Don't be silent readers, and be a smart readers.
Happy reading~
Matahari sudah kembali ke peradabannya, membuat hari yang tadinya terang kini berubah gelap. Awan mendung pun sepertinya turut hadir di langit sana, sebab bulan yang biasanya hadir menggantikan peran matahari justru tak terlihat sama sekali.
Semilir angin yang cukup kencang mampu membuat semua orang enggan untuk keluar rumah. Pun dengan beberapa orang yang sudah berencana kumpul di luar, menjadi urung disebabkan angin yang tak mengenakkan.
Jam yang bertengger di dinding kamar Sheika menunjukkan pukul 19.30. Teman-temannya yang baru saja bertandang itu, kompak memilih kamar Sheika untuk dijadikan tempat berkumpul.
Bukan tanpa alasan mereka mengadakan perkumpulan malam ini, disaat esok saja mereka harus sekolah.
Kumpulnya mereka saat ini, atas ajakan Sakha. Laki-laki itu yang memberitahu mereka di grup untuk datang ke rumah karena ingin membicarakan sesuatu.
Pada awalnya Sakha hanya ingin mengajak Alva dan Abel, karena kedua orang itu sudah lebih dulu tahu apa yang terjadi. Tapi bodohnya Sakha memberitahu mereka lewat grup mawar kuning, dimana Lala dan Iyan berada disana. Berakhirlah kedua orang itu juga ikut kesini, karena penasaran apa yang akan mereka bicarakan.
Karena hanya Lala dan Iyan yang belum tahu apapun soal teror yang sempat Sheika dapatkan selama ini, mereka pun di beritahu oleh Sheika dan Sakha. Tadi di taman belakang, sebelum pindah ke kamar Sheika, Sakha dan Sheika menceritakan semuanya kepada mereka.
Lala awalnya sempat kecewa karena tak diberitahu apapun oleh saudaranya itu, bahkan saat dia mengetahui bahwa sang Ayah juga jauh lebih tahu tentang apa yang terjadi di keluarga Sakha dan Sheika. Tapi kekecewaannya itu menguap, karena Lala paham bahwa mereka tak mau membuat orang lain terbebani dengan masalah mereka.
Begitu pun dengan Iyan, laki-laki itu bahkan sempat merajuk. Katanya, dirinya seperti tidak dianggap di persahabatan mereka, sampai masalah sebesar ini pun dia sama sekali tak tahu. Sama seperti Lala, Iyan juga memaklumi mereka pada akhirnya.
"Gue bilang juga apa, Arix tuh nggak baik buat lo, Shei!" Tukas Lala, setelah mendengar cerita dari Abel soal apa yang gadis itu dengar di belakang sekolah.
"Arix juga korban, La," bela Sheika.
"Tetep aja dia juga ikut andil, bahkan berani buat permainin hati lo!" Balas Lala geram.
Sheika menghela nafasnya. Apa yang dikatkan Lala memang benar, tapi entah kenapa, hatinya sulit menerima itu.
"Cerita dari Abel belum terbukti, jadi kita nggak tahu mana yang bener disini," Sakha menyahut. Dia mendengar semua percakapan antara Abel dan Sheika di mall tadi sore. Dia juga yang mengatakan tidak akan memaafkan Abel kalau ucapan gadis itu tak terbukti sama sekali.
Sheika sulit menerima kalau Arix terlibat, begitupun dengan Sakha yang tak terima saat kekasihnya sendiri justru dalang dari semua ini.
Dia ingin menyangkal bahwa Ghebby tak mungkin melakukan hal itu, dia bahkan tahu bagaimana perangai Ghebby selama ini. Jadi rasanya tak mungkin, kalau gadis cantik yang merangkap jadi kekasihnya itu turut andil dalam teror ini.
Tapi Sakha juga tak bisa menyangkal begitu saja. Sebab, dia juga kenal dengan Abel. Perempuan itu tak mungkin mengada-ngada, yang jelas-jelas tak ada gunanya untuk Abel.
"Lo denger percakapan mereka dimana, Bel?" Tanya Alva dengan mata yang penasaran.
Abel menoleh, "Halaman belakang sekolah," jawab Abel.
Alva diam, tampak sedang berpikir serius.
"Bukannya di halaman belakang sekolah ada cctv ya, Sak?" Tanya Alva pada Sakha.
"Ada, cuma lagi rusak. Makanya gue belum sepenuhnya percaya sama ucapan Abel, karena nggak bisa cek cctv disana untuk dijadiin bukti," jelas Sakha. Laki-laki itu masih netral sekarang, walaupun hatinya lebih condong percaya pada perkataan Abel.
"Sebenernya gue juga was-was kalau ada cctv," celetuk Abel, memotong pembicaraan mereka.
"Kok was-was sih, Bel? Lo tuh harusnya seneng kalau ada cctv, biar omongan lo terbukti, dan kita percaya sama cerita lo," sambar Lala yang keheranan mendengar celetukan Abel.
Tidak hanya Lala, semuanya juga heran dengan Abel. Disaat harusnya dia senang karena ada bukti untuk membrnarkan ceritanya, justru gadis itu malah merasa was-was.
"Lo was-was di cctv itu nggak ada bukti percakapan mereka, Bel?" Tuduh Sakha curiga.
Abel menatap Sakha, laki-laki itu juga sedang menatapnya dengan tatapan intimidasi yang membuat tubuh Abel sontak menegang.
Abel menggeleng pelan, "Bukan gitu," cicitnya. Tatapan Sakha memang kadang bisa membuat lawannya menciut, termasuk Abel.
"Lo jangan bikin anak orang takut, Sak," kecuali Alva yang bahkan berani menepuk bahu Sakha, menegur laki-laki itu yang dirasa sudah berlebihan kepada Abel.
"Tau, anjir. Bukan cuma Abel yang takut, gue juga merinding!" Sahut Lala, sebal dengan sikap Sakha yang satu ini.
"Gue cuma mastiin. Belum ada yang bisa dipercaya dari ceritanya, Al," kata Sakha dingin. Bukannya berhenti, tapi sepertinya Sakha malah tambah emosi.
Helaan nafas keluar dari hidung Alva, "Kalau belum ada yang bisa dipercaya dari ceritanya Abel, lo nggak mungkin ngumpulin kita disini," katanya berusaha menenangkan Sakha.
Sakha diam, laki-laki itu mengatur nafasnya perlahan agar lebih tenang. Emosinya mungkin saja terjadi karena pergolakan batin yang masih ragu memilih antara percaya dengan Abel, atau kekasihnya.
"Gue rasa nih ya, Sak, lo tuh sebenernya percaya sama Abel. Cuma di hati lo ada Ghebby, yang bikin lo pengen nyangkal semuanya. Makanya lo jadi emosi ," sahut Iyan.
Alva menoleh kemudian menganggukkan kepalanya, "Bener kata Iyan."
"Wajar sih. Temen-temen kita nih udah pada bucin sama pacarnya, sampe-sampe dibelain terus," timpal Lala sambil melirik sekilas ke arah Sheika.
Sheika yang melihat itu jelas merasa tersindir, tapi dia tak mau membalas. Toh yang dikatakan Lala memang benar.
"La!" Tegur Alva, karena Lala justru malah memperkeruh suasana.
"Emang bener, Al," sahut Lala tak mau mengalah.
"Cukup, La!" Tegur Alva lagi, setelah melihat tatapan Sakha yang sepertinya kembali tersulut emosi.
Lala mendengus pelan, tapi tak urung menuruti perkataan Alva.
"Lo tadi kenapa bilang was-was? Bukannya harusnya lo seneng?" Alva balik bertanya kepada Abel. Karena perihal Abel yang was-was kalau ada cctv, sama sekali belum terjawab.
"Gue takut Sam tahu kalau gue yang denger percakapan dia waktu itu," jawab Abel jujur.
"Sam tahu keberadaan lo?" Tanya Iyan.
Abel mengidikkan bahunya, "Gue nggak tahu, tapi gue sempet nginjek ranting sebelum pergi dari tempat itu," jelas Abel. Beberapa waktu lalu, Abel sadar bisa saja dia juga dijadikan target oleh Samuel kalau laki-laki itu tahu keberadaan dirinya di tempat itu. Karena rasanya tak mungkin Samuel tak bergerak setelah dengan jelas Abel menginjak ranting yang menjadi petunjuk bahwa ada yang mendengar percakapannya.
"Kayaknya lo beruntung deh, Bel," celetuk Alva yang membuat mereka menatapnya kebingungan.
"Maksudnya?" Tanya Abel tak mengerti.
"Ada satu cctv lagi, dan cctv itu cuma anak osis yang tahu," kata Alva sambil melirik Sakha yang saat ini tengah mengernyitkan dahinya.
Sakha menoleh pada Alva saat dia menyadari maksud dari laki-laki itu.
"Lo bener," sahut Sakha.
"Posisi lo waktu denger percakapan mereka dimana, Bel?" Tanya Sakha. Laki-laki itu seperti sudah menemukan jalan keluar.
"Di bangku yang di sekat sama pohon pucuk merah. Mereka tepat di belakang gue," jawab Abel dengan jujur.
Sakha dan Alva kompak tersenyum cerah.
"Kita cek sekarang!" Ucap Sakha dengan semangat. Laki-laki itu bahkan sudah bersiap hendak berdiri.
"Ya jangan sekarang juga dong, Sak!" Cegah Alva. Lagipula tak mungkin mereka ke sekolah malam-malam begini bukan? Bisa-bisa dikira mau maling.
"Lebih cepat lebih baik, Al," Sakha sudah berdiri, dengan sedikit berlari Sakha keluar dari kamar Sheika.
Semua orang melongo melihat gerakan Sakha yang begitu semangat untuk cek cctv.
"Ikutin, anjir!" Seru Iyan yang kemudian berdiri menyusul langkah Sakha.
Semua orang juga ikut berdiri dan keluar dari kamar Sheika menyusul Sakha dan Iyan yang sudah lebih dulu keluar. Mereka takut Sakha beneran pergi ke sekolah.
Sakha sendiri sudah berada di kamarnya. Dia duduk di tepian kasur sambil memangku sebuah laptop. Tangannya bergerak liar diatas keyboard, dengan mata yang fokus terhadap layar yang ada di hadapannya.
Teman-temannya datang, pun dengan Sheika yang lebih dulu menghampiri Sakha lalu duduk di sampingnya.
"Kamu lagi apa?" Tanya Sheika bingung, sambil menatap layar laptop Sakha yang sedang menunjukkan data-data tak diketahui.
Sakha tak menjawab, dia tetap fokus pada kegiatannya. Tapi begitu mendapat apa yang diinginkannya, senyum Sakha mengembang. Data yang diinginkannya masih lengkap, karena kebetulan Sakha belum mengeceknya.
"Lo lagi apa sih, Sak? Gue kira lo mau nekat ke sekolah tadi," tanya Iyan, dengan wajah kesalnya karena ternyata Sakha hanya pergi ke kamarnya.
"Lo masih inget kapan dan jam berapa lo denger percakapan Sam sama Ghebby?" Tanya Sakha pada Abel yang beberapa meter berada di hadapannya.
"Waktu Lala ngumpulin kita di rooftop, dan gue langsung ke sana waktu itu," jawab Abel. Gadis itu mendekat, ingin tahu apa yang sedang dilakukan oleh Sakha.
Sakha mengangguk, kemudian tangannya bergerak kembali di atas keyboard.
"Dapat!" Serunya setelah beberapa menit mengotak-atik laptopnya.
Mereka semua mengernyitkan dahinya. Tapi ketika Sakha menaruh laptop tersebut di atas kasur, mereka buru-buru merapat untuk melihat apa yang sedang Sakha tunjukkan.
Ternyata Sakha sedang menunjukkan rekaman cctv pada hari yang disebutkan oleh Abel. Cctv itu hanya menangkap gambar halaman kosong yang menghadap ke sebuah gerbang di belakang sekolah. Tapi bukan hanya gambar, cctv tersebut juga merekam sebuah audio.
Mereka melihat sekaligus mendengarkan dengan seksama.
Di video tersebut dengan jelas merekam sebuah percakapan antara seorang laki-laki dengan perempuan. Persis seperti apa yang Abel ceritakan.
Sudah setengah jalan, tapi mampu membuat Sakha terbakar emosi. Bahkan tangannya tanpa sadar mengepal.
Begitu video berakhir, Sakha meninju kasurnya sendiri. Perkataan Abel terbukti sekarang, mereka memang Samuel dan Ghebby, kekasihnya sendiri.
Sakha tentu merasa dikhianati. Disaat dia dengan tulus mencintai Ghebby, tapi Ghebby justru malah memperlakukannya seperti ini. Padahal tidak mudah bagi Sakha untuk membuka hati, dia harus merelakan perasaannya pada Allyse dan lebih memilih Ghebby, tapi ini balasan yang dia dapat?
Sheika sendiri bahkan tanpa sadar sudah meneteskan air matanya. Semuanya terbukti sekarang. Mendengarnya secara langsung seperti ini rasanya lebih sakit. Arix tak mencintainya, laki-laki itu hanya membantu Samuel untuk menyempurnakan rencananya.
Air yang turun dari pelupuk matanya itu, Sheika usap dengan kasar. Akting Arix sangat sempurna, sampai-sampai dia tak menyadari bahwa perlakuannya selama ini tidak tulus. Beda dengan apa yang selalu Sheika lakukan kepadanya. Jadi, begini rasanya dikhianati?
Alva, Abel, Lala, dan Iyan kompak menatap sahabat mereka dengan prihatin.
"Mama bukan pembunuh kan, Kak?"
Semua orang yang ada dalam kamar Sakha kompak menoleh ke belakang. Ada Noah yang berdiri di belakang mereka dengan tatapan yang tak bisa ditebak.
"Noah," Sheika yang paling pertama bangkit dan menghampiri Noah.
"Mereka nggak bakal ngehancurin keluarga kita, kan?" Sheika memeluk Noah. Tangannya terus menepuk pelan punggung adiknya itu, berharap agar Noah bisa tenang. Sheika tahu, adiknya tengah khawatir saat ini. Dan Sheika bisa menyimpulkan kalau Noah mendengar semuanya.
"Mereka nggak akan bisa ngehancurin keluarga kita, No," balas Sheika di pelukan Noah.
"Papa nggak bakal biarin itu terjadi," lanjut Sheika, masih dalam pelukan Noah.
"Kak Shei yang jadi target mereka, Kak," ucap Noah.
Benar, dirinya yang menjadi target mereka. Sheika tahu, Sheika juga merasa takut. Tapi dia yakin, orang-orang di rumah ini, bahkan teman-temannya tak akan membiarkan hal itu terjadi.
"Iya, Kakak tahu. Tapi kan Kakak punya kamu, punya Sakha, punya Papa. Kalian pasti bakal selalu lindungin Kakak kan?" Sheika melepaskan pelukannya, kepalanya mendongak menatap Noah.
Adiknya itu terdiam, kemudian mengangguk pelan. "Iya, Kak Shei punya kita. Aku, Kak Sakha, sama Papa nggak bakal biarin mereka lukain Kak Shei sedikit pun!" Lirihan yang tadi sempat keluar dari mulut Noah, berganti dengan kata-kata lantang penuh ketegasan dan keyakinan.
Sheika tersenyum, tangannya terangkat mengacak rambut Noah walaupun harus agak jinjit karena perbedaan tinggi mereka.
"Kakak juga yakin kalau Mama bukan pembunuh. Mereka cuma salah paham. Mama pernah cerita kan kalau pertemuannya dengan Pak Viktor cuma dua kali?"
Noah mengangguk, "Iya, waktu acara literasi puluhan tahun lalu sama beberapa bulan kemarin," timpalnya.
"Nah jadi nggak mungkin kan kalau Mama penyebab kematian Mama mereka, disaat Mama aja nggak pernah ketemu Pak Viktor dalam kurun waktu yang lama," jelas Sheika.
Noah mengangguk lagi.
"Terus kalian ada rencana apa setelah ini?" Tanya Noah pada Sheika yang kemudian menatap ke arah Sakha yang masih duduk diam di kasur.
Sakha menggeleng pelan. Jujur dia masih belum ada rencana apapun, kepalanya masih belum bisa berpikir jernih, terlalu banyak hal yang dipikirkan Sakha sampai rasanya otaknya seperti benang yang kusut.
Bukan hanya Sakha, bahkan semua orang yang ada disana pun bingung harus melakukan apa.
Pintu kamar Sakha diketuk, seperkian detik setelahnya pintu terbuka sedikit. Kepala Zela sang Ibu negara di rumah tersebut, menyembul ke dalam, sebelum akhirnya seluruh tubuhnya masuk ke kamar Sakha.
"Mama cari ke kamar Shei ternyata pada disini," celetuk wanita yang sudah memiliki usia 40-an itu.
Zela tersenyum, "Makan dulu yuk? Papa juga udah pulang tuh, nungguin kalian di bawah," ajak Zela pada mereka semua.
Saat teman-teman Sheika dan Sakha datang tadi, Roland memang belum pulang dari tempat kerjanya.
Mereka semua saling tatap, "Kita nggak usah deh, tan, ngerepotin," sahut Alva, merasa tak enak. Apalagi jumlah mereka yang tak sedikit.
"Gapapa, tante nggak merasa repot kok. Justru tante seneng bisa masakin kalian semua," balas Zela masih dengan senyum cerahnya.
"Ayuk, ah, nggak usah sungkan. Kamu juga, La, biasanya juga paling seneng kan kalau makan disini," ajak Zela lagi sampai menggoda Lala.
Lala yang diledek oleh tantenya cuma bisa nyengir.
"Ayok, deh. Lagian aku kangen makan masakan tante," Lala berjalan duluan sambil menggandeng lengan Zela yang dibalas kekehan kecil dari Ibu si kembar tersebut.
Sebelum keluar, Sheika, Sakha, dan Noah saling tatap. Bertanya lewat tatapan itu, seakan ikatan batin diantara mereka begitu kuat.
"Nanti kita bicarain ini sama Papa," putus Sakha. Membuat kedua adiknya itu kompak menganggukkan kepala.
Kemudian mereka bertiga menyusul teman-teman mereka yang sudah lebih dulu keluar bareng dengan Lala dan Zela tadi.
Benar saja, di meja makan sudah ada Roland. Lala dan yang lain juga sudah menempati tempat duduknya masing-masing.
"Lagi ada acara apa? Tumben ramean malem-malem disini," tanya Roland, begitu Sheika, Sakha, dan Noah menempati tempat duduk mereka.
"Makan dulu, nanyanya nanti aja," potong Zela sambil mengambil piring di hadapan Roland untuk dia isi nasi.
Yang lain dengan mandiri menyendokkan nasi ke piring masing-masing. Walaupun awalnya merasa tak enak karena sudah merepotkan Zela, tapi pada akhirnya mereka tetap makan dengan lahap, apalagi Lala.
Selama mereka makan, tak ada satu pun yang berbicara.
Begitu selesai, yang perempuan membantu Zela membereskan meja makan. Ada juga yang mencuci piring bekas mereka makan.
Sedangkan yang laki-laki ikut bergabung dengan Roland di ruang keluarga.
Ayah 3 anak itu sempat pergi ke ruang kerjanya, lalu tak lama kembali sambil membawa laptop juga kacamatanya.
Setelah seharian bekerja, Roland bahkan masih berkutat dengan laptopnya walaupun sudah di rumah.
"Liat deh, Bel, Om Roland ganteng banget ya? Gue pengen deh punya jodoh kayak dia," bisik Lala kepada Abel saat mereka berjalan menuju ruang keluarga untuk gabung bersama yang lain.
"Nikahin anaknya aja kalau gitu," celetuk Abel dengan spontan.
Lala menghentikan langkahnya, kemudian menatap Abel, "Mana bisa, oon?"
Abel juga ikut berhenti, menatap Lala dengan kernyitan di dahinya, "Kenapa nggak bisa? Kan nggak se-darah," kata Abel.
"Kita se-asi," setelah mengatakan itu, Lala berlalu dari hadapan Abel dan kini mendudukkan diri di samping Iyan yang tengah nyemilin kacang tanah.
"Loh, iya?" Abel bertanya entah pada siapa. Dia juga baru tahu kalau Lala dan mereka itu saudara se-asi.
Abel juga akhirnya ikut gabung dengan mereka setelah Sheika datang dan menepuk bahunya.
Kini di ruang keluarga semuanya berkumpul. Tidak ada yang mengobrol, mereka semua fokus menonton televisi yang sedari tadi menayangkan sinetron di salah satu stasiun tv. Kecuali Roland yang masih fokus dengan laptopnya.
"Sak," Roland memanggil Sakha yang tepat di sampingnya.
"Kenapa, Pa?"
"Lihat ini," Roland mengarahkan laptopnya ke arah Sakha. Sheika yang penasaran mendekat, begitu pun dengan Noah.
"Ini dimana?" Tanya Sheika setelah melihat apa yang sedang ditunjukkan Papanya kepada Sakha.
"Di Sad cafè, kafè mama kalian," Jawab Roland.
"Kalian kenal sama salah satu dari mereka?" Roland menunjukkan sebuah foto dalam laptopnya. Di dalam foto tersebut ada dua orang laki-laki yang sepertinya tengah adu argumen? Atau entahlah, tapi hubungan mereka terlihat tidak baik.
"Itu Sam," jawab Sheika. Walaupun hanya terlihat side profile nya Sheika hafal bentuk wajah Sam, karena Sheika bertemu dengan laki-laki itu setiap hari.
Roland menoleh ke arah putrinya, "Kamu kenal?"
Sheika mengangguk, "Dia satu kelas sama Shei."
"Dia juga dalang dibalik semua ini, Pa," timpal Sakha, yang membuat semua orang menatap terkejut ke arahnya. Tak menyangka kalau Sakha akan se to the point itu.
"Maksud kamu?" Roland mengernyit dengan tatapan mata yang serius.
"Samuel Arga Wardana, dia anaknya Pak Viktor yang selama ini neror keluarga kita," jawab Sakha.
"Jadi bener?"
Atensi semua orang kini sepenuhnya terarah pada Roland.
"Papa tahu?" Sheika balik bertanya. Tapi bagaimana Papanya bisa tahu disaat mereka saja belum memberitahunya sama sekali.
Roland beralih pada laptop di pangkuannya lagi, sebelum akhirnya menunjukan sebuah e-mail dari seseorang kepada mereka semua.
"Cellyse ngirim ini ke Papa beberapa hari lalu," Roland menjeda kalimatnya beberapa detik, "Papa juga udah suruh orang buat selidikin ini. Dan foto tadi, dari orang suruhan Papa yang sedang mengikuti Samuel," lanjutnya.
Dengan kernyitan di dahinya, Sheika bertanya, "Kok Allyse bisa tahu?"
"Dari Devon nggak si?" Bukan Roland yang menjawab, melainkan Abel. Gadis itu menyambar tiba-tiba.
"Bener tuh, Devon kan bestie-an sama Sam," timpal Iyan menyetujui ucapan Abel.
Roland menganggukkan kepalanya sambil bergumam pelan.
"Alasan kita kumpul juga sebenernya karena bicarain soal ini," tutur Sheika memberitahu Papanya.
Roland menaruh laptopnya diatas meja, kemudian menatap para manusia disana satu persatu.
"Jadi, semuanya udah tahu?" Tanya pria anak 3 itu.
Mereka semua menganggukkan kepalanya.
"Abel juga yang ngasih tau kita siapa pelakunya," Sheika memberitahu lagi.
Tatapan Roland kini jatuh pada Abel, tapi tak lama hanya beberapa detik.
"Kak Cellyse ngasih tahu motif mereka apa kan, Pa?" Noah yang sedari tadi diam, ikur nimbrung dalam pembicaraan itu.
Roland menganggukkan kepalanya, mulutnya diam, ingin tahu apa yang akan diucapkan oleh Noah selanjutnya.
"Sebelum semuanya makin runyam, dan ada korban, bisa nggak, Pa, dibicarain baik-baik aja sama mereka?" Usul Noah sambil sesekali melirik ke arah Sheika.
Semua orang menatap ke arah Noah. Usulan Noah ini sebenarnya bagus, tapi apa orang pendendam seperti mereka mau membicarakan hal ini secara baik-baik? Bahkan mereka saja dengan gampangnya menaruh dendam pada orang yang bahkan belum mereka temui sama sekali.
"Kalau nggak, aku coba ngomong sama Kak Adhy ya, Land? Biar dia yang urus anak-anaknya," Zela ikut bersuara, dia juga sama khawatirnya dengan Noah. Dan Zela ingin membantu sebisanya, walaupun sedikit setidaknya dia bisa membantu mereka, dan menjadi Mama yang berguna untuk mereka. Lagipula dendam mereka juga berawal darinya bukan?
"Jangan, sayang. Jangan kasih tau apa-apa dulu sama dia. Hubungan dia sama anaknya nggak baik-baik aja. Dan kalau kita kasih tahu, semuanya malah makin runyam nanti," usulan Zela jelas dilarang oleh suaminya. Lagipula benar apa kata Roland, situasi akan makin rumit jika Viktor tahu.
Zela menghela nafasnya gusar, "Atau aku yang datengin mereka aja? Biar aku yang ngomong sama mereka," usul Zela lagi.
"Kayaknya nggak deh, Ma. Mereka nggak bakal mau, kalaupun mau nggak menutup kemungkinan mereka bakal celakain Mama," kali ini Sakha yang menolak usulan Mamanya. Dia tidak mau Mamanya kenapa-napa.
"Iya, jangan. Dendam mereka itu di kamu, dan kalau kamu dateng secara cuma-cuma ke mereka, kamu bisa jadi sasaran empuk mereka," timpal Roland yang juga tak setuju dengan usulan Zela barusan.
"Urusan ini biar Papa sama Sakha aja yang urus. Kamu, Sheika, sama Noah, cukup diem dan berdoa aja, oke?" Lanjut Roland dengan lembut. Pria yang sudah memasuki kepala empat itu bahkan tersenyum, sambil mengusap halus surai istrinya.
"Noah juga mau ikut bantu, Pa!"
"Kita juga bersedia, Om," timpal Alva sambil menyenggol lengan Iyan.
Iyan yang mengerti dengan kode itu, sontak mengangguk membenarkan.
Roland sontak menoleh ke arah mereka bertiga, senyumnya mengembang, "Yaudah kalau itu mau kalian."
"Mulai sekarang kita harus ekstra waspada deh, Om. Soalnya mereka ngincer Shei," kata Alva, matanya melirik ke arah Sheika sebentar.
Roland dan Zela kompak menatap Alva, mereka tak tahu soal ini.
"Kenapa Sheika?" Tanya Zela tak mengerti, tapi tatapan matanya menyiratkan khawatir yang begitu mendalam. Tidak ada seorang Ibu yang tidak khawatir saat anaknya terancam bahaya bukan?
"Mereka itu pengen Mama ngerasain apa yang mereka rasain saat kehilangan Mamanya," Noah bantu menjawab.
Mata Zela berkaca-kaca tak bisa membayangkan kalau putri nya itu kenapa-napa. Lagipula kenapa harus putrinya? Kenapa tidak dirinya saja?
Zela dipeluk oleh Roland, suaminya itu sedang berusaha menenangkan sang istri.
"Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan, kan, Sak?" Kata Roland kepada Sakha. Nada bicaranya terdengar sangat serius.
Bukan hanya Zela saja yang merasa khawatir, dirinya juga sama. Apalagi Sheika, putri satu-satunya, yang diincar mereka. Tapi sebagai kepala keluarga, Roland harus terlihat tenang agar dia bisa menguatkan yang lain.
Sakha mengangguk. Dia harus ekstra menjaga Sheika. Kalau perlu mulai besok, Sheika harus terus berada di sampingnya. Tidak seperti sebelum-sebelumnya yang masih dibebaskan untuk bertemu dengan Arix. Lagipula Sheika juga pasti sadar kalau Arix tak baik untuknya, selain itu dia juga malas bertemu Ghebby. Semuanya sudah terungkap, walaupun Sakha sedikit berandai kalau omongan Ghebby yang terbukti di layar cctv tadi hanyalah bualan semata. Karena jujur, Sakha sudah benar-benar menjatuhkan hati pada gadis itu.
Ahh iya, fakta keterlibatan Ghebby dan Arix sengaja tak Sakha beritahukan kepada Roland. Papanya bisa saja mengamuk saat tahu anak-anaknya ternyata dipermainkan oleh kekasih masing-masing. Apalagi Sheika, Papanya itu sangat menyayangi Sheika. Bagaimana jadinya kalau Papa tahu Arix juga turut mengkhianati janji padanya beberapa bulan lalu?
Bagaimana kedepannya sekarang, itu biar jadi urusan yang Di Atas. Tapi yang pasti, Sakha harus selalu menjaga Sheikanya.
*****
Tbc,
See you next chapter!!!