama.

"Aku bawa dua bungkus bubur ayam buat kita sarapan. Mama nggak pakai sambel kan? Tapi cuma adanya ini, nasi uduk nggak ada. Libur dulu kata yang jual."

Suaranya pelan, terdengar sangat merdu dan lembut. Penuturan kata demi kata sangat hati-hati seolah tak ingin lawannya keliru pada nada bicaranya.

Aku tahu, tapi aku tak ingin berspekulasi. Takut sekali jika ini hanya mimpi, maka dari itu biarkan aku tetap terpejam seperti ini.

"Mau beliin pempek kapal selam, tapi aku nggak paham yang enak itu yang kayak apa. Takut juga dapet cuko yang encer dan nggak ada rasa kayak kemaren. Bisa-bisa Mama kecewa." Dia tertawa kecil.

"Maaf, ya, Ma. Bukan orang Palembang soalnya."

"Halah. Ini aja syukur. Mama nggak pilih-pilih soal makan. Makasih ya, Nak Dhoni."

Aku tergemab. Mataku sontak terbuka dan langsung mencari keberadaan si pemilik suara merdu yang sejak tadi mengusik telinga. Sekarang, ia sedang tersenyum sambil menyerahkan dua bungkus kotak styrofoam pada Mama.

Aku tidak punya nyali untuk menyapa dan masih tak yakin jika kejadian ini nyata. Aku yang kini kehilangan kata-kata hanya mampu memandangi tiap gerak-geriknya.

Untuk pertama kali, aku melihat Dhoni mengenakan baju koko putih gading dan sarung yang terlilit rapi di pinggangnya, membuat aura yang terpancar dari laki-laki itu menjadi berbeda. Serta peci hitam yang ia kenakan semakin menambah kadar ketampanan wajahnya. 

Tubuh tegapnya nampak gagah dan wajahnya terlihat damai. Namun, aku tahu jika di balik wajah teduh yang tersenyum itu ada lelah yang tak ingin ia tunjukkan dan juga terdapat luka yang ia simpan sendiri dan tak ingin ia bagi pada siapa pun.

"Ziva sudah sadar."

Dhoni membeku sesaat lalu memutus pandangan matanya dengan Mama. Aku hanya menatapnya lurus dan entah terlihat atau tidak, senyum manisku berusaha kuukir sekuat tenaga saat matanya langsung menyorotku.

"Mama mau salat di musala sekalian mau panggil suster jaga buat cek keadaan Ziva. Kamu tetap di sini, jagain."

Mama berlalu begitu saja, meninggalkan kami yang masih enggan bersuara.

Setelah terdengar suara pintu yang tertutup, Dhoni duduk di kursi yang ada di sebelah hospital bed milikku.

"Hei." Ada segaris senyum tipis saat ia menyapaku, tangannya dengan pelan menggenggam tanganku, suasana pun berubah haru.

"Aku seneng banget kamu sudah bangun. Tuhan kayaknya udah ngejawab doa-doaku dan terima kasih karena kamu udah bertahan sejauh ini." Mata sembabnya kini berkaca-kaca.

"Maafin aku, Dhoni," ujarku dengan penuh penyesalan.

Suamiku menggeleng lemah. Tangannya terulur, menyeka beberapa helai anak rambut yang menutupi wajahku. Setelahnya, ia tidak menarik tangannya kembali, melainkan membelai kepalaku dengan lembut.

"Kamu nggak perlu minta maaf, Sayang."

"Tapi, aku salah."

Dhoni tersenyum kecil saat mendengar kegigihanku.

"Aku tahu dan aku pun begitu. Tapi kita nggak perlu berlarut dan saling menyalahkan. Anggap aja ini sebagai ujian di awal pernikahan kita, supaya kita sadar kalau kita memang sudah terikat dan nggak bisa berjauhan."

Aku menelan ludah yang masih terasa pahit saat sadar jika kedewasaan yang ada pada diri Dhoni adalah suatu penyeimbang ketimpangan yang ada pada diriku. Ia seolah mengisi bagian  kosong yang tidak ada dalam diriku.

"Masa lalu memang terlihat kejam dan udah melukai hati kita cukup dalam. Tapi seiring berjalannya waktu, lukanya pasti akan kering dan rasa sakit itu akan hilang. Percaya sama aku, kita bisa melanjutkan hidup dengan berpegang teguh sama komitmen-komitmen yang kita buat."

Air mataku perlahan mengalir membuat bantal yang menyangga kepala menjadi basah. Namun Dhoni dengan cekatan menghapusnya.

"Jangan nangis. Nanti cantiknya hilang, Sayang."

Ah. Aku baru sadar kalau Dhoni juga bisa selembut ini. Belaiannya membuat hormon dopamine-ku meningkat. Jika sikapnya terus seperti ini, barang kali lukaku akan cepat membaik.

"Kamu sadar nggak kalau kita ini adalah pasangan spesial?" tanya Dhoni dan aku sungguh tidak mengerti apa yang ia katakan.

"Jelas. Jarang ada pengantin yang baru hitungan hari nikah udah dikasih cobaan berat sama Tuhan. Boro-boro bulan madu, yang ada aku malah nginep di penjara dan kamu dua kali masuk rumah sakit." Dhoni tertawa geli, sedangkan aku hanya bisa menahan agar tak tergelak.

"Kalau kisah kita mau dibikin novel, maunya dikasih judul apa?"

Dhoni berpikir sejenak. Bibir bawahnya ia gigit kecil, sedangkan matanya menerawang menatap langit-langit. Sejurus kemudian, terdengar nyaring suara jentikan jarinya.

"Imperfect Honeymoon." Lantas Dhoni pun semakin terbahak. Alisku pun bertaut. Kalau saja tanganku bisa bergerak normal, mungkin aku sudah mencubit lengannya dengan gemas.

"Becanda, Sayang. Aku nggak mau kamu nangis terus. Udah ya nangisnya." Aku mengangguk dan tersenyum manis padanya.

"Jadi, gimana? Apa kamu mau dan bersedia memulai hidup baru sama aku?"

Tentu, aku tidak akan membuatnya bertanya dua kali.

.

.

.

.

Selesai...

Akhirnya, setelah penuh perjuangan, cerita ini selesai juga. Meski nggak banyak yang baca, tapi aku mau ngucapin terima kasih banyak buat yang ngikutin cerita ini dari awal sampai akhir. Untuk komentar dan vote-nya juga terima kasih banyak...

Jangan lupa follow akunku buat cerita selanjutnya. See You...

Btw, kalian ada yang mau disampaikan buat...

Ziva...

Dhoni...

Sandi...

Atau

Bayu...

Dll...

Continue Reading

You'll Also Like

215K 19.9K 37
Raden Mas Abimanyu Wira Adhinata mencintai Datania Kalula sejak dulu. Tanpa terkecuali.
1.7K 14 1
"Dari saat pertama kali aku melihatmu, saat itulah cinta pertama kali hadir dalam hatiku. Setiap kali aku melihatmu, hatiku berdebar dan aku merasa b...
1.3M 77K 50
Aku hamil. Dua kata yang Nafisah ketik di ponselnya kemudian ia kirim ke nomer teman masa kecilnya. Tapi kenapa setelah itu keluarga dosennya malah...
432K 29.9K 57
Roseta Zea Arundati Notonegoro, dara cantik berusia 29 tahun yang merupakan salah satu penyanyi solo wanita terbaik di Indonesia. Kepopulerannya suda...